Pengertian Berhenti Membayar PENGATURAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN

38

BAB II PENGATURAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN

DI INDONESIA

A. Pengertian Berhenti Membayar

Pengertian keadaan “berhenti membayar” tidak dijumpai perumusannya secara jelas baik di dalam Undang-undang, yurisprudensi maupun pendapat para sarjana. Berikut ini diuraikan pengertian “berhenti membayar” menurut peraturan dalam hukum kepailitan. 1. Menurut Faillissmentsverodening Berlakunya Faillissmentsverodening disingkat Fv di Indonesia pada tanggal 1 November Tahun 1906 berdasarkan Stb. 1906-348 mencabut peraturan kepailitan sebelumya yaitu wetboek van koophandel WvK Buku III dan Reglement op de Rechtsverordering Rv Buku III bab VII. Timbulnya keadaan insolvensi debitur menurut Faillissmentsverodening adalah karena debitur berhenti membayar. Namun ukuran atau standar dalam keadaan berhenti membayar tersebut masih bervariasi dikarenakan tidak ditemukannya batasannya dalam Undang-undang. Dasar insolvensi menurut Faillissmentsverodening terdapat pada Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Setiap yang berutang debitor yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 39 berpiutang kreditor, dengan keputusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit”. Gambaran pailit dalam Faillissmentsverodening ini tidak dilengkapi dengan defenisi atau apa yang menjadi kriteria dari “berhenti membayar”. Hal ini dengan sendirinya melahirkan keputusan-keputusan yang beragam tentang standar terjadinya keadaan “berhenti membayar”. Keanekaragaman pengertian tentang berhenti membayar dapat dilihat dari putusan-putusan pengadilan dibawah ini : 76 a. Putusan Hoge Raad 17 Desember 1920 N.J. 1921 No. 276 berbunyi : Bahwa keadaan berhenti membayar dapat ada, juga bilamana kredit- kredit yang lain tidak mendesak dibayarnya atau memiliki eksekusi di luar kepailitan. b. Putusan Hoge Raad 3 Juni 1920 N.J. 1921 Bahwa membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang, membayar berarti memenuhi suatu perikatan ini dapat diperuntukkan untuk menyerahkan barang. c. Putusan Hoge Raad 15 Mei 1925 N.J. 1925 No. 995, Berbunyi : Keadaan bahwa aktiva boedel kemudian terbukti cukup untuk membayar semua hutangnya, itu tidak menghalangi bahwa debitur sekarang dalam keadaan berhenti membayar. 76 Victor M Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta :Rineka Cipta, 1993, hal 40-41. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 40 d. Putusan Hoge Raad 6 Desember 1946 N.J. 1946 No 233, berbunyi : Bahwa keadaan berhenti membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan bahwa debitor tidak membayar hutang- hutang itu. e. Putusan Hoge Raad 10 April 1959 N.J. 1959 No. 232, berbunyi : Bahwa tidak membayar hutang pemohon yang sudah dapat ditagih dan disamping itu adanya hutang-hutang yang lain yang terbukti dari laporan kurator, membuktikan adanya keadaan berhenti membayar. Berdasarkan keputusan pengadilan diatas dapat disimpulkan bahwasanya tidak ada pertimbangan oleh hakim bahwa debitor baru sekali atau dua kali tidak membayar utangnya. Jadi, dengan adanya bukti sumir terhadap debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh temponya dapat dijatuhkan pailit. Sedangkan menurut Tirtaatmidjaja bahwa debitor yang baru sekali saja menolak pembayaran maka hal itu belumlah merupakan suatu keadan berhenti membayar. 77 2. Menurut UU No. 4 Tahun 1998 Pada Bulan Juli 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia. Krisis ini diawali dengan melemahnya nilai tukar rupaih terhadap dollar AS. Hal tersebut menyebabkan utang-utang para pengusaha Indonesia yang dalam valuta asing terutama yang kreditornya dari luar negeri menjadi sangat tinggi. Akibatnya banyak debitor yang 73 M. H. Tirtaatmadjaja, Pokok-pokok Hukum Perniagan, Jakarta :Djambatan, 1970, hal 228. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 41 tidak dapat membayar utang-utangnya. Dihadapkan pada situasi tersebut, para kreditor mulai mencari sarana untuk dapat menagih utang-utangnya. Peraturan yang ada pada waktu itu Faillissmentverordening sangat tidak dapat diandalkan karena dianggap lama prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya. Maka masyarakat kreditor terutama dari luar negeri menghendaki agar peraturan kepailitan secepatnya diganti atau diubah. Keinginan ini didukung oelh IMF selaku pemberi utang kepada Indonesia. IMF berpendapat bahwa salah satu upaya krisis moneter Indonesia tidak terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri. Oleh karena itu IMF mendesak pemerintah Indonesia agar segera mengganti atau mengubah peraturan kepailitan Faillissmentverordening yang berlaku, sebagai sarana untuk menyelesaikan utang-utang pengusaha Indonesia kepada para kreditornya. Sebagai hasil desakan tersebut, akhirnya pemerintah turun tangan dengan lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4Tahun 1998 tentang Undang-undang Kepailitan. Namun, Perpu No. 1 Tahun 1998 bukanlah pengganti Peraturan Kepailitan sebelumnya, melainkan hanya sekedar mengubah atau menambah saja. Perubahan Perpu tersebut diharapkan sebagai dewa penolong bagi lancarnya proses ekonomi, dan bukan bagi kreditor semata. Melihat penanganan kasus-kasus kepailitan menimbulkan kekecewaan dimasyarakat. Sebenarnya untuk mengatasi pelaksanan Perpu yang kurang baik tidaklah terlalu sukar, karena orang dengan mudah dapat menunjuk peraturan yang dilanggar. 78 78 Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima : Hukum Kepailitan atau Kepailitan Hukum, Jakarta : Kompas, 2003, hal 69. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 42 Sebaliknya untuk mengatasi kepailitan hukum tidaklah mudah. Tidak cukup lagi pengadilan melihat pada pasal peraturan tertulis yang bersangkutan. Badan peradilan terutama MA sebagai benteng terakhir pencari keadilan, perlu memperhatikan keadaan lingkungan bisnis sekitar gugatan kepailitan bersangkutan. Badan Peradilan perlu memperhitungkan untung-rugi cost benefit analysis akibat putusannya, misalnya, apakah putusan tersebut memperlancar atau menghambat proses ekonomi dan apakah keputusan tersebut tidak merugikan para stakeholder 79 Timbulnya dasar insolvensi menurut UU No 4 Tahun 1998 tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 yaitu : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditor.” Dasar insolvensi diartikan sebagai “tidak membayar”, Pradjoto mengartikannya sebagai : 80 a. Menolak untuk membayar b. Cidera janji atau wanprestasi 79 Ibid. 80 Pradjoto, “RUU Kepailitan ditinjau dari Aspek Perbankan”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT, Jakarta 27-28 Juli 1999, hal 5. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 43 c. Keadaan tidak membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya. d. Tidak diharuskan debitor memiliki kemampuan untuk membayar onvermogen dan memikul seluruh utangnya. e. Istilah tidak membayar harus diartikan sebagai Naar de letter, yaitu debitor pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali berhenti membayar utangnya. Permasalahan yang menarik tentang “tidak membayar” terjadi pada kasus PT. AJMI. Yang menjadi permasalahan adalah, tidak membayarnya debitor itu karena debitor benar-benar tidak mampu membayar atau tidak mau membayar padahal debitor masih memiliki kekayaan yang cukup besar untuk membayar utang-utangnya. Sutan Remy berpendapat bahwa, hukum kepailitan bukan mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar kewajibannya kepada salah satu kreditornya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolvensi. 81 Seorang debitor berada dalam keadan insolvensi hanyalah apabila debitor tidak mampu secara finansial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian besar para kreditornya. Seorang debitor tidak dapat dikatakan telah dalam keadaan insolven apabila hanya kepada seorang kreditor saja debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada para kreditor-kreditor lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik. 81 Sutan Remy Syahdeini II, Hukum Kepailitan Memahami Faillissmentsverordening jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta :Pustaka Utama Grafiti, 2003, Hal 71. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 44 Oleh karena itu yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitor tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk ketidakmampuan debitor tersebut untuk melunasi uatang-utangnya seperti yang telah diperjanjikan. 82 3. Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Pada tanggal 18 Oktober 2004, Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang UUK dan PKPU. Dengan tujuan untuk memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat yang jika ditinjau dari segi materi masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Perubahan yang dilakukan meliputi perubahan terhadap substansi, prosedur dan belum adanya kemungkinan untuk melakukan restrukturisasi utang. Timbulnya dasar insolvensi menurut UU No 37 Tahun 2004 tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yaitu : “ Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih , dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya” 82 Ricardo Simanjuntak, “Rancangan Perubahan Undang-undang Kepailitan dalam Perspektif Pengacara Komentar terhadap perubahan Undang-undang Kepailitan”, Artikel Utama, Jurnal Hukum Bisnis Vol 17, Januari 2002, hal 6. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 45 Dasar insolvensi diartikan sebagai “tidak membayar lunas” utangnya. Pasal ini merupakan salinan dari Pasal 1 ayat 1 UUK yang mengatur ketentuan yang sama. Bedanya terletak pada kata “lunas” . keadaan tidak membayar lunas diartikan sebagai sudah pernah membayar sekali, dua kali dan seterusnya tetapi tidak seluruhnya. Atau debitor sudah membayar pokoknya tetapi belum membayar bunganya. Ketentuan “tidak membayar lunas” menurut UUK dan PKPU pada prinsipnya sama dengan “keadaan berhenti membayar” utang-utangnya menurut Fallissment verordening. Karena berhenti membayar berarti sudah pernah membayar namun suatu saat berhenti. 83

B. Pernyataan Pailit