Penggunaan Kitosan sebagai Pembentuk Gel dan Edible Coating serta Pengaruh Penyimpanan Suhu Ruang Terhadap Mutu dan Daya Awet Empek-Empek
EMPEK-EMPEK
WALDEMAR BASTIAN SEMBIRING
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
(2)
ABSTRACT
WALDEMAR BASTIAN SEMBIRING. Use of Chitosan as a Composite Gel and Edible Coatings and the Influence of Room Temperature Storage Quality and Durability Power of Empek-empek. Supervised by RIMBAWAN and PIPIH SUPTIJAH.
The general objective of this research is studying the use of chitosan as gelling and edible coating on the organoleptic quality of the physical and sensory quality as well as the influence of temperature of storage space proven through testing, these are chemical, microbiological and digested tests product of empek-empek. Stages of research conducted consisted of two stages, namely early stages of research and advanced research stages. Preliminary study aims to determine the best concentration of the addition of chitosan as gelling agent in making empek-empek concentration of 0%, 0.1%, 0.2%, 0.3% and 0.4% with the organoleptic test I, the best concentration was chosen after determination of concentration and then perform the best in the addition of chitosan as an edible coatings with a concentration of 1%, 1.5% and 2% by organoleptic tests II. Organoleptic test parameters I and II used include appearance, color, flavor, texture and aroma. Determination of the best formulations of empek-empek organoleptic quality products are based on my tests as a gelling chitosan 0.3% and based on the organoleptic quality test II test as a physical sensory and edible coating of chitosan 1.5%, to obtain the composition of K 0.3% (EC 1.5%). Critical control points of empek-empek during storage at room temperature was 57 hours, while the best elect of empek-empek is 84 hours, so it can be presumed that these provisions can extend the shelf-life of empek-empek stored at room temperature. Effect of storage at room temperature (for 4 days) against empek-empek elected and controls showed that chitosan can enhance the quality of chemicals that includes the value of water activity, pH, moisture content, ash content, and levels of total protein digestibility and quality include the protein digestibility and the digestibility of starch empek-empek elected. Comparison of selected test products with commercial products showed that the hedonic scale empek-empek elected for a better score on the parameters of taste and aroma. This study shows that chitosan is used as a gelling agent and edible coatings can extend the shelf life at room temperature with maintaining quality and durable power of empek-empek.
(3)
RINGKASAN
WALDEMAR BASTIAN SEMBIRING. Penggunaan Kitosan Sebagai Pembentuk Gel dan Edible Coating serta Pengaruh Penyimpanan Suhu Ruang terhadap Mutu dan Daya Awet Empek-empek. Dibawah bimbingan RIMBAWAN dan PIPIH SUPTIJAH.
Konsumsi daging ikan di Indonesia masih tergolong rendah, hal ini terlihat dari konsumsi ikan masyarakat Indonesia tahun 2009 baru mencapai 30.17 kg/kap/tahun atau masih di bawah anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 31.40 kg/kap/tahun (Fadel Muhammad dalam Festival Raya Lele Nusantara 2010). Hal ini disebabkan ikan dalam bentuk penyajian langsung kurang digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan pengolahan lanjut komoditas perikanan sehingga dapat meningkatkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan.
Pada awalnya pempek dibuat dari ikan belida, kakap, tenggiri dan ekor kuning. Namun, dengan semakin langka dan mahalnya harga ikan-ikan tersebut, maka ikan tersebut harus dicari alternatif penggantinnya dengan ikan yang harganya lebih murah dan tingkat ketersediannya terbilang tinggi, tetapi dengan rasa yang tetap gurih. Guna menjawab kendala dan tantangan tersebut maka peneliti memilih ikan tuna jenis tongkol (Euthinnus afinis) sebagai alternatif penggantinya. Empek-empek menjadi makanan favorit di berbagai kalangan masyarakat, tetapi produsen dan masyarakat masih dibatasi oleh aspek keamanan pangan tentang empek-empek yang aman dan baik untuk dikonsumsi. Menurut Sugeng (2006), alternatif untuk mengatasi permasalahan penggunaan boraks, formalin dan bahan-bahan tambahan makanan berbahaya lainnya, yaitu menggunakan kitosan.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel dan edible coating terhadap mutu organoleptik dan mutu fisik sensori serta pengaruh penyimpanan suhu ruang yang dibuktikan melalui mutu mikrobiologi dan mutu kimia dari produk empek-empek. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu 1) membuat formulasi kitosan sebagai bahan pembentuk gel dan bahan pelapis (edible coating) pada produk empek-empek, 2) mengetahui penilaian mutu organoleptik dan mutu fisik sensori terhadap formulasi kitosan serta memilih formulasi terbaik dari produk empek-empek berdasarkan mutu organoleptik dan mutu fisik sensorinya, 3) menentukan titik kritis terhadap mutu mikrobiologi dari produk empek-empek terhadap penyimpanan suhu ruang, 4) mempelajari pengaruh penyimpanan suhu ruang terhadap daya awet produk empek-empek dengan formulasi terbaik, 5) menganalisis mutu kimia dan mutu cerna produk empek-empek terhadap penyimpanan suhu ruang, 6) membandingkan tingkat penerimaan konsumen antara produk empek-empek terpilih dengan produk empek-empek komersil.
Tahapan penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian lanjutan. Penelitian Pendahuluan terdiri dari 2 tahap yaitu (I) Pembuatan empek-empek dengan formulasi kitosan sebagai pembentuk gel dan pemilihan sampel empek-empek terpilih 1 dengan melakukan uji organoleptik 1, (II) Penggunaan kitosan sebagai edible coating pada empek-empek terpilih 1 dan pemilihan sampel empek-empek terpilih 2 dengan melakukan uji organoleptik 2 dan uji fisik. Penelitian lanjutan dilakukan dengan 2 tahapan yaitu (1) Analisis mikroba dengan melakukan uji kuantitatif menggunakan metode hitungan cawan (total plate count) yang meliputi pengamatan dan penentukan fase pertumbuhan serta membandingkan fase
(4)
pertumbuhan mikroba pada penyimpanan suhu ruang antara empek – empek terbaik (terpilih 2) dan kontrol (tanpa perlakuan dengan penambahan kitosan), (2) Analisis fisik dan kimia (fisikokimia) yang meliputi uji fisik pada kedua sampel yang terdiri dari pengukuran pH (tingkat keasaman) dan Aw (water activity), serta uji kimia pada kedua sampel yang meliputi penetapan kadar nitrogen total (Kjeldahl), penentuan daya cerna protein In Vitro (Hsu., et al), penentuan daya cerna pati In Vitro, uji kadar air (oven), kadar abu (gravimetri). Uji kimia dan uji fisik dilakukan pada awal dan akhir masa penyimpanan untuk melihat pengaruh penyimpanan terhadap indikator yang diamati dan diteliti.
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan konsentrasi terbaik penambahan kitosan sebagai pembentuk gel dalam pembuatan empek-empek dengan konsentrasi 0%, 0.1%, 0.2%, 0.3%, dan 0.4% dengan melakukan uji organoleptik 1 yang meliputi uji skala hedonik dan mutu hedonik 1, setelah konsentrasi terbaik terpilih lalu dilakukan penentuan konsentrasi terbaik dalam penambahan kitosan sebagai edible coating/pelapis dengan konsentrasi 1%, 1.5%, dan 2% dengan melakukan uji organoleptik 2 yang meliputi uji hedonik dan mutu hedonik 2 dan uji fisik yang meliputi uji lipat dan uji gigit. Panelis yang ikut serta masing-masingnya adalah 30 orang panelis mahasiswa S1 IPB secara umum pada uji organoleptik 1 dan 2. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji skala hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik.
Pada uji organoleptik I yang menggunakan larutan kitosan sebagai pembentuk gel pada uji skala hedonik (kesukaan) I dengan parameter penampakan (α=0.006), warna (α = 0.000) dan rasa (α = 0.004) mampu memberikan pengaruh yang sangat signifikan, tetapi tidak berpengaruh signifikan pada parameter aroma (α = 0.670) dan tekstur (α = 0,236). Larutan kitosan sebagai pembentuk gel pada uji mutu hedonik I dengan parameter penampakan
(α = 0.000), warna (α = 0.000), aroma (α = 0.000) dan rasa (α = 0.000) mampu memberikan pengaruh yang sangat signifikan dengan selang kepercayaan (CL) <0.05 pada analisis ragam (One-way ANOVA) yang dilakukan dengan uji lanjut Duncan, tetapi tidak berpengaruh signifikan pada parameter tekstur (α = 0.278), berdasarkan hasil yang diperoleh maka formulasi kitosan sebagai pembentuk gel yang mendapatkan skor tertinggi yaitu kitosan 0.3%.
Pada uji organoleptik II yang menggunakan larutan kitosan sebagai edible coating (pelapis) pada uji skala hedonik (kesukaan) II hanya parameter rasa (α = 0.039) memberikan pengaruh yang signifikan dan dilakukan uji lanjut Duncan, tetapi tidak berpengaruh signifikan pada parameter aroma(α = 0.152), warna (α = 0.067), tekstur (α = 0.713), dan penampakan (α = 0.398). Larutan kitosan sebagai edible coating (pelapis) pada uji mutu hedonik II dengan parameter penampakan (α= 0.145), warna (α = 0.649), aroma (α = 0.931), tekstur (α = 0.075) dan rasa (α = 0.195) secara keseluruhan tidak memberikan pengaruh yang signifikan dengan pada analisis ragam (One-way ANOVA), berdasarkan hasil yang diperoleh maka formulasi kitosan sebagai edible coating (pelapis) yang mendapatkan skor tertinggi yaitu kitosan 0.3 %(EC 1.5%).
Pada uji fisik sensori yang meliputi uji gigit dan uji lipat. Pada uji gigit (kekenyalan) berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kekenyalan empek-empek (α = 0.493) dengan selang kepercayaan 0.05. Pada uji pelipatan berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap empek-empek (α = 0.563) dengan selang kepercayaan 0.05, berdasarkan hasil yang diperoleh maka formulasi kitosan yang terbaik dalam uji gigit dan uji lipat yaitu kitosan 0.3 % (EC 1.5%).
(5)
Uji TPC (Total Plate Count) bertujuan untuk mengetahui jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Uji ini dilakukan selama 2 hari 9 jam (57 jam) dan 3½ hari (84 jam) dalam penentuan titik kritis (jumlah koloni bakteri yang tumbuh melewati standar SNI) pada empek-empek kontrol (tanpa penambahan kitosan) dan empek terpilih (K 0.3% EC 1.5%), dalam penentuan titik kritis empek-empek kontrol dilakukan setiap 3 jam sekali dan empek-empek-empek-empek terpilih dilakukan setiap 12 jam sekali. Nilai TPC yang telah melewati dari jumlah koloni yang diperbolehkan tumbuh pada pangan (≥1 x 106 cfu/g) merupakan indikasi adanya kerusakan oleh mikroba dalam jumlah yang sudah tidak aman lagi dikonsumsi oleh manusia. Hasil uji TPC berdasarkan kecepatan pertumbuhan mikroba selama penyimpanan pada suhu ruang bahwa empek-empek terpilih dengan kitosan sebagai pembentuk gel dan pelapis memiliki kecepatan pertumbuhan dan nilai TPC pada waktu yang sama (terutama pada fase logaritmik) yang lebih rendah daripada empek-empek tanpa intervensi kitosan (kontrol).
Berdasarkan hasil analisis kimia menggunakan Indipendent-Sample T Test, parameter kimia yang memberikan pengaruh nyata terhadap penyimpanan selama 4 hari pada suhu ruang yang membandingkan empek-empek dengan
formula kitosan terpilih (K 0.3% (EC 1.5%) dan kontrol ( K 0%) adalah nilai pH (α = 0.002), daya cerna protein (α = 0.009), dan daya cerna pati (α = 0.003), tetapi
tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap parameter
aw (aktivitas
air) (α = 0.057), kadar air (α = 0.684), kadar abu (0.177), dan kadar protein (α = 0.106) dengan selang kepercayaan (CL) <0.05.Berdasarkan hasil uji perbandingan produk dimana produk terpilih dibandingkan dengan produk komersil menunjukkan bahwa skor rata-rata
parameter rasa (α= 0.299) dan aroma (α= 0.036) lebih tinggi dibandingkan
dengan produk komersil dan berpengaruh nyata pada parameter aroma, tetapi tidak berpengaruh nyata pada parameter rasa. Produk komersil mendapatkan skor rata-rata tertinggi pada parameter penampakan (α= 0.163), warna (α=
0.012), dan tekstur (α= 0.606), berpengaruh nyata pada parameter warna, tetapi
(6)
PENGGUNAAN KITOSAN SEBAGAI PEMBENTUK GEL DAN
EDIBLE COATING
SERTA PENGARUH PENYIMPANAN
SUHU RUANG TERHADAP MUTU DAN DAYA AWET
EMPEK-EMPEK
WALDEMAR BASTIAN SEMBIRING
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
(7)
Judul Skripsi : Penggunaan Kitosan sebagai Pembentuk Gel dan Edible Coating serta Pengaruh Penyimpanan Suhu Ruang Terhadap Mutu dan Daya Awet Empek-Empek
Nama : Waldemar Bastian Sembiring NIM : I14070115
Disetujui :
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Rimbawan Drh. Pipih Suptijah, MBA NIP. 19620406 198603 1 002 NIP. 19531020 198503 2 001
Diketahui :
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
(8)
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penggunaan Kitosan sebagai Pembentuk Gel dan Edible Coating serta Pengaruh Penyimpanan Suhu Ruang terhadap Mutu dan Daya Awet Empek-empek” yang merupakan salah satu syarat kelulusan untuk mendapatkan gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama skripsi ini disusun, penulis telah menerima motivasi, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Rimbawan selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan arahan, kritik, dan saran serta suntikan motivasi dan semangat bagi penulis untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi.
2. Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen pembimbing II yang dengan penuh kesabaran dan kebaikannya telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan penjelasan, arahan, kritik dan saran bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi.
3. Bapa dan Mama terimakasih untuk semua do’a, harapan, dan dukungannya selama ini baik moril maupun material. Tak lupa juga adik-adik tercinta Elin dan Tri serta keluarga besarku terimakasih atas do’a dan dukungannya.
4. Pak Mashudi terimakasih untuk bantuan, hiburan dan saran selama penelitian ini. Tak lupa kepada laboran GM 44 terima kasih atas segala bantuan dan kenangannya.
5. Pak Basri, Bu Rizki, dan Bu Dewi yang telah membantu dan membimbing selama penelitian di laboratorium.
6. Teman-teman GM 44, 45, dan 46, Permata GBKP, PMK IPB, Kopelkhu dan Kosan atas kebersamaan dan kenangan yang telah ada.
7. Semua rekan-rekan dan saudara-saudara lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas doa, dukungan, pengertian dan semangatnya.
(9)
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan tidak akan terselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca yang pada akhirnya akan berpengaruh pada dunia ilmu pengetahuan pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Bogor, September 2011
Penulis
(10)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 20 Maret 1989. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Alamsyah Beni Sembiring dan Ibu Mirawati Sinulingga. Penulis memiliki dua saudara perempuan yaitu Elin Hartati Sembiring dan Tri Santi Helmina Sembiring. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak (TK) di Mardi Yuana Bogor, lalu melanjutkan pendidikan ke SD Budi Mulia Bogor dan lulus pada tahun 2003, lalu melanjutkan pendidikan ke SMP Budi Mulia Bogor dan lulus pada tahun 2005, lalu melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 2 Bogor dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor dan diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Mahasiswa IPB (USMI).
Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis cukup aktif di beberapa organisasi, seperti Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi (HIMAGIZI) Departemen Ilmu Gizi, Peminat Tanaman Herbal Ecoagrifarma Fakultas Ekologi Manusia, Penyiaran Radio Agri FM IPB, Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, dan Komisi Pelayanan Khusus IPB. Selain itu, penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Cikopomayak, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor pada bulan Mei hingga Agustus 2010 dan Internship bidang Dietetika di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta pada bulan Maret hingga April 2011. Penulis juga cukup aktif dalam berbagai kepanitiaan di dalam dan luar kampus IPB, seperti adalah Natal CIVA IPB 2008 dan Seminar Gizi Nasional 2010.
Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, dengan melakukan penelitian yang berjudul “Penggunaan Kitosan sebagai Pembentuk Gel dan Edible Coating serta Pengaruh Penyimpanan Suhu Ruang terhadap Mutu dan Daya Awet Empek-empek”.
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI...i
DAFTAR TABEL...ii
DAFTAR GAMBAR...iii
DAFTAR LAMPIRAN...v
PENDAHULUAN Latar Belakang...1
Tujuan...3
Kegunaan...3
TINJAUAN PUSTAKA Empek-empek...4
Ikan Tuna (Euthinnus afinis)...6
Pati Sagu...8
Deskripsi, Sifat Fisis dan Kimia Kitosan...9
Kitosan Sebagai Pembentuk Gel (Hidrogel)...11
Kitosan Sebagai Edible Coating...12
Keamanan Kitosan...14
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian...16
Bahan dan Alat...16
Metode Penelitian...17
Rancangan Percobaan...22
Pengolahan dan Analisis Data...22
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penelitian Pendahuluan 1.1 Uji organoleptik...23
1.2 Uji skala hedonik (kesukaan) dan mutu hedonik...23
1.3 Uji fisik sensori...24
1.1.1 Uji organoleptik 1...24
1.1.2 Uji organoleptik 2...31
1.1.3 Uji fisik sensori...37
2. Penelitian Lanjutan 2.1 Analisis mikroba total (Standard Plate Count)...39
2.2 Analisis kimia dan daya cerna...43
2.3 Uji perbandingan produk...53
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan...57
Saran...57
DAFTAR PUSTAKA...58
(12)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kandungan gizi ikan tuna per 100 g daging...6
2. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan...9
3. Spesifikasi (standar mutu) kitin dan kitosan secara umum... 11
(13)
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Empek-empek lenjeran atau bulat lonjong atau silinder...5 2. Struktur kimia selulosa, kitin dan kitosan...10 3. Diagram alir proses pembuatan larutan kitosan sebagai pembentuk gel....18 4. Diagram alir proses pembuatan adonan 1 (bleng/biang)...18 5. Diagram alir proses pembuatan adonan 2 (ikan tuna halus)...19 6. Diagram alir proses pembuatan empek-empek dengan formulasi kitosan
sebagai pembentuk gel...20 7. Diagram alir proses pembuatan larutan kitosan sebagai edible coating...20 8. Diagram alir proses pembuatan empek-empek dengan formulasi kitosan
sebagai edible coating...21 9. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel
terhadap penampakan...25 10. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel
terhadap warna...26 11. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel
terhadap aroma...28 12. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel
terhadap tekstur...29 13. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel
terhadap rasa...30 14. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pelapis (Edible coating) terhadap penampakan...32 15. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pelapis (Edible coating) terhadap warna...33 16. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pelapis (Edible coating) terhadap aroma...34 17. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pelapis (Edible coating) terhadap tekstur...35 18. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pelapis (Edible coating) terhadap rasa...36 19. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan terhadap kekuatan produk
empek-empek melalui uji gigit...37 20. Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan terhadap kekuatan produk
empek-empek melalui uji lipat...38 21. Kurva penentuan titik kritis empek-empek kontrol pada suhu ruang...40 22. Kurva penentuan titik kritis empek-empek terpilih pada suhu ruang...40 23. Kurva gabungan dan perbandingan kecepatan pertumbuhan mikroba pada
empek-empek kontrol dan terpilih pada suhu ruang...41 24. Kurva pengaruh pemberian kitosan terhadap nilai aktivitas air (aw)
empek-empek selama penyimpanan...43 25. Kurva pengaruh pemberian kitosan terhadap nilai keasaman (pH)
(14)
26. Kurva pengaruh pemberian kitosan terhadap nilai kadar air empek-empek selama penyimpanan...46 27. Kurva pengaruh pemberian kitosan terhadap nilai kadar abu empek-empek selama penyimpanan...47 28. Kurva pengaruh pemberian kitosan terhadap nilai kadar protein
empek-empek selama penyimpanan...49 29. Kurva pengaruh pemberian kitosan terhadap nilai daya cerna protein
empek-empek selama penyimpanan...50 30. Kurva pengaruh pemberian kitosan terhadap nilai daya cerna pati
empek-empek selama penyimpanan...52 31. Perbandingan tingkat penerimaan panelis berdasarkan skala hedonik antara
produk empek-empek terpilih dan komersil terhadap penampakan...54 32. Perbandingan tingkat penerimaan panelis berdasarkan skala hedonik antara
produk empek-empek terpilih dan komersil terhadap warna...54 33. Perbandingan tingkat penerimaan panelis berdasarkan skala hedonik antara
produk empek-empek terpilih dan komersil terhadap aroma...55 34. Perbandingan tingkat penerimaan panelis berdasarkan skala hedonik antara
produk empek-empek terpilih dan komersil terhadap tekstur...56 35. Perbandingan tingkat penerimaan panelis berdasarkan skala hedonik antara
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Lembar scoresheet uji organoleptik skala hedonik dan mutu hedonik I atau II pada empek-empek dengan penambahan kitosan sebagai pembentuk gel
atau edible coating (pelapis)...61
2. Lembar scoresheet uji gigit dan uji lipat pada organoleptik II empek-empek dengan penambahan kitosan sebagai edible coating (pelapis)...63
3. Spesifikasi kitosan yang digunakan dalam penelitian...64
4. Absorbansi kurva standar maltosa (pati murni)...64
5. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan organoleptik skala hedonik I...64
6. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan organoleptik uji mutu hedonik I.66 7. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan organoleptik skala hedonik II....67
8. Analisis sidik ragam organolpetik uji mutu hedonik II...68
9. Analisis sidik ragam uji gigit pada organoleptik II...69
10. Analisis sidik ragam uji lipat pada organoleptik II...69
11. Analisis sidik ragam uji kimia (Indipendent-Sampel T Test)...70
12. Analisis sidik ragam uji perbandingan antara empek-empek terpilih dan produk empek-empek komersil...72
(16)
PENDAHULUAN
Latar BelakangKonsumsi daging ikan di Indonesia masih tergolong rendah, hal ini terlihat dari konsumsi ikan masyarakat Indonesia tahun 2009 baru mencapai 30.17 kg/kap/tahun atau masih di bawah anjuran Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 31.40 kg/kap/tahun. Tingkat konsumsi ikan rakyat Indonesia bukan hanya minim, tapi masih kalah jauh dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura (Fadel Muhammad dalam Festival Raya Lele Nusantara 2010). Hal ini disebabkan ikan dalam bentuk penyajian langsung kurang digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan pengolahan lanjut komoditas perikanan sehingga dapat meningkatkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan. Kualitas gizi makanan jajanan dan potensinya sebagai salah satu wahana program diversifikasi pangan dan perbaikan gizi nasional harus diberi perhatian yang lebih baik (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 1993). Dari sekian banyak makanan jajanan yang dikenal, salah satu pangan tradisional Indonesia berbasis ikan adalah empek-empek yang merupakan makanan tradisional khas bagi masyarakat di daerah provinsi Sumatera Selatan.
Empek-empek dapat didefinisikan sebagai produk makanan yang berbentuk bulat atau lonjong dan bentuk lainnya, yang diperoleh dari campuran ikan giling dengan persentase 25-50% dan tepung tapioka atau sagu, air dan garam dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan (BSN 1995). Pada awalnya pempek dibuat dari ikan belida, kakap, tenggiri dan ekor kuning. Namun, dengan semakin langka dan mahalnya harga ikan-ikan tersebut, maka ikan tersebut harus dicari alternatif penggantinnya dengan ikan yang harganya lebih murah dan tingkat ketersediannya terbilang tinggi, tetapi dengan rasa yang tetap gurih. Guna menjawab kendala dan tantangan tersebut maka peneliti memilih ikan tuna jenis tongkol (Euthinnus afinis) sebagai alternatif penggantinya. Hal tersebut didasarkan karena tuna memiliki nilai gizi yang tinggi meliputi kandungan asam amino, lemak, vitamin dan mineral.
Empek-empek mengandung protein tinggi, namun memiliki kadar air tinggi dan pH netral sehingga rentan terhadap kerusakan. Daya awet empek-empek maksimal 2-3 hari pada suhu kamar (36.5-37.5 0C), hal ini yang menjadi alasan para penjual untuk mengambil jalan pintas dengan mengawetkan empek-empek dengan menambahkan boraks. Boraks yang dikenal dengan “bleng” berfungsi mengenyalkan dan dapat memperpanjang daya simpannya
(17)
(Widyaningsih, 2006). Penggunaan bahan tersebut digunakan karena para penjual dapat memperoleh dengan mudah dan dengan harga yang murah tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan produsen, konsumen, dan masyarakat pada umumnya tentang bahaya boraks, sehingga perlu adanya penyuluhan dan bahan alternatif lain yang lebih aman dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ketersediaan dan kesehatan sebagai pengganti boraks.
Produsen dan masyarakat masih dibatasi oleh aspek keamanan pangan tentang empek-empek yang aman dan baik untuk dikonsumsi. Terbukti masih ditemukannya empek-empek yang positif mengandung boraks dengan kadar yang bervariasi di pasaran dan tetap dikonsumsi oleh konsumen. Padahal boraks, memiliki dampak amat yang tidak baik bagi kesehatan karena boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh membran mukosa usus dan disimpan secara kumulatif oleh hati dan otak. Mengkonsumsi makanan yang mengandung dalam jangka panjang akan menyebabkan gangguan otak, hati, depresi, apatis, tekanan darah rendah, pingsan, gangguan system saraf pusat, kerusakan ginjal, kanker bahkan kematian akan terjadi jika dosisnya mencapai 10-20 gram atau lebih (Winarno dan Rahayu 1994).
Menurut Sugeng (2006), alternatif untuk mengatasi permasalahan penggunaan boraks, formalin dan bahan-bahan tambahan makanan berbahaya lainnya, yaitu menggunakan kitosan. Kitosan merupakan produk turunan dari polimer kitin yakni produk samping limbah (zero waste) dari pengolahan industri perikanan, salah satunya adalah udang (bagian kulit dan kepala). Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang dimiliki yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak sekaligus melapisi produk (coating) sehingga terjadi interaksi minimal antara produk dan lingkungannya. Keunggulan pengawet alami kitosan lebih baik dibanding dengan formalin yang meliputi aspek organoleptik, daya awet, keamanan pangan serta nilai ekonomis. Uji organoleptik yang meliputi kenampakan, rasa, bau, dan tekstur pengawetan dengan kitosan menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan pengawet boraks pada bakso, mie basah dan kerupuk (Susanto, 2006).
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian yang berjudul “Penggunaan Kitosan Sebagai Pembentuk Gel dan Edible Coating serta Pengaruh Penyimpanan Suhu Ruang Terhadap Mutu dan Daya Awet Empek-Empek”.
(18)
Tujuan Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel dan edible coating terhadap mutu organoleptik dan mutu fisik sensori serta pengaruh penyimpanan suhu ruang yang dibuktikan melalui uji mikrobiologi dan uji kimia serta daya cerna dari produk empek-empek.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Membuat formulasi kitosan sebagai bahan pembentuk gel dan bahan pelapis (edible coating) pada produk empek-empek.
2. Mengetahui penilaian mutu organoleptik dan mutu fisik sensori terhadap formulasi kitosan serta memilih formulasi terbaik dari produk empek-empek berdasarkan mutu organoleptik dan mutu fisik sensorinya.
3. Menentukan titik kritis terhadap mutu mikrobiologi dari produk empek-empek terhadap penyimpanan suhu ruang.
4. Mempelajari pengaruh penyimpanan suhu ruang terhadap daya awet produk empek-empek dengan formulasi terbaik.
5. Menganalisis mutu kimia dan mutu cerna produk empek-empek terhadap penyimpanan suhu ruang.
6. Membandingkan tingkat penerimaan konsumen antara produk empek-empek terpilih dengan produk empek-empek-empek-empek komersil.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yang bermanfaat kepada masyarakat mengenai pengaruh penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel dan edible coating dalam meningkatkan daya awet produk empek–empek pada penyimpanan suhu ruang untuk dapat disajikan kembali.
(19)
TINJAUAN PUSTAKA
Empek-empekEmpek-empek adalah makanan yang terbuat dari campuran tepung sagu atau tapioka, daging ikan, air dan garam yang diaduk menjadi satu lalu dibentuk, direbus, dikukus, digoreng atau dipanggang dan dimakan dengan cuka. Sehubungan dengan itu, empek-empek diartikan sebagai produk pangan tradisional yang dapat digolongkan sebagai gel ikan, sama halnya seperti otak-otak atau kamaboko di Jepang. Empek-empek merupakan makanan tradisional masyarakat Palembang yang terbuat dari bahan dasar ikan giling dan tepung tapioka atau sagu. Empek-empek memiliki cita rasa khas dan disukai masyarakat, memiliki nilai ekonomi dan gizi yang cukup tinggi. Kandungan gizi utama pada empek-empek adalah protein, lemak, dan karbohidrat yang diperoleh dari ikan dan tepung tapioka. Kandungan gizi lainnya berupa vitamin dan mineral. Perbandingan ikan, air, tepung tapioka, dan garam sangat berpengaruh terhadap nilai gizi, rasa, warna, kekenyalan, serta karakteristik lainnya. Penggunaan ikan sangat mempengaruhi cita rasa dan aroma makanan ini.
Pada prinsipnya pembuatan empek-empek dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengolahan ikan, pencampuran, pembentukan dan pemasakan (Komariah, 1995). Tahap pengolahan ikan meliputi proses penyiangan, pencucian, pembuatan fillet dan penggilingan daging ikan. Menurut Suzuki (1981), penyiangan dan pencucian daging ikan bertujuan untuk menghilangkan kotoran berupa darah dan kotoran lain yang dapat menimbulkan bau dan warna yang tidak disukai pada produk akhir. Ikan terlebih dahulu difillet untuk memudahkan pada proses selanjutnya. Setelah itu daging ikan digiling. Pada tahap pencampuran dilakukan penggabungan dari bahan-bahan tersebut dengan proporsi yang tepat sesuai dengan resep yang digunakan. Ketepatan proporsi bahan amat diperlukan karena proporsi atau komposisi sangat berpengaruh terhadap rasa dan kekenyalan empek-empek. Menurut Karmas (1982), Komponen daging ikan dipengaruhi oleh jenis, kesegaran dan komposisi kimia ikan yang digunakan serta metode pengolahan yang dipakai. Penggunaan ikan yang banyak akan membuat rasa empek-empek yang dihasilkan akan terasa semakin enak (Dinas Perindustrian Sumatera Selatan, 1978).
Tahap pembentukan bertujuan untuk memantapkan campuran dan membentuknya sehingga diperoleh adonan yang dapat menyatu sampai kalis
(20)
dan dapat dibentuk sesuia dengan keinginan. Cara pembentukan empek-empek sangat beragam, tergantung dari jenis empek-empek yang akan dibuat (Komariah 1995). Setelah adonan terbentuk, adonan tersebut dapat dibuat menjadi beragam jenis pempek berbentuk pempek lenjeran, telur (kapal selam), pastel (kates), kerupuk (keriting), tahu, lenggang, panggang, serta adaan. Dari sekian jenis pempek, yang paling populer adalah lenjeran (silinder) yang adonannya merupakan adonan dasar bagi jenis pempek lainnya.
Setelah pencetakan atau pembentukan langkah selanjutnya adalah pemasakan. Pemasakan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu perebusan, pengukusan, penggorengan, dan pemanggangan. Proses pemasakan tersebut akan menghasilkan pempek rebus, goreng, serta panggang atau lenggang. Untuk empek-empek lenjeran (panjang 15 cm dan diameter 4 cm), pemasakan dilakukan dengan perebusan, yaitu memasukkan lenjeran ke dalam panci berisi air mendidih. Empek-empek yang telah matang akan mengapung di permukaan air perebus dan jika ditekan dengan tangan akan terasa lembut dan kenyal sampai ke bagian dalamnya.
Gambar 1 Empek-empek lenjeran atau bulat lonjong atau silinder
Lama perebusan dipengaruhi oleh ukuran lenjeran. Namun, biasanya membutuhkan waktu sekitar 20-90 menit. Proses perebusan bertujuan agar pati mengalami proses gelatinisasi, sehingga granula pati mengembang dan proteinnya terdenaturasi. Pengembangan granula pati ini disebabkan molekul-molekul air melakukan penetrasi ke dalam granula dan terperangkap dalam susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin (Muchtadi et al. 1988). Lamanya proses perebusan dan pengukusan harus dikendalikan supaya tidak terlalu banyak menghilangkan zat gizi. Sebagaimana diketahui, zat protein, vitamin, dan mineral dari bahan dapat larut ke dalam air perebus atau pengukus, sehingga kadarnya menjadi berkurang pada pempek.
(21)
Setelah matang, empek-empek diangkat, ditiriskan, dan didinginkan sesaat agar tidak cepat basi. Daya awet empek-empek relatif rendah, yaitu hanya tahan sekitar 2-3 hari pada suhu kamar karena empek-empek memiliki kadar air tinggi dan Aw (Water Activity) >0.90, apabila penyimpanan terlalu lama, maka pada permukaan produk akan timbul lendir sehingga tidak layak dikonsumsi lagi (Komariah, 1995).
Ikan Tuna (Euthinnus afinis)
Ikan tuna merupakan marga Thunus, terdiri dari bermacam-macam jenis antara lain yaitu: mandidihang (Thunus albacores), mata besar (Thunus obesus), abu-abu (Thunus tonggol), tongkol (Euthinnus afinis), albakora (Thunus allalunga) dan sirip biru (Thunus thynus). Ikan tuna yang digunakan dalam penelitian ini berjenis tongkol (Euthinnus afinis), dengan mempertimbangkan ketersediaan dan nilai jualnya yang dapat terjangkau oleh semua kalangan masyarakat. Daging ikan tuna terdiri dari dua bagian yaitu daging putih dan daging merah kurang lebih 1/6 bagian. Daging merah mempunyai kandungan mioglobin tinggi, yang diimbangi dengan banyaknya jaringan pengikat dan pembuluh darah, sementara daging putih mempunyai jenis-jenis protein yang berkualitas tinggi.
Tabel 1. Kandungan gizi ikan tuna per 100 g daging
Komposisi Jumlah Satuan
Energi 131.0 Kal
Protein 26.2 G
Lemak 2.1 G
Abu 1.3 G
Kalsium 8.0 Mg
Fosfor (P) 220,0 Mg
Besi (Fe) 4,0 Mg
Sodium (K) 52,0 Mg
Retinol 10,0 Mg
Thiamin (Vit B1) 0.03 Mg
Riboflavin (Vit B2) 0.15 Mg
Niasin (Vit B3) Piridoksin (Vit B6) Kolesterol
18.0 6.7 38-45
mg mg mg Sumber : Departement of Health, Education and Walfare (1972) yang diacu dalam
Maghfiroh (2000)
Dilihat dari komposisi gizinya, tuna mempunyai nilai gizi yang luar biasa. Kadar protein pada ikan tuna hampir dua kali kadar protein pada telur yang selama ini dikenal sebagai sumber protein utama. Kadar protein per 100 gram ikan tuna dan telur masing-masing 26 g dan 13 g. Sebagai salah satu komoditas
(22)
laut, ikan tuna juga kaya akan asam lemak omega-3. Kandungan omega-3 pada ikan air laut, seperti ikan tuna, adalah 28 kali lebih banyak daripada ikan air tawar. Omega-3 dapat menurunkan kadar kolesterol darah dan menghambat proses terjadinya aterosklerosis (penyumbatan pembuluh darah).
Ikan tuna juga kaya berbagai mineral penting yang esensial bagi tubuh. Kandungan iodium pada ikan tuna mencapai 28 kali kandungan iodium pada ikan air tawar. Iodium sangat berperan penting untuk mencegah penyakit gondok dan meningkatkan kecerdasan anak. Selain itu, ikan tuna juga kaya akan selenium. Konsumsi 100 gram ikan tuna cukup untuk memenuhi 52.9 persen kebutuhan tubuh akan selenium. Selenium mempunyai peran penting di dalam tubuh, yaitu mengaktifkan enzim antioksidan glutathione peroxidase. Enzim ini dapat melindungi tubuh dari serangan radikal bebas penyebab berbagai jenis kanker. Dilihat dari perbandingan kalium dan natrium, ikan tuna baik untuk penderita jantung. Makanan ini tergolong makanan sehat untuk jantung dan pembuluh darah bila mengandung rasio kalium dan natrium minimal 5 berbanding 1. Kandungan vitamin A dalam bentuk retinol pada ikan tuna tergolong tinggi, yaitu mencapai 2,183 IU. Konsumsi 100 gram ikan tuna cukup untuk memenuhi 43.6 persen kebutuhan tubuh akan vitamin A setiap hari. Vitamin A sangat baik untuk pemeliharaan sel epitel, peningkatan imunitas tubuh, pertumbuhan, penglihatan, dan reproduksi.
Ikan tuna juga merupakan sumber yang baik untuk vitamin B6 dan asam folat. World’s Health Rating dari The George Mateljan Foundation menggolongkan kandungan vitamin B6 tuna ke dalam kategori sangat bagus karena mempunyai nutrient density yang tinggi, yaitu mencapai 6.7 (batas kategori sangat bagus adalah 3.4-6.7). Vitamin B6 bersama asam folat dapat menurunkan level homosistein. Homosistein merupakan komponen produk antara yang diproduksi selama proses metilasi. Homostein sangat berbahaya bagi pembuluh arteri dan sangat potensial untuk menyebabkan terjadinya penyakit jantung. Meskipun ikan tuna mengandung kolesterol, kadarnya cukup rendah dibandingkan dengan pangan hewani lainnya. Kadar kolesterol pada ikan tuna 38-45mg per 100gr daging. Kandungan gizi yang tinggi membuat tuna sangat efektif untuk menyembuhkan berbagai penyakit, salah satunya stroke. Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada 6th Congress of The International Society for the Study of Fatty Acids and Lipid pada Desember 2004 membuktikan bahwa ikan tuna dapat mencegah obesitas dan sangat baik untuk penderita
(23)
diabetes melitus tipe 2. Hal itu disebabkan kandungan EPA (eicosapentaenoic acid) yang tinggi pada ikan tuna dapat menstimulasi hormon leptin, yaitu sebuah hormon yang membantu meregulasi asupan makanan. Dengan regulasi tersebut, tubuh akan terhindar dari konsumsi makanan secara berlebihan, penyebab obesitas.
Menurut jurnal Cancer Epidemiology Biomarkers and Prevention dalam publikasi pada tahun 2004 menunjukkan bahwa konsumsi ikan yang kaya asam lemak (seperti ikan tuna) dapat mengurangi risiko penyakit leukemia, multiple myeloma, dan non-hodgkins lymphoma. Ikan tuna juga baik untuk mencegah kanker payudara. Hal tersebut disebabkan kandungan omega-3 pada tuna dapat menghambat enzim proinflammatory yang disebut cyclooxygenase 2 (COX 2), enzim pendukung terjadinya kanker payudara. Omega-3 juga dapat mengaktifkan reseptor di membran sel yang disebut peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR)-ã, yang bisa menangkap aktivitas sel penyebab kanker. Selain itu, omega-3 juga dapat memperbaiki DNA.
Pati Sagu
Pati sagu merupakan cadangan makanan yang terdapat di dalam biji-bijian atau umbi-umbian, dan merupakan sumber utama karbohidrat yang terdapat dalam bahan pangan. Pati atau karbohidrat secara umum merupakan bahan organik pertama yang diproduksi dari reaksi antara karbondioksida dari udara dan air dari dalam tanah, pada suatu proses fotosintesis dengan menggunakan energi radiasi sinar matahari.
Bentuk butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorphous. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin serta material antara (intermediate),seperti lipid dan protein. Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula.
Granula pati sagu berukuran lebuh besar daripada ukuran granula pati kebanyakan (Yiu et al., 2008). Bentuk granula pati sagu adalah ovoidal. Pati sagu mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi (sekitar 690C) jika dibandingkan dengan pati lainnya (Cecil et al.,1982). Hal ini disebabkan oleh populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk dan energi yang diperlukannya untuk mengembang. Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh pemanasan, pengadukan, dan konsentrasi pati. Pemanasan dan pengadukan dapat mempercepat terjadinya gelatinisasi. Makin kental larutan, suhu
(24)
gelatinisasi makin lambat tercapai. Bahkan pada suhu tertentu, kekentalan larutan pati tidak bertambah bahkan kadang-kadang turun (winarno 1997).
Menurut Ahmad et al. (1999), perbandingan amilosa dan amilopektin pada pati sagu adalah 24-31 berbanding 67-76. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lengket dan mudah menyerap air.
Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990), pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit protein. Kandungan kalori pati sagu relatif besar yaitu 353 kkal. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal. Berikut komposisi kimia pati sagu dapat dilihat pada Tabel 2 dan syarat mutu tepung sagu SNI 01-3792-1995 dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2 Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan
Komponen Jumlah
Kalori (kkal) 353
Protein (g) 0.7
Lemak (g) 0.2
Karbohidrat (g) 84.7
Air (g) 14.0
Fosfor (mg) 13
Kalsium (mg) 11
Besi (mg) 1.5
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990)
Deskripsi, Sifat Fisis dan Kimia Kitosan
Kitosan (C6H11O4N)n merupakan polimer karbohidrat (polisakaridal linear)
di dalam unit dasar suatu gula amino yang diturunkan dari deasetilasi kitin yang merupakan biopolimer alami yang berlimpah setelah selulosa (No dan Mayers 1995). Kitosan tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan. Keberadaan kitosan di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen (Sugita, 2009). Polisakarida ini adalah suatu komponen struktural yang memberikan kekuatan mekanik bagi organisme.
Kitosan atau β-1,4-glukosamin (2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa) memiliki tiga tipe gugus fungsional reaktif, yaitu sebuah gugus amino serta dua gugus hidroksil primer dan sekunder yang masing-masing berada pada posisi C-2, C-3 dan C-6. Modifikasi kimiawi dari ketiga gugus ini menyebabkan kitosan memiliki banyak kegunaan untuk diaplikasikan pada berbagai bidang (Shahidi et al.,1999).
(25)
. Gambar 2 Struktur kimia selulosa, kitin dan kitosan
Kitin dan kitosan mempunyai sifat fungsional dan sifat kimia yang unik. Kitin tidak larut dalam air (bersifat hidrofobik), alkohol serta tidak larut dalam asam maupun alkali encer. Kitin dapat larut dengan proses degradasi menggunakan asam-asam mineral pekat, seperti asam formiat anhidrous, namun tidak jelas apakah semua jenis kitin dapat larut dalam asam formiat anhidrous (Lee, 1974). Mudah tidaknya kitin terlarut sangat tergantung pada derajat kristalisasi, karena hanya ß-kitin yang terlarut dalam asam formiat anhidrous. Sifat kitin yang penting untuk aplikasinya adalah kemampuan mengikat air dan minyak yang hilang dari polimer kitin, interaksi antara ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin kuat. Namun dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang mempunyai sifat kimia yang lebih baik, yaitu kitosan. Kitosan tidak larut dalam air namun larut dalam asam, memiliki viskositas cukup tinggi ketika dilarutkan, sebagian besar reaksi karakteristik kitosan merupakan reaksi karakteristik kitin. Adapun berbagai solvent yang digunakan umumnya tidak beracun untuk aplikasi dalam bidang makanan. Solvent yang digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam format/air, asam asetat/air, asam laktat/air dan
(26)
asam glutamat/air. Kitosan yang dalam keadaan cair sensitif terhadap kekuatan ionik tinggi, daya tolak menolak antara fungsi amin menurun sesuai dengan fleksibilitas rantai kitosan dan pendekatannya dalam ruang distabilkan oleh kekuatan hidrogen yang akan menghasilkan suatu molekul yang tahan terhadap stress mekanik dan kemampuan berkembangnya bertambah (Ornum 1992). Bentuk yang spesifik dan adanya kandungan asam amino dalam rantai karbonnya menyebabkan kitosan bermuatan positif.
Tabel 3 Spesifikasi (standar mutu) kitin dan kitosan
Spesifikasi Deskripsi
Kitin Kitosan
Air (%) 2 – 10 2 – 10
Nitrogen (%) 6 – 7 7 – 8.4
Derajat Diasetilasi (%) < 10 > 70
Abu (%) < 1.0 < 1.0
Sumber : Muzzareli (1985) dalam Handayani (2004)
Oleh karena sifat-sifat fungsional yang dimilikinya, saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari kitin dan kitosan serta turunannya di industri makanan, pemrosesan makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan (Balley et al., 1977). Kitosan dapat diaplikasikan sebagai bahan antimikroba, pelapis (edible film dan edible coating), BTP (bahan tambahan pangan), perbaikan kualitas gizi pangan, pemulihan bahan-bahan padat dari limbah pengolahan makanan, penjernih air dan aplikasi lainnya (Shahidi et al., 1999). Kitosan sebagai antimikroba bersifat bakterisidal dan fungisidal. Kitosan sebagai bahan tambahan pangan antara lain berfungsi sebagai pengemulsi, bahan pengendali tekstur, penstabil dan pengental (Shahidi et al., 1999), antioksidan (Thomas 2007) serta bahan penjernih dan penurun tingkat keasaman pada jus buah-buahan (Park et al., 2005). Kitosan dilaporkan bersifat hipokolesterolemik dan hipolipidemik serta bahan enkapsulasi mikronutrien (Han et al., 2008).
Kitosan Sebagai Pembentuk Gel (Hidrogel)
Gelasi atau pembentukan gel merupakan fenomena yang menarik dan sangat kompleks. Pada prinsipnya, pembentukan gel terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi dari molekul primer, yang terentang pada seluruh volume gel dan memerangkap sejumlah pelarut di dalamnya. Jika ikatan silang pada rantai panjang polimer dalam jumlah yang cukup banyak, akan terbentuk bangunan tiga dimensi yang berkesinambungan. Molekul pelarut akan terjebak di
(27)
antaranya dan termobilisasi, sehingga terbentuk struktur kaku dan tegar yang tahan terhadap gaya atau tekanan tertentu.
Menurut depkes (1995), gel merupakan sistem semipadat yang berupa suspensi partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, yang terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel yang dapat menahan air disebut hidrogel (Wang et al.,2004). Air dalam gel ini merupakan tipe air ambibisi, yaitu air yang masuk ke dalam suatu bahan dan menyebabkan pengembangan volume, tetapi bukan merupakan komponen penyusun bahan tersebut. Berger et al., (2004) menyebutkan, bahwa hidrogel merupakan jaringan makromolekul yang dapat membengkak dalam air atau larutan biologis. Keuntungan hidrogel adalah hidrofasilitas, permeabilitas yang selektif, dapat membengkak, kapasitas air yang relatif tinggi, kekentalan seperti karet yang lunak dan ketegangan antar muka yang rendah. Reaksi unik dari suatu hidrogel adalah kemampuannya untuk menyusut, membengkak, dan membengkok. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perubahan hidrogel adalah pH, suhu, kekuatan ionik, dan tipe garam (Wang et al., 2004; Berger et al., 2004; Geimenhart, 2005).
Berdasarkan jenis ikatannya, hidrogel dapat diklasifikasikan menjadi hidrogel fisika dan kimia. Hidrogel kimia dibentuk oleh reaksi yang tidak dapat dibalik, sedangkan hidrogel fisika dibentuk oleh reaksi yang dapat dibalik. Hidrogel kimia contohnya hidrogel kitosan berikatan kovalen. Hidrogel fisika dapat berinteraksi secara ionik seperti ikatan silang ionik hidrogel. Pelarutan kitosan dalam asam asetat merupakan cara sederhana untuk membentuk hidrogel kitosan. Hidrogel kitosan yang dibentuk oleh penambahan senyawa penaut silang disebut hidrogel kitosan kovalen atau ionik. Penaut silang yang digunakan merupakan molekul berbobot molekul lebih rendah daripada bobot molekul kedua rantai polimer yang akan ditautkan.
Kitosan Sebagai Edible Coating
Edible coating merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan. Bahan ini digunakan di atas atau diantara produk dengan membungkus, merendam, mengikat, atau menyemprot untuk memberikan ketahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap air serta memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Gennadios dan Welter 1990). Edible Coating adalah produk yang ramah lingkungan tanpa efek negatif, tidak seperti pengemas sintetik yang tidak dapat didegradasi. Edible Coating salah satu alternatif dalam pengemasan alami bagi produk pangan untuk menjaga kualitas
(28)
dan memperpanjang daya awet suatu produk. Edible coating dan edible film merupakan satu terobosan baru yang dapat menjawab tantangan yang berkembang dalam melindungi makanan yang bergizi, aman, berkualitas tinggi, stabil dan ekonomis. Sebenarnya, tidak ada perbedaan yang jelas antara edible coating dan edible film. Edible coating biasanya langsung digunakan dan dibentuk di atas permukaan produk, sedangkan edible film dibentuk secara terpisah dan kemudian baru digunakan untuk membungkus produk (Krochta 1992).
Komponen yang berasal dari hidrokoloid merupakan barrier (penghalang) yang baik terhadap O2, CO2, dan lipid. Kebanyakan jenis hidrokoloid ini
mempunyai sifat mekanis yang diinginkan sehingga berguna untuk meningkatkan integritas bahan pangan yang mudah rusak (Perishable food). Wong et al (1994) menyatakan bahwa secara teoritis, bahan pelapis edible harus memiliki sifat (1) menahan kehilangan kelembapan produk, (2) memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, (3) mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi serta (4) menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan. Komponen edible coating dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu (1) hidrokoloid seperti protein, turunan selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. (2) golongan lipid seperti lilin (wax), asilgliserol dan asam lemak. (3) komposit, yaitu bahan yang mengandung komponen hidrokoloid pada lipid (Krochta et al., 1994).
Salah satu jenis polisakarida yang dapat digunakan sebagai edible coating adalah kitosan. Kualitas pelapisan kitosan tergantung dari butiran kitosan yang homogen, tingkat diasetilasi dan kelarutannya di dalam asam. Tingkat keasaman kitosan optimal pada pH 5,6 (pKa 6,2), dimana pada pH ini kitosan memiliki aktifitas biologi yang optimal (Leuba dan Stossel, 1984 dalam El Grauth et al., 1991).
Bahan dasar pembentuk pelapis edible sangat mempengaruhi sifat-sifat pelapis edible itu sendiri. Pelapis edible yang berasal dari hidrokoloid memiliki ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik,
namun memiliki ketahanan terhadap uap air yang sangat rendah akibat sifat hidrofiliknya. Oleh karena itu protein dan polisakarida tidak dapat digunakan sebagai barrier terhadap bahan yang mempunyai Aw permukaan tinggi (Wong et al 1994). Pelapisan dengan kitosan dapat menghambat atau mempertahankan
(29)
senyawa-senyawa yang dapat menimbulkan bau atau aroma makanan seperti glukosa-6-fosfat, prolina, aldehid, hidrogensulfida, minyak atsiri, metri merpaktan, dimetilsulfida, dan pirazina serta asam-asam amino lainnya pada daging ikan yang dapat bereaksi dengan gula pereduksi dalam reaksi maillard (Buckle et al.,1987).
Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim, gugus aminopolysacharida, polikation bermuatan positif yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat chitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan chitosan. kemampuan dalam hal menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba (Wardaniati, 2009), dan mampu berikatan dengan senyawa-senyawa yang bermuatan negative seperti protein, polisakarida, asam nukleat, logam berat dan lain-lain (Murtini dkk., 2008). Selain itu, molekul chitosan memiliki gugus N yang mampu membentuk senyawa amino yang merupakan komponen pembentukan protein (Irianto dkk, 2009) dan memiliki atom H pada gugus amina yang memudahkan chitosan berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen dan memiliki sifat hidrofobik (Rochima, 2009). Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan-IPB (2006) menyatakan bahwa chitosan tidak dapat dicerna tanpa adanya enzim chitonase, oleh karena itu penggunaan chitosan harus dilarutkan dahulu dalam larutan asam asetat 2 %. Hasil akhir larutan tersebut mempunyai PH 5-6.
Baldwin(1994) mengemukakan bahwa pelapis kitosan dengan konsentrasi 1-2% pada RH (Relative Humidity) di bawah 70% bersifat impermeable terhadap gas, sedangkan pada RH mencapai 100% terjadi penetrasi gas O2 dan CO2 masing-masing 44 µl/cm2/jam dan 3 µl/cm2/jam.
Selanjutnya dikemukakan bahwa kitosan dapat dilalui uap air dengan kecepatan 0.8 mg/cm2/jam.
(30)
Keamanan Kitosan
Winterowd dan Sandford (1995), telah melaporkan nilai keamanan kitosan dengan menentukan nilai Lethal Dosage (LD50)-nya, yaitu 16.5 – 17.9
g/hari/kg berat badan tikus dan menganjurkan konsentrasi kitosan yang diberikan adalah kurang dari 15% dari total makanan yang dikonsumsi karena tidak ditemukan adanya efek samping yang merugikan (Hirano 1996 dalam Hardjito 2006).
Hennen (1996) menjelaskan faktor keamanan kitosan dengan nilai LD50
16 g/hari/kg berat badan tikus. Tikus bukan manusia, sehingga untuk tujuan keamanan, data yang diperoleh dari tikus dibagi 12 untuk memperoleh nilai ekuivalen pada manusia, sehingga untuk keamanan manusia Acceptable Daily Intake (ADI) relatif adalah 1.33 g/kg BB/hari, artinya bila manusia memiliki berat badan 60 kg, maka efek kitosan akan menjadi toksik bagi orang tersebut bila dikonsumsi > 79 g/hari, namun untuk lebih aman lagi, jumlah tersebut dihitung dibawah tingkat 10% menjadi 71 g/hari.
Koide (1998) menjelaskan beberapa efek samping yang dapat terjadi bila mengkonsumsi kitosan berlebihan. Kitosan adalah suatu polisakarida yang yang membentuk gel dalam lambung yang bersifat asam. Kitosan memiliki sifat dapat mengikat lipida dan mineral, sehingga berpotensi pula mengikat vitamin larut lemak seperti A, D, E dan K. Defisiensi vitamin tersebut dalam tubuh dapat merugikan dalam jangka panjang. Kitosan dapat mempengaruhi metabolisme tulang karena mengurangi kalsium dan mengabsorbsi vitamin D, sehingga tidak dianjurkan oleh anak usia < 2 tahun, wanita yang sedang hamil dan menyusui, orang yang memiliki penyakit saluran pencernaan dan lansia beresiko.
(31)
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu mulai april 2011 sampai dengan juni 2011 di Kampus IPB Dramaga Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan dan Percobaan Makanan, Laboratorium Penilaian Organoleptik, Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Laboratorium Sanitasi dan Keamanan Pangan Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia dan Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Bahan
Bahan–bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan kitosan dan larutan kitosan, yaitu kulit udang kering, larutan HCL 1 N, NaOH 3.5 N, dan NaOH 50%, asam asetat 1% dan akuades. Selain bahan – bahan tersebut, dibutuhkan juga bahan untuk pembuatan empek-empek, yaitu ikan tuna tongkol segar, tepung tapioka, air, dan garam serta bahan analisis kimia yang terdiri dari pelarut heksana, K2SO4, HgO, H2SO4, HCL, natrium hidroksida-natrium tiosulfat, asam
borat, KBr, tablet Kjeldahl, H3BO3, metil merah, metil biru dan juga bahan analisis
mirobiologi yaitu media Plate Count Agar (PCA) dan NaCL. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat pembuatan kitosan dan edible coating, alat pengolahan produk, analisis kimia (uji proksimat), uji mikrobiologi, dan analisis fisik. Alat-alat yang dipakai dalam pembuatan larutan kitosan dan edible coating antara lain timbangan analitik, gelas ukur, tabung ukur. Peralatan pengolahan produk yaitu pisau, talenan, baskom (sedang dan besar), saringan, blender, sendok, piring, mangkok, panci, penggorengan, spatula, timbangan digital dan Chiller. Seperangkat peralatan laboratorium untuk analisis kimia seperti pemanas Kjeldahl lengkap, labu kjeldahl, perangkat alat destilasi, buret, perangkat alat ekstraksi soxlet, penangas uap, timbangan analitik,oven, desikator, cawan (stainless steel, alumunium, nikel atau porselen) lengkap dengan tutupnya, penjepit cawan, timbangan analitik, tanur pengabuan, kertas saring whatman, pH meter dan magnetic stirrer. Seperangkat alat untuk analisis mikrobiologi seperti timbangan analitik, tabung reaksi, gelas ukur,
(32)
erlenmeyer, pipet 1 ml, cawan petri, tissue kering, semprotan alkohol, autoclaft, vortex dan bunsen.
Metode Penelitian
Tahapan penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian lanjutan.
1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian Pendahuluan terdiri dari 2 tahap yaitu (I) Pembuatan empek-empek dengan formulasi kitosan sebagai pembentuk gel dan pemilihan sampel empek-empek terpilih I dengan melakukan uji organoleptik I, (II) Penggunaan kitosan sebagai edible coating pada empek-empek terpilih I dan pemilihan sampel empek-empek terpilih II dengan melakukan uji organoleptik II dan uji fisik sensori.
Tahap I
Berikut adalah formulasi empek-empek dengan penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel.
Tabel 4 Formulasi empek-empek menggunakan kitosan sebagai pembentuk gel
Bahan Sampel Empek-empek
Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 5 Satuan
Kitosan 0 0,1 0,2 0,3 0,4 %
Pati sagu 225 225 225 225 225 G
Tepung terigu
25 25 25 25 25 G
Ikan Tuna 250 250 187,5 187,5 125 G
Garam 1 1 1 1 1 Sdt
Vetsin ¼ ¼ ¼ ¼ ¼ Sdt
Gula pasir 1 1 1 1 1 Sdt
Bawang putih
3 3 3 3 3 Siung
Air 50 50 50 50 50 Ml
Minyak goreng
1 1 1 1 1 Sdm
Pembuatan empek-empek dengan memformulasikan kitosan sebagai pembentuk gel dilakukan melalui 3 tahapan yakni pembuatan larutan kitosan, pembuatan adonan 1 yang dinamakan bleng/biang dengan komposisi tepung terigu, garam, vetsin, gula pasir, bawang putih dan air serta adonan 2 dengan komposisi ikan tuna.
Berikut adalah skema pembuatan larutan kitosan dalam pembuatan empek-empek dengan memformulasikan kitosan sebagai pembentuk gel.
(33)
Serpihan kitosan
Penimbangan
(0.1, 0.2, 0.3, dan 0.4 gram serbuk kitosan)
Pelarutan dengan asam asetat glasial 1 % hingga terbentuk larutan tersuspensi
Pengenceran dengan akuades hingga mencapai 100 ml
Larutan kitosan
(0.1%, 0.2%, 0.3%, dan 0.4%)
Gambar 3 Diagram alir proses pembuatan larutan kitosan sebagai pembentuk gel Berikut adalah skema pembuatan adonan 1 (bleng/biang) dalam pembuatan empek-empek dengan memformulasikan kitosan sebagai pembentuk gel.
Siapkan wadah
Dimasukkan tepung terigu
Dimasukkan garam, vetsin, bawang putih yang telah dihaluskan, gula pasir
Dimasukkan larutan kitosan
Diaduk hingga tercampur merata
Ditambahan air sebanyak 50 ml dan diaduk rata
Dipanaskan hingga meletup-letup
Diangkat dan didinginkan
Ditambahkan minyak goreng 1 sdm lalu diaduk rata
Gambar 4 Diagram alir proses pembuatan adonan 1 (bleng/biang) Kitosan 0% Kitosan 0.1% Kitosan 0.2% Kitosan 0.3% Kitosan 0.4%
(34)
Berikut adalah skema pembuatan adonan 2 dalam pembuatan empek-empek dengan memformulasikan kitosan sebagai pembentuk gel.
Ikan tuna
Dipotong memanjang menjadi 2 bagian (fillet)
Dicuci dan dibersihkan
Dimasukkan 1 buah air perasan jeruk nipis
Dihaluskan dengan blender
Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan adonan 2 (ikan tuna halus) Berikut adalah skema pembentukan dan pematangan empek-empek dengan memformulasikan kitosan sebagai pembentuk gel.
Siapkan wadah
Dilakukan pencampuran adonan 1(biang/bleng) dengan adonan 2 (Ikan tuna halus)
Diaduk hingga tercampur merata
Dimasukkan pati sagu perlahan-lahan sambil diuleni hingga adonan menjadi kalis
Dibentuk empek-empek lenjeran
Direbus dalam air mendidih sampai empek-empek mengapung
Diangkat dan didinginkan
Digoreng dalam minyak panas dan ditiriskan
Dilakukan uji organoleptik I ( aroma, warna, rasa, tekstur dan penampakan) Empek-empek terpilih I
(35)
Keterangan * :
= masukan, = hasil proses
Gambar 6 Diagram alir proses pembuatan empek-empek dengan formulasi kitosan sebagai pembentuk gel
Setelah itu dilakukan uji organoleptik I yang meliputi uji skala hedonik(kesukaan) dan mutu hedonik dengan parameter rasa, aroma, warna, tekstur dan penampakan untuk menentukan formulasi empek-empek terpilih I.
Tahap II
Tahap selanjutnya adalah pembuatan empek-empek dengan memformulasikan kitosan sebagai edible coating (pelapis) yang dilakukan dengan cara pembuatan larutan kitosan yang akan digunakan sebagai pelapis empek-empek terpilih Idengan cara menimbang kitosan yang masih dalam bentuk serbuk sebanyak (1, 1.5, 2) gram, kemudian dilarutkan dengan asam asetat glasial 1 % sampai terbentuk larutan tersuspensi, lalu ditambah akuades hingga volumenya mencapai 100 ml. Skema pembuatan larutan edible coating sebagai berikut :
Serpihan kitosan
Penimbangan
(1, 1.5, 2 gram serbuk kitosan)
Pelarutan dengan asam asetat glasial 1 % hingga terbentuk larutan tersuspensi
Pengenceran dengan akuades hingga mencapai 100 ml
Larutan kitosan (1%, 1.5%, 2%)
Gambar 7 Diagram alir proses pembuatan larutan kitosan sebagai edible coating Empek-empek terpilih I lalu dilapisi (coating) dengan metode pencelupan dengan larutan kitosan 1%, 1,5%, dan 2% kemudian didinginkan lalu dilakukan uji organoleptik II yang meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan penampakan, serta uji fisik yang meliputi uji gigit dan uji lipat untuk mendapatkan empek-empek terpilih II. Skema pembuatan empek-empek dengan memformulasikan kitosan sebagai edible coating (pelapis) sebagai berikut :
(36)
Empek-empek terpilih I
Dicoating (pelapisan)
Didiamkan selama 5 menit
Didinginkan
Dilakukan uji organoleptik II (rasa, aroma, warna, tekstur, penampakan) dan uji fisik sensori (uji gigit dan uji lipat)
Keterangan * : EC = Edible Coating
= masukan, = hasil proses
Gambar 8 Diagram alir proses pembuatan empek-empek dengan formulasi kitosan sebagai edible coating
2. Penelitian Lanjutan
Penelitian lanjutan dilakukan dengan 3 tahapan yaitu (1) Analisis mikroba dengan melakukan uji kuantitatif menggunakan metode hitungan cawan (total plate count) yang meliputi pengamatan dan penentukan fase pertumbuhan serta membandingkan fase pertumbuhan mikroba pada penyimpanan suhu ruang antara empek – empek terbaik (terpilih 2) dan kontrol (tanpa perlakuan dengan penambahan kitosan), (2) Analisis kimia dan daya cerna yang meliputi uji pH (tingkat keasaman),
aw
(water activity), penetapan kadar nitrogen total (Kjeldahl), penentuan daya cerna protein In Vitro (Hsu., et al), penentuan daya cerna pati In Vitro, uji kadar air (oven), dan kadar abu (gravimetri), (3) Membandingkan tingkat penerimaan konsumen antara produk empek-empek terpilih dan produk empek-empek komersil.Uji kimia dan daya cerna dilakukan pada awal dan akhir masa penyimpanan untuk melihat pengaruh penyimpanan terhadap indikator yang diamati dan diteliti.
EC* 1% EC* 1.5% EC* 2%
(37)
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 2 X 2 dengan 2 kali ulangan. Faktor percobaan yang digunakan adalah persen konsentrasi kitosan dengan dua taraf yaitu formula kontrol dan formula terpilih, serta lama penyimpanan dengan dua taraf yaitu penyimpanan awal dan penyimpanan akhir. Adapun model perancangan percobaan yang digunakan menurut Stell dan Torrie (1989) adalah sebagai berikut :
Yijk= µ + αi+ βj+ (αβ)ij +€ijk
Dimana : i = 1,2 ; j = 1,2 ; k = 1,2 Keterangan:
Yijk : Respon pengaruh perlakuan konsentrasi kitosan ke-i dan lama
penyimpanan ke-j pada ulangan ke-k
µ : Pengaruh rata-rata umum
αi : Pengaruh perlakuan konsentrasi kitosan ke-i
βj : Pengaruh lama penyimpanan ke-j
(αβ)ij : Pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi kitosan ke-i dengan lama
penyimpanan ke-j
€ijk : Pengaruh galat percobaan
Pengolahan dan Analisis Data
Data hasil uji organoleptik satu dan dua serta uji organoleptik perbandingan dianalisis secara deskriptif berdasarkan jumlah dan skor rata-rata. Untuk mengetahui pengaruh penambahan kitosan terhadap jenis formula, data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (One-Way ANOVA). Jika hasil analisis menunjukkan pengaruh yang nyata akibat dari perlakuan yang diberikan maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Damayanthi et al., 1997).
Data hasil uji mikrobiologi empek-empek dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan SNI 7388 mengenai batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. Data analisis kimia dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Indipendent-Sample T Test) untuk melihat pengaruh penyimpanan terhadap hasil analisis kimia pada empek-empek terpilih dan kontrol. Data diolah dengan menggunakan program Microsoft Excell for Windows 2010 dan SPSS versi 16.
(38)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Penelitian PendahuluanPenelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan konsentrasi terbaik penambahan kitosan sebagai pembentuk gel dalam pembuatan empek-empek dengan konsentrasi 0%, 0.1%, 0.2%, 0.3%, dan 0.4% dengan melakukan uji organoleptik I yang meliputi uji skala hedonik I dan mutu hedonik I, setelah konsentrasi terbaik terpilih lalu dilakukan penentuan konsentrasi terbaik dalam penambahan kitosan sebagai edible coating atau pelapis dengan konsentrasi 1%, 1.5%, dan 2% dengan melakukan uji organoleptik II yang meliputi uji hedonik II dan mutu hedonik II serta uji fisik sensorik yang meliputi uji lipat dan uji gigit.
1.1 Uji organoleptik
Uji organoleptik adalah uji yang dilakukan dengan menggunakan alat indera manusia melalui rangsangan sensori. Uji ini dilakukan terhadap sampel empek-empek guna menentukan konsentrasi kitosan terpilih sebagai pembentuk gel (uji organoleptik I) dan edible coating (uji organoleptik II) serta uji organoleptik perbandingan. Panelis yang ikut serta sebanyak 30 orang panelis mahasiswa S1 IPB secara umum pada uji organoleptik I dan II. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji skala hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik. Uji perbandingan produk dilakukan dengan membandingkan produk empek-empek terpilih dengan produk empek-empek komersil. Panelis yang ikut serta sebanyak 15 orang panelis mahasiswa S1 secara umum pada uji perbandingan. Uji organoleptik perbandingan yang dilakukan adalah uji skala hedonik (kesukaan).
1.2 Uji skala hedonik (kesukaan) dan mutu hedonik
Pada uji skala hedonik (kesukaan), panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap empek-empek berdasarkan skala hedonik satu sampai sembilan (semakin besar angka maka kualitasnya semakin baik). Pada uji mutu hedonik, panelis diminta melakukan penilaian secara deskriptif guna memberikan gambaran dengan skala mutu satu sampai lima (semakin kecil angka maka kualitasnya semakin baik). Parameter produk yang diukur dengan skala hedonik dan mutu hedonik delakukan secara deskriptif yang meliputi penampakan, warna, aroma, tekstur, dan rasa dari empek-empek. Pengujian dilakukan dengan menggunakan kuisioner.
(39)
1.3 Uji fisik sensori
Uji fisik sensori yang dilakukan adalah uji gigit dan uji lipat. Uji gigit dilakukan untuk mengukur kekuatan produk empek-empek. Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu empek-empek yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan ±1 cm. Kedua uji ini memberikan taksiran secara subyektif menggunakan 30 orang panelis (bersamaan dengan uji organoleptik II).
1.1.1 Uji organoleptik I (Kitosan sebagai pembentuk gel) 1.1.1.1 Penampakan
Penampakan merupakan keadaan keseluruhan yang dilihat secara visual melalui indra penglihatan yang dapat menyebabkan ketertarikan panelis terhadap suatu produk. Dalam menilai produk komoditi pangan, cara yang masih dipakai adalah dengan menggunakan indera penglihatan. Banyak sifat-sifat produk yang dapat dilihat dengan penglihatan (Soekarto 1985).
Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap penampakan empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% sebagai pembentuk gel mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 165 dengan skor rata-rata 5.5 dengan rataan spesifikasi produk agak suka sampai suka, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada skala hedonik memberikan pengaruh nyata terhadap penampakan empek-empek (α= 0.006) dengan selang kepercayaan 0.05. Rataan uji mutu hedonik terhadap penampakan empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% sebagai pembentuk gel juga mendapatkan skor terbaik yaitu 53 dengan skor rata-rata 1.8 dengan spesifikasi produk utuh, rapi, permukaan rata, ketebalan kurang rata, tidak berlendir dan agak mengkilat, konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada uji mutu hedonik memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap penampakan empek-empek (α= 0.000) dengan selang kepercayaan 0.05.
Kitosan yang digunakan sebagai pembentuk gel mampu memberikan nilai organoleptik penampakan empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Nilai organoleptik untuk penampakan empek-empek pada penggunaan kitosan 0% (kontrol), 0.1%, 0.2%, dan 0.4% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 0.3% pada skala hedonik dan mutu hedonik, hal ini dapat dijelaskan bahwa pada prinsipnya pembentukan gel terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi dari molekul primer, yang terentang
(40)
pada seluruh volume gel dan memerangkap sejumlah pelarut di dalamnya. Jika ikatan silang pada rantai panjang polimer dalam jumlah yang cukup banyak, akan terbentuk bangunan tiga dimensi yang berkesinambungan. Molekul pelarut akan terjebak di antaranya dan termobilisasi, sehingga terbentuk struktur kaku dan tegar yang tahan terhadap gaya atau tekanan tertentu dan mempengaruhi secara nyata penampakan umum pada empek empek.
Gambar 9 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel terhadap penampakan
1.1.1.2 Warna
Penentuan bahan makanan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor, diantaranya citarasa, warna, tekstur dan nilai gizinya. Tetapi sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual, faktor warna tampil lebih dan sangat menentukan (Winarno 1992).
Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap warna empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% sebagai pembentuk gel mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 164 dengan skor rata-rata 5.5 dengan rataan spesifikasi produk agak suka sampai suka, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada skala hedonik memberikan pengaruh sangat nyata terhadap warna empek-empek (α= 0.000) dengan selang kepercayaan 0.05. Rataan uji mutu hedonik terhadap warna empek-empek dengan formulasi kitosan 0.3% sebagai pembentuk gel mendapatkan skor terbaik yaitu 53 dengan skor rata-rata 1.8 dengan rataan spesifikasi produk putih sampai putih keabuan, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk
4,4 4,3 4,7
5,5 5,4
2,9 3,2 2,8
1,8 2,1
K 0% K 0,1% K 0,2% K 0,3% K 0,4%
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi Kitosan
S
k
o
r
rat
a
-r
at
a
p
e
n
ap
ak
an
(41)
gel pada uji mutu hedonik memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap warna empek-empek (α= 0.000) dengan selang kepercayaan 0.05.
Larutan kitosan berfungsi sebagai pembentuk gel mampu memberikan nilai organoleptik warna empek-empek lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kitosan. Nilai organoleptik untuk empek empek-empek pada penggunaan kitosan 0%(kontrol), 0.1%, 0.2%, dan 0.4% lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan kitosan 0.3% pada skala hedonik dan mutu hedonik. Hal ini dapat dijelaskan karena ikan yang digunakan ketika dicampurkan dalam adonan dan dibentuk lalu direbus maka empek-empek akan tampak berwarna kecoklatan. Dengan penambahan kitosan maka warna dari empek-empek akan menjadi lebih cerah (putih sampai putih keabuan). Secara teoritis, kitosan yang dicampurkan dalam bahan pangan memiliki kemampuan menahan kehilangan kelembapan produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan (Wong et al 1994). Menurut Zheng & Zhu et al (2003), diketahui bahwa kitosan berpotensi sebagai penguat warna.
Gambar 10 Nilai rata-rata pengaruh konsentrasi kitosan sebagai pembentuk gel terhadap warna
4,3
4
4,6
5,5 5,3
4,3
3,9
3,4
1,8 2,1
0 1 2 3 4 5 6
K 0% K 0,1% K 0,2% K 0,3% K 0,4%
S
k
o
r
rat
a
-r
at
a
w
ar
n
a
Konsentrasi kitosan
(42)
1.1.1.3 Aroma
Aroma merupakan parameter yang sangat penting dalam menilai suatu bahan makanan atau produk. Tingkat kesegaran makanan dapat dirasakan dengan menggunakan indera penciuman. Kelezatan suatu makanan sangat ditentukan oleh faktor aroma. Dalam hal ini, aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari produk makanan itu sendiri (Soekarto 1985).
Rataan skala hedonik (kesukaan) terhadap aroma empek-empek tanpa formulasi kitosan (K 0%) sebagai pembentuk gel mendapatkan jumlah tertinggi yaitu 175 dengan skor rata-rata 5.8 dengan rataan spesifikasi produk agak suka sampai suka, tetapi berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada skala hedonik tidak memberikan pengaruh nyata terhadap aroma empek-empek (α= 0.670) dengan selang kepercayaan 0.05. Rataan uji mutu hedonik terhadap aroma empek-empek tanpa formulasi kitosan (K 0%) sebagai pembentuk gel mendapatkan skor terbaik yaitu 56 dengan skor rata-rata 1.9 dengan rataan spesifikasi produk sangat tercium aroma ikan sampai tercium aroma ikan, berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian kitosan sebagai pembentuk gel pada uji mutu hedonik memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap aroma empek-empek (α= 0.000) dengan selang kepercayaan 0.05.
Nilai organoleptik untuk aroma empek-empek pada penggunaan kitosan 0.1%, 0.2%, 0,3% dan 0.4% lebih rendah bila dibandingkan dengan tanpa penggunaan kitosan (kontrol) pada skala hedonik maupun pada uji mutu hedonik namun berdasarkan jumlah dan skor rata-rata yang ditentukan panelis tidak berbeda terlalu jauh. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi penggunaan kitosan maka dibutuhkan lebih banyak asam asetat untuk melarutkan kitosan untuk digunakan sebagai bahan pencampur sehingga dapat membentuk gel, di samping itu dengan adanya asam tersebut dapat meningkatkan cita rasa pangan disamping penambahan ikan dan bumbu-bumbu yang ditambahkan seperti bawang putih, merica, garam, gula pasir, dan penyedap, namun hal ini merupakan ukuran subjektif bagi panelis dan tergantung kepekaan (sensitivitas) terhadap rasa asam yang terkandung dalam bahan pangan.
(1)
Lampiran 12 Analisis sidik ragam uji perbandingan antara empek-empek terpilih dan produk empek-empek komersil
ANOVA Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Aroma Between
Groups 12.033 1 12.033 4.850 .036
Within Groups 69.467 28 2.481
Total 81.500 29
Rasa Between
Groups 3.333 1 3.333 1.120 .299
Within Groups 83.333 28 2.976
Total 86.667 29
Warna Between
Groups 19.200 1 19.200 7.239 .012
Within Groups 74.267 28 2.652
Total 93.467 29
Tekstur Between
Groups .833 1 .833 .272 .606
Within Groups 85.867 28 3.067
Total 86.700 29
Penampakan Between
Groups 5.633 1 5.633 2.057 .163
Within Groups 76.667 28 2.738
Total 82.300 29
Lampiran 13 Alur analisis kimia
a. Uji gigit (kekenyalan) (Suzuki 1981)
Uji gigit dilakukan untuk mengukur kekuatan produk empek-empek. Uji ini memberikan taksiran secara subyektif dengan 30 orang panelis. Pengujian dilakukan dengan cara memotong atau mengigit sampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 1 cm.
b. Uji pelipatan (folding test) (Suzuki 1981)
Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu empek-empek yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 1 cm. Potongan sampel tersebut diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya retakan pada empek-empek.
(2)
Kadar air (%) = ( ) ( )
( ) x 100%
Kadar bahan kering (%) = 100% - kadar air
d. Penetapan Kadar Abu Metode Gravimetri (AOAC 1995)
Cawan porselen kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit
didinginkan dalam desikator ditimbang
Sampel ditimbang dengan teliti 3 gram menggunakan cawan porselen yang telah ditimbang
Dimasukkan ke dalam oven bersuhu ± 1000C selama 5 jam
Sampel dipanaskan pada pembakar Burner dengan api sedang sampai sampel tidak berasap lagi
Cawan dipindahkan ke dalam tanur dan panaskan pada suhu 550oC sampai semua carbon berwarna keabuan
Didinginkan dalam desikator sampai suhu mencapai suhu kamar, kemudian ditimbang
Cawan porselen kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit
didinginkan dalam desikator ditimbang
Sampel ditimbang dengan teliti 3 gram menggunakan cawan porselen yang telah ditimbang
Dimasukkan ke dalam oven bersuhu ± 1000C selama 5 jam
Didinginkan dalam desikator sampai suhu mencapai suhu kamar, kemudian ditimbang berat akhirnya
(3)
(
) =
( )( )
x
100%
(
) =
( )( )
x
100%
e. Analisis nilai pH (Apriyantono et al., 1989)
f. Analisis nilai
a
w (Apriyantono et al., 1989)g. Penetapan Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (AOAC 1995)
Sejumlah kecil sampel 0,1-0,5 g gram ditimbang dipindahkan ke dalam abu Kjeldahl 30 ml
ditambahkan selenium mix ditambahkan 7 ml H2SO4
Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih
Larutan didiginkan, ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan (hati-hati tabung menjadi panas),
kemudian dinginkan.
Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi
Ditimbang sebanyak 1 gram sampel (berupa tepung yang dihaluskan), lalu ditambahkan 9 ml air destilata
Dihomogenisasikan dengan magnetic stirrer (biarkan selama 10 menit, jangan disaring)
Dilakukan pengukuran pH supernatan dengan alat pH meter
a
w meter dikalibrasi dengan menggunakan NaCl jenuh yang memiliki daya Aw sebesar 0.750Sejumlah sampel dimasukkan dalam keadaan terlarut dengan perbandingan 1 bagian sampel : 9 bagian air destilata
Ditunggu beberapa menit sampai muncul nilai Aw pada sampel yang dianalisis
(4)
Kadar protein dihitung dengan rumus:
Kadar Nitrogen (%) = ( ) , ) x 100%
Kadar Protein (%) = % nitrogen x 6,25 (faktor koreksi)
h. Penetapan Daya Cerna Protein In Vitro Dengan Tehnik Enzim (Hsu et al., 1977)
Labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian ini dipindahkan ke dalam alat destilasi
Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H2BO3
2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metil biru 0,2% dalam alkohol) diletakkan di
bawah kondensor.
Ujung tabung kondensor harus terendam dibawah larutan H3BO3
Larutan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3
Destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer
Tabung kondensor dibilas dengan air, dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama.
Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml
Dititrasi dengan HCL 0,0775 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu
Dihaluskan sejumlah sampel sampai lolos ayakan 80 mesh
Disuspensikan sampel dalam air destilata (glass distilled water) sampai diperoleh konsentrasi 6,25 mg protein/ml
Ditaruh sebanyak 50 ml suspensi sampel dalam gelas piala kecil, kemudian diatur pH-nya menjadi 8,0 dengan penambahan HCL
(5)
Daya cerna protein : Y = 210,464 – 18,103 X; Dimana Y = daya cerna protein (%)
X = pH suspensi sampel pada menit ke-10 i. Penentuan Daya Cerna Pati In Vitro
X
Sampel ditaruh dalam penangas air 370C dan diaduk (dengan magnetic stirrer) selama 5 menit
Ditambahkan 5 ml larutan multi enzim (saat penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke nol) ke dalam suspensi protein sambil
tetap diaduk dalam penangas air 370C. Catat pH suspensi sampel pada menit ke 10
Dihitung daya cerna protein sampel dengan menggunakan rumus yang telah ditetapkan
Dipanaskan suspensi tepung (1 persen dari air destilata) dalam penangas air selama 30 menit sampai mencapai suhu 900C.
Kemudian didiginkan.
Sebanyak 2 ml larutan tepung dalam tabung reaksi ditambah 3 ml air destilata dan 5 ml larutan buffer Na-fosfat 0,1 M, pH 7,0.
Kemudian diinkubasikan dalam penangas air 37OC selama 15menit
Ditambahkan 5 ml larutan enzim alfa-amilase ke dalam larutan tersebut dan diinkubasikan lagi pada suhu 370C selama 30 menit
Ditempatkan 1 ml campuran reaksi ke dalam tabung reaksi lain. Kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat, dan selanjutnya dipanaskan dalam penangas air 1000C selama 10
menit
Setelah didinginkan, campuran reaksi diencerkan dengan menambahkan 10 ml air destilata
(6)
Daya cerna pati = ( )
( )
x
100
j. Uji mikrobiologi (Total Plate Count) (Fardiaz 1989)Jumlah koloni dihitung dengan rumus:
Jumlah koloni per ml = jumlah koloni 1 Keterangan : fp : faktor pengenceran
Ditimbang 10 gram sampel disuspensikan ke dalam 90 ml larutan NaCL 0,85%
Dimasukkan 1 g sampel ke dalam cawan petri steril dan dituangi media agar MRS-A ± 15 ml
Digoyang mendatar supaya contoh menyebar rata sampai didiamkan hingga media membeku
Dilakukan inkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 370C selama 48 jam
Dihitung jumlah koloni yang tumbuh (dilaporkan sebagai jumlah koloni per gram menurut standar SPC
Warna oranye-merah yang terbentuk dari campuran reaksi diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 320 nm
Kadar maltosa dari campuran reaksi dihitung dengan meggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan cara mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas
Daya cerna pati dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni sebagai berikut