Kondisi Rumah Konsepsi Masyarakat Tentang Bersih (Studi Deskriptif Di Bantaran Rel Kereta Api Dari Jalan Bambu II Sampai Jalan Karantina)

44 dengan cara pembayaran potong gaji. Untuk itu menurut Ibu Rida Wati ia hampir tidak pernah menerima gajinya secara utuh tiap bulan. Kondisi seperti inilah yang memaksa mereka untuk tinggal di bantaran rel kereta api, sebab mereka tidak memiliki uang lebih untuk menyewa rumah atau membeli tanah di tempat lain, sedangkan disini mereka bisa hidup bebas tanpa ada biaya sewa rumah atau biaya untuk membeli tanah. Sebagian diantara mereka ada juga yang mempunyai pekerjaan sampingan, misalnya sebagai tukang botot pemulung atau tukang parkir pada malam hari. Misalnya Bapak Jefri Sitanggang, selain sebagai penjual ikan di pajak Glugur, ia juga berprofesi sebagai tukang parkir malam di Jalan Sutomo Ujung. Biasanya gaji yang dia dapatkan adalah Rp 15.000 - Rp 20.000 per malam. Namun hal ini tidak ia lakukan tiap malam, sebab ia harus bergantian dengan temannya yang lain.

3.4. Kondisi Rumah

Rumah merupakan salah satu faktor penting yang menjadi indikator tingkat kemakmuran seseorang, selain besarnya pendapatan. Rumah juga merupakan kebutuhan dasar primer yang harus dipenuhi setiap individu. Oleh karena itu, setiap individu akan selalu berusaha untuk memiliki tempat tinggal walaupun sangat sederhana. Dalam hidup bermasyarakat, tentu setiap orang ingin status sosialnya baik dimata umum. Untuk memenuhi hal itu, maka adanya tempat tinggal menjadi salah satu hal yang mendasar. Apabila seseorang atau suatu keluarga dalam hidup berumah tangga tidak memiliki tempat tinggal, maka orang tersebut akan 45 dianggap sebagai ’tuna wisma’ atau gelandangan. Hal itu berarti status sosialnya dalam hidup bermasyarakat dianggap tidak baik. Tempat tinggal penduduk yang menjadi lokasi penelitian ini berada di bantaran rel kereta api di Jalan Bambu. Pada umumnya, tempat tinggal penduduk adalah rumah milik sendiri dan sebagian lagi adalah rumah sewaan yang berada di kiri dan kanan bantaran rel kereta api. Keadaan atau kondisi rumah masyarakat ada yang sudah permanen, semi permanen, dan ada pula yang masih berupa kayu atau tepas yang terbuat dari bambu. Luas rumah mereka biasanya berkisar antara 3 x 4 sampai 3 x 6 meter. Ini sudah termasuk dapur, kamar mandi, 2 atau 1 kamar tidur, dan ruang tamu yang merangkap ruang nonton TV. Hampir sebagian besar rumah yang berada di bantaran rel kereta api di Jalan Bambu ini semi permanen, yaitu rumah yang hanya separuh bagian dindingnya yang diplester. Semua atap rumah penduduk terbuat dari seng. Langit-langit rumah penduduk tidak dibatasi dengan asbes dan rata-rata tampak kotor. Hal ini karena mereka jarang membersihkannya. Lantai rumah penduduk terbuat dari semen. Banyak lantai rumah penduduk yang sudah retak. Semua rumah penduduk yang berada di bantaran rel kereta api memiliki kamar tidur. Kamar tidur yang dimiliki rata-rata hanya dua kamar tidur, bahkan ada yang memiliki satu kamar tidur. Kamar tidur penduduk jarang dijumpai yang memiliki jendela kamar. Kamar terasa pengab dan hal inilah yang memudahkan timbulnya penyakit akibat tidak adanya sinar matahari yang masuk ke dalam kamar. 46 Luas rumah penduduk di bantaran rel kereta api di Jalan Bambu ini cenderung tidak seimbang dengan jumlah penghuni rumahnya. Seperti di rumah Ibu Rida Wati, meskipun ada lima ruangan di rumahnya, yaitu ruang tamu, dua kamar tidur, dapur, dan kamar mandi, namun kondisinya sangat sempit, tidak seimbang dengan jumlah anggota keluarganya yang terdiri dari Ibu Rida Wati dan suaminya serta empat orang anaknya. Hal inilah yang membuat dua orang anaknya tidur di luar kamar yaitu di ruang tamu yang sekaligus merangkap ruang nonton TV. Semua rumah penduduk memiliki kamar mandi dan banyak yang memiliki sumur gali. Keadaan sumur mereka banyak yang tidak memenuhi syarat, seperti tidak memiliki cincin sumur. Walaupun ada cincin sumur, tingginya tidak mencapai satu meter. Hal ini tentu membahayakan bagi mereka yang mempunyai anak kecil. Selain itu, dinding sumur tidak diplester sehingga air yang ada di lantai dapat meresap masuk ke dalam sumur. Air sumurnya pun keruh sehingga hanya digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Untuk memasak, mereka membelinya per derigen, sedangkan untuk air minum mereka membeli air minum isi ulang. Banyak rumah yang tidak memiliki WC karena di belakang rumah mereka terdapat parit besar sehingga jika mereka ingin buang air besar, mereka langsung ke parit tersebut. Hal ini tentu sangat mempengaruhi keadaan kesehatan penduduk. Mereka mengaku sering sakit-sakit perut. Hal ini diakibatkan buang air besar sembarangan yaitu di parit besar yang dipenuhi tumpukan sampah yang menyebabkan banyak lalat di sekitar rumah mereka. 47 Meskipun rumah penduduk di bantaran rel kereta api di Jalan Bambu ini semi permanen, namun peralatan elektronik rumahnya lengkap. Seperti di rumah Ibu Rida Wati, di rumahnya terdapat alat elektronik yang lengkap, seperti TV, DVD, radio, kulkas, dan dispenser. Hal ini yang membuat tagihan listrik Ibu Rida Wati melebihi Rp 100.000 bulan. Hal ini tentu tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari Ibu Rida Wati yang hanya bekerja sebagai tukang cuci yang mempunyai penghasilan rata-rata Rp 600.000 bulan dan suaminya sebagai tukang parkir yang berpenghasilan Rp 500.000-Rp 800.000 bulan, sementara empat orang anaknya semua bersekolah. Untuk menutupi kebutuhan tersebut, sering sekali Ibu Rida Wati meminjam uang majikannya dan memotong gajinya untuk bulan depan sebagai penggantinya, untuk itu ia sangat jarang sekali menerima gajinya secara penuh. Halaman rumah penduduk bantaran rel kereta api di Jalan Bambu ini umumnya digunakan untuk menjemur pakaian mereka. Ada juga sebagian yang digunakan untuk menanam sayuran seperti daun singkong. Bahkan ada yang membangun kamar mandinya di depan rumah mereka. Mereka memanfaatkan lahan yang sempit untuk hal-hal yang berguna. Pembahasan tentang rumah adalah pembahasan yang sangat rumit dan panjang, sebab rumah selain menjadi penilaian secara sosial, ia juga memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga anggota keluarga dari hal-hal yang membahayakan dan dari berbagai penyakit. Rumah adalah tempat istirahat, tempat pertama mendidik anak, dan masih banyak lagi fungsi-fungsi lainnya. Berarti rumah bukan hanya ”harus ada”, tapi juga harus diperhatikan kondisi lingkungan dan sosialnya juga. Menurut Residential Environment dari WHO pada tahun 1974 48 dalam Budiman, 2006:162 mengatakan bahwa ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar rumah dapat dibilang layak huni, yaitu: 1. Harus dapat melindungi dari hujan, panas, dingin, dan berfungsi sebagai tempat istirahat 2. Mempunyai tempat-tempat untuk tidur, masak, mandi mencuci, kakus, dan kamar mandi 3. Dapat melindungi bahaya kebisingan dan bebas dari pencemaran 4. Bebas dari bahan bangunan yang berbahaya 5. Terbuat dari bahan bangunan yang kokoh dan dapat melindungi penghuninya dari gempa, keruntuhan, dan penyakit menular 6. Memberi rasa aman dan lingkungan tetangga yang serasi. Selain itu, Budiman 2006:63 juga menambahi beberapa kriteria lain yang sangat penting diperhatikan dalam memenuhi rumah aman dan sehat yakni, tentang suhu ruangan harusnya dijaga berkisar antara 18-20 C, pertukaran udara yang cukup ventilasi udara, penerangan rumah, jumlah ruangan atau kamar yakni 5 m 2 Jika berpegang pada pendapat di atas, maka dapat disimpulkan dengan mudah bahwa rumah-rumah masyarakat yang tinggal di lokasi penelitian ini bukanlah tergolong pada rumah yang aman dan sehat layak huni, bahkan sangat jauh dari kriteria ideal di atas. Rumah mereka mungkin dapat berfungsi seperti poin pertama dan kedua, namun tidak akan poin-poin selanjutnya, belum lagi jika ditambah dengan pendapat Budiman tadi, mungkin sebagian besar diantara per orang. Lebih lanjut lagi Budiman mengatakan bahwa penghuni rumah yang sudah dewasa harus memiliki ruangan atau kamar tersendiri sehingga privasinya dapat terjaga dan adanya jaminan kebebasan bagi setiap penghuni. Rumah harus menyediakan ruang untuk bermasyarakat seperti ruang penerima tamu. Rumah juga harus ditata dengan indah dan rapi termasuk pekarangannya sehingga disukai oleh semua penghuninya. 49 penduduk Indonesia pun tidak dapat memenuhinya, konon lagi mereka yang tinggal di bantaran rel kereta api. Berikut adalah kondisi rumah masyarakat di bantaran rel kereta api di Jalan Bambu II sampai Jalan Karantina jika dibandingkan dengan kriteria rumah sehat dan aman berdasarkan penilaian WHO tahun 1974 di atas: 1. Rumah dapat melindungi dari hujan, panas, dingin, dan berfungsi sebagai tempat istirahat. 2. Mempunya tempat tidur, masak, mandi dan mencuci, memiliki kakus darurat, dan kamar mandi. 3. Tidak dapat melindungi bahaya kebisingan, karena dekat dengan lalu lintas kereta api dan juga lalu lintras jalan raya. 4. Tidak semua rumah bebas dari bahan bangunan yang berbahaya. 5. Tidak semua rumah kokoh. 6. Memberi rasa aman dan lingkungan tetangga yang serasi.

3.5. Partisipasi Masyarakat terhadap Kegiatan Kebersihan Lingkungan