3.2
Melalui aljabar sederhana dapat diperoleh : 3.3
di mana L adalah lag operator dan FL adalah bentuk polinomial dari lag operator. Komponen siklikal [y
t
- τ
t
] dapat dihitung melalui : 3.4
di mana CL adalah bentuk polinomial dari lag operator. Nilai λ yang digunakan
untuk data triwulanan adalah 1600 Supriana, 2004. Secara operasional dekomposisi dengan Hodrick-Prescott filter dilakukan
dengan menggunakan bantuan perangkat lunak software Microfit.
3.2. Analisis Pola dan Karakteristik
Business Cycle
Fluktuasi siklikal dideskripsi berdasarkan struktur korelasi silang cross correlation dari komponen siklikal. Hal ini dilakukan untuk mengetahui fakta
empirik variabel ekonomi makro yang diobservasi. Jika komponen siklikal dari variabel ekonomi makro X
t
, t = 1,...,t, maka koefisien korelasi silang antara X
t
dengan komponen siklikal PDB dalam t, adalah ρ j, j ε 0,±1,±2,.... Nilai ρ j
untuk j = 0, memberikan informasi arah dan tingkat hubungan dari variabel relatif terhadap PDB.
[ ]
2 2
2 1
1 −
− −
− −
− +
− −
t t
t t
t t
y τ
τ τ
τ λ
τ ]
[ 2
] [
4
1 1
2 1
1
= −
− −
+ −
− −
−
+ +
+ −
+ t
t t
t t
t t
t
τ τ
τ τ
λ τ
τ τ
τ λ
t t
L L
L L
y τ
λ λ
λ λ
4 1
6 4
2 1
2
+ −
+ +
− =
− −
⎣ ⎦
t
L L
τ λ
1 1
1
2 1
2
+ −
− =
− t
L F
τ =
[ ][
]
t HP
t
y L
F L
F C
1
1
−
− =
Untuk j=0, koefisien korelasi silang dapat menunjukkan fase pergerakan phase shift komponen siklikal variabel X
j
relatif terhadap siklikal PDB. X
j
disebut leading lagging siklikal terhadap PDB jika ׀ ρj ׀mencapai maksimum
untuk j 0 j 0. Jika nilai maksimum secara absolut dicapai untuk j = 0, maka dikatakan X
j
co-incident dengan siklus variabel referensi. Korelasi silang yang digunakan adalah korelasi silang Pearson.
Volatilitas suatu variabel, dapat dilihat berdasarkan jauhnya simpangan amplitudo siklus variabel trend jangka panjangnya. Dalam analisisnya
digambarkan oleh besarnya standar deviasi variabel.
3.3. Metode Analisis
Business Cycle Indonesia 3.3.1.
Vector Autoregression VAR dan Vector Error Correction Model VECM
Penelitian ini akan menggunakan metode Vector Autoregression VAR, yaitu suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi
dari konstanta dan nilai lag dari peubah itu sendiri serta nilai lag yang lain dari peubah lain yang ada dalam sistem itu sendiri. Jika data yang digunakan stasioner
dan tidak terkointegrasi, maka metode VAR yang digunakan. Tetapi, jika data yang digunakan tidak stasioner namun terkointegrasi maka Vector Error
Correction Model VECM yang digunakan. Keuntungan VAR dibanding metode ekonometri konvensional Laksani,
2004 adalah sebagai berikut : 1.
Mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks multivariat, sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan
variabel di dalam persamaan itu. Jadi, dengan metode VAR ini dapat menangkap berbagai pola hubungan kausalitas antara variabel dalam sistem,
dalam hal ini hubungan langsung maupun hubungan tak langsung. 2.
Uji VAR yang multivariat bisa menghindari parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan.
3. Metode VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem
persamaan, dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogenous. 4.
Karena bekerja berdasarkan data, metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan palsu spurious
variable endogen and exogen di dalam model ekonometri konvensional terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang
salah. 5.
Karena VAR merupakan sub topik time series dalam ekonometri, maka analisa secara dinamis antar variabel sangat diperlukan. Dengan metode
dekomposisi varians dan Impulse Response Function, hasil empiris dalam model VAR dapat menjelaskan pergerakan variabel dalam mempengaruhi
seluruh variabel lain, atau pergerakan seluruh variabel lain dalam mempengaruhi satu variabel.
Sebagai metode ekonometrika, VAR juga tidak luput dari berbagai kelemahan, yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Model VAR boleh dikatakan terlalu ambisius bila argumentasi yang
digunakan dalam menyusun teori baru ataupun menguji teori lama berdasarkan data time series yang ada. Karena betapapun hasilnya dari model
VAR, seorang peneliti dapat membenarkan dan membantah teori lama ataupun mengusulkan teori baru berdasarkan hasil empiris yang diperoleh.
2. Metode VAR tidak mempermasalahkan perbedaan eksogenitas dan
endogenitas. Hal ini akan menyebabkan berbagai implikasi kebijaksanaan yang kurang tepat bila semata-mata didasarkan pada hubungan antar variabel
dalam sistem. Adapun beberapa tahap yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya:
1. Uji kestasioneran data dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller ADF
Test. Jika nilai ADF statistiknya lebih kecil dari MacKinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner.
2. Apabila hasil dari uji ADF mengandung akar unit atau dengan kata lain data
tidak stasioner pada tingkat level, maka harus dilakukan penarikan differensial sampai data stasioner, dilakukan pengujian pada tingkat first difference atau
second difference. Metode VAR dapat dikombinasikan dengan Vector Error Correction Model VECM.
3. Uji lag optimal VAR. Pada tahap pertama, akan dilihat panjang lag
maksimum sistem VAR yang stabil. Pada tahap kedua, panjang lag optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria Schwarz Information Criterion SC.
Setelah mendapatkan ordo lag optimal, maka dalam penggunaan VECM ordo optimal dikurangi 1 menjadi k-1.
4. Uji kointegrasi dilakukan dengan pendekatan Johansen dengan melihat nilai
Trace Statistic.
5. Impulse Response Function IRF dan Variance Decomposition VD untuk
melihat perilaku dan peran shock masing-masing variabel terhadap variabel tertentu.
3.3.2. Uji
Unit-Root
Sebelum dilakukan analisis, maka data yang digunakan dalam penelitian ini harus diuji terlebih dahulu. Pengujian ini disebut pengujian awal pre-test. Uji
ini dilakukan karena asumsi yang digunakan dalam model bahwa data deret waktu yang digunakan adalah stasioner atau I0. Kenyataannya, umumnya data deret
waktu variabel ekonomi makro tidak stasioner atau mengandung unit-root. Uji unit-root dalam penelitian ini dilakukan dengan menerapkan uji ADF Augmented
Dickey Fuller test. Jika nilai ADF statistiknya lebih kecil dari MacKinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut stasioner.
Namun jika nilai ADF statistiknya ternyata lebih besar dari nilai MacKinnon Critical Value berarti data tersebut tidak stasioner. Jika variabel yang
digunakan tidak stasioner maka harus didifferensiasi terlebih dahulu. Jika variabel mencapai I1, maka variabel tersebut harus didifferensiasi terlebih dahulu
sebanyak satu kali untuk menjadi stasioner. Jika variabel mencapai I2, maka variabel tersebut harus didifferensiasi sebanyak dua kali untuk menjadi stasioner.
Thomas 1997 menyebutkan bahwa pada dasarnya Augmented Dickey Fuller ADF test melakukan regresi terhadap persamaan berikut :
t r
t r
t t
t
u X
X X
X +
Δ +
+ Δ
+ +
= Δ
+ −
− −
− 1
1 2
1 1
... φ
φ φ
α 3.5
Hipotesis yang diuji adalah : H
: =
φ data tidak stasioner
H
1
: 0 φ
data stasioner Dimana
1 ...
2 1
− +
+ +
=
r
φ φ
φ φ
. Nilai φ diestimasi melalui metode Ordinary
Least Squares OLS dengan statistik uji yang digunakan, adalah :
φ
φ s t
hit
= 3.6
Dengan :
φ
s = Simpangan baku dari
φ Jika nilai
hit
t lebih kecil dari nilai MacKinnon Critical Value, maka keputusan
yang diambil adalah tolak H . Sehingga, dapat disimpulkan bahwa data tersebut
stasioner.
3.3.3. Penentuan Lag Optimal
Terdapat beberapa tahap bentuk pengujian yang akan dilakukan untuk memperoleh panjang lag optimal. Pada tahap pertama akan dilihat panjang lag
maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse
roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil stasioner jika seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan
semuanya terletak di dalam unit circle. Pada tahap kedua, panjang lag optimal akan dicari dengan menggunakan
kriteria informasi Akaike Information Criteria AIC dan Schwarz Information Criteria
SIC yang dirumuskan sebagai berikut :
3.7
3.8 dengan adalah jumlah residual kuadrat, sedangkan T dan q masing-masing
merupakan jumlah sampel dan jumlah variabel yang beroperasi dalam persamaan. Untuk
menetapkan tingkat
lag yang paling optimal, model VAR atau
VECM harus diestimasi dengan berbeda-beda tingkat lag-nya, kemudian dibandingkan nilai AIC dan SICnya. Nilai AIC dan SIC yang paling kecil dipakai
sebagai patokan pada tingkat lag paling optimal, karena nilai AIC atau SIC minimum menggambarkan residual error yang paling kecil.
3.3.4. Uji Hubungan Kointegrasi
Uji kointegrasi digunakan untuk memperoleh hubungan jangka panjang antara variabel-variabel dalam model. Enders 2004 dalam bukunya Applied
Econometric Time Series menyatakan bahwa kointegrasi merujuk pada kombinasi
linier antara variabel-variabel yang tidak stasioner. Engle dan Granger 1987 dalam Enders 2004 mengemukakan bahwa
hubungan kointegrasi hanya bisa dibentuk oleh variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama. Selain itu, menurut Engle dan Granger komponen-
komponen dari vektor ,...,
,
2 1
nt t
t t
x x
x x
= dikatakan terkointegrasi pada order
d,b, jika : 1.
Semua komponen-komponen dari
t
x terintegrasi pada order d.
T q
T e
q AIC
i
2 log
2
+ ⎟
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎜ ⎝
⎛ =
∑
1 log
− ⎟
⎠ ⎞
⎜ ⎝
⎛ +
= T
T q
q AIC
q SIC
2
∑
i
e
2. Terdapat vektor
,..., ,
2 1
n
β β
β β =
sehingga kombinasi linier dari
nt n
t t
t
x x
x x
β β
β β
+ +
+ =
...
2 2
1 1
terintegrasi pada order d-b dengan b0 Pada dasarnya terdapat beberapa cara untuk melakukan uji kointegrasi,
yaitu: uji kointegrasi Engle-Granger dan uji kointegrasi Johansen. Namun, yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang disebutkan terakhir yaitu uji
kointegrasi Johansen. Prosedur pengujian kointegrasi Johansen merupakan generalisasi
multivariat dari Dickey-Fuller Test Enders, 2004. Seperti halnya the augmented dickey fuller test, model multivariat juga dapat digeneralisasi menjadi :
t p
t p
t t
t
X A
x A
x A
x ε
+ +
+ +
=
− −
−
...
2 2
1 1
3.9 Persamaan 3.9 juga dapat ditransformasi menjadi :
t i
t p
i i
t t
x x
x ε
π π
+ Δ
+ =
Δ
− −
= −
∑
1 1
1
3.10 di mana :
1
∑
=
− −
=
p i
i
A I
π
∑
+ =
− =
p i
j j
i
A
1
π
Pengujian dilakukan untuk mengevaluasi rank dari matriks π . Rank dari
matriks π merupakan jumlah vektor kointegrasi yang independen. Jika
rank π =0, maka matriks bernilai nol dan persamaan 3.10 merupakan
persamaan VAR biasa dalam bentuk first difference. Jika rank π =1, terdapat
satu vektor kointegrasi dan bagian
1 −
t
x π
merupakan error correction terms.
Jumlah vektor kointegrasi dapat diperoleh dengan melihat signifikansi dari characteristic roots dari
π . Pengujian jumlah characteristic roots dapat dilakukan dengan menggunakan dua statistik uji, yaitu :
ˆ 1
ln
1
∑
+ =
− −
=
n r
i i
trace
T r
λ λ
3.11 ˆ
1 ln
1 ,
1 max
+
− −
= +
r
T r
r λ
λ 3.12
di mana :
i
λˆ = Estimasi nilai characteristic roots yang disebut eigenvalues yang diperoleh dari estimasi matriks
π T = Jumlah observasi yang digunakan
3.3.5. Vector Error Correction Model
Model VECM disusun apabila rank kointegrasi r lebih besar dari nol. Model VECM ordo p dan rank kointegrasi r dituliskan sebagai :
3.13
di mana :
= vektor kointegrasi berukuran rx1, = vektor adjustment berukuran rx1,
∑
+ =
− =
∗
p i
j i
Aj
1
φ
t t
p t
t
y y
A yt
ε φ
π +
Δ +
+ =
Δ
− −
= ∗
−
∑
1 1
1 1
αβ π =
β α
Pendugaan parameter dilakukan dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum. Model VECM dapat dituliskan dalam model VAR
dengan menguraikan nilai diferensiasi : 3.14
3.3.6. Variance Decomposition
Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan variance error dipengaruhi oleh
variabel-variabel lainnya adalah Variance Decomposition VD. Metode ini dapat mencirikan struktur dinamis dalam model VAR. Dengan metode ini pula dapat
dilihat kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang.
Variance Decomposition merinci ragam dari peramalan galat menjadi
komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Dengan menghitung persentase kuadrat prediksi galat k-tahap ke
depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain maka akan dapat dilihat seberapa besar error peramalan variabel tersebut disebabkan oleh
variabel itu sendiri dan variabel lainnya.
3.3.7 . Impulse Response Function
Seperti telah disebutkan di muka, VAR merupakan teknik yang membiarkan data menentukan sendiri sruktur dinamis dari sebuah model,
sehingga setelah estimasi dilakukan, adalah penting untuk mencirikan struktur
1 −
− =
Δ
t t
t
y y
y
dinamis tersebut secara jelas. Sayangnya, koefisien hasil estimasi model VAR sulit diartikan dan kurang dapat diandalkan.
Untuk dapat mencirikan struktur dinamis dalam model, menurut Sims, cara yang paling baik adalah dengan menganalisa respon dari model sistem
terhadap kejutan shocks. IRF dapat melakukan hal ini dengan menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan
dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya.
3.3.8. Jenis dan Sumber Data
Jenis data time series yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Statistika Ekonomi Keuangan Indonesia SEKI, dan
International Monetary Fund IMF. Data-data yang digunakan adalah output
PDB, tingkat suku bunga deposito berjangka 3 bulan 3 month time deposits, US Treasury Bills Rate 3 Month
, nilai tukar, uang beredar M2, uang kartal, uang giral, dan Indeks Harga Konsumen. Data yang digunakan merupakan data statistik
triwulanan mencakup periode 1990-2005, disajikan pada Lampiran 1.
3.3.9. Model Penelitian VAR
Hubungan kausalitas antarvariabel dalam sistem persamaan multivariat lebih rumit dibandingkan pada sistem persamaan bivariat. VAR membuat seluruh
variabel menjadi endogenous dan menurunkan distributed lag-nya. Spesifikasi model VAR dengan variabel yang dipakai secara umum dan ordo VAR sebanyak
k adalah sebagai berikut :
VAR k, Z
t
= A + A
1
Z
t-1
+ A
2
Z
t-2
+ ... +A
k
Z
t-k
+ ε
t
3.15 di mana :
Z
t
= vektor peubah tak bebas y1,t,.......yn,t berukuran n x 1 A
= vektor intersep berukuran n x 1 A
1
= matriks parameter berukuran n x n untuk setiap i = 1,2,...,p ε
t
= vektor sisaan ε1,t........εn,t berukuran n x 1
Model VAR dalam penelitian ini merupakan adopsi dari model Supriana 2004. Spesifikasi model VAR Business Cycle Indonesia adalah :
rw
t
= a
11
L a
12
L a
13
L a
14
L a
15
L a
16
L rw
t
e
1t
y
t
= a
21
L a
22
L a
23
L a
24
L a
25
L a
26
L y
t
e
2t
q
t
= a
31
L a
32
L a
33
L a
34
L a
35
L a
36
L q
t
+ e
3t
r
t
= a
41
L a
42
L a
43
L a
44
L a
45
L a
46
L r
t
e
4t
m
t
= a
51
L a
52
L a
53
L a
54
L a
55
L a
56
L m
t
e
5t
p
t
= a
61
L a
62
L a
63
L a
64
L a
65
L a
66
L p
t
e
6t
di mana : m
t
: uang beredar milyar rupiah y
t
: PDB milyar rupiah p
t
: tingkat harga r
t
: tingkat suku bunga dalam negeri desimal rw
t
: tingkat suku bunga luar negeri desimal q
t
: nilai tukar RpUS Data
time series yang digunakan dalam penelitian ini dibagi atas dua
kelompok: kelompok pertama, untuk analisis indikator business cycle, kelompok kedua untuk analisis model VAR. Untuk kelompok yang pertama, tidak dilakukan
pengujian awal pre-test untuk data ini. Data langsung diestimasi untuk memisahkan komponen trend dan siklusnya. Data ini berasal dari variabel-
variabel: PDB riil berdasar harga konstan 1993, nilai tukar rupiah terhadap US Dollar, uang kartal, uang giral, M2 digunakan sebagai pendekatan terhadap
permintaan uang, tingkat suku bunga deposito berjangka 3 bulan 3 month time deposits
, suku bunga jangka pendek AS US Treasury Bills Rate 3 Month, dan Indeks Harga Konsumen 2000=100.
Sesuai dengan pendapat Sims dalam Nurdin 2003, semua data estimasi yang dipergunakan VAR adalah dalam bentuk logaritma, kecuali data yang sudah
dalam bentuk persen seperti tingkat suku bunga. Salah satu alasannya adalah untuk memudahkan analisis, karena baik dalam impulse response maupun
variance decomposition pengaruh shock dilihat dalam persentase. Berdasarkan hal
tersebut, maka dalam penelitian ini kecuali variabel tingkat suku bunga dalam negeri dan tingkat suku bunga luar negeri, semua diubah dalam bentuk logaritma.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini disajikan hasil dianalisis karakteristik fakta yang telah teruji secara empirik main stylized fact fluktuasi siklikal variabel makro
ekonomi Indonesia antara tahun 1990 dan 2005. Secara spesifik tujuan tulisan ini adalah untuk menggambarkan evolusi trend dan fluktuasi siklikal PDB,
mengestimasi komponen trend dan siklikal variabel ekonomi makro, serta menggambarkan secara luas keterkaitan siklikal indikator ekonomi makro lainnya
dengan siklikal PDB pada periode di atas. Metode yang digunakan untuk mengestimasi komponen trend dan siklikal adalah Hodrick-Prescott filter dan
untuk menganalisis keterkaitan siklikal indikator ekonomi digunakan korelasi silang.
4.1. Trend dan Siklikal
Business Cycle Indonesia 4.1.1. Trend dan Siklikal Variabel Referensi
Untuk melihat karakteristik fluktuasi suatu perekonomian, maka penting untuk mendefinisikan magnitude ekonomi makro. Magnitude ekonomi makro
ditentukan oleh siklus variabel referensi. Penelitian ini juga memilih PDB riil sebagai variabel referensi, karena PDB riil dianggap sebagai salah satu alat ukur
aktivitas ekonomi yang paling akurat dalam level agregat. Data triwulanan PDB riil Indonesia dalam bentuk logaritma dari tahun 1990 sampai tahun 2005 dapat
dilihat dalam Gambar 3. Grafik menunjukkan bahwa dari segi magnitude, PDB riil Indonesia selama 20 tahun 1990.I-1998.I terus mengalami peningkatan.
Namun, mulai triwulan kedua tahun 1998 sampai triwulan kedua tahun 1999 mengalami penurunan, setelah itu kembali mengalami peningkatan. Grafik juga
menunjukkan adanya fluktuasi musiman seasonal oscillation.
Gambar 3. Grafik log PDB riil Indonesia Triwulanan
Kehadiran fluktuasi musiman merupakan karakteristik umum yang dijumpai dalam aktivitas ekonomi yang umumnya cenderung menguat dalam
triwulan keempat dan terkompensasi dengan penurunan selama triwulan pertama dalam satu tahun kalender. Adanya perilaku musiman ini mempunyai implikasi
penting baik secara empirik maupun teoritik. Seperti telah dijelaskan sebelumnya dalam metode penelitian, dengan menggunakan teknik HP filter komponen
siklikal diekstraksi dari time series yang telah lebih dahulu dikeluarkan dari pengaruh fluktuasi musiman seasonally adjusted.
Gambar 4. Grafik Trend PDB
Gambar 5. Grafik Siklikal PDB
Hal ini dilakukan dengan menggunakan metode yang secara eksplisit dimasukkan sebagai karakteristik spesifik dari proses generasi data. Sebagai
hasilnya, estimasi yang diperoleh telah mengeliminir pengaruh musiman ini. Metode yang digunakan untuk mengeliminir pengaruh musiman dari variabel
makro ekonomi adalah seasonally adjusted dari X-12 dalam software E-Views. Gambar 4 dan 5 masing-masing merupakan plot dari trend PDB dan
siklikal PDB. Trend PDB menunjukkan perekonomian Indonesia melalui tiga fase, yaitu fase peningkatan sampai periode tahun 1995, kemudian diikuti dengan
fase perlambatan hingga akhir tahun 1999, dan peningkatan kembali pada awal tahun 2000. Hasil filtering ini dapat menjadi aba-aba bagi Indonesia bahwa jika
dilakukan dekomposisi PDB dari komponen yang bersifat musiman dan irreguler, maka pada tahun 1995 sebenarnya sudah dimulai fase perlambatan. Fase ini
berbeda dari fase sebelumnya. Jika hal ini dicermati, maka seharusnya sejak tahun 1995 telah dapat dilakukan evaluasi terhadap kebijakan yang sudah dilakukan dan
perencanaan dapat dilakukan untuk mengantisipasi perlambatan pertumbuhan ekonomi ini.
Plot estimasi siklikal PDB selama periode penelitian menunjukkan terdapat beberapa deviasi. Setelah tahun 1998 menunjukkan bahwa PDB
mengalami penurunan yang tajam sebagai dampak dari krisis ekonomi. Sementara, pada masa-masa sebelumnya terlihat bahwa fluktuasi makro ekonomi
Indonesia tidak terlalu volatil. Pergerakan PDB tidak berada jauh di sekitar garis trend. Keadaan perubahan ini selanjutnya akan terlihat pada seluruh variabel
makro ekonomi lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa sebelum krisis terjadi, indikator PDB Indonesia kelihatan cukup baik. Banyak kalangan yang tidak mengira krisis akan
berdampak demikian parah. Pada saat krisis, terjadi kontraksi yang dalam dan belum pernah terjadi sebelumnya. Pada saat yang sama trend PDB yang selama ini
terus meningkat terlihat berubah menjadi mendatar. Keadaan perubahan ini selanjutnya akan terlihat terjadi pada seluruh variabel makro ekonomi lainnya.
Seluruh variabel berubah dari pola awalnya akibat terjadinya krisis ekonomi Supriana, 2004.
Hasil dari analisis menunjukkan bahwa titik balik turning point dari business cycle
Indonesia dilampaui setelah satu tahun. Titik balik bawah through tercapai pada triwulan keempat tahun 1998. Memasuki tahun 1999 terlihat telah
terjadi recovery. Setelah pada tahun 1998 mengalami kontraksi terdalam di mana pertumbuhan ekonomi mencapai -13.1. PDB mulai bergerak naik kembali ke
trendnya semula. Pada awal tahun 1999 pertumbuhan ekonomi sebesar 1.34. Pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh naiknya permintaan domestik,
khususnya konsumsi.
4.1.2. Trend dan Siklikal IHK
Trend Indeks Harga Konsumen IHK mengalami tiga fase, yang pertama meningkat perlahan, kedua mulai tahun 1997 meningkat tajam, dan ketiga
menurun dengan tajam pada awal tahun 2002. Trend dan siklikal variabel ini seperti dijelaskan sebelumnya berubah secara tajam setelah terjadi krisis ekonomi
1997.
Sebelum tahun 1995 terlihat siklikal indeks harga berada di sekitar garis trend dengan deviasi yang kecil sekali lebih kecil dari 5 , kecuali pada saat
krisis, deviasi mencapai 30 .
Gambar 6. Grafik Trend Indeks Harga Konsumen
Gambar 7. Grafik Siklikal Indeks Harga Konsumen
Jika kita kaitkan dengan siklikal PDB pada masa sebelum krisis, terlihat bahwa siklikal indeks harga lebih kecil deviasinya. Terlihat bahwa ketika PDB
Indonesia sampai pada titik balik bawah through, indeks harga mencapai titik balik atas peak untuk kembali ke trendnya semula. Bagaimana korelasi antara
PDB dan indeks harga akan dianalisis pada bagian selanjutnya. Pada tahun 1995 terlihat siklikal indeks harga mulai terkontraksi dan
berlanjut menjadi kontraksi yang sangat dalam hingga awal tahun 1998. Siklikal ini akhirnya mengalami ekspansi yang sangat tinggi pada saat krisis pertengahan
tahun 1998. Pada saat yang sama PDB Indonesia terkontraksi sangat dalam. Ekspansi ini berhenti setelah mencapai titik balik atas peak dan bertahan
mendatar pada triwulan ketiga tahun 1998. Mulai kontraksi kembali pada akhir tahun yang sama. Kontraksi yang terjadi terlihat melampaui garis trend ke arah
negatif, yang menjadi tanda telah terjadi deflasi. Hal ini menunjukkan terjadinya kenaikan harga yang tidak terkendali pada saat krisis. Terjadinya deflasi
menunjukkan trend indeks harga telah kembali ke kondisi normal. Setelah tahun 2001 siklikal indeks harga mencapai titik balik bawah through kembali ke garis
trendnya.
4.1.3. Trend dan Siklikal Variabel Luar Negeri
Siklikal nilai tukar Indonesia tidak terlalu berfluktuasi sampai tahun 1995. Trend nilai tukar terlihat melalui beberapa fase. Mendatar mulai tahun 1990-1995.
Setelah tahun 1995 trend nilai tukar menunjukkan peningkatan yang tajam.
Peningkatan nilai tukar yang tajam inilah yang memacu terjadinya krisis ekonomi Indonesia.
Gambar 8. Grafik Trend Nilai Tukar
Gambar 9. Grafik Siklikal Nilai Tukar
Siklikal nilai tukar juga menunjukkan beberapa pola. Setiap kali siklus mulai turun nilai tukar terapresiasi, terdepresiasi kembali melalui intervensi
pemerintah. Intervensi dilakukan dengan kebijakan devaluasi. Devaluasi ini dimaksudkan untuk mengendalikan interval band batas bawah maupun batas atas
fluktuasi nilai tukar. Setelah tahun 1997 hingga tahun 2001 terjadi beberapa fluktuasi kemudian kembali ke tingkat semula sebelum akhirnya terdepresiasi
pada tingkat paling tinggi pada tahun 1997-1998. Nilai tukar ini akhirnya menurun kembali dimulai tahun 2000 dan terjadi fluktuasi kecil beberapa kali dan
mulai stabil pada akhir tahun 2001. Dari grafik dapat dilihat bahwa nilai tukar tetap fixed exchange rate secara perlahan didepresiasikan, baru kemudian
terlihat bahwa nilai tukar lebih fluktuatif.
4.1.4. Trend dan Siklikal Agregat Moneter
Dibanding dengan variabel makro ekonomi lainnya, ageregat moneter Indonesia terlihat paling berfluktuasi. Trend dan siklikal agregat moneter
disajikan dalam Gambar 10-17. Trend variabel ini meningkat terus menerus mendekati trend linier
sempurna. Siklikal penawaran uang mengalami beberapa kali ekspansi dan kontraksi yang cukup tajam. Kontraksi uang giral yang terlihat dalam dimulai
pada tahun 1991, berkaitan dengan adanya kebijakan mengenai pengetatan likuiditas. Uang kartal juga mengalami penurunan dan penawaran uang money
supply mengalami hal yang sama.
Gambar 10. Grafik Trend Uang Kartal
Gambar 11. Grafik Siklikal Uang Kartal
Gambar 12. Grafik Trend Uang Giral
Gambar 13. Grafik Siklikal Uang Giral
Gambar 14. Grafik Trend M2
Gambar 15. Grafik Siklikal M2
Gambar 16. Grafik Trend Suku Bunga Domestik
Gambar 17. Grafik Siklikal Suku Bunga Domestik
Trend dan siklikal suku bunga jangka pendek Indonesia digambarkan dalam Gambar 16 dan 17. Trend suku bunga cenderung mendatar dan mengalami
peningkatan sejak tahun 1995 serta mengalami puncaknya pada tahun 1998 dan kemudian setelah tahun 1998 menunjukkan trend yang menurun. Siklikalnya
terlihat mengalami ekspansi pada tahun 1990 dan kontraksi tahun 1991. Ekspansi yang sangat tajam terlihat pada tahun 1997 pada saat krisis, dan kontraksi kembali
pada tahun 1998. Suku bunga perbankan Indonesia berada dalam posisi tertinggi di kawasan
Asean dimaksudkan untuk mencegah pelarian modal capital flight. Hal ini dilakukan mengingat pelarian modal merupakan salah satu faktor penting yang
mendorong terjadinya ketidakstabilan ekonomi Indonesia. Krisis nilai tukar yang terjadi beberapa bulan pada tahun 1994, telah
memaksa pemerintah melakukan kebijakan uang ketat dengan menaikkan suku bunga hingga tahun 1995. Setelah itu suku bunga domestik menurun kembali.
Peningkatan suku bunga yang sangat tinggi terjadi pada tahun 1997 pada saat krisis terjadi. Ketika nilai tukar menjadi tidak terkendali, pemerintah berupaya
mengendalikan depresiasi nilai tukar yang sangat dalam melalui peningkatan suku bunga. Kebijakan ini terpaksa dilakukan apalagi didukung secara penuh oleh IMF
sebagai dokter bagi krisis Indonesia. Walaupun kebijakan ini merupakan disinsentif bagi investasi dan menggoyahkan sektor riil, tetapi berlanjut hingga
tahun 1998. Setelah tahun 1998 suku bunga kembali ke tingkat semula, selanjutnya
terlihat kecenderungan suku bunga yang terus menurun setelah tahun 1998.
Kebijakan ini terus berlanjut hingga tahun 2001, di mana fluktuasi agregat moneter telah mulai menurun.
Pergerakan suku bunga domestik selain dipengaruhi oleh faktor-faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, terutama perubahan tingkat
suku bunga Bank Sentral AS Federal Reserve. Pada periode ini Bank Sentral AS terus menerus menekan tingkat suku bunga ke tingkat yang paling rendah dalam
rangka memberikan stimulus bagi perekonomiannya. Hal ini mempengaruhi pertumbuhan suku bunga Indonesia yang cenderung menurun setelah tahun 1998.
4.2. Karakteristik dan Pola
Business Cycle Indonesia
Untuk melihat bagaimana hubungan PDB dengan variabel ekonomi lainnya yang disebut sebagai regularitas empirik empirical regularities
digunakan struktur korelasi silang komponen siklikal. Hasil estimasi koefisien korelasi silang antara variabel ekonomi makro dengan komponen siklikal PDB riil
dapat dilihat pada Tabel 3. Suatu
variabel dikatakan
leading indicator jika mencapai titik balik
sebelum the rest of the economy sehingga indikator ini dikatakan memiliki daya prediksi predictive power. Indikator ini dapat dikatakan sebagai barometer
business cycle . Co-incident indicator bergerak pada waktu yang bersamaan
dengan ekonomi dan lagging indicator menunjukkan bahwa ekonomi telah melalui titik balik. Sistem indikator business cycle memberikan informasi awal
tentang siklus. Fase pergerakan variabel-variabel makro ekonomi Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 3. Korelasi Silang Komponen Siklikal dengan Siklus Pengeluaran Periode 1990.I-2005.III
Korelasi silang antara PDB dengan variabel x dalam :
Variabel:
t-5 t-4 t-3 t-2 t-1 t
t+1 t+2 t+3 t+4
t+5 PDB -0.31
-0.07 0.22
0.54 0.81
1.00 0.81
0.54 0.22
-0.07 -0.31
IHK 0.31 0.22 0.08 -0.13 -0.42 -0.67 -0.81 -0.77 -0.59 -0.31 -0.01
Nilai Tukar
0.18 0.26 0.31 0.32 0.25
-0.008 -0.32
-0.55 -0.72 -0.69
-0.54 Uang
Kartal -0.07 -0.06 -0.02 0.03 0.005 -0.16 -0.32 -0.37 -0.41
-0.31 -0.18 Uang
Giral 0.026 0.10 0.20 0.35 0.39 0.33 0.05 -0.15 -0.24 -0.27
-0.26 M2 0.28
0.24 0.20
0.09 -0.06
-0.32 -0.55
-0.60 -0.58
-0.46 -0.24
Suku Bunga
Dalam Negeri
0.54 0.66 0.70 0.51 0.22 -0.12
-0.44 -0.65 -0.77
-0.71 -0.51
Suku Bunga
Luar Negeri
-0.54 -0.52 -0.39 -0.20 0.004 0.17 0.28 0.32 0.31 0.30 0.24
Tabel 4. Pola Fluktuasi Siklikal Ekonomi Indonesia
Cross Correlation dengan Siklus Bisnis
Variabel Fase Pergerakan
Volatilitas Lead +Lag - Coefficient
IHK Leading
Medium +1 0.81 Nilai Tukar
Leading Tinggi +3 0.72
Uang Kartal Leading
Medium +8 0.47 Uang Giral
Lagging Rendah -1 0.39
M2 Leading
Medium +2 0.60 Suku Bunga
Dalam Negeri Leading
Medium +3 0.77 Suku Bunga
Luar Negeri Lagging
Rendah -5 0.54
Tabel 5. Korelasi Uang dengan Siklus Bisnis Sebelum dan Setelah Krisis Ekonomi
Cross Correlation Variabel Waktu Fase
Pergerakan Lead
+Lag - Coefficient M2
Sebelum Krisis Leading
+6 0,41 M2 Setelah
Krisis Co-incident
0 0,46
Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa selama periode penelitian yaitu tahun 1990.I-2005.III korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia berbentuk
leading indicator , dengan nilai koefisien korelasi yaitu 0,60. Sementara itu, dari
Tabel 5 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan bentuk korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia sebelum dan setelah krisis ekonomi terjadi.
Korelasi antara uang dengan siklus bisnis di Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi berbentuk leading indicator. Sementara, setelah krisis ekonomi terjadi,
korelasi antara uang dengan siklus bisnis berbentuk co-incident indicator dengan nilai koefisien korelasinya berturut-turut adalah 0,41 dan 0,46.
4.3. Hasil Pengujian Awal