Ekstraksi Uji Sitotoksik dengan MTT Assay

23 Alfarabi, Bintang, Suryani, and Safithri 2010 menunjukkan bahwa ekstrak etanol 70 daun sirih merah memiliki aktivitas anti diabetogenik melalui aktivitas antioksidasi.

G. Ekstraksi

Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bahan alam. Prinsip ekstraksi yaitu adanya perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut. Ektraksi biasanya dimulai dengan menggunakan pelarut organik secara berurutan dengan kepolaran yang semakin meningkat. Pemilihan pelarut dilakukan berdasarkan kaidah “like dissolve like”, yaitu suatu senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan sebaliknya senyawa non polar akan larut dalam pelarut non polar. Pelarut heksan, eter, petroleum eter, atau kloroform digunakan untuk mengambil senyawa yang kepolarannya rendah sedangkan alkohol dan etil asetat digunakan untuk mengambil senyawa- senyawa yang lebih polar Ma’mun et al., 2006. Maserasi merupakan salah satu teknik penyarian yang dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Jumlah pelarut yang diperlukan cukup besar yaitu berkisar antara 10-20 kali dari jumlah sampel. Prinsip metode maserasi adalah cairan penyari menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif tersebut dapat larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dengan yang ada diluar sel, sehingga larutan yang pekat terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari 24 dengan konsentrasi rendah proses difusi. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel Ma’mun et al., 2006.

H. Uji Sitotoksik dengan MTT Assay

Sitotoksik adalah sifat toksik yang dimiliki oleh suatu senyawa tertentu terhadap sel hidup. Uji sitotoksisitas merupakan suatu uji in vitro menggunakan kultur sel untuk menentukan potensi senyawa atau ekstrak yang dapat dikembangkan sebagai obat sitotoksik Hartati et al.,2003. Penetapan jumlah sel yang bertahan hidup atau viabilitas sel pada uji sitotoksisitas dapat dilakukan berdasarkan pada parameter seperti kerusakan membran, gangguan sintesis, degradasi makromolekul, serta perubahan morfologi sel. Uji sitotoksik digunakan untuk menentukan nilai Inhibition Concentration IC 50 . Nilai IC 50 merupakan besarnya konsentrasi suatu senyawa yang menghasilkan hambatan proliferasi sel sebanyak 50 sehingga dapat menunjukkan potensi ketoksikan senyawa tersebut. Sifat sitotoksik memiliki tiga tingkatan, yaitu 1 sangat toksik dengan nilai IC 50 10 µM, 2 toksik dengan nilai IC 50 10-20 µM, 3 tidak toksik dengan nilai IC 50 20 µM. Ekstrak uji dengan nilai IC 50 dibawah 100 µgmL tetap dapat dikatakan memiliki potensi antiproliferasi dan potensi sebagai agen kemoprevensi Ernawati, 2010. Semakin besar harga IC 50 maka suatu senyawa semakin tidak toksik. Akhir dari uji sitotoksisitas adalah memberikan informasi persentase sel yang mampu bertahan hidup Doyle and Griffiths, 2000. 25 Gambar 6. Macam-macam reagen untuk deteksi viabilitas sel Doyle and Griffiths, 2000. Uji sitotoksisitas dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti Typan Blue Staining, Tritium-labeled Thymidine, dan Microculture Tetrazolium Salt MTT Nertika, 2008. Typan Blue Staining adalah metode sederhana untuk mengevaluasi integritas membran sel dengan asumsi terjadi proliferasi sel atau kematian, namun metode ini tidak sensitif dan tidak dapat disesuaikan untuk high throughput screening. Tritium-labeled Thymidine adalah metode yang dilakukan dengan mengukur penyerapan zat radioaktif pada sel. Metode ini akurat namun memerlukan waktu yang banyak dan melibatkan penanganan zat radioaktif. MTT merupakan suatu metode kolorimetrik. Prinsip dari metode MTT adalah terjadinya reduksi garam kuning tetrazolium MTT 3-4,5-dimetiltiazol-2-il-2,5- difeniltetrazolium bromida yang telah diabsorbsi ke dalam sel menjadi kristal formazan berwarna ungu yang tidak larut air oleh enzim suksinat dehidrogenase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang aktif pada sel yang masih hidup. Keuntungan dari uji MTT yaitu lebih sensitif, cepat dan akurat dibandingkan dengan metode perhitungan langsung serta tidak menggunakan isotop radioaktif. Metode MTT juga memiliki kekurangan yaitu dipengaruhi oleh 26 keadaan fisiologis sel dan variasi aktivitas dehidrogenase mitokondria dalam tipe sel yang berbeda Doyle and Griffits, 2000. Gambar 7. Mekanisme pembentukan formazan pada reaksi MTT Doyle and Griffiths, 2000. Kristal formazan yang terbentuk pada uji MTT akan diakumulasikan ke dalam sel apabila kristal formazan yang dihasilkan tidak mampu menembus membran, sehingga metode ini dapat menunjukkan aktivitas dan integritas mitokondria. Penambahan larutan stopper bersifat detergenik melarutkan kristal berwarna ini yang kemudian diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader. Intensitas warna ungu yang dihasilkan oleh pembentukan kristal formazan proporsional dengan jumlah sel hidup. Semakin banyak sel yang hidup, semakin banyak kristal formazan yang terbentuk, maka semakin tinggi nilai absorbansi yang diperoleh dan mengindikasikan mortalitas yang rendah Doyle and Griffiths, 2000.

I. Uji Apoptosis dengan Metode Double Staining

Apoptosis merupakan suatu program kematian pada sel. Pengamatan terjadinya apoptosis dapat dilakukan dengan metode morphological staining, seperti uji etidium bromida –akridin oranye EBAO, DAPI 4,6-diamidino-2 fenildol, Hoechst staining, Annexin V staining, DNA lader, Terminal deoxynucleotidyl transferase mediated dUTP Nick End Labeling TUNEL, 34,5-dimetiltiazol-2-il-2,5-difeniltetrazolium bromida MTT E,Z-5-4,5-dimetiltiazol-2-il-1,3-difenilformazan Formazan 27 Caspase-37 activity, dan ssDNA staining. Beberapa metode tersebut memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Metode Annexin V staining dan DNA lader melibatkan beberapa tahap pengerjaan, sehingga memerlukan waktu yang lama dalam melakukan uji tersebut dan beberapa prosedur dapat merusak membran sel serta mengubah distribusi populasi sel hidup, apotosis, dan nekrotik. DAPI staining, Caspase-37 activity, dan ssDNA staining hanya mendeteksi peningkatan sinyal apoptosis namun tidak dapat mengukur persentase sel hidup, apoptosis, dan nekrosis. TUNEL assay juga banyak digunakan untuk mendeteksi sel apoptosis, namun uji ini dapat memberikan sinyal positif palsu pada beberapa sel nekrotik Ribble, Goldstein, and Shellman, 2005. Double staining merupakan metode yang menggunakan akridin oranye- etidium bromida AO-EB untuk memvisualisasikan perubahan nukleus dan bentuk apoptosis sebagai karekteristik dari apoptosis. Metode ini berdasarkan pada perbedaan fluorosensi DNA pada sel yang hidup dan mati karena pengikatan akridin oranye-etidium bromida. Akridin oranye AO dapat menembus seluruh bagian sel sehingga menyebabkan nukleus inti sel tampak berwarna hijau. Sel hidup dengan membran yang masih utuh memiliki nukleus dengan warna hijau yang seragam. Etidium bromida EB hanya dapat berinteraksi dengan sel yang membrannya sudah rusak sehingga menyebabkan nukleus berwarna merah. Selama sel mengalami proses apoptosis dan membran blebbing mulai terjadi, EB dapat masuk ke dalam sel dan memberikan warna oranye. Sel yang mengalami early apoptosis akan mengalami kondensasi atau fragmentasi kromatin dan memiliki nukleus berwarna hijau terang. Sel yang mengalami late apoptosis 28 memiliki tampilan kromatin berwarna oranye yang terkondensasi dan terfragmentasi terpecah-pecah menjadi bagian yang lebih kecil sehingga terbentuk badan-badan apoptosis. Sel yang mati karena mengalami nekrosis memiliki nukleus berwarna oranye dengan struktur normal. Warna yang ditimbulkan oleh EB pada sel mati lebih dominan jika dibandingkan dengan AO sehingga nukleus pada sel mati berwarna oranye Maryati and Sutrisna, 2011.

J. Uji Imunositokimia