Kebudayaan Jawa Suku Jawa

Rasa wedi, isin, dan sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat. 3. Etika keselarasan sosial Dalam pandangan Jawa prinsip-prinsip keselarasan memang harus didahulukan terhadap hukum positif. Orang Jawa harus menerima masyarakat yang tidak lagi sesuai dengan apa yang dicitakan. Secara moral dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip keselarasan hanya berlaku prima facie, artinya bahwa secara moral suatu tindakan yang mengganggu keselarasan barangkali kadang dapat dibenarkan, bahkan secara moral dapat dituntut.

2.2.5 Kebudayaan Jawa

Dalam mistik bentuk baru ini, nampaklah sikap hidup Jawa kuno dan sikap hidup ini dapat menampakkan diri juga lewat bentuk-bentuk kebudayaan lain wayang, sastra dan musik. Salah satu aliran kebatinan yang paling terkenal adalah pangestu De Jong, 1976: 15. Dalam sikap hidup ini tiga unsur, yaitu distansi, konsentrasi dan representasi. Ciri pertama dari sikap hidup pangestu ialah distansi. Manusia ambil distansi jarak terhadap dunia sekitarnya, baik dalam aspek materiil maupun dalam aspek spirituil. Lewat tiga macam sikap manusia dapat diambil distansi terhadap dunia. Ketiga sikap ini adalah rela rila menyerahkan segala miliknya, yang kedua menerima narima dengan riang hati segala sesuatu yang menimpa dirinya, dan ketiga hidup dengan sabar dan toleransi sabar De Jong, 1976: 17. Cita-cita Pangestu adalah suatu sikap hidup yang positif arahnya; Pangestu ingin memberikan sumbangannya bagi pemecahan masalah-masalah Indonesia dalam keseluruhannya. Masalah-masalah materiil didahului oleh masalah-masalah spirituil. Agar seseorang memperoleh suatu sikap hidup yang positif, yang membangun, maka dia harus memusatkan perhatiannya terutama pada dasar dan makna kepribadiannya sendiri. Pemurnian pusat kehidupan ini diperoleh dengan makin memusatkan perhatian kepadanya. Konsentrasi tersebut nampak dengan dua macam cara, yaitu lewat askesis atau tapa dan pamudaran De Jong, 1976: 22-23. Menurut Pangestu, setiap orang yang telah mengambil jarak terhadap materi dan menemukan kekayaan batinnya, sedang dalam perjalanan menuju ke persatuan dengan Tuhan. Representasi berarti bahwa semua kewajiban yang masih perlu dipenuhi, dijalankan tanpa kritik demi keselamatan dunia. Dalam hubungan ini dua pengertian yang perlu diperhatikan adalah kuwajiban dan memayu ayuning bawana De Jong, 1976: 29-30. Nilai-nilai adalah bagian dari wujud abstrak kebudayaan yang menjadi pedoman bagi perilaku manusia. Keterkaitan antara nilai dengan sikap hidup inilah yang biasa disebut sebagai mentalitas. Salah satu sikap yang dianggap menonjol pada orang Jawa adalah ketergantungannya pada masyarakat, demikian Mulder dalam Jatman, 2011: 23. Dinyatakan bahwa kepribadian orang Jawa hampir sama sekali bersifat sosial. Seseorang adalah baik apabila masyarakatnya menyatakan demikian. Geertz dalam Jatman, 2011: 24 terkenal karena pemilahannya atas masyarakat Jawa sebagai masyarakat santri dan abangan dan priyayi. Persepsi masyarakat tentang kebudayaan Jawa agaknya condong kepada deskripsi mentalitas para priyayi ini. De Jong dalam Jatman, 2011: 24 agaknya lebih cenderung untuk memilahkan masyarakat Jawa sebagai masyarakat priyayi dan petani. Pada kaum priyayi hidup nilai-nilai yang antroposentirs sifatnya, sedangkan kalangan kaum petani hidup nilai-nilai yang kosmologis.

2.3 Kebermaknaan Hidup