Kebermaknaan Hidup dan Subjective Well-Being pada Lansia

2.5 Kebermaknaan Hidup dan Subjective Well-Being pada Lansia

Subjective well-being merupakan persepsi seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup dan merepresentasikan dalam kesejahteraan psikologis Ariati, 2010. Diener 2002, dalam Erlangga, 2010 mendefinisikan subjective well-being sebagai bentuk evaluasi mengenai kehidupan individu yang bersangkutan. Bentuk evaluasi dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: penilaian secara kognitif, seperti kepuasan hidup; dan respon emosional terhadap kejadian, seperti merasakan emosi yang positif. Subjective well-being penting bagi lansia karena dengan seseorang memiliki penilaian yang lebih tinggi tentang kebahagiaan dan kepuasan hidup mereka cenderung bersikap lebih bahagia dan lebih puas Muba, 2009 dalam Erlangga, 2010. Jika lansia memiliki subjective well-being maka dapat membuat lansia menikmati kehidupannya. Diener, Suh, Oishi dalam Eid dan Larsen 2008: 45, menjelaskan bahwa individu dikatakan memiliki subjective well-being tinggi jika mengalami kepuasan hidup, sering merasakan kegembiraan, dan jarang merasakan emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan atau kemarahan. Sebaliknya, individu dikatakan memiliki subjective well-being rendah jika tidak puas dengan kehidupannya, mengalami sedikit kegembiraan dan afeksi, serta lebih sering merasakan emosi negatif seperti kemarahan atau kecemasan. Logoterapi mengajukan pandangan bahwa makna hidup tidak identik dengan kebahagiaan ataupun kekayaan dan kekuasaan walaupun semuanya ada hubungannya. Kebahagiaan adalah ganjaran dari usaha menjalankan kegiatan- kegiatan yang bermakna, sedangkan kekayaan dan kekuasaan merupakan salah satu sarana yang dapat menunjang kegiatan-kegiatan bermakna dan mungkin pula dapat menunjang kegiatan-kegiatan bermakna dan mungkin pula dapat menjadikan hidup ini lebih berarti. Kekayaan dan kekuasaan dapat membantu menimbulkan kemudahan- kemudahan dalam hidup, asal pemilik kekayaan dan kekuasaan itu mampu menggunakannya dengan baik dan benar dalam niat, tujuan dan cara-cara pelaksanaannya. Dengan demikian, hidup yang bermakna adalah corak kehidupan yang sarat dengan kegiatan, penghayatan, dan pengalaman-pengalaman bermakna yang apabila hal itu terpenuhi akan menimbulkan perasaan-perasaan bahagia dalam kehidupan seseorang. Menurut William S. Sahakian dalam Bastaman, 2007: 55 dengan melibatkan diri dalam kegiatan yang bermakna, seseorang akan menikmati kebahagiaan sebagai hasil sampingan. Secara umum para pakar sepakat bahwa pada kaum wanita tua dimulai saat henti haid atau menopause, sekitar usia 50-an. Sementara itu, para pria umumnya dimulai saat terjadi gejala-gejala fisik seperti kulit menjadi kering dan mengerut, rambut menipis dan rontok, gigi mulai tanggal satu per satu, daya ingat dan fungsi panca indra melemah, stamina menurun dan mulai gampang sakit. Gejala-gejala ini biasanya tidak ada pada masa-masa sebelumnya, bahkan terkadang muncul secara bersamaan. Masa tua memberikan kesempatan untuk lebih peduli pada kondisi kesehatan pribadi, tersedia waktu lebih banyak untuk membina hubungan lebih akrab dengan kerabat, sahabat dan keluarga besar. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang sarat dengan kegiatan kerja, pada masa tua pun memberikan waktu untuk belajar dan melakukan berbagai hobi yang tak sempat dilakukan sebelumnya, lebih termotivasi untuk merenungi pengalaman hidup dan melaksanakan ibadah secara lebih mendalam. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa antara kebermaknaan hidup dengan subjective well-being memiliki kaitan. Penulis di sini ingin mencari bagaimana gambaran kebermaknaan hidup dan gambaran subjective well-being pada lansia bersuku Jawa di Provinsi Jawa Tengah. 64

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian indigenous psychology. Menurut Kim dan Berry dalam Rarasati, dkk. 2012 menjelaskan indigenous psychology yaitu suatu pendekatan yang menekankan pada studi terhadap perilaku dan cara berpikir seseorang dalam konteks budayanya. Yang dan Lu 2007: 4 Indigenous psychology merupakan salah satu disiplin ilmu yang berusaha untuk memahami fenomena psikologis dalam konteks budaya. Dua pendapat tersebut pada dasarnya menyebut indigenous psychology adalah suatu bentuk pendekatan untuk memahami fenomena psikologi dalam konteks budaya tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi indigenous untuk mengetahui gambaran kebermaknaan hidup dan gambaran subjective well-being pada lanjut usia bersuku Jawa di Provinsi Jawa Tengah.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan survei. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok Singarimbun Effendi, 1989: 3. Pengertian survei dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi.