Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh Otoritas Jasa Keuangan (Analisis Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013)

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : Naomi Nasaria NIM: 109048000054

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H / 2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H/2014 M. ix + 67 halaman + 4 halaman daftar pustaka + lampiran.

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Thaun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konsep. Informasi didapatkan dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Simpulan dari penelitian ini bahwa mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 adalah diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang mendelegasikan kewenangannya dalam hal pengawasan tersebut kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang telah ditunjuk langsung oleh Otoritas Jasa Keuangan, agar dapat membantu proses pengawasan terhadap Lembaga Keuangan Mikro tersebut.

Kata Kunci : Lembaga Keuangan Mikro, Otoritas Jasa Keuangan, Kredit, Pemerintah Daerah.

Pembimbing : Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA


(6)

v

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik material dan immaterial, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M. beserta seluruh jajaran dekanat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta;

2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum;

3. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A. selaku pembimbing skripsi penulis. Terima kasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis;

4. Mama saya yang telah menemani saya saat begadang, Ayah, dan Adik terima kasih telah memberi bantuan dalam bentuk materiil, doa, dukungan, dan semuanya terus menerus tanpa lelah;

5. Sahabat-sahabat saya Mustika Nurul Fadhilah, S.Pd yang telah membantu saya menyelesaikan skripsi ini di detik-detik terakhir saat saya sedang kerepotan mengumpulkan data, Azlika Meutia Anggraini yang selalu mendukung saya, Novelita Evelyn yang setia mendukung saya juga, penulis sangat berterima kasih atas doa-doa kalian.


(7)

vi

teman-teman Ilmu Hukum B, teman-teman UIN Jakarta, semuanya. Terima kasih sekali sudah mau diajak diskusi, diajak pusing, memberi semangat, direpotkan juga, membantu bermacam-macam. Maaf tidak bisa disebutkan satu persatu karena banyak teman-teman yang telah membantu dan direpotkan oleh penulis;

7. Pihak perpustakaan UI dan UIN Jakarta, terima kasih karena telah menyediakan buku-buku yang lumayan lengkap sehingga penulis tidak kebingungan mencari referensi;

8. Penulis artikel, skripsi, opini dan lain-lainnya yang membantu penulis dalam proses penulisan;

9. Seluruh pihak yang secara langsung dan tidak langsung sudah membantu, menyemangati, dan mendokan penulis.

Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun immaterial, penulis berdoa semoga Allah memberi balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, Januari 2014


(8)

vii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Kerangka Konseptual ... 6

E. Kajian (Review) Studi Terdahulu ... 9

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KERANGKA TEORITIS A. Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian ... 16

B. Bentuk-bentuk Pengawasan ... 24

C. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro ... 30

D. Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro ... 33

BAB III FUNGSI DAN TUGAS OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan ... 38

B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan ... 40

C. Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan ... 41


(9)

viii

A. Mekanisme Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 2013 ... 51 B. Sinergi Antara Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ... 54 C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengawasan Lembaga

Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan ... 57 D. Analisa ... 62

BAB V Penutup

A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 68 LAMPIRAN


(10)

ix

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan


(11)

1

(Analisis Undang-Undang No 1 Tahun 2013)

A. Latar Belakang Masalah

Perekonomian adalah suatu hal yang sangat penting dalam suatu Negara karena perekonomian menjadi tolak ukur kesuksesan suatu Negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Dalam kegiatan perekonomian tersebut sangat dibutuhkan peran aktif yang baik tidak hanya dari Negara melainkan juga oleh masyarakat.Peran Negara dalam hal perekonomian untuk mensejahterakan masyarakat dapat dilakukan baik secara makro ekonomi maupun mikro ekonomi, seperti menjaga kelancaran sistem keuangan, menjaga sistem moneter, menyalurkan kredit kepada rakyat seperti KUR, KPR, dan lain sebagainya.

Selain Negara, masyarakat pada umumnya memiliki andil yang cukup besar pula dalam perekonomian suatu Negara. Tidak jauh berbeda dengan Negara, andil masyarakat dalam bidang perekonomian dapat mencakup aspek makro dan mikro ekonomi, seperti mendirikan perusahaan-perusahaan swasta, membuat lapangan pekerjaan sendiri atau wiraswasta, memberikan pinjaman bagi masyarakat lain sebagai modal untuk melakukan usaha, dan lain-lain.

Pembahasan mengenai ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan uang sebagai salah satu bentuk modal. Salah satu cara bagi masyarakat luas dalam memperoleh dana adalah melalui pembiayaan atau kredit. Kredit menurut


(12)

pasal 1 angka 11 Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga;

Selama ini kita mengenal beberapa lembaga-lembaga baik Internasional maupun Nasional untuk memberikan kemudahan bagi Negara maupun masyarakat dalam memperoleh dana-dana segar demi kelancaran kegiatan suatu perekonmian. Dalam lingkup Internasional, lembaga tersebut dapat berupa World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan lain-lain yang secara aktif memberikan pinjaman-pinjaman bagi negara untuk melakukan pembangunan agar terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat.

Di dalam negeri, lembaga-lembaga yang juga aktif untuk memberikan suntikan dana-dana tersebut salah satunya adalah bank dimana masyarakat yang melakukan peminjaman atas dana-dana tersebut didominasi oleh para pengusaha dan masyarakat menegah keatas yang telah berorientasi pada bisnis yang cakupannya skala nasional dan internasional.

Masyarakat dengan perekonomian menegah kebawah acap kali kurang merasakan manfaat dari keberadaan bank yang memiliki fungsi intermediasi untuk menyalurkan dana dalam bentuk kredit, mengingat dalam penyaluran kredit tersebut cukup memiliki persyaratan yang rumit, harus adanya agunan, dan bunga pertahun yang cukup tinggi.hal tersebut secara alami


(13)

melahirkan lembaga-lembaga yang dapat menyusur masyarakat dengan perekonomian menengah kebawah. Lembaga tersebut dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Keberadaan LKM terus berjalan tanpa adanya regulasi yang mengatur lembaga-lembaga tersebut. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penipuan-penipuan maupun tindakan kejahatan lain yang dilakukan oleh LKM sehingga menurut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu dibuat aturan yang secara khusus mengenai LKM agar dapat memberikan perlindungan baik itu LKM itu sendiri maupun bagi masyarakat sebagai pihak yang menggunakan jasa LKM tersebut. Proses legislasi di DPR untuk menggodok Rancangan Undang-Undang mengenai LKM hingga akhirnya DPR bersama dengan pemerintah sepakat untuk mensyahkan RUU tersebut menjadi Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro pada hari selasa tanggal 11 Desember 20121.

Dalam pasal 28 Undang-Undang No 1 Tahun 2013 dinyatakan bahwa LKM akan diatur dan diawasi oleh OJK. Namun dalam ayat (3) pasal 28 tersebut dinyatakan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK didelegasikan kepada Pemerintah Daerah.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Pengawasan pada Lembaga Keuangan Mikro

1

UU LKM Disahkan, OJK Jadi pengatur dan Pengawas. Dikases pada 26 Februari 2013 dari http://bisnismanajemen.co.id/2012/12/uu-lkm-disahkan-ojk-jadi-pengatur-dan-pengawas/


(14)

dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PENGAWASAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO OLEH OJK (Analisis Undang-Undang No 1 Tahun 2013)”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan lembaga keuangan yang diatur dalam Undang-Undang LKM ini, maka penelitian ini difokuskan hanya pada masalah mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan dan kesesuaian pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013? b. Apakah terjadi sinergi antara ketentuan pengawasan dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011?


(15)

c. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang No 1 tahun 2013. b. Untuk mengetahui adanya sinergi antara ketentuan pengawasan dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011.

c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dibidang hukum lembaga keuangan mikro khususnya di bidang pengawasan terhadap lembaga keuangan mikro tersebut.


(16)

1. Masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang mendukung berjalannya pengawasan pada lembaga keuangan mikro.

2. Dapat dimanfaatkan oleh para pelaku lembaga keuangan mikro agar dapat menjalankan lembaga keuangan tersebut dengan baik.

3. Adanya pengawasan yang baik dalam lembaga keuiangan mikro maka masyarakat yang menggunakan jasa lembaga keuangan mikro dapat merasakan manfaatnya.

D. KERANGKA KONSEPTUAL

Dalam pembahasan kerangka konseptual, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Kredit

Kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur.2

2. Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 adalah lembaga yang independen yang bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang

2

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Djambatan, 1996), h. 44.


(17)

pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

3. IMF

International Monetary Fund (IMF) lahir bersamaan dengan kelahiran Bank Dunia. IMF atau dana keuangan internasional lahir setelah konferensi di Bretton Woods Amerika Serikat3. Kegiatan IMF diutamakan untuk membantu negara-negara anggotanya melalui Bank Sentral masing-masing anggota IMF.4

4. Pemerintah Daerah

Dalam Pasal 18 UUD 1945 dikatakan bahwa “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan undang-undang , dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. 5

Untuk membentuk susunan pemerintahan daerah-daerah itu, pemerintah bersama-sama DPR telah menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang dilaksanakan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1974. Undang-undang itu mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintah daerah

3

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet-VI, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 331

4

Ibid, h. 333

5

C.S.T.Kansil, Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah,Cet-III (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 2


(18)

otonom dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintahan pusat di daerah. Selain itu, diatur juga pokok-pokok penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan asas deswentralisasi, dekonsentrasi, dan asas tugas perbantuan.6

5. Lembaga Keuangan

Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk aset keuangan atau tagihan (claims) dibandingkan aset nonfinansial atau set riil.7

6. Pembiayaan

Pembiayaan dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang, misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil.8 7. Lembaga Keuangan Mikro

Lembaga keuangan mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.9

6

Ibid, h. 3

7

Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), h. 5

8

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, h. 92

9Rudjito, “Peran

Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna menggerakkan

Ekonomi Rakyat dan Mennaggulangi Kemiskinan: Studi Kasus: Bank Rakyat Indonesia (BRI)”, artikel


(19)

E. Kajian (Review) Studi Terdahulu

Dalam melakukan penelitian ini, penulis telah melakukan penelitian terhadap studi review terdahulu dimana untuk mendapatkan dan mengetahui perbedaan penelitian sebelumnya dengan yang penulis lakukan .review studi pertama yang digunakan adalah skripsi yang berjudul “Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Pengawasan Perbankan” yang disusun oleh Afika Yumya Syahmi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 200810. Skripsi ini membahas mengenai pentingnya pengawasan perbankan di Indonesia oleh lembaga Otoritas jasa Keuangan (OJK). Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan memang seputar mengenai lembaga OJK namun peran dan fungsi pengawasan OJK tersebut pada lembaga keuangan mikro sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No 1 Tahun 2013.

Penelitian selanjutnya adalah skripsi yang berjudul “Efektifitas Linkage Program Bank Syariah Mandiri Dalam Penguatan Pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro” yang disusun oleh Siti Maesaroh, Fakultas Syariah dan

10

Afika Yumya Syahmi, Pengaruh Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Kewenangan Bank Indonesia Di Bidang Pengawasan Perbankan, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2008).


(20)

Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta11. Skripsi ini membahas mengenai penerapan program linpage untuk meningkatkan laba, asset, modal, dan jumlah nasabah pada lembaga keuangan mikro selain itu membahas mengenai kinerja lembaga keuangan mikro baik sebelum dan sesudah menggunakan program linkage dengan menggunakan perhitungan CAMEL. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan penulis adalah pada skripsi tersebut lebih menekankan pada aspek-aspek ekonomi pada lembaga keuangan mikro dengan menggunakan program linkpage, sedangkan yang akan dilakukan penulis melakukan penekanan pada pengawasan lembaga keuangan mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2013.

Adapun buku rujukan yang menjadi salah satu bahan studi terdahulu yaitu Mendirikan Lembaga Keuangan Mikro oleh Mohammad Iqbal yang diterbitkan oleh Elex Media dengan tanggal terbit 6 Juni 2006.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;

11

Siti Maesaroh, Efektifitas Linkage Program Bank Syariah Mandiri Dalam Penguatan Pembiayaan Lembaga Keuangan Mikro, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2008).


(21)

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.12

Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.13

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.14

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan historis (historical approach).Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya justru kondusif bagi terselenggaranya pengawasan bagi lembaga keuangan

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42.

13

Ibid

14

Soerdjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.


(22)

mikro.Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep tentang pengawasan lembaga keuangan mikro sehingga diharapkan penormaan dalam aturan hukum tidak lagi memungkinkan ada pemahaman yang bermakna ganda.Pendekatan historis dilakukan untuk mengetahui sejarah pembentukan Undang-undang Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. 3. Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim15. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah Undang No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang OJK, Naskah Akademik Pembentukan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, dan Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.

b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.16

15

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. cet.VI (Jakarta : kencana, 2010), h. 141.


(23)

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Filsafat, Kebudayaan atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.17

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dari ketiga bahan hukum tersebut, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan.“Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi”18.Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum agar dapat menghasilkan suatu kesimpulan mengenai pengawasalan lembaga keuangan mikro oleh OJK.

17Ibid

. h. 143

18

Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet-II,(Malang : Bayumedia Publishing. 2006), h. 393


(24)

G. SISTEMATIKA PENELITIAN

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, memuat: Latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kajian (Review) Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Kerangka Teoritis, pada bab ini akan diuraikan mengenai Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian, Bentuk-bentuk Pengawasan, Pengertian Lembaga Keuangan Mikro, Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro.

BAB III Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaga Keuangan Mikro. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sejarah OJK, Pengertian OJK, Tujuan dan Fungsi OJK, Tugas dan Wewenang OJK, Dewan Komisioner OJK.

BAB IV Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh OJK. Dalam bab ini akan dibahas mengenai Mekanisme pengawasan LKM oleh OJK menurut UU No 1 Tahun 2013, Kesinergian antara ketentuan pengawasan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013


(25)

dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengawasan Lembaga Keuangan Mikro oleh Otoritas Jasa Keuangan.

BAB V Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.


(26)

16

KERANGKA TEORITIS

A. Pengertian Pengawasan dan Pendelegasian

Dalam Kamus Bahasa Indonesia istilah pengawasan berasal dari kata awas yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawasi 1. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa hasil dari suatu pengawasan harus sesuai berdasarkan kenyataan yang terjadi dari apa yang telah diawasi.

Sebagai bahan perbandingan, penulis mengambil beberapa pendapat menurut para sarjana di bawah ini diantaranya menurut Prayudi, pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperhatikan2. Dilain pihak Sarwoto mengatakan, pengawasan adalah kegiatan manager yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki3. Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat

1

Sarwoto. Dasar-dasar Organisasi Dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1981) h.93

2

Prayudi, Hukum Administrasi Negara, (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1981) h.80

3

Sujanto, Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan, (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1986) h.13


(27)

mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan4. M. Manullang pun mengatakan bahwa pengawasan adalah suatu proses untuk menetapkan suatu pekerjaan yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula5. Menurut Harold Koonz, dkk, yang dikutip oleh John Salindeho juga mengatakan bahwa pengawasan adalah pengukuran dan pembetulan terhadap kegiatan para bawahan untuk menjamin bahwa apa yang terlaksana itu cocok dengan rencana. Jadi pengawasan itu mengukur pelaksanaan dibandingkan dengan cita-cita dan rencana, memperlihatkan dimana ada penyimpangan yang negatif dan dengan menggerakkan tindakan-tindakan untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan, membantu menjamin tercapainya rencana-rencana.6

Pengawasan menurut Sondang P. Siagian yaitu proses pengamatan dari pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan7. Menurut Terry dalam buku Sujanto menyatakan pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasannya, dan mengambil tindakan-tidakan korektif bila diperlukan untuk menjamin agar

4

Saiful Anwar. (Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press : Jakarta,2004) , h.127

5

M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1995), h.18

6

John Salindeho, Tata Laksana Dalam Manajemen. (Sinar Grafika : Jakarta, 1998), h.39

7

Ulbert, Silalahi. (Studi Tentang Ilmu Administrasi Konsep, Teori, dan Dimensi. Bandung : Sinar Baru, 2002), h.175


(28)

hasilnya sesuai dengan rencana8. Menurut Dale dalam buku Winardi mengatakan bahwa pengawasan tidak hanya melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi, tetapi juga mengandung arti memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan9. Sedangkan menurut Winardi sendiri, pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh pihak manajer dalam upaya memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan.10 Sedangkan menurut Basu Swastha, pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan.11

Menurut Komaruddin, pengawasan adalah berhubungan dengan perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal untuk langkah perbaikan terhadap penyimpangan dan rencana yang berarti.12

Lebih lanjut menurut Kadarman, pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang

8

Sujanto, Op.Cit, h.17

9

Winardi, Kepemimpinan Dalam Manajemen. (Rineka Cipta, Jakarta : 2000), h.224

10Ibid

, h.585

11

Kadarman, A.M dan Udaya, Jusuf. Pengantar Ilmu Manajemen. ( PT. Prenhallindo : Jakarta, 2001), h.159

12

Komaruddin. 1994. Ensiklopedia Manajemen. (Edisi Kesatu, Bumi Aksara : Jakarta, 1994), h.104


(29)

diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan.13

Menurut Semito, pengawasan (controlling) adalah usaha untuk dapat mencegah kemungkinan-kemungkinan penyimpangan daripada rencana-rencana, instruksi-instruksi, saran-saran dan sebagainya yang telah ditetapkan14. Di lain pihak menurut Fayol dalam buku Sofyan Harahap mengemukakan bahwa pengawasan adalah upaya memeriksa apakah semua terjadi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut. Juga dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kesalahan agar dihindari kejadiannya di kemudian hari15. Lebih luas lagi pengertian pengawasan dikemukakan Situmorang dan Jusuf yang mengemukakan bahwa dikalangan ahli atau sarjana telah disamakan pengertian controlling ini dengan pengawasan. Jadi pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal dari kata “kendali”, sehingga pengendalian mengandung arti mengarahkan, memperbaiki kegiatan yang salah arah dan meluruskannya menuju arah yang benar. Kenyataan dalam praktek sehari-hari bahwa isitilah controlling itu sama dengan istilah pengawasan dan istilah pengawasan inipun telah mengandung pengertian luas, yakni tidak hanya sifat melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi tadi tetapi juga mengandung pengendalian dalam arti

13

Bayu Swastha. Azas-Azas Marketing. (Edisi 3, Liberty : Yogyakarta, 1996), h.216 14

A.N Semito. Manajemen Personalia. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1984), h.17 15


(30)

menggerakkan, memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan.16

Pengawasan dapat didefinisikan sebagai suatu usaha sistematis dalam manajemen bisnis untuk membandingkan kinerja standar, rencana, atau tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk menentukan apakah kinerja sejalan dengan standar tersebut dan untuk mengambil tindakan penyembuhan yang diperlukan untuk melihat bahwa sumber daya manusia digunakan dengan seefektif dan seefisien mungkin didalam mencapai tujuan.

Dari definisi-definisi para sarjana yang telah disebutkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengawasan adalah suatu upaya untuk mengawasi, mengendalikan, dan menjaga suatu proses kinerja agar tetap berjalan sesuai rencana semula dan mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan adanya pengawasan maka kemungkinan-kemungkinan yang dapat menghambat suatu proses kinerja dapat dihindari dan apabila terlanjur terjadi maka dapat diberikan solusi untuk memperbaikinya agar proses kinerja tersebut dapat kembali berjalan sesuai dengan rencana semula.

Adapun maksud dari pengawasan yaitu untuk mencegah atau untuk memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian, dan lainnya yang tidak sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Karena pada dasarnya

16

M. Situmorang, Viktor dan Jusuf Juhir. Aspek Hukum Pengawasan Melekat dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah. (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1994) h.19


(31)

maksud pengawasan bukan untuk mencari kesalahan terhadap orangnya, tetapi mencari kebenaran terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan dengan tujuan agar hasil pelaksanaan pekerjaan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif) sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.

Menurut Mc. Farland, pengawasan harus berpedoman terhadap hal-hal berikut:17

1). Rencana (planning) yang telah ditentukan.

2). Perintah (orders) terhadap pelaksanaan pekerjaan (performance). 3). Tujuan.

4). Kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya.

Pengawasan pun memiliki beberapa tugas/fungsi sebagai berikut: 18

a. Mempertebal rasa dan tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan wewenang dalam pelaksanaan pekerjaan.

b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kelalaian, dan kelemahan, agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan.

17

Maringan Masry Simbolon. Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 2004), h.61.

18Ibid


(32)

d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan, agar pelaksanaan pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan-pemborosan.

Disamping itu kita pun harus mengetahui prinsip-prinsip dari pengawasan yaitu:19

1. Pengawasan berorientasi kepada tujuan organisasi.

2. Pengawasan harus objektif, jujur dan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.

3. Pengawasan harus berorientasi terhadap kebenaran menurut peraturan-peraturan yang berlaku (wetmatigheid), berorientasi terhadap kebenaran atas prosedur yang telah ditetapkan (rechmatigheid), dan berorientasi terhadap tujuan (manfaat) dalam pelaksanaan pekerjaan (doelmatigheid).

4. Pengawasan harus menjamin daya dan hasil guna pekerjaan.

5. Pengawasan harus berdasarkan atas standar yang objektif, teliti (accurate), dan tepat.

6. Pengawasan harus bersifat terus-menerus (continue).

7. Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik (feed back) terhadap perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan, perencanaan dan kebijaksanaan waktu yang akan datang.

Pendelegasian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah pemberian wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain. Kegiatan seseorang untuk

19Ibid


(33)

menugaskan stafnya/bawahannya untuk melaksanakan bagian dari tugas manajer yang bersangkutan dan pada waktu bersamaan memberikan kekuasaan kepada staf/bawahan tersebut, sehingga bawahan itu dapat melaksanakan tugas-tugas itu sebaik baiknya serta dapat mempertanggung jawabkan hal hal yang didelegasikan kepadanya. 20

Adapun menurut Sujak dalam bukunya yaitu Pendelegasian merupakan proses penugasan, wewenang dan tanggung jawab kepada bawahan21. Robert Heller mendefinisikan pendelegasian sebagai mempercayakan pekerjaan pada orang lain akan tetapi tanggung jawab atas pekerjaan atau pekerjaan tersebut masih berada di tangan pendelegasi. Tony Atherton mendefinisikan pendelegasian pekerjaan sebagai mempercayakan wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang didefinisikan dengan jelas, dan disetujui di bawah pengawasan pendelegasi sambil tetap memegang seluruh tanggung jawab atas keberhasilan pekerjaan atau pekerjaan itu. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa :

Pendelegasian ialah proses terorganisir dalam kerangka hidup organisasi/keorganisasian untuk secara langsung melibatkan sebanyak mungkin orang dan pribadi dalam pembuatan keputusan, pengarahan, dan pengerjaan kerja yang berkaitan dengan pemastian tugas. Pendelegasian ialah tindakan

20

M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1995), h.10 21


(34)

memercayakan tugas (yang pasti dan jelas), kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban, dan pertanggungjawaban kepada bawahan secara individu dalam setiap posisi tugas. Pendelegasian dilakukan dengan cara membagi tugas, kewenangan, hak, tanggung jawab, kewajiban, serta pertanggungjawaban, yang ditetapkan dalam suatu penjabaran/deskripsi tugas formil dalam organisasi.22

B. Bentuk-bentuk Pengawasan

a. Pengawasan dari Dalam Organisasi (Internal Control)

Pengawasan dari dalam, berarti pengawasan yang dilakukan oleh aparat/unit pengawasan yang dibentuk dalam organisasi itu sendiri. Aparat/unit pengawasan ini bertindak atas nama pimpinan orgsanisasi. Aparat/unit pengawasan ini bertugas mengumpulkan segala data dan informasi yang diperlukan oleh organisasi. 23

Data-data tersebut yang sudah terkumpul akan digunakan oleh pimpinan untuk menilai kemajuan dan kemunduran dalam pelaksanaan pekerjaan. Keputusan-keputusan dari hasil pengawasan yang sudah dikeluarkan oleh pimpinan dapat digunakan dalam nilai kebijaksanaan pimpinan. Maka itu terkadang pimpinan perlu meninjau kembali keputusan-keputusan tersebut yang sudah dikeluarkan. Pimpinan pun dapat melakukan

22

agus-krisdianto.weebly.com diakses pada tanggal 25 Januari 2014

23

Maringan Masry Simbolon. Dasar-dasar Administrasi dan Manajemen. (Ghalia Indonesia : Jakarta, 2004), h.62


(35)

tindakan-tindakan perbaikan (korektif) terhadap pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya.

b. Pengawasan Dari Luar Organisasi (External Control)

Pengawasan eksternal (external control) berarti pengawasan yang dilakukan oleh aparat/unit pengawasan dari luar organisasi itu. Aparat/unit pengawasan dari luar organisasi itu adalah pengawasan yang bertindak atasn nama atasan pimpinan organisasi itu, atau bertindak atas nama pimpinan organisasi itu karena permintaannya, misalnya pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara. Terhadap suatu departemen, aparat pengawasan ini bertindak atas nama pemerintah/presiden melalui menteri keuangan. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, ialah pemeriksaan/pengawasan yang bertindak atas nama negara Republik Indonesia. 24

Pimpinan organisasi pun dapat meminta bantuan dari pihak luar organisasinya untuk melakukan pengawasan tersebut dengan maksud-maksud tertentu seperti untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar, mengetahui jumlah keuntungan, mengetahui efisiensi kerjanya, dan sebagainya. Pihak luar organisasi tersebut misalnya, akuntan swasta, perusahaan konsultan, dan lain sebagainya.

24Ibid


(36)

c. Pengawasan Preventif

Arti dari pengawasan preventif ialah pengawasan yang dilakukan sebelum rencana itu dilaksanakan. Maksud dari pengawasan preventif ini ialah untuk mencegah terjadinya kekeliruan/kesalahan dalam pelaksanaan. Dalam sistem pemeriksaan anggaran pengawasan preventif ini disebut preaudit. Adapun dalam pengawasan preventif ini dapat dilakukan hal-hal berikut.25

a. Menentukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan sistem prosedur, hubungan, dan tata kerjanya.

b. Membuat pedoman/manual sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.

c. Menentukan kedudukan, tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. d. Mengorganisasikan segala macam kegiatan, penempatan pegawai dan

pembagian pekerjaannya.

e. Menentukan sistem koordinasi, pelaporan, dan pemeriksaan.

f. Menetapkan sanksi-sanksi terhadap pejabat yang menyimpang dari peraturan yang telah ditetapkan.

25Ibid


(37)

d. Pengawasan Represif

Arti dari pengawasan represif ialah pengawasan yang dilakukan setelah adanya pelaksanaan pekerjaan. Maksud diadakannya pengawasan represif ialah untuk menjamin kelangsungan pelaksanaan pekerjaan agar hasilnya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dalam sistem pemeriksaan anggaran, pengawasan represif ini disebut post-audit. Adapun pengawasan represif ini dapat menggunakan sistem-sistem pengawasan sebagai berikut.

1) Sistem Komperatif

a) Mempelajari laporan-laporan kemajuan (progress report) dari pelaksanaan pekerjaan, dibandingkan dengan jadwal rencana atau pelaksanaan.

b) Membandingkan laporan-laporan hasil pelaksanaan pekerjaan dengan rencana yang telah diputuskan sebelumnya.

c) Mengadakan analisis terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, termasuk faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

d) Memberikan penilaian terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan, termasuk para penanggung jawabnya.

e) Mengambil keputusan tata usaha perbaikannya atau penyempurnaannya.


(38)

2) Sistem Verivikatif

a) Menentukan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan prosedur pemeriksaan.

b) Pemeriksaan tersebut harus dibuat laporan secara periodik atau secara khusus.

c) Mempelajari laporan untuk mengetahui perkembangan dari hasil pelaksanaannya.

d) Memberikan penilaian terhadap hasil pelaksanaan pekerjaan, termasuk para penanggung jawabnya.

e) Mengambil keputusan tata usaha perbaikannya atau penyempurnaannya.

3) Sistem Inspeksi

Inspeksi dimaksudkan untuk mengecek kebenaran dari suatu laporan yang dibuat oleh para petugas pelaksanaannya. Dalam pemeriksaan di tempat (on the spot inspection), instruksi-instruksi diberikan dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan pekerjaan. Inspeksi dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan terhadap kebijaksanaan pimpinan. Penjelasan-penjelasan ini merupakan kontak pribadi antara pimpinan/wakil pimpinan dengan cara petugas pelaksana di tempat, yang dapat


(39)

menimbulkan rasa kesetiakawanan (jiwa korps), rasa solidaritas, dan ketinggian moral.

Untuk menjamin hasil yang objektif dalam inspeksi ini, kadang-kadang diperlukan penggantian jabatan (tour of duty) dalam periode tertentu. Penggantian jabatan ini dimaksudkan pula untuk lebih menyegarkan tugas-tugas inspeksi, karena tugas-tugas-tugas-tugas tersebut kecuali membosankan juga menjemukan.

4) Sistem Investigatif

Sistem ini lebih menitikberatkan terhadap penyelidikan/penelitian yang lebih mendalam terhadap suatu masalah yang bersifat negatif. Penyelidikan/penelitian ini didasarkan atas suatu laporan yang masih bersifat hipotesis (anggapan). Laporan tersebut mungkin benar dan mudah salah. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih mendalam untuk dapat mengungkapkan hipotesis tersebut.26

Agar dapat memperoleh jawaban tersebut (yang benar) diperlukan pengumpulan data, menganalisis data atau mengolah data, dan penelitian atas data tersebut. Berdasarkan atas hasil penelitian/penyelidikan tersebut, kemudian segera diambil keputusannya. Yang perlu diperhatikan di sini

26Ibid


(40)

adalah validitas data tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Data-data tersebut pun harus diperoleh dengan penuh ketelitian.

C. Pengertian Lembaga Keuangan Mikro

Pengertian Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 1 angka (1) yakni:

“Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan”.

Pengertian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Menurut Microcredit Summit (1997) dalam buku Ashari, mengemukakan definisi kredit mikro yaitu “Programmes extend small loans to very poor for self-employment projects that generate income, allowing them to care for themselves and their families” atau “Program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan


(41)

keluarganya27. Sementara menurut Paket Kebijaksanaan (1993) dalam buku Totok Budisantoso menyatakan bahwa “Kredit untuk usaha kecil adalah kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit maksimum 250 juta untuk membiayai usaha produktif”.28

“Sedangkan pengertian kredit untuk usaha mikro adalah “Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil dengan plafon kredit sampai dengan 25 juta”. Meskipun terdapat perbedaan, tapi kedua pernyataan di atas mempunyai persamaan bahwa kredit mikro diberikan bagi pengusaha kecil dan mikro dengan plafon kredit yang berbeda untuk membiayai kegiatan usaha yang produktif. Usaha dikatakan produktif apabila usaha tersebut dapat memberikan nilai tambah dalam menghasilkan barang dan jasa serta pendapatan mereka. Kredit mikro ini disalurkan melalui lembaga keuangan yang umumnya disebut dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Mandala Manurung dan Prathama Rahardja menyatakan bahwa “Lembaga Keuangan Mikro adalah lembaga keuangan yang memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin serta para pengusaha kecil”.29

27

Ashari. 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dan Kebijakan Pengembangannya. Pusat Analisis Sosial Dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Volume 4 No.2, Juni 2006:h.146

28

Totok Budisantoso dan Triandaru Sigit. 2006. Bank Dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta:Salemba Empat, h.121

29

Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja. 2004, Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia), Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI, h.124


(42)

Sementara itu menurut ahli lain, “Lembaga Keuangan Mikro didefinisikan sebagai penyedia jasa keuangan bagi pengusaha kecil dan mikro serta berfungsi sebagai alat pembangunan bagi masyarakat pedesaan”.30

Menurut Direktorat Pembiayaan, Deptan (2004) dinyatakan bahwa “Lembaga Keuangan Mikro dikembangkan berdasarkan semangat untuk membantu dan memfasilitasi masyarakat miskin baik untuk kegiatan konsumtif maupun produktif keluarga miskin tersebut”31

. Menurut Krishnamurti (2005), walaupun terdapat banyak definisi keuangan mikro, namun secara umum terdapat tiga elemen penting dari berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman masyarakat tradisional Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan, pinjaman, pembayaran, deposito maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat miskin. Keuangan mikro hidup dan berkembang pada awalnya memang untuk melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan

30

Sutanto Hadinoto, Joko Retnadi. Kredit Mikro, Kunci Sukses Kredit Mikro. (PT Gramedia : Jakarta,2005), h.72

31


(43)

mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel.32

D. Asas dan Tujuan Lembaga Keuangan Mikro

Asas-asas Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 2 yaitu:

LKM berasaskan:

a. Keadilan; b. Kebersamaan; c. Kemandirian; d. Kemudahan; e. Keterbukaan; f. Pemerataan; g. Keberlanjutan; dan

h. Kedayagunaan dan kehasilgunaan.

32


(44)

Penjelasan asas-asas tersebut diatas:

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat, terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah untuk mendapatkan pelayanan dari LKM.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah suatu kegiatan yang dilakukan tanpa banyak bergantung kepada pihak lain, baik dari aspek sumber daya manusia maupun permodalan.


(45)

Yang dimaksud dengan “asas kemudahan” adalah bahwa prosedur pembiayaan dan penyimpanan dana dalam LKM dibuat seserdahana mungkin.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah suatu kegiatan usaha yang proses pengelolaannya dapat diketahui oleh masyarakat.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas pemerataan” adalah pemberian Pinjaman atau Pembiayaan yang menjangkau seluruh masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah suatu kegiatan pemberdayaan sekaligus mendayagunakan usaha dan layanan keuangan mikro untuk masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah.33

33


(46)

Sedangkan tujuan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 3 yaitu:

LKM bertujuan untuk:

a. Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;

Dengan meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat maka masyarakat yang menbutuhkan pembiayaan untuk usaha mikronya diharapkan dapat berjalan dengan baik.

b. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat;

Tujuan ini dapat mengurangi banyaknya pengangguran yang merajalela di masyarakat. Masyarakat dapat membuka usaha bahkan menciptakan lapangan kerja dari usaha kecil mereka tersebut.

c. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat


(47)

Dengan berjalannya usaha mikro yang mereka bangun, maka pendapatan masyarakat miskin diharapkan lebih meningkat supaya masyarakat pun hidup sejahtera.


(48)

38

FUNGSI DAN TUGAS OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM LEMBAGA KEUANGAN MIKRO A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan

Awal mula tercetus pemikiran tentang lahirnya lembaga otoritas jasa keuangan adalah berkaca dari pengalaman krisis moneter yang terjadi pada 1997, krisis finansial global 2008, dan krisis yang menimpa zona Euro 2010, industri keuangan diprediksi akan mengalami kondisi sangat buruk. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dibutuhkan untuk menyelamatkan perekonomian. Besar kemungkinan krisis keuangan mengancam Indonesia.1

Pada akhir 2011, sebagai upaya reformasi sektor keuangan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mendirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian pada 22 November 2012, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disahkan. Lembaga yang disebut independen ini akan berfungsi mulai 31 Desember 2012 dimana menggantikan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan yang selama ini dilakukan oleh Kementerian Keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal serta Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).2

1

Hamud M. Balfas. ( Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: PT.Tatanusa, 2012). h.7

2Ibid.,


(49)

Kemudian di akhir tahun 2013, giliran fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia (BI) juga akan dialihkan ke OJK.

Posisinya, OJK akan tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan (FKSSK) bersama Kementerian Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). FKSSK merupakan protokol koordinasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.setelah diundangkannya undang-undang no.21 tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan (UU-OJK) terdapat perubahan besar terhadap landskap industri keuangan di Indonesia, hal ini karena berdasarkan UU-OJK pengaturan serta pengawasan industri jasa keuangan di Indonesia yang termasuk didalamnya pasar modal, perbankan dan lembaga keuangan mikro akan diawasi oleh lembaga otoritas jasa keuangan.3

Berdasarkan peraturan peralihan UU-OJK pasal 55 menyatakan bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012 tugas, fungsi, dan kewenangan pengaturan dan pengawasan kegiatan keuangan di sektor pasar modal dan jasa keuangan non bank seperti perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari menteri keuangan dan badan pengawas pasar modal (BAPEPAM) dan lembaga keuangan (LK) ke otoritas jasa keuangan (OJK). Ketentuan yang sama juga berlaku bagi kewenangan

3


(50)

Bank Indonesia dalam pengaturan serta pengawasan jasa keuangan di bidang perbankan.4

B. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan

Pengertian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 1 angka (1) yaitu:

“Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.5

Dengan berlakunya undang-undang tersebut segala tugas sebagai regulator dan pengawas di sektor keuangan di ambil alih oleh lembaga otoritas jasa keuangan yang menggantikan kedudukan BAPEPAM-LK di sektor pasar modal dan bank Indonesia di sektor perbankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 undang-undang ini “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan“. Sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan pengaturan di sektor keuangan. Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah

4

Ibid., h.7

5


(51)

karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. 6

C. Tujuan dan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,

b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan

c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

OJK mempunyai tujuan yang sangat strategis dalam memastikan adanya transparansi, stabilitas serta dapat memberikan perlindungan kepentingan kepada konsumen dan masyarakat dalam industri jasa keuangan7. Dengan tujuan pembentukannya hal yang menjadi harapan dari masyarakat adalah menyangkut

6

Ibid., h.8

7


(52)

perlindungan konsumen dan masyarakat terkait transparansi dan stabilitas di sektor industri keuangan yang walaupun sebelumnya telah dijalankan dengan baik oleh BAPEPAM-LK. Karena perlindungan konsumen dalam industri jasa keuangan adalah salah satu hal yang sangat penting mengingat jasa keuangan bukan saja menyangkut hal kekayaan milik investor saja melainkan banyaknya jenis-jenis transaksi yang sangat rumit dan dalam banyak hal tidak dipahami oleh investor yang berinvestasi dalam jasa keuangan yang ditawakan. Selain itu di sektor keuangan juga rawan berpotensi terjadinya kejahatan yang dapat merugikan masyarakat secara luas dan pelakunya dapat membawa hasil kejahatan dengan cara yang sangat cepat. Selain itu Otoritas Jasa Keuangan juga dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain, meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi.

Selain itu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap :


(53)

a. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan b. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, dan

c. kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Dengan adanya pasal tersebut mengartikan dengan jelas bahwa segala bentuk pengaturan dan pengawasan di sektor industri keuangan akan dilimpahkan kepada lembaga otoritas jasa keuangan selaku regulator di sektor industri jasa keuangan.

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

D. Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan

Tugas Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 6 yaitu:

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Sedangkan dalam Pasal 7 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:


(54)

a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: 1. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

2. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

1. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

2. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3. sistem informasi debitur;

4. pengujian kredit (credit testing); dan 5. standar akuntansi bank;

c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 1. manajemen risiko;

2. tata kelola bank;

3. prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang; dan


(55)

d. pemeriksaan bank.

Diterangkan pula dalam Pasal 8 bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;

b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;

h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Lalu dalam Pasal 9 disebutkan bahwa untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimkasud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;


(56)

b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;

c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjung kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;

e. melakukan penunjukkan pengelola statuter; f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. memberikan dan/atau mencabut: 1. izin usaha;

2. izin orang perseorangan

3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda terdaftar;

5. persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. pengesahan;

7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan

8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.


(57)

Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas-asas sebagai berikut:

1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;8

2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;9

3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;10

4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;11

5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;12

8

Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8

9

Hamud M. Balfas. Op.Cit. h.8

10Ibid .,. h.8 11Ibid ., h.8 12Ibid ., h.8


(58)

6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan

7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.13

E. Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan

Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 10 yaitu:

(1) OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner.

(2) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif dan kolegial.

(3) Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(4) Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:

a. seorang Ketua merangkap anggota;

b. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota; c. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota; d. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;

13Ibid


(59)

e. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;

f. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;

g. seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;

h. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan

i. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

(5) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki hak suara yang sama.

Berikut adalah anggota-anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yaitu:

1. Muliaman D. Hadad, PhD

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan 2. DR. Rahmat Waluyanto, MBA

Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Ketua Komite Etik

3. Nelson Tampubolon, SE, MSM

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan


(60)

4. Ir. Nurhaida, MBA.

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal

5. DR. Firdaus Djaelani, MA

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank

6. DR. Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono, S.H., LLM

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang Membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen

7. Prof. Dr. Ilya Avianti, S.E., M.Si., Ak. CPA

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Ketua Dewan Audit

8. Dr. Ir. Anny Ratnawati, M.Sc

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Ex-Officio Kementerian Keuangan, Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia

9. DR. Halim Alamsyah, SH, SE, MA

Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Ex-Officio Bank Indonesia, Deputi Gubernur Bank Indonesia


(61)

51

KEUANGAN

A.Mekanisme Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro Oleh Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 28 yaitu:

(1) Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

(4) Dalam hal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota belum siap, Otoritas Jasa Keuangan dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) kepada pihak lain yang ditunjuk.

(5) Ketentuan mengenai hal yang berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan yang didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pihak lain yang


(62)

ditunjuk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 31:

“Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap LKM.”

Dari pasal tersebut diatas maka mekanisme pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi dalam hal pembinaan dan pengawasan tersebut Otoritas Jasa Keuangan tidak bekerja sendiri melainkan mendelegasikan wewenangnya kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar menjalankan wewenangnya tersebut dan tetap dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ditunjuk belum siap, maka OJK akan mendelegasikan pembinaan dan pengawasannya kepada pihak lain yang ditunjuk.

Mengutip dari pernyataan Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo dalam rapat kerja RUU LKM di DPR pada hari Senin tanggal 5 Maret 2012, beliau mengungkapkan bahwa “Praktik LKM berkembang dengan sangat besar, untuk


(63)

melindungi kepentingan nasabah perlu pengawasan yang bisa didelegasikan oleh BI atau OJK ke Pemerintah Daerah”.1

Banyaknya LKM yang sudah beroperasi di masyarakat dengan perkiraan pemerintah sekitar 600.000 unit dengan 12 jenis yang berbeda, maka OJK sebagai pengawas mikroprudensial memerlukan bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Menurut anggota Dewan Komisioner OJK Ilya Avianti selepas acara peresmian Kantor OJK Regional 2 Wilayah Jabar di Bandung, Senin lalu pada tanggal 6 Januari 2014, beliau mengungkapkan bahwa “Pemda paling dekat dengan micro finance ini, industri kecil dan UKM. Jadi betul-betul oleh pemda itu diawasi langsung, oleh OJK disupervisi”2.Pendelegasian wewenang atas pembinaan dan pengawasan LKM oleh OJK kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota akan tetap dibawah kendali OJK dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap LKM. Opsi pendelegasian sebagian kewenangan OJK kepada pemda ini merupakan jalan kompromistis yang ditempuh pemerintah.

Di ranah global, LKM disebut juga sebagai praktik shadow banking, pasalnya LKM bisa menghimpun dana masyarakat tetapi tidak berbentuk sebagai perbankan, melainkan lembaga seperti asuransi dan dana pensiun. Pada intinya, shadow banking adalah lembaga nonbank yang beroperasi layaknya perbankan, yakni menghimpun dana, memberi kredit dengan bunga yang tinggi namun dengan syarat

1

koran-indonesia.com diakses pada tanggal 26 Oktober 2013

2


(64)

yang lebih mudah untuk dipenuhi dibandingkan dengan syarat yang diwajibkan oleh perbankan. Praktik shadow banking ini dapat mengganggu stabilitas perekonomian di Indonesia, karena shadow banking memberikan kredit dengan bunga tinggi namun persyaratan yang diajukan cenderung lebih mudah, hal ini tentu saja menyebabkan potensi Non Performing Loan (NPL) dengan kata lain kredit macetnya tinggi. Oleh karena itu dengan adanya pendelegasian sebagian wewenang OJK kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam pembinaan dan pengawasan terhadap LKM dapat membantu untuk mencegah praktik shadow banking tersebut. Upaya lainnya yang bersifat preventif adalah dengan adanya sanksi administratif maupun pidana. Pembinaan dan pengawasan ini diperlukan agar bantuan yang telah diberikan kepada masyarakat dapat menyempurnakan dan menyejahterakan juga memperbaiki ekonomi masyarakat.

B.Sinergi Antara Ketentuan Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Ketentuan pengawasan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro memiliki sinergi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Untuk mengetahui adanya sinergi antara pengawasan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun


(65)

2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka dapat dilihat dari uraian sebagai berikut.

1) Pembinaan, pengaturan dan pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan3. Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan seperti kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.4

2) Pembinaan yang dilakukan sebagaimana menurut ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro bahwa Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan Koperasi dan Kementerin Dalam Negeri5. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas6. Dari dua pernyataan tersebut maka LKM dan OJK memiliki sinergi dalam menjalankan tugas mereka dalam hal pengawasan.

3) Pembinaan dan pengawasan yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan didelegasikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar membantu Otoritas Jasa Keuangan dalam mengawasi Lembaga Keuangan

3

Pasal 28 ayat (1), Undang-Undang nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro

4

Pasal 5, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

5

Pasal 28 ayat (2), Undang-Undang nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro

6


(1)

(5)OJK dapat melakukan Pemeriksaan tanpa didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan apabila:

a.pemberitahuan tersebut diduga akan mempersulit atau menghambat proses Pemeriksaan;

b.terdapat dugaan adanya tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya; atau

c. terdapat dugaan adanya tindakan menyembunyikan, menghilangkan data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan.

Pasal 11

(1) Sebelum Pemeriksaan berakhir, Pemeriksa wajib melakukan konfirmasi dengan Direksi BPJS atas hasil Pemeriksaan.

(2) Apabila setelah proses konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat perbedaan pendapat, Direksi BPJS dapat mengajukan penjelasan secara tertulis kepada OJK paling lambat 10 (sepuluh) hari kalender setelah berakhirnya proses Pemeriksaan.

Pasal 12

(1) Setelah proses Pemeriksaan berakhir, Pemeriksa menyusun laporan hasil Pemeriksaan.

(2) OJK menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada BPJS paling lambat 20 (dua puluh) hari kalender setelah batas akhir penyampaian penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).

(3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat rahasia.

(4) Status rahasia atas laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuka setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari OJK atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

(1) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dapat memuat langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilakukan oleh BPJS atau pemangku kepentingan lainnya.


(2)

(2) Dalam hal terdapat langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilakukan oleh BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS wajib melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut tersebut.

(3) BPJS wajib melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada OJK sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam laporan hasil Pemeriksaan.

(4) Kewajiban melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir apabila OJK menilai bahwa BPJS telah melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut dimaksud.

BAB IV

PENGAWASAN TIDAK LANGSUNG Pasal 14

Pengawasan tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dilakukan melalui:

a. analisis atas laporan yang disampaikan oleh BPJS kepada OJK; dan/atau b. analisis atas laporan yang disampaikan oleh pihak lain kepada OJK.

Pasal 15

OJK dapat meminta BPJS untuk menyampaikan informasi dan/atau dokumen tertentu dalam rangka pengawasan tidak langsung atas BPJS.

BAB V PELAPORAN

Pasal 16

(1) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan keuangan sebagai berikut:

a.laporan keuangan tahunan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember;

b.laporan keuangan tahunan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; c. laporan keuangan semesteran BPJS Kesehatan dan BPJS

Ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember;


(3)

d.laporan keuangan semesteran Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program ketenagakerjaan yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember;

e. laporan keuangan bulanan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember; dan

f. laporan keuangan bulanan Dana Jaminan Sosial Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan untuk masing-masing program ketenagakerjaan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember.

(2) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan pengelolaan program sebagai berikut:

a.laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember;

b.laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan semesteran yang berakhir pada 30 Juni dan 31 Desember; dan

c. laporan pengelolaan program jaminan kesehatan dan jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan bulanan untuk periode yang berakhir pada 31 Januari, 28 atau 29 Februari, 31 Maret, 30 April, 31 Mei, 30 Juni, 31 Juli, 31 Agustus, 30 September, 31 Oktober, 30 November, dan 31 Desember.

(3) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyusun laporan aktuaris tahunan untuk program jaminan kesehatan dan untuk masing-masing program ketenagakerjaan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku.

(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dan huruf b serta ayat (2) huruf a wajib diaudit oleh auditor independen.

(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan disajikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


(4)

(7) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan laporan yang menggambarkan perkiraan kemampuan Dana Jaminan Sosial untuk memenuhi kewajibannya di masa depan.

(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib ditandatangani oleh aktuaris BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

(9) Laporan aktuaris tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib ditelaah (direview) dan dinilai kewajaran penyajiannya oleh aktuaris independen yang tidak terafiliasi dengan manajemen BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dan huruf f, ayat (2) huruf c dan ayat (3) diatur dengan Surat Edaran OJK.

Pasal 17

(1) BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan wajib menyampaikan:

a.laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 16 ayat (2) huruf a, serta Pasal 16 ayat (3) paling lama tanggal 30 Juni tahun berikutnya;

b.laporan semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, huruf d, dan Pasal 16 ayat (2) huruf b paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya semester yang bersangkutan; dan

c. laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e dan huruf f, serta Pasal 16 ayat (2) huruf c paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya bulan yang bersangkutan, kepada OJK.

(2) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah batas akhir dimaksud.

BAB VI

SANKSI DAN REKOMENDASI Pasal 18

(1)Dalam hal BPJS terbukti melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (7), dan Pasal 17 ayat (1) dan/atau atas temuan hasil Pemeriksaan, OJK dapat memberikan sanksi administratif berupa surat peringatan dan/atau memberikan rekomendasi kepada DJSN dan/atau Presiden.


(5)

(2)Surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu paling lama masing-masing 2 (dua) bulan.

(3)Dalam hal OJK menilai bahwa jenis pelanggaran yang dilakukan dan/atau temuan Pemeriksaan tidak dapat diatasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK dapat menetapkan berlakunya jangka waktu tambahan paling lama 6 (enam) bulan.

(4)OJK dapat memberikan rekomendasi kepada DJSN dan/atau Presiden dalam hal BPJS tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti surat peringatan terakhir atau atas temuan Pemeriksaan.

(5)Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk tetapi tidak terbatas pada:

a. peninjauan besar iuran jaminan kesehatan dan untuk masing-masing program ketenagakerjaan;

b. peninjauan besar manfaat jaminan kesehatan dan untuk masing-masing program ketenagakerjaan;

c. peninjauan kebijakan investasi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan;

d. peninjauan kebijakan investasi dana jaminan kesehatan dan dana jaminan untuk masing-masing program ketenagakerjaan; dan/atau e. penggantian sebagian atau seluruh manajemen BPJS Kesehatan dan

BPJS Ketenagakerjaan.

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19

Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku maka Peraturan OJK Nomor: 3/POJK.05/2013 tentang Laporan Bulanan Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, dinyatakan tidak berlaku bagi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Pasal 20

(1)Kewajiban penyampaian laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c dilakukan oleh BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan sejak bulan Maret 2014.


(6)

(2)Penyampaian laporan bulanan sejak bulan Maret 2014 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk laporan bulanan untuk periode yang berakhir pada tanggal 31 Januari 2014 dan 28 Februari 2014.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Desember 2013 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd.

MULIAMAN D. HADAD

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 31 Desember 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd. AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 258 Salinan sesuai dengan aslinya

KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM,

Ttd.


Dokumen yang terkait

Pengawasan Terhadap Lembaga Dana Pensiun Setelah Berlakunya Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

7 172 125

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

0 84 124

Sistem Koordinasi Antara Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penanganan Bank Gagal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

5 79 130

Tinjauan Hukum Tentang Peralihan Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada Otoritas Jasa Keuangan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

0 4 71

PENGAWASAN LEMBAGA PERBANKAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SETELAH DIBERLAKUKANNYA UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

4 28 71

WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM PENGATURAN DAN PENGAWASAN TERHADAP BANK SYARIAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

8 98 57

INDEPENDENSI OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN PERBANKAN DI INDONESIA (BERDASARKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN).

0 0 13

SISTEM KOORDINASI ANTARA BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PENGAWASAN BANK SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

0 0 8

Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Pada Industri Perasuransian Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

0 0 9

SISTEM PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN PADA JASA KEUANGAN SYARI’AH PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Analisis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan) - Raden Intan Repository

0 0 95