Kelemahan-kelemahan Hukum Kepailitan PENGATURAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN

51 untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja, atau dengan kata lain kepailitan tersebut berlaku hanya terhadap harta kekayan debitor saja. 95 2. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik. Bila ada perjanjian timbal balik belum dipenuhi pada saat putusan pernyataan pailit, maka para pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat meminta kepastian kepada kurator tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tesebut dalam suatu waku yang disepakati bersama. 96 3. Akibat kepailitan terhadap perjanjian hak jaminan Dengan dikeluarkannya putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, setiap kreditor yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. 97 Namun pelaksanaannya ditangguhkan selama 90 hari terhitung sejak tanggal pailit ditetapkan. 98

D. Kelemahan-kelemahan Hukum Kepailitan

1. Kelemahan Faillissmentsverordening a. Proses pemeriksaan kepailitan memakan waktu yang lama Faillissmentsverodening tidak ada menentukan berapa lama batasan waktu untuk menyelesaikan perkara kepailitan. Henry Lie A Weng menyebutkan bahwa 95 Pasal 21 ayat 1 UUK dan PKPU. 96 Pasal 36 UUK dan PKPU. 97 Pasal 55 UUK dan PKPU 98 Pasal 56 ayat 1 UUK dan PKPU. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 52 peraturan-peraturan tersebut tidak praktis, rumit dan berlangsung terlalu lama dan memakan biaya yang tidak murah. 99 Lamanya perkara kepailitan berlangsung karena kadangkala terdapat putusan yang berbeda yaitu pada satu sisi putusan pailit dan pada sisi lain putusan perdata yang saling berbeda. Dalam perkara kepailitan, debitor mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit dan pengadilan mengabulkan permohonan pailit. Pada saat perkara pailit sedang berjalan, kreditor mengajukan gugatan perdata agar debitor membayar utangnya. Keputusan Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan kreditor dan menghukum debitor membayar utangnya kepada kreditor. Akhirnya timbul permasalahan siapa yang akan melaksanakan keputusan tersebut. 100 Dengan adanya keputusan yang berbeda dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum atau adanya dualisme hukum. Hal ini dikarenakan, dalam peraturan Faillissmentverordening tidak mengatur batasan mengenai kewenangan menangani suatu perkara. Hal inilah yang merupakan suatu dasar alasan untuk dilakukannya perubahan pada peraturan kepailitan yang lama. 99 Henry Lie Aweng, Tinjauan Pasal demi Pasal Fv Faillissmentsverodening S. 1905 No. 217 jo. S. 1906 No 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UUNo. 4 Tahun 1998, Medan, hal 4. dikutip dari rigkasan Disertasi Sunarmi, Op. Cit, hal 41 100 Ibid, hal 42. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 53 b. Pemeriksaan pembukuan debitor jarang dilaksanakan Setelah kemerdekaan, hakim tidak melakukan pemeriksaan atas pembukuan debitor. Pemeriksaan tidak dilakukan meskipun para kreditor mengajukan keberatan dan meminta kepada majelis hakim untuk memeriksa pembukuan debitor tetapi diabaikan. Putusan hakim hanya didasarkan atas bukti-bukti yang diajukan oleh debitor. 101 c. Gijzeling ditiadakan Meskipun Faillissmentsverodening mengatur tentang lembaga paksa badan, namun dalam prakteknya hal ini tidak dilaksanakan oleh pengadilan. Lembaga paksa badan ini selama masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda selalu dilaksanakan oleh Pengadilan. Namun setelah kemerdekaan lembaga paksa badan ini tidak dilaksanakan. Hal ini didasarkan oleh keluarnya Surat Edaran No. 2 Tahun 1964, tanggal 22 Januari 1964, No. 82P374M1964, tentang “penghapusan sandera Gijzeling” dan Surat EdaranNo. 04 Tahun 1975, tanggal 1 Desember 1975, No. M.A.Pemb102075, tentang “sandera Gijzeling” yang melarang untuk melaksanakan lembaga paksa badan. Larangan ini didasarkan pertimbangan bahwa lembaga tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Hal ini jelas sangat merugikan kepentingan kreditor.bahkan hakim mengabulkan permohonan pailit yang diajukan debitor, meskipun debitor tidak 101 Ibid. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 54 pernah hadir di persidangan. Hal ini terjadi dalam perkara Ponimin alias Amin V. Tjong Kim Siong alias Asiong, dkk, No4PdtFailit1993PN.Medan. Putusan hakim atas permohonan pailit dalam perkara jelas memihak kepentingan debitor. Hakim tetap mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh debitor meskipun diketahui debitor melarikan diri. Apalagi pembelaan hakim terlihat dalam pertimbangan hukumnya yang menyebutkan “selain itu, ketidakhadiran debitor dipersidangan, karena debitor telah diadukan kepada kepolisian sehingga dicari oleh pihak yang berwajib”. Hakim juga seharusnya melindungi kepentingan kreditor. 102 2. Kelemahan UU No. 4 Tahun 1998 a. Pengertian utang tidak komprehensif Kelemahan dari UUK adalah tidak memberikan defenisi yang jelas tentang pengertian “utang” sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat 1 UUK. Ketiadaan defenisi utang ini memberikan peluang bagi kreditor untuk dapat memperoleh tagihannya kepada debitor dengan mempergunakan hukum kepailitan. Hal ini terlihat pada kecenderungan dunia usaha untuk mengkonstruksikan sengketa-sengketa niaga yang berkaitan dengan kepailitan dan PKPU, bukan lagi sebagai wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, melainkan dipaksa mendalilkannya dengan utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, yang kemudian diajukan proses pailit. 103 102 Ibid, hal 48. 103 Ibid, hal 55. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 55 Bervariasinya kegiatan pelaku usaha juga mempengaruhi jenis utang yang dilakukan oleh debitor. Dari permohonan-permohonan kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga diketahui bahwa jenis utang bukan hanya dilakukan dalam bentuk utang pokok dan bunganya tetapi lebih luas dan bervariasi. Utang dapat juga diartikan sebagai tidak dilakukannya penyerahan tanah yang sudah dibayar lunas. 104 Tidak adanya defenisi utang dan batasan mengenai jumlah minimum utang untuk mengajukan permohonan pailit memunculkan suatu perdebatan. Akibatnya dalam praktek pengertian utang diartikan secara sempit dan luas. Pengertian utang bukan hanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 UUK, tetapi berkembang ke arah yang lebih luas. Hakim memberikan penafsiran utang yang berbeda di Pengadilan Niaga maupun pada tingkat kasasi. Perdebatan pengertian utang pada awalnya muncul pada perkara antara PT. Modernland Realty Vs. Drs. Husein Sani dan Johan Subekti No. 07Pailit1998PN. Niaga Jakpus jo. 03 KN1998 jo. 06 PKN1999. Majelis hakim Pengadilan Niaga Berpendapat : “Meskipun permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon pailit tidak berdasarkan pada utang yang timbul dari konstruksi hukum pinjam-meminjam utang, melainkan berdasarkan utang yang timbul dari perjanjian pengikatan jual-beli rumah susun antara pemohon pailit selaku pembeli dengan PT. Modern Land Realty selaku penjual, namun termohon, yaitu PT. Modern Land Realty belum mengembalikan utang pembayaran yang telah diterima dari pembeli yaitu dari para pemohon pailit, maka termohon pailit, yaitu PT. Modern Land Realty harus dinyatakan telah mempunyai utang kepada masing-maing pemohon pailit utang dalam arti luas”. 105 104 Ibid, hal 56. 105 Putusan PN. Niaga No. 07Pailit1998PN. Niaga Jakpus Tanggal 08 November 1998. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 56 Sedangkan dalam kasasi, Majelis Hakim Agung berpendapat : “Pemakaian utang secara luas yang dilakukan oleh majelis hakim pengadilan Niaga jelas bertentangan dengan pengertian utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-unang No. 4 Tahun 1998 tebntang kepailitan. Pengertian utang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 UUKtersebut tidak bolweh terlepas dari konteksnya baha pengertuian utang yang dimaksud dalam UUK ini harus diartikan dalam konteks pemikiran konsiderans tentang maksud diterbitkannya UU No. 4 Tahun 1998 dan tidak dapat dilepaskan kaitan itu daripadanya yang pada dasarnya menekankan pinjaman-pinjaman swasta sehingga dengan demikian pengertian utang tidak meliputi bentuk wanprestasi lain yang tidak berawal pada kontruksi hukum pinjam-meminjam uang. makna utang secara sempit”. 106 Pendapat dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus Modernland Realty telah tepat dalam menerapkan pengertian utang dalam secara luas. Hanya saja pendapat hakim Pengadlan Niaga tersebut ditolakdibtalkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya. Tindakan ini menunjukkan bahwa Hakim Mahkamah Agung pun tidak punya keseragaman pengertian utang dalam UUK. Sebab, dalam putusan Mahkamah Agung sebelumnya, Mahkamah Agung selalu menerapkan pemahaman utang dalam arti luas. b. Pembuktian secara sederhana Pasal 6 ayat 3 UUK menyatakan bahwa : “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 UUK telah terpenuhi”. 102 Putusan Kasasi No. 03KN1998 Tanggal 23 November 1998. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 57 Pasal 1 ayat 1 jo. Pasal 6 ayat 3 mensyaratkan pembuktian sederhana dalam menentukan dikabulkan atau tidaknya suatu permohonan kepailitan. Namun UUK tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai bagaimana pembuktian sederhana ini dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit, kecuali menyatakan bahwa pembuktian sederhana adalah pembuktian sumir pada umumnya. Menurut Subekti, membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil- dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 107 Pada dasarnya, esensi pembuktian adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terjadi antara para pihak yang berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hal yang didalilkan oleh para pihak, dan menjadi objek perselisihan. Beban pembuktian diletakkan pada pihak yang menyatakannya, maka pihak yang tidak menyangkal dianggap memberikan pengakuan terhadap dalil tersebut. Pondasi dari beban pembuktian adalah keseimbangan kepentingan para pihak yang seyogianya dijaga oleh hakim. UUK tidak menjawab sejauh mana batasan pembuktian sederhana tersebut. Tidak ada defenisi serta batasan yang jelas yang dapat menjadi pegangan apa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana. Sejauh mana hakim menentukan dapat membuktikan secara sederhana atau tidak bila terdapat sanggahan terhadap bukti yang diajukan atau 107 Aria Suyudi, Aryanto Nodroho, Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit : Analisis Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta :TIM Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2003, hal 147. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 58 bila ada sanggahan terhadap permohonan tersebut yang membuat perkara dianggap menjadi kompleks. 108 Seperti layaknya pemeriksaan permohonan pada umumnya, majelis hakim hanya bertugas memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan untuk dikabulkannya suatu permohonan dengan melakukan cros check dengan si pemohon atau pihak terkait. Bila ada cukup alat bukti dan keadaan yang membuktikan persyaratan pailit, maka permohonan pernyataan pailit dikabulkan. 109 Pada prakteknya, tidak jarang Majelis Hakim beranggapan bahwa pada perkara kepailitan tertentu yang diajukan, membutuhkan pembuktian yang tidak sederhana. Oleh karena di lain sisi batas waktu yang diberikan 30 hari 110 dianggap tidak mencukupi, kemudian seringkali majelis hakim berpendapat perkara tersebut harus melalui gugatan perdata biasa pada Pengadilan Negeri. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh karena hubungan perutangan antara kreditur dan debitur tidak dapat diuraikan dengan mudah. Sebagai contoh, diajukannya tanggapan debitor dengan dasar exceptio non-adempleti contractus 111 , yang mengiring majelis hakim pada suatu kesimpulan bahwa perkara tersebut tidak dapat diselesaikan dengan pembuktian secara sederhana. 108 Suyudi dkk, Ibid, 148. 109 Ibid. 110 Pasal 6 ayat 4 UUK 111 Menurut S. Adiwinata, exceptio non-adempleti contractus adalah tangkisan bahwa persetujuan tidak dipenuhi; tangkisan dengan mengemukakan bahwa juga pihak lawannya tidak melakukan kewajibannyayang timbul dari persetujuan timbal balik. Secara sederhana, dalam suatu perjanjian timbal-balik masing-masing pihak memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Pemenuhan kewajiban oleh satu pihak menimbulkan kewajiban oleh pihak lainnya. Sehingga, apabila satu pihak tidak melakukan kewajiban, maka pihak yang lain dapat tidak melakukan prestasinya. FileC:\program20 files \data base kepailitan\resume.htm. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 59 c. Pemeriksaan yang terlalu cepat dan efisien Dikeluarkannya UUK sebagai pengganti Faillissmentsverodening yang dianggap tidak jelas time frame dalam menyelesaikan perkara kepailitannya melahirkan Undang-undang Kepailitan yang memberikan jaminan bahwa proses kepailitan berjalan tidak berlarut-larut. 112 Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 tiga puluh hari sejak permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Sutan Remy menyatakan bahwa jangka waktu tersebut tidak realistis. Waktu tersebut sangatlah pendek sehingga hanya akan menghasilkan kualitas putusan yang kurang baik karena diputuskan secara terburu- buru. Sebab kadangkala proses pembuktian utang piutang perusahan memerlukan waktu yang cukup lama dan rumit, sehingga memerlukan tingkat ketelitian dari para pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. kepailitan akan membawa akibat bukan hanya kepada debitor itu sendiri, melainkan juga kepada stakeholder 113 perusahaan khususnya kepada karyawan perusahaan, pemegang saham, pemerintah dan lain-lain. Tindakan utama yang perlu dilakukan sebelum memutuskan suatu perusahaan akan dinyatakan pailit adalah melakukan restrukturisasi utang terlebih dahulu melalui reorganisasi perusahaan. Harus terdapat upaya-upaya pendahuluan untuk menyelamatkan perusahaan sebelum perusahaan dinyatakan pailit. 112 Sutan Remy Syahdeini II, Op. Cit, hal 55. 113 stakeholder adalah pihak yang berkepentingan dalam suatu perusahaan. Misalnya pemegang saham shareholder, pekerja employeers, pelanggan customer, pemasok supplies, dan masyarakat community. Lebih lanjut lihat Christopler et. Al. COLLINS, Kamus Lengkap Bisnis penerjemah Suarno Santoso, Jakarta :Erlangga, 1999, hal 554. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 60 d. Tidak adanya perbedaan antara debitor insolven dan solven Persoalan apakah debitor solven dapat dipailitkan dalam UU No 4 Tahun 1998 merupakan suatu kontraversi besar dalam hukum kepailitan saat ini. Di satu sisi, UUK tidak mencantumkan keadaan debitor harus insolven dalam syarat pailit. Artinya, tanpa debitor harus dalam keadaan insolven, asal syarat pailit sebagaimana Pasal 1 ayat 1 Jo. Pasal 6 ayat 3 UUK terpenuhi, maka debitor tersebut dinyatakan pailit. Argumentasi mengapa keadaan debitor insolven tidak diharuskan menjadi syarat pailit adalah tidak boleh ada diskriminasi apapun antara kreditor kecil maupun besar untuk menggunakan lembaga kepailitan. Sejalan tidak adanya diskriminasi pada kreditor, kepailitan juga ditujukan sebagai alat pemaksa tidak saja bagi debitor kecil tetapi juga debitor besar untuk membayar utangnya. Pertanyaan yang muncul terhadap argumentasi ini adalah mengapa debitor yang solven ini tidak membayar lunas pada kreditor kecilnya? Ricardo Simanjuntak adalah salah satu pendukung argumentasi bahwa debitor dalam UUK tidak harus dalam keadaan insolven dapat saja dalam keadaan solven.Pendapatnya sebagai berikut : 114 “Saya setuju dengan isi Pasal 1 ayat 1 UUK tersebut karena tidak ada alasan bagi debitor untuk tidak melunasi utangnya yang secara hukum telah terbukti dan jatuh tempo, kecuali bila debitor itu semata-mata hendak “gemplang”. Artinya, Undang- undang kepailitan sekaligus menjangkau debitor-debitor yang bermental tidak mau membayar utang sebagaimana Pasal 1 ayat 1 UUK ini. Kata bankrupt haruslah dibedakan dengan insolven. Walaupun UUK menyatakan dengan terpenuhinya Pasal 1 ayat 1 UUK seorang debitor dapat dinyatakan bankrupt, UUK belum mengartikan debitor tersebut insolven. Artinya juga, bila debitor tersebut masih mampu dan 114 Ricardo Simanjuntak, “Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam Transaksi Bisnis Internasional”, Jurnal Hukum Bisnis Vol 22 No. 4 Tahun 2003, hal 8-15. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 61 akhirnya mau melunasi kewajibannya, debitor tersebut mau mengajukan perdamaian kepada para kreditornya, kecuali bila usulan itu ditolak, barulah debitor tersebut dinyatakan insolven. Jika seorang kreditor harus mengetahui keadaan debitornya terlebih dahulu apakah dalam keadan insolven atau solven, justru akan menimbulkan keadaan ketidakpastian hukum. Artinya tidak mungkin bagi kreditor untuk mengetahui apakah debitor tersebut secara tehnikal telah insolven, lebih-lebih bila debitor tersebut merupakan perusahaan tertutup”. 3. Kelemahan UU No. 37 Tahun 2004 a. Tidak adanya Jumlah minimal utang Persyaratan untuk dinyatakan pailit jelas tertuang di dalam Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU. Namun dalam UU tersebut tidak ada memberikan batasan jumlah minimal utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit untuk dijatuhkannya putusan pailit. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan celah hukum untuk mengajukan permohonan pailit. Pihak kreditor yang hanya sedikit memiliki piutang terhadap debitor dapat saja memohonkan pailit apabila telah memenuhi syarat dalam UUK dan PKPU, hal ini tentu saja merugikan pihak debitor ataupun kreditor lainnya yang memiliki piutang jauh lebih besar dari pada kreditor pemohon pailit. b. Tidak adanya insolvensi test Debitor yang masih memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar utang- utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak membayar utang dengan memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU. Hal ini tentu saja merugikan perusahaan yang masih solven . Akibatnya banyak investor tidak percaya lagi untuk menanamkan investasinya di sini, sehingga mempengaruhi perekonomian HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 62 Indonesia. Di negara-negara common law system, pada umumnya menggunakan cash flow test untuk menyatakan bahwa debitor tersebut solven atau tidak. 115 Terdapat perbedaan tentang pengertian insolvensi dalam pendekatan hukum dan pendekatan ekonomi. Secara ekonomi seorang debitor dikatakan insolvensi apabila asetnya lebih kecil dibandingkan dengan utangnya, namun secara hukum dapat dikatakan insolven meskipun asetnya lebih besar dari utang, apabila debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 116 Sutan remy berpendapat bahwa seorang debitor dapat diajukan permohonan pernyataan pailit hanya apabila debitor telah berhenti membayar utang-utagnya. Keadaan berhenti membayar haruslah merupakan keadaan yang objektif, yaitu karena keadaan keuangan. Debitor telah mengalami ketidakmampuan membayar utang- utangnya. Dengan kata lain, debitor tidak boleh hanya sekedar tidak mau membayar utang-utangnya, tetapi keadaan objektif keuangannya memang telah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya. Untuk menentukan apakah keuangan debitor memang sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya, insolvensi harus ditentukan secara objektif dan independen. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan financial audit atau financial due diligence yang dilakukan oleh seorang akuntan publik yang imdependen. 117 115 Munir Fuady, Op. Cit, hal 129. 116 Bismar Nasution dan Sunarmi, Op. Cit, hal 22. 117 Sutan Remy Syahdeini II, Op. Cit, hal 52. HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008. 63

E. Tahap Fase Insolvensi