Pertanyaan Penelitian KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

dan dianggap penting untuk diformulasikan berdasarkan nilai-nilai esensialnya yang disebut sebagai “Maqashid al-Syari’ah”. A. PENGERTIAN EPISTIMOLOGI 1. Pengertian Etimologi Maqashid Syari’ah Secara literal Maqashid al- Syari’ah merupakan kata majmuk murakkab idlafi yang terdiri dari kata maqashid dan al- syari’ah. Menurut kata dasarnya, kedua kata tersebut masing- masing mempunyai pengertian tersendiri. Kata ”Maqashid” adalah jama’ plural dari kata ”maqshad” mashdar mimy dari kata kerja ”qashada, yaqshidu qashdan wa maqshadan ” yang memiliki arti sebagai legitimasi; komitmen terhadap jalan yang benar QS. Al-Nahl: 9 dan dapat diartikan juga sebagai keseimbangan dan moderat QS. Luqman : 19. Sedangkan kata ”Syari’ah” secara harfiah berasal dari akar kata syaraa dan memiliki dua arti yaitu: a sebagai sumber air mata air yang dapat digunakan sebagai air minum, orang Arab menyebutnya: masyraat al-m ã i artinya: maurid al-m ã i sumber air. b sebagai jalan yang benar lurus QS. Al-Jatsiyah: 18. Dalam kaitan ini, kedua arti di atas dapat dipadukan karena kata Syariah berarti jalan yang membekas menuju air karena sudah sering dilalui, tetapi digunakan dalam pengertian sehari-hari sebagai sumber air yang selalu diambil orang untuk keperluan hidup mere ka. Yusuf: 19 Dua kata di atas maqashid dan syari’ah jika digabung menjadi satu maka bisa menghasilkan makna sebagai ”maksud agama atau hal-hal yang menjadi maksud dan tujuan dalam agama”. 2. Pengertian Epistimologi Maqashid Syari’ah Ketika dilakukan pengkajian terhadap buku-buku Ushul Fiqh klasik tidak ditemukan ada diantara mereka yang memberikan batasan pengertian Maqashdi Syari’ah secara epistimologi, termasuk ulama yang mempunyai perhatian besar terhadap maqashid seperti Imam Al-Juweni, Al-Razi, Al-Gazali Al- ’Izz bin Abdussalam. Boleh jadi karena ”Maqashid Syariah” pada waktu itu belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, atau belum dianggap perlu untuk dijelaskan karena sudah jelas maknanya bagi kalangan tertentu. Imam Al-Ghazali -umpamanya- beliau dalam membahas Maqashid tidak memberikan batasan secara rinci mengenai pengertian Maqashid Syari’ah terkecuali hanya mengatakan bahwa; “wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya: ’an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa mãlahum ” tujuan syariat Allah SWT bagi makhluk-Nya adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka. al-Ghazali: 251 Demikian halnya dengan Asy-Syathibi, sekalipun beliau dianggap sebagai bapak Maqashid, namun beliau juga tidak secara tegas memberi definisi terhadap Maqashid, terkecuali mengatakan bahwa: “sesungguhnya syari’at itu bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat, atau hukum- hukum itu disyari’atkan untuk kemashaahatan manusia. Al-Syathibi: 6 . Sikap Al-Syathibi ini sempat dijustifikasi oleh muridnya Al- Raisuni dan mengatakan bahwa “ketika Imam Al-Syathibi menulis tesis Maqashid Syari’ahnya ia tidak memberikan definisi secara jelas dan tegas karena bisa saja beranggapan bahwa masalah tersebut sudah sangat terang benderang, dan karya