Dasar Logika Fuzzy Logika Fuzzy

Untuk mengatasi proposisi-proposisi seperti itu seorang logikawan Polandia Jan Lukasiewicz pada tahun 1920-an mengembangkan logika trinilai dengan memasukkan nilai kebenaran ketiga yaitu, nilai taktentu. Logika ini bukanlah sistem logika yang baru, melainkan merupakan semacam pengembangan dari logika dwinilai, dalam arti bahwa semua kata perangkai dalam logika trinilai itu didefinisikan seperti dalam logika dwinilai sejauh menyangkut nilai kebenaran. Salah satu akibatnya tidak semua aturan logika yang berlaku dalam logika dwinilai berlaku dalam logika Lukasiewicsz itu. Logika trinilai secara umum menghasilkan logika n-nilai yang juga dipelopori oleh Lukasiewicsz pada tahun 1930-an. Nilai logika dalam logika ini dinyatakan dengan suatu bilangan rasional dalam selang [0,1] yang diperoleh dengan membagi sama besar selang tersebut menjadi n-1 bagian. Maka himpunan nilai-nilai kebenaran dalam logika n-nilai adalah himpunan n buah bilangan rasional sebagai berikut: = {0 = − 1 , 1 − 1 , 2 − 1 , … , − 2 − 1 , − 1 − 1 = 1} Nilai kebenaran tersebut juga dapat dipandang sebagai derajat kebenaran suatu pernyataan, dapat dikatakan bahwa logika dwinilai merupakan kejadian khusus dari logika n-nilai, yaitu untuk = 2. Logika n-nilai ini dapat dinyatakan dengan 2.

2.6.2 Variabel Linguistik

Suatu variabel adalah lambang atau kata yang menunjukkan kepada sesuatu yang tidak tentu dalam semesta wacananya Frans Susilo, 2006:135. Misalkan dalam prposisi: “x habis dibagi 6”, lambang “x” adalah suatu variabel dengan semesta wacana himpunan bilangan-bilangan. Suatu variabel dapat diganti dengan unsur-unsur dalam semesta wacananya, misalkan variabel “x” dapat diganti dengan bilangan 12. Variabel “x” ini disebut konstanta karena menunjukkan unsur tertentu pada semesata wacananya. Ada 2 jenis variabel dalam logika fuzzy, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1 Variabel numeris Jika semesta wacana adalah himpunan bilangan-bilangan. Misalnya pada proposisi “x habis dibagi 6”, variabel “x” dapat diganti dengan varibel numeris karena semesta wacananya adalah himpunan bilangan-bilangan. 2 Variabel linguistik Jika semesta wacana adalah kata-kata atau istilah-istilah dari bahasa sehari- hari misalnya: dingin, panas, tinggi, rendah, cepat, lambat, muda, tua, dan seterusnya. Suatu variabel linguistik adalah suatu rangkap-5, yaitu: , , , �, Di mana: x = lambang variabel. T = himpunan nilai-nilai linguistik yang dapat menggantikan x. X = semesta pembicaraan numeris dari nilai-nilai linguistik dalam T G = himpunan aturan-aturan sintaksis yang mengatur pembentukan istilah-istilah anggota T. M = himpunan aturan-aturan sistematik yang mengkaitkan istilah dalam T dengan suatu himpunan fuzzy dalam semesta X. Contoh 2.6 : Bila variabel linguistik x adalah “umur”, maka sebagian himpunan nilai-nilai linguistik dapat diambil himpunan istilah-istilah T = {sangat muda, agak muda, muda, tidak muda, tidak sangat muda, tidak sangat tua, tidak agak tua, tidak tua, tua, agak tua, sangat tua}, dengan semesta X = [0,100], aturan sintak G mengatur pembentukan istilah-istilah dalam T, dan aturan sistematik M mengaitkan setiap istilah dalam T dengan suatu himpunan fuzzy dalam semesta X. Perhatikan bahwa dalam himpunan T pada Contoh 2.6 terdapat dua macam istilah, yaitu: i. Istilah primer, misalnya: “muda”, “tua”. ii. Istilah sekunder, yang dibentuk dari istilah primer dengan memakai aturan- aturan sintaksis da lam G, misalnya: “tidak muda”, “tidak tua”, “tidak sangat muda”, “sangat tua”. Istilah-istilah sekunder itu dibentuk dengan memakai operator logika “tidak”, “dan”, “atau”, perubahan linguistik seperti: “agak”, “sangat”, dan sebagainya. Universitas Sumatera Utara