dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, betapapun buruknya keadaan. Apabila mereka berada pada situasi yang tak menyenangkan atau mereka
mengalami penderitaan, mereka akan menghadapinya dengan sikap tabah serta sadar bahwa senantiasa ada hikmah yang tersembunyi dibalik penderitaannya itu.
Seseorang yang hidupnya bermakna, akan benar-benar menghargai hidup dan kehidupan karena mereka menyadari bahwa hidup dan kehidupan itu senantiasa
menawarkan makna yang harus mereka penuhi. Tindak bunuh diri sebagai jalan keluar dari penderitaan berat tidak akan terlintas di pikiran mereka.
Kemampuan untuk menentukan tujuan-tujuan pribadi dan menemukan makna hidup merupakan hal yang sangat berharga dan tinggi nilainya serta
merupakan tantangan untuk memenuhinya secara bertanggung Jawab. Mereka mampu untuk mencintai dan menerima cinta kasih orang lain, serta menyadari
bahwa cinta kasih merupakan salah satu yang menjadikan hidup ini bermakna. Penghayatan hidup bermakna merupakan gerbang ke arah kepuasan dan
kebahagiaan hidup. Artinya, hanya dengan memenuhi makna-makna potensial yang ditawarkan oleh kehidupanlah penghayatan hidup bermakna tercapai dengan
kepuasan dan kebahagiaan sebagai ganjarannya. Mereka yang menghayati hidup bermakna benar-benar tahu untuk apa mereka hidup dan bagaimana mereka
menjalani hidup.
2.3.6 Penghayatan Hidup Tanpa Makna
Bastaman 2007: 80 mengungkapkan bahwa selain kondisi hidup yang bermakna, ada pula kondisi ketika seseorang merasakan hidup yang tanpa makna.
Tidak semua orang dapat menjalani hidup yang bermakna. Ada kalanya seseorang merasakan hidupnya tidak atau kurang bermakna. Hasrat untuk mencapai hidup
yang bermakna tidak terpenuhi. Alasan-alasannya karena kurang disadari bahwa dalam kehidupan dan pengalaman masing-masing orang terkandung makna hidup
yang potensial yang dapat ditemukan dan dikembangkan. Selain itu mungkin pula pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan teknik-teknik menemukan makna
hidup belum dikuasainya. Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya
menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna meaningless, hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan dan apatis.
Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa.
Penghayatan-penghayatan yang telah digambarkan mungkin tidak terungkap secara nyata, tetapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak
yang berlebihan untuk: berkuasa the will to power, bersenang-senang mencari kenikmatan the will to pleasure termasuk kenikmatan seksual the will to sex,
bekerja the will to work dan mengumpulkan uang the will to money. Kurang berfungsinya naluri dan intuisi serta memudarnya nilai-nilai
tradisi dan agama pada orang-orang modern merupakan hal-hal yang menyuburkan penghayatan itu, di samping kurang disadarinya bahwa kehidupan
itu sendiri secara potensial mengandung dan menawarkan makna kepada mereka.
Penghayatan hidup tanpa makna ini bukan merupakan suatu penyakit, tetapi dalam keadaan intensif dan berlarut-larut tak diatasi dapat menjelmakan neurosis
noogenik, karakter totaliter dan karakter konformis. Neurosis noogenik merupakan suatu gangguan perasaan yang cukup
menghambat prestasi dan penyesuaian diri seseorang. Gangguan ini biasanya tampil dalam keluhan-keluhan serba bosan, hampa, dan penuh keputusasaan,
kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya sama sekali. Kehidupan sehari-hari dirasakan sangat rutin, dari itu ke itu saja
tanpa adanya perubahan, bahkan tugas sehari-hari pun ditanggapi sebagai hal-hal yang menjemukan dan menyakitkan hati. Lingkungan dan keadaan di luar dirinya
ditanggapi sebagai hal-hal yang benar-benar membatasi. Karakter totaliter adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk
memaksakan tujuan, kepentingan dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain. Penolakan pada berbagai masukan orang lain
dapat berbentuk penolakan secara langsung atau kelihatannya menampung, tetapi kemudian mengabaikannya. Pribadi totaliter sangat peka kritik dan biasanya akan
menunjukkan reaksi menyerang kembali secara keras dan emosional. Ancaman dan pamer kekuasaan merupakan alat pribadi totaliter untuk meraih tujuan.
Kekecewaan dan kehampaan eksistensial yang berawal dari gagalnya menemukan makna hidup dan memenuhi hasrat untuk hidup bermakna
menimbulkan perasaan tidak nyaman dan tidak aman serta ketidakpastian yang cukup intensif dan mengancam harga dirinya. Ia menganggap lingkungan sekitar
tidak dapat dijadikan pegangan sebagai sumber rasa aman dirinya. Ia mengambil
keputusan untuk mengabaikan lingkungan dan berusaha menjadikan dirinya sendiri sebagai satu-satunya andalan. Hal ini dilakukan dengan halan menetapkan
secara eksklusif dan fanatik nilai-nilai tertentu, kegiatan, kepentingan dan keinginannya yang ditetapkan sendiri dan dengan ketat dijaganya dari pengaruh
dan kritik dari orang lain. Karakter konformis adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat
untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan
kepentingan dirinya sendiri. Karakter konformis berasal dari kekecewaan dan kehampaan hidup sebagai akibat tidak berhasilnya memenuhi motivasi utama,
yaitu hasrat untuk hidup bermakna. Kondisi ini jelas menimbulkan penghayatan tidak aman dan tidak nyaman serta ketidakpastian dalam hidupnya dan berusaha
untuk menyeimbangkan kembali dirinya. Karakter konformis menjadikan norma, nilai-nilai dan tuntunan lingkungan sebagai andalan dan pedoman hidupnya. Ia
selalu tunduk dan taat pada tuntunan lingkungan dan bersedia untuk mengabaikan kepentingan, kehendak dan pemikiran sendiri.
Pribadi seorang karakter konformis terkesan sebagai pribadi yang mudah sekali terpengaruh oleh situasi dan kondisi sosial mulai pemikiran, sikap,
pendirian, gaya hidup, dan cara penampilan diri. Ia merasa tak nyaman jika berbeda dengan kebanyakan orang serta sensitif dan cemas terhadap penilaian
orang. Dalam tataran logoterapi, neurosis noogenik, karakter totaliter, dan karakter
konformis dianggap sebagai gambaran dan bentuk-bentuk patologi kepribadian.
2.4 Subjective Well-Being