Ikan Batak (Neolissochillus sumatranus) Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) di Perairan Sungai Asahan

(1)

IKAN BATAK (Neolissochillus sumatranus)

SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN LOGAM BERAT

TIMBAL (Pb) DAN KADMIUM (Cd) DI PERAIRAN

SUNGAI ASAHAN

TESIS

Oleh

RINA MARINTAN SITOMPUL

117030002/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

IKAN BATAK (Neolissochillus sumatranus)

SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN LOGAM BERAT

TIMBAL (Pb) DAN KADMIUM (Cd) DI PERAIRAN

SUNGAI ASAHAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Biologi pada

Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera

Utara

Oleh

RINA MARINTAN SITOMPUL

117030002/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : Ikan Batak (Neolissochillus sumatranus) Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) di Perairan Sungai Asahan

Nama Mahasiswa : Rina Marintan Sitompul Nomor Induk Mahasiswa : 117030002

Program studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ing.Ternala Alexander Barus, M.Sc Prof.Dr.Syafruddin Ilyas. M.Biomed

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof.Dr.Syafruddin Ilyas. M.Biomed Dr. Sutarman, M.Sc


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

IKAN BATAK (Neolissochillus sumatranus)

SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN LOGAM BERAT

TIMBAL (Pb) DAN KADMIUM (Cd) DI PERAIRAN

SUNGAI ASAHAN

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah di jelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, 01 Agusutus 2013 Rina Marintan Sitompul NIM. 117030002


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Rina Marintan Sitompul

NIM : 117030002

Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan Ilmu Pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalti free Right) atas Tesis saya yang berjudul :

Ikan Batak (Neolissochillus sumatranus) Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) Di Perairan Sungai Asahan.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-data, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 01 Agusutus 2013 Rina Marintan Sitompul


(6)

Telah diuji pada

Tanggal : 01 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Ing.Ternala Alexander Barus. M.Sc Anggota : 1. Prof.Dr.Syafruddin Ilyas. M.Biomed

2. Dr. Hesti Wahyuningsih. M.si 3. Dr. Suci Rahayu. M.si


(7)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap berikut gelar : Rina Marintan Sitompul, S.Pd Tempat dan Tanggal lahir : Medan, 04 Agustus 1984

Alamat Rumah : Jl. Parkit 7 No. 238 Perumnas Mandala

Telepon/HP : 085275001645

E-mail : intansitompul96@yahoo.co.id

Instansi Tempat Bekerja : SMPN 3 SIBOLGA

Alamat Kantor : Jl. Alu-Alu no. 4 SIBOLGA

Telepon/HP :

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN 066431 MEDAN Tamat : 1996

SMP : SMPN 13 MEDAN Tamat : 1999

SMA : SMAN 11 MEDAN Tamat : 2002

Strata 1 : Pendidikan Biologi UNIMED Tamat : 2007 Strata 2 : Magister Biologi USU Tamat : 2013


(8)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmad dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Dengan selsesainya tesis ini, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Rector Universitas Sumatera Utara, Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Program Magister.

Dekan fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman, M.Sc atas kesemptan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara.

Ketua program Studi Magister Biologi, Prof.Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed. Sekretaris program Studi Magister Biologi, Dr. Suci Rahayu, M.Si beserta seluruh Staff pengajar pada Program Studi Magister Biologi Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Prof.Dr.Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc selaku Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian dan telah memberikan dorongan dan bimbingan, demikian juga kepada Prof.Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed selaku Pembimbing Lapangan yang dengan penuh kesabaran menuntun dan membimbing kami hingga selesainya penelitian ini.

Terima kepada Gubernur Sumatera Utara dan Kepala Bappeda Sumatera Utara yang telah memberikan Beasiswa S-2 kepada penulis.

Terima kasih kepada Ayah (Makmur Sitompul) dan Ibunda (Elmida Tanjung) serta suami tersayang (Mhd.Sori Haris Siregar), anakku terkasih (Afia Najah Siregar), adik-adikku (Elmar Sopyan Sitompul & Fatimah Desryani Sitompul), mertua (Serka S.M. Siregar & Siti Hari Hasibuan, S.Pd), Kepala Sekolah SMPN 3 Sibolga (Bpk. Drs. Herianto), keluarga besar SMPN 3 Sibolga, teman-teman satu tim penelitian (bg. Budi, Ria, dan mesra) semua teman-teman kuliah lainnya dan keluarga besar penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya. Terima kasih atas segala pengerbonan kalian baik berupa moril maupun materil. Budi baik ini tidak dapat dibalas hanya diserahkan kepada Allah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.


(9)

IKAN BATAK (Neolissochillus sumatranus) SEBAGAI

BIOINDIKATOR PENCEMARAN LOGAM BERAT TIMBAL

(Pb) DAN KADMIUM (Cd) DI PERAIRAN SUNGAI ASAHAN

ABSTRAK

Penelitian ikan batak (Neolissochillus sumatranus) sebagai bioindikator pencemaran logam berat Pb dan Cd di sungai Asahan. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Januari 2013 di 5 stasiun pengamatan. Sampel yang diambil adalah ikan dan air. Parameter yang diamati adalah logam berat (Pb dan Cd), kualitas air (temperatur, arus, kecerahan dan intensitas cahaya) dan unsur hara (nitrat dan posfat). Kandungan logam berat Pb di air (<0,01 mg/L) dan pada ikan (<0,054 mg/L) masih di diluar batas baca untuk deteksi limit. Kandungan Cd di air berkisar antara 0,002-0,007 mg/L, nilai ini masih dibawah baku mutu air golongan I (Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001), dan di air nilai Cd diluar batas baca untuk deteksi limit yaitu <0,003 mg/L. Konsentrasi logam (Pb dan Cd) di air dan ikan masih memenuhi standar baku mutu. Klasifikasi mutu air kelas IIL dengan metode storet disimpulkan bahwa setiap stasiun tergolong kualitas air kelas A kategori perairan baik sekali.


(10)

FISH BATAK (Neolissochillus sumatranus) AS BIOINDICATORS

OF HEAVY METAL POLUTION OF Pb AND Cd IN ASAHAN

RIVER

ABSTRACT

Research on fish batak (Neolissochillus sumatranus) as bioindicators of heavy metal pollution of Pb and Cd in Asahan river. The samples were taken on January 2013 at 5 stations. Samples were taken were fish and water. Parameters observed were heavy metals (Pb and Cd), water quality (temperature, flow, brightness and light intensity) and nutrients (nitrite and phosphat). Result of the study showed that heavy metals Pb content in water (<0,01 mg/L) and in fish (<0,054 mg/L) were still out of bounds read to the detection limit. The content of Cd in the water ranged from 0,002-0,007 mg/L,this value is still below the water quality standard class I (Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001) and in the water beyond the limits of of Cd value read for the detection limit is <0,003 mg/L. Concentrations of metals (Pb and Cd) in the water and the fish still meet quality standards. Water quality classification grade II with storet methods concluded that each station to class A water category very well.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ii

ABSTRAK iii

ABSTRACK iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Manfaat Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1. Pencemaran Sungai 5

2.2. Logam Berat 7

2.2.1. Pengertian Logam Berat 7

2.2.2. Karakteristik Logam Berat 8

2.2.3. Nilai Toksisitas Dan Bahaya Logam Berat 9

2.2.4. Jenis Logam Berat 10

2.2.4.1. Dampak Negatif Logam Berat Bagi Kesehatan 11

2.3. Bioindikator Pencemaran Logam Berat 12

2.3.1. Biologi Ikan Batak (Neolissochillus sumatranus) 13

2.4. Spektrofotometer Serapan Atom 15

2.5. Faktor Fisika Kimia Perairan 16

2.5.1. Parameter Fisika 17

2.5.2. Parameter Kimia 18

BAB 3 BAHAN DAN METODE 21

3.1. Waktu Dan Tempat 21

3.2. Metode Penelitian 21

3.3. Deskripsi Area 21

3.4. Metoda Pengambilan Sampel 24

3.5. Pengukuran Faktor Fisika Kimia Perairan 25

3.5.1. Temperatur Air 25

3.5.2. Kecerahan Air 26

3.5.3. Intensitas Cahaya 26


(12)

3.5.5. pH (Derajat Keasaman) 26

3.5.6. DO (Disolved Oxygen) 26

3.5.7. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) 27

3.5.8. Kandungan Nitrat (NO3) 28

3.5.9. Kandungan Posfat (PO43-) 28

3.6. Analisis Data 29

3.6.1. Analisis Kandungan Logam Berat 29

3.6.2. Metode storet 29

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 31

4.1..Nilai Faktor Fisika Kimia Perairan 31 4.2. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Metode Storet 37 4.3. Kadar Logam Berat Pb dan Cd pada Air Sungai 37 4.4. Kadar Logam Berat Pb dan Cd pada Ikan 39

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 41


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan

28 3.2 Klasssifikasi Mutu Air Berdasarkan Metode Storet 29 3.3 Pemberian Skor dalam Penentuan Indeks Storet 30 4.1 Faktor Fisik Kimia Air Sungai Asahan pada Stasiun

Penelitian berdasarkan PP No. 82 tahun 2001

31 4.2

4.3 4.4

Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Metode storet

Kandungan Pb dan Cd pada Air Sungai serta Standar Baku Mutu berdasarkan PP No. 82 tahun 2001

Kandungan Pb dan Cd pada Ikan di stasiun penelitian serta Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan berdasarkan SNI 7378: 2009

37 38 39


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

2.1 Neolisochillus sumatranus 14

2.2 Tor douronensis 14

2.3 Tor soro 14

2.4 Tor tambroides 15

3.1 Sungai Ponot 22

3.2 3.3 3.4 3.5

Sungai Baturangin Sungai Tangga Sungai Parhitean Sungai Hula-Huli

22 23 23 24


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Judul Halaman

A Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO L-1 B

C

Bagan Kerja Inkubasi Botol Winkler Untuk Mengukur BOD5

Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO3)

L-2 L-3

D Bagan Kerja Analisis Fospat (PO43-) L-4

E F G

Peta Lokasi Penelitian

Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan Berdasarkan SNI 7387:2009

Data Baku Mutu Berdasarkan PP. No. 82 Tahun 2001 Tanggal 14 Desember 2001

L-5 L-6 L-7


(16)

IKAN BATAK (Neolissochillus sumatranus) SEBAGAI

BIOINDIKATOR PENCEMARAN LOGAM BERAT TIMBAL

(Pb) DAN KADMIUM (Cd) DI PERAIRAN SUNGAI ASAHAN

ABSTRAK

Penelitian ikan batak (Neolissochillus sumatranus) sebagai bioindikator pencemaran logam berat Pb dan Cd di sungai Asahan. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Januari 2013 di 5 stasiun pengamatan. Sampel yang diambil adalah ikan dan air. Parameter yang diamati adalah logam berat (Pb dan Cd), kualitas air (temperatur, arus, kecerahan dan intensitas cahaya) dan unsur hara (nitrat dan posfat). Kandungan logam berat Pb di air (<0,01 mg/L) dan pada ikan (<0,054 mg/L) masih di diluar batas baca untuk deteksi limit. Kandungan Cd di air berkisar antara 0,002-0,007 mg/L, nilai ini masih dibawah baku mutu air golongan I (Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001), dan di air nilai Cd diluar batas baca untuk deteksi limit yaitu <0,003 mg/L. Konsentrasi logam (Pb dan Cd) di air dan ikan masih memenuhi standar baku mutu. Klasifikasi mutu air kelas IIL dengan metode storet disimpulkan bahwa setiap stasiun tergolong kualitas air kelas A kategori perairan baik sekali.


(17)

FISH BATAK (Neolissochillus sumatranus) AS BIOINDICATORS

OF HEAVY METAL POLUTION OF Pb AND Cd IN ASAHAN

RIVER

ABSTRACT

Research on fish batak (Neolissochillus sumatranus) as bioindicators of heavy metal pollution of Pb and Cd in Asahan river. The samples were taken on January 2013 at 5 stations. Samples were taken were fish and water. Parameters observed were heavy metals (Pb and Cd), water quality (temperature, flow, brightness and light intensity) and nutrients (nitrite and phosphat). Result of the study showed that heavy metals Pb content in water (<0,01 mg/L) and in fish (<0,054 mg/L) were still out of bounds read to the detection limit. The content of Cd in the water ranged from 0,002-0,007 mg/L,this value is still below the water quality standard class I (Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001) and in the water beyond the limits of of Cd value read for the detection limit is <0,003 mg/L. Concentrations of metals (Pb and Cd) in the water and the fish still meet quality standards. Water quality classification grade II with storet methods concluded that each station to class A water category very well.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sungai asahan secara geografis terletak pada 20056’46,2” LU dan 99051’51,4” BT dan merupakan salah satu sungai terbesar di Sumatera Utara, Indonesia. Sungai yang berhulu dari Danau Toba sampai ke Selat Malaka. Menurut Loebis (1999), daerah ini dibatasi oleh kontur ketinggian yang mengelilingi danau dan melintasi daerah Porsea, dimana panjang sungai asahan 150 km mengalirkan air keluar dari Danau Toba. Aliran-aliran sungai yang berarus deras disekitar Sungai Asahan serta diperbukitan yang sungainya jernih merupakan habitat alami ikan batak, baik dari genus Neolissochillus dan Tor.

Luas dari daerah aliran sungai asahan adalah 3741 km2, Sungai Asahan

mengalir melewati Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Asahan, dan Kota Tanjung Balai. Di tinjau dari aliran sungai yang demikian luas, maka sungai Asahan sangat berpotensi tercemar limbah dari aktivitas manusia antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan, pertanian, pemukiman, limbah industri/pabrik, TPL, perkebunan, keramba ikan, mandi, cuci, dan kakus (MCK), pariwisata, penambangan, dan sebagainya.

Salah satu bentuk pencemaran sungai yang membahayakan adalah logam berat. Logam berat merupakan salah satu bahan pencemar yang perlu mendapat perhatian khusus karena sifatnya yang sulit terdegradasi, sehingga mudah terakumulasi ke dalam lingkungan dan organisme perairan. Pencemaran logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan manusia, tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat dalam tubuh serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari logam berat mampu menghalangi kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen, atau karsinogen bagi manusia maupun hewan (Widowati et al., 2008). Logam-logam berat yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan


(19)

terutama adalah kadmium (Cd), timbal (Pb), merkuri (Hg), arsenik (As), khromium (Cr), dan nikel (Ni), (Fardiaz, 2001).

Beberapa logam berat diperlukan dalam jumlah yang kecil dan apabila logam berat melebihi ambang batas yang ditentukan dapat berbahaya bagi kehidupan (Koestoer, 1995). Timbal (Pb) mempunyai arti penting bagi dunia kesehatan karena sifat toksitasnya. Absorbsi timbal di dalam tubuh terjadi sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi dan menjadi dasar keracunan yang progresif. Keracunan timbal dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ tubuh, seperti sistem syaraf, sistem ginjal, sistem reproduksi, sistem endokrin, dan jantung (Palar, 1994). Kadmium (Cd) dapat menyebabkan nefrotoksisitas (toksik ginjal), dan pada keracunan kronis juga menyebabkan gangguan kardiovaskuler dan hipertensi (Darmono, 2001).

Ikan adalah salah satu biota air yang dapat digunakan sebagai bioindikator tingkat pencemaran air sungai dengan menentukan kandungan logam berat di dalam tubuh ikan. Jika di dalam tubuh ikan telah terkandung kadar logam yang tinggi dan melebihi batas normal yang telah ditentukan dapat dijadikan sebagai indikator terjadinya suatu pencemaran dalam lingkungan. Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Kandungan logam berat pada tubuh ikan erat kaitannya dengan pembuangan limbah industri di sekitar tempat hidup ikan tersebut, seperti sungai, danau, dan laut (Anand, 1978). Banyaknya logam berat yang terserap dan terdistribusi pada ikan bergantung pada bentuk senyawa dan konsentrasi polutan, aktivitas mikroorganisme, tekstur sedimen, serta jenis dan unsur ikan yang hidup di lingkungan tersebut (Darmono, 1995).

Ikan batak dikenal masyarakat batak sebagai ikan adat di Sumatera Utara, digunakan sebagai syarat pada upacara adat seperti pernikahan dan kelahiran anak. Ikan batak memiliki daging yang tebal, rasanya enak, manis, kaya minyak ikan,


(20)

dan harganya sangat mahal. Namun, populasi ikan tersebut mulai menurun dan terancam punah akibat degradasi lingkungan seperti pencemaran dan penangkapan berlebih (Tjahjo et al., 1995). Kebiasaan makan alami ikan batak bersifat omnivora. Diantaranya tumbuhan, buah Ficus sp., serangga, kepiting, udang, keong-keongan dan lumut-lumutan. Selain itu ikan ini aktif makan pada malam hari (Cholik et al, 2005).

Keberadaan zat pencemar dalam perairan akan mempengaruhi makhluk hidup yang ada didalamnya. Masuknya zat pencemar ke dalam tubuh biota air dapat melalui saluran pernafasan dan saluran pencernaan (Saeni, 1989). Melalui proses rantai makanan, memungkinkan perpindahan zat pencemar dalam hal ini logam berat dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup lain yang mengkonsumsinya. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian sejauh mana kandungan logam berat pada ikan batak (Neolissochillus sumatranus) di sungai Asahan.

1.2. Perumusan Masalah

Berbagai aktivitas yang berlangsung di sepanjang sungai Asahan dapat mengakibatkan perubahan kualitas air sungai Asahan yang berdampak pada akumulasi logam berat Pb dan Cd pada jaringan tubuh ikan khususnya ikan batak (Neolissochillus sumatranus) di sungai Asahan. Sejauh ini belum diketahui kandungan logam berat pada ikan batak (Neolissochillus sumatranus) di sungai Asahan.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui kadar logam berat Pb dan Cd pada air dan pada jaringan tubuh ikan batak di beberapa lokasi perairan Sungai Asahan.

2. Menghubungkan kadar logam berat Pb dan Cd pada ikan batak (Neolissochillus sumatranus) terhadap faktor fisika kimia perairan.


(21)

1.4. Manfaat Penelitian

Sumber informasi kepada masyarakat mengenai tingkat pencemaran logam berat terhadap ikan batak (Neolissochillus sumatranus) dan kepada instansi terkait dalam pengelolaan dan monitoring lingkungan perairan Sungai Asahan


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Sungai

Sungai merupakan jalan air alami, yang mengalir menuju samudera, danau, laut, atau ke sungai yang lain. Air dalam sungai umumnya terkumpul dari presipitasi, seperti hujan, embun, mata air, limpasan bawah tanah dan beberapa Negara tertentu air sungai juga berasal dari lelehan es/salju. Selain air, sungai juga mengalirkan sedimen dan polutan. Dalam sebuah aliran sungai, terdapat berbagai penggunaan lahan seperti hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman, perikanan, industri, dan sebagainya. Beban bahan pencemar yang menyebabkan penurunan kualitas air pada sebagian sungai berasal terutama dari limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertambangan dan limbah dari penggunaan lahan pertanian.

Limbah organik, logam berat, dan minyak yang masuk ke dalam air sangat berpengaruh terhadap organisme perairan. Logam berat merupakan bahan pencemar yang paling banyak ditemukan di perairan akibat limbah industri dan limbah perkotaan (Suin, 1994). Secara alamiah, unsur logam berat terdapat dalam perairan dalam jumlah yang sangat rendah. Kadar ini akan meningkat bila limbah yang banyak mengandung unsur logam berat masuk ke dalam lingkungan perairan, sehingga akan terjadi racun bagi organisme perairan (Hutagalung dan Rochyatun, 1995).

Berbagai macam kegiatan industri dan teknologi yang ada saat ini apabila tidak disertai dengan program pengelolaan limbah yang baik akan memungkinkan terjadinya pencemaran air, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Bahan buangan dan air limbah yang berasal dari kegiatan industri adalah penyebab utama terjadinya pencemaran air. Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam pengendalian dan pemantauan dampak lingkungan adalah melakukan analisis unsur-unsur dalam ikan yang hidup di sungai, terutama merkuri (Hg),


(23)

timbal (Pb), arsenik (Sa), Kadmium (Cd), chromium (Cr), dan nikel (Ni). Pencemaran air yang diakibatkan oleh dampak perkembangan industri harus dapat dikendalikan, karena bila tidak dilakukan sejak dini akan menimbulkan permasalahan yang serius bagi kelangsungan hidup manusia maupun alam sekitarnya. Pencemaran logam-logam tersebut dapat mempengaruhi dan menyebabkan penyakit pada konsumen, karena di dalam tubuh unsur yang berlebihan akan mengalami detoksifikasi sehingga membahayakan manusia (Palar, 1994).

Logam berat umumnya bersifat toksik dan berbahaya bagi organisme hidup, walaupun beberapa diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil. Apabila kadar logam berat sudah melebihi ambang batas yang ditentukan dapat membahayakan bagi kehidupan (Koestoer, 1995). Logam berat dalam konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan kematian beberapa jenis biota perairan. Disamping itu, dalam konsentrasi rendah logam berat dapat membunuh organisme hidup yang diawali dengan penumpukan logam berat dalam tubuh biota. Lama-kelamaan, penumpukan yang terjadi pada organ target air logam berat akan melebihi daya toleransi dari biotanya dan hal ini menjadi penyebab dari kematian biota terkait (Palar, 1994). Peningkatan kadar logam berat dalam air akan mengakibatkan logam berat yang semula dibutuhkan untuk berbagai proses metabolisme akan berubah menjadi racun bagi organisme (Hutagalung, 1997).

Pencemaran adalah masuknya zat atau energi oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung ke dalam lingkungan perairan yang menyebabkan efek merugikan karena merusak sumber daya hayati, membahayakan kesehatan manusia, menghalangi aktivitas perairan, menurunkan mutu perairan yang digunakan dan mengurangi kenyamanan di perairan bagi biota penghuninya (GESAMP, 1978). Pencemaran logam berat merupakan permasalahan yang sangat serius untuk ditangani, karena dapat merugikan lingkungan dan ekosistem secara umum. Salah satu yang perlu dilakukan dalam pengendalian lingkungan dan pemantauan dampak lingkungan adalah melakukan


(24)

analisis unsur-unsur logam berat, seperti Pb, Cu, Hg, Cd, dan lainnya dalam biota air tawar. Hal ini dikarenakan kemampuan biota air tawar dalam mengakumulasi logam esensial dan non esensial secara biologis sudah terbentuk dengan baik. Callahan (1979) menyatakan bahwa bioakumulasi merupakan proses yang menentukan keberadaan logam berat tertentu di dalam biota. Beberapa jenis logam berat yang dapat terlibat dalam proses bioakumulasi adalah Hg, Ar, Cd, Cr, Pb, Cu, dan Zn.

2.2. Logam Berat

2.2.1. Pengertian Logam Berat

Istilah logam biasanya diberikan kepada semua unsur-unsur kimia dengan ketentuan atau kaidah-kaidah tertentu. Unsur ini dalam kondisi suhu kamar, tidak selalu berbentuk padat melainkan ada yang cair, contohnya air raksa (Hg), serium (Ce) dan gallium (Ga). Melihat kepada bentuk dan kemampuan atau daya yang ada pada setiap logam, maka dapat diketahui bahwa setiap logam harus :

1. Memiliki kemampuan yang baik sebagai penghantar daya listrik (konduktor). 2. Memiliki kemampuan sebagai pengahantar panas yang baik.

3. Memiliki rapatan yang tinggi.

4. Dapat membentuk alloy dengan logam lainnya.

5. Untuk logam yang padat, dapat ditempa dan dibentuk (Palar, 1994).

Logam berat masih tergolong logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam-logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan dan atau masuk ke dalam tubuh organisme hidup. Sebagai contoh, bila unsur logam besi masuk ke dalam tubuh, meski dalam jumlah agak berlebihan, biasanya tidak menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap tubuh. Karena unsur besi dalam darah untuk mengikat oksigen. Sedangkan unsur logam berat baik itu logam berat beracun yang dipentingkan seperti tembaga (Cu) bila masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang berlebihan akan menimbulkan pengaruh-pengaruh buruk terhadap fungsi fisiologis tubuh. Jika yang masuk ke dalam tubuh organisme hidup adalah unsur logam berat


(25)

beracun separti hidragyrum (Hg) atau disebut juga air raksa, maka dapat dipastikan bahwa organisme tersebut akan langsung keracunan.

2.2.2. Karakteristik logam berat

Menurut Palar (2008) karakteristik dari kelompok logam berat adalah sebagai berikut :

1. Memiliki spesifikasi graviti yang sangat besar (lebih dari 4).

2. Mempunyai nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur-unsur lantanida dan aktinida.

3. Mempunyai respon biokimia khas (spesifik) pada organisme hidup.

Terdapat 80 jenis logam berat dari 109 unsur kimia di bumi ini. Logam berat dibagi ke dalam dua jenis :

1. Logam berat esensial ; adalah logam dalam jumlah tertentu yang sangat dibutuhkan oleh organisme. Dalam jumlah yang berlebihan, logam tersebut bisa menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn, dan lain sebagainya.

2. Logam berat tidak esensial ; adalah logam yang keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik, seperti Hg, Cd, Pb, Cr, dan lain-lain (Widowati et al., 2008).

Logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan manusia, tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat dalam tubuh serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari logam berat mampu menghalangi kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen, atau karsinogen bagi manusia maupun hewan. Menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) Tingkat toksisitas logam berat terhadap hewan air, mulai dari yang paling toksik adalah Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Sementara itu, tingkat toksisitas terhadap manusia dari yang paling toksik adalah Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn (Widowati et al., 2008).


(26)

Logam-logam berat yang terlarut dalam badan perairan, pada konsentrasi tertentu dan berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan. Meskipun daya racun yang ditimbulkan oleh satu jenis logam berat terhadap semua biota perairan tidak sama, namun kehancuran dari satu kelompok dapat menjadikan terputusnya satu mata rantai kehidupan. Pada tingkat lanjut, keadaan tersebut tentu saja dapat menghancurkan satu tatanan ekosistem perairan.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi daya racun dari logam-logam berat yang terlarut dalam badan perairan. Dari sekian banyak faktor yang menjadi penentu dari daya racun yang ditimbulkan oleh logam-logam berat terlarut, ada 4 faktor yang sangat penting, faktor-faktor tersebut adalah :

1. Bentuk logam dalam air, logam dalam bentuk senyawa organik atau senyawa anorganik.

2. Keberadaan logam-logam lain, adanya logam-logam lain dalam badan perairan dapat menyebabkan logam-logam tertentu menjadi sinergis atau sebaliknya.

3. Fisiologis dari biota (organisme).

4. Kondisi biota, berkaitan dengan fase-fase kehidupan yang dilalui oleh biota dalam hidupnya (Palar, 2008).

2.2.3. Nilai Toksisitas Dan Bahaya Dari Logam Berat

Faktor yang mempengaruhi daya racun dari logam berat dalam air tergantung dari bentuk senyawa logam berat tersebut, baik dalam bentuk organik maupun anorganik, maupun bentuk metal dan adanya logam lain. Pada umumnya senyawa organik lebih bersifat racun daripada bentuk senyawa anorganik. Misalnya senyawa metil merkuri, alkil Pb lebih beracun daripada bentuk Hg dan Pb anorganik (Harahap, 1991).

Toksisitas (daya racun) logam berat tergantung pada jenis, kadar, efek sinergis-antagonis dan bentuk fisika-kimianya. Semakin besar kadar logam berat, daya toksisitasnya semakin besar pula. Disamping faktor-faktor tersebut, faktor


(27)

lingkungan perairan seperti pH, kesadahan, suhu, salinitas juga turut mempengaruhi toksisitas logam berat. Penurunan pH menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Kesadahan dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam berat dalam air dengan kesadahan tinggi akan membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam air (Hutagalung, 1984).

2.2.4. Jenis Logam Berat

Adapun logam berat yang berbahaya adalah Plumbum atau Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd):

1. Timbal (Pb)

Timbal (Pb) atau dalam sehari-hari dikenal sebagai timah hitam adalah logam lunak berwarna coklat kehitaman dan mudah dimurnikan. Logam ini termasuk ke dalam kelompok logam-logam golongan IV-A pada Tabel Periodik unsur kimia mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan bobot atau berat atom (BA) 207,2 (Palar, 2008). Unsur Pb digunakan dalam bidang industri modern sebagai bahan pembuatan pipa air yang tahan terhadap korosi. Pigmen Pb digunakan sebagai pembuatan cat, baterai, dan campuran bahan bakar bensin tetraetil (Herman, 2006). Logam timbal di bumi jumlahnya sangat sedikit, yaitu 0,0002% dari jumlah kerak bumi bila dibandingkan dengan jumlah kandungan logam lainnya yang ada di bumi( Palar, 1994).

Timbal (Pb) adalah logam yang mendapat perhatian karena bersifat toksik melalui konsumsi makanan, minuman, udara, air, serta debu yang tercemar Pb. Intoksikasi Pb bisa terjadi melalui jalur oral, lewat makanan, minuman, pernafasan, kontak lewat kulit, kontak lewat mata, serta lewat parenteral (Riyadina, 1997). Menurut Widowati et al., 2008 Pencemaran Pb berasal dari emisi gas buangan kenderaan bermotor, dapat pula berasal dari buangan industri metalurgi, seperti korosi lead bearing alloys, pembakaran batu bara, asap pabrik yang mengolah alkil-Pb, serta Pb-oksida.

Pb (timah hitam) masuk ke perairan dapat terjadi secara alamiah dan sebagai dampak dari aktivitas manusia. Secara alamiah, Pb masuk ke badan


(28)

pearairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan, proses korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin. Sebagai dampak dari aktivitas manusia ada berbagai macam bentuk, seperti air buangan (limbah) dari industri yang berkaitan dengan Pb, air buangan pertambangan, buangan sisa industri baterai (Palar, 2008). Apabila jumlah Pb yang ada dalam perairan melebihi konsentrasi yang semestinya dapat mengakibatkan kematian bagi biota perairan tersebut.

2. Kadmium (Cd)

Logam Cd atau cadmium adalah logam yang lunak, ductile, berwarna putih sepaerti perak dan mempunyai penyebaran yang sangat luas di alam. Logam ini akan kehilangan kilapnya bila berada dalam udara yang basah atau lembab serta akan cepat mengalami kerusakan bila dikenai oleh uap ammonia (NH3) dan

sulfur hidroksida (SO2). Hanya satu jenis mineral cadmium di alam, yaitu mineral

greennockite (CdS) yang selalu ditemukan bersamaan dengan mineral spalerite (ZnS). Logam kadmium sangat banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari,

seperti sebagai bahan “stabilisasi’, sebagai bahan pewarna dalam industri plastik

dan pada electroplating. Sebagian digunakan untuk solder, pesawat terbang, baterai, peluru, dan sebagainya. Penggunaan Cd dan persenyawaannya ditemukan dalam industri pencelupan, fotografi, pengolahan roti, pengolahan ikan, pengolahan minuman, dan lain-lain.

2.2.4.1. Dampak Negatif Logam Berat Bagi Kesehatan

Dampak negatif dari logam Pb dan Cd terhadap manusia jika dikonsumsi dalam jumlah yang besar dan waktu yang lama, antara lain :

1. Timbal (Pb)

Timbal (Pb) adalah logam yang bersifat toksik terhadap manusia, yang berasal dari mengkonsumsi makanan, minuman, atau melalui inhalasi dari udara, debu yang tercemar Pb, kontak lewat kulit, kontak lewat mata, dan lewat parenteral. Di dalam tubuh manusia, Pb bisa menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam pambentukan hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil Pb diekskresikan lewat urin


(29)

atau feses karena sebagian terikat oleh protein, sedangkan sebagian lagi terakumulasi dalam ginjal, hati, kuku, jaringan lemak,dan rambut. Toksisitas Pb bersifat kronis dan akut, hal ini bisa terjadi jika Pb masuk ke dalam tubuh seseoarang melalui makanan atau menghirup gas Pb dalam waktu yang relatif pendek dengan dosis atau kadar yang relatif tinggi. Gejala-gejala akibat paparan Pb secara akut antara lain gangguan gastrointestinal, gangguan neurologi, gangguan fungsi ginjal, oliguria, dan gagal ginjal. Logam Pb (timbal) bisa merusak jaringan saraf, fungsi ginjal, menurunnya kemampuan belajar, dan membuat anak-anak bersifat hiperaktif, sistem reproduksi, sistem endokrin, jantung, gangguan pada otak anak-anak yang mengakibatkan anak mengalami gangguan kecerdasan dan mental (Widowati et al., 2008).

2. Kadmium (Cd)

Keracunan kadmium bisa bersifat kronis dan akut, paparan Cd secara akut bisa menyebabkan nekrosis pada ginjal dan paparan yang lebih lama berlanjut dengan terjadinya proteinuria. Sedangkan toksisitas kronis Cd dapat merusak sisitem fisiologis tubuh, antara lain system urinaria, system respirasi, system sirkulasi, jantung, system saraf, kerapuhan tulang (osteoporosis). Kadmium terabsorpsi lewat pencernaan, sehingga menyebabkan mual, muntah, diare, sakit perut, dan rejan. Inhalasi Cd menyebabkan demam, batuk, gelisah, sakit kepala, dan nyeri perut.

2.3. Bioindikator Pencemaran Logam Berat

Keberadaan logam berat dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biotanya. Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme akan mempengaruhi aktifitas dari organisme tersebut. Untuk menaksir efek toksologis beberapa logam berat dalam lingkungan perairan dapat meggunakan spesies yang mewakili lingkungan yang ada di perairan tersebut. Spesies yang diuji harus dipilih atas dasar kesamaan biokemis dan fisiologis dari spesies, dimana hasil percobaan digunakan. Kriteria organisme yang cocok untuk digunakan sebagai uji hayati tergantung dari beberapa faktor :


(30)

1. Organisme harus sensitif terhadap material beracun dan perubahan lingkungan. 2. Penyebarannya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak.

3. Mempunyai arti ekonomi, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara daerah maupun nasional.

4. Mudah dipelihara dalam laboratorium.

5. Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit. 6. Sesuai untuk kepentingan uji hayati (Widowati et al., 2008).

Kemampuan biota air mengakumulasi logam esensial dan non esensial secara biologis sudah terbentuk dengan baik. Jenkins (1980) melaporkan bahwa terdapat biokonsentrasi dan bio-akumulasi beberapa logam di dalam tumbuhan dan hewan. Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa pencemar terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi ini dapat ditunjukkan dalam percobaan di laboratorium, di mana terjadi perubahan aktifitas pernafasan yang besarnya perubahan diukur atas dasar irama

membuka dan menutupnya rongga “Buccal” dan ofer kulum. Menurut Wright

(1978) dan Philips (1980), faktor kepekatan (Perbandingan kepekatan logam pada hewan, µg/kg, terhadap air sekeliling, µg/L) untuk beragam jenis makhluk air berkisar antara 102 dan 106.

2.3.1. Biologi Ikan Batak (Neolissochillus sumatranus)

Adapun sistematika dari ikan batak adalah sebagai berikut : Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Cypryniformes Family : Cyprynidae

Genus : Neolissochillus, Tor

Spesies : Neolissoihillus sumatranus, Tor douronensis, Tor soro, Tor tambroides


(31)

Menurut Kottelat et al., (1993) adapun ciri-ciri yang dimiliki ikan batak adalah sebagai berikut :

1. Neolissochillus sumatranus memiliki lebar badan 3,1-3,5 kali lebih pendek dari panjang standar yaitu 7-8, sisik di depan sirip punggung, 4 baris pori-pori (masing-masing memiliki tubus yang keras) pada masing-masing sisi moncong dan di bawah mata, alur dari bagian belakang sampai ke bibir bawah terputus di bagian bawah. Penyebarannya meliputi Sumatera.

Gbr 2.1. Neolissochillus sumatranus

2. Tor douronensis memiliki cuping berukuran sedang pada bibir bawah tidak mencapai sudut mulut, bagian terakhir jari-jari terakhir sirip punggung yang mengeras panjangnya sama dengan panjang kepala tanpa moncong. Penyebarannya meliputi tanah Sunda dan Indocina.

Gbr 2.2. Tor douronensis

3. Tor soro, sirip dubur lebih pendek daripada sirip punggung dan bibir bawah tanpa celah ditengah. Penyebarannya meliputi Sumatera, Jawa, Malaya, Burma, Thailand, dan Indochina.


(32)

4. Tor tambroides, memiliki cuping di pertengahan bibir bawah yang mencapai ujung mulut. Penyebarannya meliputi Sumatera, Borneo, Jawa, Burma, Thailand, dan Laos.

Gbr 2.4. Tor tambroides

2.4. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)

Spektrofotometer Serapan Atom adalah suatu metode pengukuran kuantitatif suatu unsur yang terdapat dalam cuplikan berdasarkan penerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh atom-atom dalam bentuk gas dalam keadaan dasar. Prinsip pada absorpsi cahaya oleh atom, Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang tertentu mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektron suatu atom. Transisi elektron suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar akan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi (Khopkar, 2003).

Menurut Vogel (1978) pembentukan atom-atom logam gas dalam nyala dapat terjadi bila suatu larutan sampel yang mengandung logam dimasukkan ke dalam nyala. Peristiwa yang terjadi secara singkat setelah sampel dimasukkan ke dalam nyala adalah :

1. Penguapan pelarut yang meninggalkan residu padat

2. Perubahan zat padat dengan disosiasi menjadi atom-atom penyusunnya, yang mula-mula akan berada dalam keadaan dasar

3. Beberapa atom dapat tereksitasi oleh energi termal nyala ke tingkatan- tingkatan energi yang lebih tinggi, dan mencapai kondisi dalam mana atom akan memancarkan energi.


(33)

Metode spektrofotometri Serapan Atom mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan metode spektrofotometri nyala. Pada metoda spektrofotometri nyala, emisi tergantung pada sumber eksitasi. Bila eksitasi dilakukan secara termal maka hal ini bergantung pada temperatur sumber. Selain itu eksitasi termal tidak selalu spesifik, dan eksitasi secara secara serentak pada berbagai jenis logam dalam suatu sampel dapat saja terjadi. Pada metode Spektrofotometri Serapan Atom, perbandingan banyaknya atom yang tereksitasi terhadap atom yang berada pada tingkat dasar harus cukup besar, karena metode serapan atom hanya tergantung pada perbandingan ini dan tidak bergantung pada nyala. Metode serapan sangatlah spesifik, logam–logam yang menbentuk campuran kompleks dapat dianalisis dan selain itu tidak selalu diperlukan sumber energi yang besar. Ini tidak berarti bahwa faktor suhu pada Spektrofotometri Serapan Atom tidak diperlukan pengontrolan, karena walaupun pengukuran absorban atom-atom di dalam nyala tidak dipengaruhi oleh suhu nyala secara langsung, tetapi secara tidak langsung suhu nyala tersebut berpengaruh juga terhadap absorban (Khopkar, 2002).

Adapun keuntungan penggunaan metode spektrofotometer serapan atom (SSA) adalah sebagai berikut :

1. Metode analisis (SSA) dapat menentukan hampir keseluruhan unsur logam. 2. Metode analisis (SSA) dapat menentukan logam dalam skala kualitatif

karena lampunya 1 (satu) untuk setiap 1 logam.

3. Analisis unsure logam langsung dapat ditentukan walau sampel dalam bentuk campuran.

4. Analisis unsur logam dengan SSA didapat hasil kuantitatif.

5. Analisis dapat diulangi beberapa kali, dan akan selalu di peroleh hasil yang sama

2.5. Faktor Fisika Kimia Perairan

Perairan pada umumnya merupakan ekosistem yang rentan terhadap faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi, baik faktor abiotik maupun faktor


(34)

biotik. Faktor yang mempengaruhi ekosistem ini ada yang merugikan dan ada yang menguntungkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, perlu juga dilakukan pengamatan terhadap faktor abiotik, sehingga diperoleh suatu gambaran tentang kualitas suatu perairan.

2.5.1 Parameter Fisika 2.5.1.1 Temperatur

Dibandingkan dengan udara, air mempunyai kapasitas panas yang lebih tinggi. Untuk memanaskan sebanyak 1 kg air dari 15 0C menjadi 160C. Dalam setiap penelitian air, pengukuran temperatur mutlak dilakukan. Hal ini dikarenakan karena kelarutan berbagai jenis gas didalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis didalam ekosistem air sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum VAN’ HOFFS, kenaikan temperatur sebesar 100C (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditoleri) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat.

2.5.1.2. Intensitas Cahaya Matahari

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisxan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami penurunan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai ke bagian dasar. Dengan demikian kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda (Barus, 2004).


(35)

2.5.1.3. Kecerahan

Kedalaman penetrasi cahaya yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara lain absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik dan musim (Nybakken, 1992). Intensitas cahaya matahari mempengaruhi produktivitas primer, hasil perubahan energi cahaya matahari menjadi energi kimia dapat diperoleh melalui proses fotosintesis oleh tumbuhan hijau. Proses fotosintesa sangat tergantung pada intensitas cahaya matahari, konsentrasi CO2, oksigen

terlarut dan temperatur perairan. Oleh karena itu tumbuhan hijau sangat tergantung pada kecerahan suatu perairan karena mempengaruhi proses fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya (Barus, 2004).

2.5.1.4. Arus

Pada perairan lotik maupun lentik arus mempunyai peranan yang sangat penting, hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas terlarut, dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan aliran air akan bervariasi secara vertikal. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen, yaitu arus air yang bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh bagian dari perairan tersebut (Barus, 2004).

2.5.2 Parameter Kimia 2.5.2.1pH

Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan, didefinisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara matematis dinyatakan sebagai pH = log l/H-,dimana H- adalah banyaknya ion hidrogen dalam per mol per liter larutan. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme pada umumnya antara 7-8,5. Kondisi yang sangat asam atau pun basa


(36)

sangat membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Baur 1987, Brakke et al. 1992, Brehm & meuering 1990 dalam Barus, 2004).

2.5.2.2. Oksigen terlarut (DO = Disolved Oxygen)

Oksigen terlarut merupakan hal terpenting di dalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas. Apabila oksigen dalam bentuk terlarut, disebut keadaan aerob, apabila terdapat dalam bentuk tidak terlarut tetapi berikatan dengan unsur lain seperti NO2 dan NO3 disebut keadaan

anoksik, sedangkan apabila tidak terdapat sama sekali oksigen dalam air, baik yang terlarut maupun yang membentuk ikatan denagan unsur lain disebut keadaan anaerob. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor temperatur dan jumlah garam terlarut dalam air.

2.5.2.3. BOD5 (Biological Oxygen Demand)

Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada temperatur 200C. Pengukuran yang umum dilakukan adalah selama 5 hari atau BOD5. (Forstner, 1990 dalam Barus, 2004). Angka BOD yang tinggi

menunjukkan terjadinya pencemaran organik di perairan. Brower et al dalam Barus, (2004) menyatakan nilai BOD5 menunjukkan kualitas suatu perairan masih

tergolong baik apabila konsumsi O2 selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l. 2.5.2.4. Kandungan Nitrat dan Fosfat

Amonium dan amoniak merupakan produk akhir dari penguraian protein yang masuk ke dalam badan sungai terutama melalui limbah domestic. Konsentrasinya di dalam sungai akan semakin berkurang bila semakin jauh dari titik pembuangan yang disebabkan adanya aktifitas mikro organisme di dalam air. Mikroorganisme tersebut akan mengoksidasi ammonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat. Penguraian ini dikenal sebagai proses nitrifikasi. Proses oksidasi ammonium


(37)

menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri jenis Nitrosomonas, nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter.

NH4 (Amonium) + O2 NO2 (Nitrit)

Nitrosomonas

NO2 (Nitrit) + O2 NO3 (Nitrat)

Nitrobacter

Proses oksidasi tersebut akan menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut semakin berkurang, terutama musim kemarau saat hujan sangat sedikit, dimana volume air di sungai menjadi rendah. Tingginya temperatur dan apabila volume limbah tidak berkurang akan menyebabkan laju oksidasi tersebut meningkat tajam. Keadaan ini bisa mengakibatkan konsentrasi oksigen menjadi sangat rendah sehingga menimbulkan kondisi yang kritis bagi organisme air (Barus, 2004).

Unsur fosfor dalam perairan sangat penting, terutama dalam pembentukan protein dan metabolism bagi organisme. Fosfor dalam suatu perairan alami berasal dari pelapukan batuan. Sumber fosfat lainnya berasal dari buangan limbah rumah tangga, limbah pertanian dan buangan limbah beberapa industri. Perairan yang mengandung fosfat tinggi melebihi kebutuhan normal organisme nabati yang ada, akan dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Kualitas air yang baik dan aman bagi organisme yang ada, maka konsentrasi fosfat tidak melebihi dari 50 ppm (Barus, 2004).


(38)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Survey awal dilaksanakan pada tanggal 30 Juli 2012 untuk menentukan daerah penelitian atau titik stasiun. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 12-15 November 2012. Pengujian logam berat dilaksanakan pada bulan Januari 2013 di balai riset dan standarisasi industri Medan dan badan lingkungan hidup.

3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan adalah Purposive Random Sampling pada 5 (lima) stasiun pengamatan.

3.3. Deskripsi Area

Lokasi pengambilan sampel pada 5 titik stasiun yang sudah ditentukan pada hulu aliran Sungai Asahan di Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Asahan memiliki letak dan geografis sebagai berikut :

1. Stasiun 1

Stasiun ini secara geografis terletak pada 02033’17,3” LU – 099018’23,8” BT, disebut sungai Ponot yang terletak di Kabupaten Asahan. Daerah dengan arus sungai yang kecil dan berbatu-batu, terdapat air terjun ponot diatas sungai dan Air sungai yang bersih. Daerah ini merupakan kawasan wisata.


(39)

2. Stasiun 2

Stasiun ini secara geografis terletak pada 02033’06,6” LU – 099018’53,7” BT, disebut sungai Baturangin yang terletak di Kabupaten Asahan. Merupakan kawasan penambangan batu, sungai yang dangkal dan berbatu-batu. Air sungai bersih, terletak di bagian selatan Asahan.

Gambar 3.2. Sungai Baturangin 3. Stasiun 3

Stasiun ini secara geografis terletak pada 02033’34,4” LU – 099018’36,7” BT, disebut sungai Tangga yang terletak di Kabupaten Asahan. Daerah ini merupakan pertemuan air sungai dari stasiun 1 dan stasiun 2. Terdapat Power house PLN. Banyaknya batuan ditepi sungai, arus sungai deras, dan air sungai bersih.


(40)

4. Stasiun 4

Stasiun ini secara geografis terletak pada 02033’53,0” LU – 099020’05,9” BT, disebut sungai Parhitean yang terletak di Kabupaten Asahan. Sungai yang berarus deras, mempunyai endapan (sedimen), sedikit berbatu dan batu terletak dipinggir, dan merupakan kawasan pemukiman penduduk.

Gambar 3.4. Parhitean

5. Stasiun 5

Stasiun ini secara geografis terletak pada 02033’58,0” LU – 099022’1,3” BT, disebut sungai Hula-huli yang terletak di Kabupaten Toba Samosir. Sungai yang berarus deras, sedikit berbatu dan batu terletak di pinggir sungai, mempunyai endapan (sedimen). Daerah ini merupakan kawasan perkebunan sawit dan persawahan.


(41)

3.4. Metode Pengambilan Sampel 1. Ikan

a. Elektrofishing

Pengambilan sampel ikan batak (Neolissochillus sumatranus) dilakukan di setiap stasiun dengan menggunakan electrofishing dengan kekuatan 24 volt dan arus 18 ampere, dimasukkan ke dalam air sungai dan dioperasikan selama 30 menit dari hulu ke hilir dengan jangkauan hingga 50 meter. Ikan yang pingsan diambil menggunakan tanggok, kemudian disortir dan dibersihkan. Daging ikan dipisahkan dari duri dengan menggunakan pisau bedah, daging ikan yang telah dipisahkan dari duri dicuci dengan aquades, dimasukkan ke plastik clep, diberi label dan diawetkan. Sampel dibawa ke laboratorium balai riset dan standarisasi Medan, Sumatera Utara.

b. Jala

Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menggunakan jala dengan ukuran luas 4 m2 selama 30 menit yaitu dengan melemparkan ke arah badan sungai atau pinggir sungai dengan tiga kali ulangan. Semua hasil tangkapan sampel ikan segera difoto dengan kamera digital, disortir dan dibersihkan. Daging ikan dipisahkan dari duri dengan menggunakan pisau bedah, dan dicuci dengan aquades. Dimasukkan ke plastik clep dan diberi label, dimasukkan kedalam cool box berisi ice pack dan nantinya akan dibawa ke laboratorium untuk analisa lebih lanjut.

Pengukuran Pb dan Cd dalam daging ikan Neolissochillus sumatranus dilakukan di laboratorium balai riset dan standarisasi medan (Sumut). Ikan Neolissochillus sumatranus dicuci menggunakan aquades dan dipisahkan dari durinya, diambil dagingnya. Daging ikan di blender (dihomogenitaskan), ditimbang di dalam cawan sebanyak 2 gr. Selanjutnya dipanaskan menggunakan oven dengan suhu 1050C selama 2 jam untuk menghilangkan unsur air dari daging ikan, diarangkan di atas api Bunsen (hot plate) sampai hilang asap. Kemudian cawan porselen dimasukkan ke dalam Fornace (tanur) dengan suhu 5500C selama


(42)

± 3 jam sampai menjadi abu. Abu yang dihasilkan dicampur dengan larutan aquabides asam (campuran 1 L aquades + 1,5 ml HNO3), dalam labu ukur 550 ml.

Disaring menggunakan kertas saring whatman no. 42, hasil saringan dibaca dengan menggunakan alat AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) untuk mengukur kadar Pb dan Cd.

2. Air

Pengambilan sampel air dilakukan pada permukaan, tengah dan dasar sungai dengan menggunakan ember. Sampel air yang diperoleh dari masing-masing lokasi dicampur pada satu wadah yang kemudian dituang ke dalam botol polietilen. Botol polietilen ditutup dan diberi label, sampel dibawa ke laboratorium badan lingkungan hidup (BLH), Sumatera Utara untuk melakukan pengukuran Cd dan Pb. Pengukuran logam berat dilakukan dengan menggunakan metoda AAS (Atomic Absorbtion Spectrophotometer), alat ini dapat mendeteksi kandungan logam berat dalam contoh dengan batas deteksi untuk masing-masing logam berat adalah : Cd ≥ 0,004 ppm, Pb ≥ 0,01 ppm.

3.5. Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan 3.51. TemperaturAir

Temperatur diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang berskala 0 - 50 0C dimasukkan ke dalam air sedalam kurang lebih 10 cm dan dibiarkan selama 3 menit. Selanjutnya termometer tersebut diangkat dan untuk menghindari perubahan, maka kemudian temperatur langsung dibaca (Barus, 2004).

3.5.2. Kecerahan Air

Diukur dengan menggunakan keping secchi (Secchi Disk) yang berbentuk bulat dengan diameter 20 cm yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping secchi tidak terlihat lagi dari permukaan, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air (Barus, 2004).


(43)

3.5.3.Intensitas Cahaya

Diukur dengan menggunakan Fluxmeter yang diarahkan ke posisi cahaya matahari dengan posisi tegak lurus selama 5 menit dan selanjutnya membaca pada display nilai besarnya intensitas cahaya matahari pada Fluxmeter.

3.5.4. Kecepatan Arus Air

Pengukuran kecepatan arus air dilakukan menggunakan bola pingpong, dengan cara menghanyutkan bola pingpong pada jarak tertentu (10 m) di permukaan air. Kemudian dengan menggunakan stopwatch dihitung waktu yang ditempuh oleh bola pingpong pada jarak yang sudah ditentukan tersebut (Barus, 2004).

3.5.5. pH (derajat Keasaman)

Nilai pH diukur dengan menggunakan pH-meter dengan cara memasukkan pH-meter ke dalam sampel air yang diukur selanjutnya angka yang tertera pada display stabil, langsung dibaca dan angka tersebut menunjukkan nilai pH air yang diukur pada pH-meter tersebut (Barus, 2004).

3.5.6. DO (Disolved Oxygen)

DO diukur dengan menggunakan metode winkler dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler kemudian ditambahkan 1 ml mangan sulfat diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol winkler ditutup dan dibolak balik secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih/coklat, kemudian diberi larutan 1 ml asam sulfat pekat lalu botol winkler kembali dibolak balik secara perlahan-lahan sehingga didapatkan larutan warna coklat. Ambil larutan dari botol winkler tersebut dengan 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N NaS2O3

sampai warna larutan berwarna kuning pucat, tambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru. Kemudian dilakukan titrasi dengan larutan 0,0125 N NaS2O3 hingga warna biru hilang secara sempurna atau berwarna bening dan


(44)

terakhir menghitung volume NaS2O3 yang terpakai yang merupakan nilai DO

akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O2

dalam 1 liter air sampel (Suin, 2002 ; Barus, 2004). (Lampiran A).

3.5.7. BOD5(Biochemichal Oxygen Demand)

Pengukuran BOD dilakukan dengan mengambil sampel air yang akan diukur nilai BOD dimasukkan kedalam botol winkler dan disimpan selama 5 hari pada temperatur konstan 20 0C, setelah 5 hari dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler ditambahkan 1 ml MnSO4

diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol winkler ditutup dan dibolak balik secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih/coklat, kemudian diberi larutan 1 ml H2SO4 pekat lalu botol winkler kembali dibolak

balik secara perlahan-lahan sehingga didapatkan larutan warna coklat. Ambil larutan dari botol winkler tersebut sebanyak 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N NaS2O3 sampai

warna larutan berwarna kuning pucat dan tambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru. Kemudian lakukan titrasi dengan larutan 0,0125 N NaS2O3 hingga warna biru hilang secara sempurna atau berwarna bening dan

terakhir menghitung volume NaS2O3 yang terpakai yang merupakan nilai DO

akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O2

dalam 1 liter air sampel. Selisih nilai DO yang diperoleh antara saat awal dan akhir adalah merupakan nilai BOD5 dari sampel air tersebut (Suin, 2002 ; Barus,

2004). (Lampiran B)

3.5.8.Kandungan Nitrat (NO3)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi dengan 1 ml NaCl selanjutnya ditambahkan 5 ml H

2SO4 dan 4 tetes asam Brucine Sulfat Sulfanik.

Larutan ini dipanaskan selama 25 menit pada suhu 950C kemudian didinginkan, kandungan nitrat dapat diukur dengan spektrofotometri pada γ = 410 nm (Suin, 2002). (Lampiran C)


(45)

3.5.9.Kandungan Fosfat (PO43-)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi dengan reagen Amstrong sebanyak 2 ml ditambahkan n 1 ml asam askorbat. Larutan didiamkan selama 20 menit kemudian konsentrasi Posfat dapat diukur dengan

spektrofotometri pada γ = 880 nm (Suin, 2002). (Lampiran D)

Tabel 3.1. Alat dan Satuan Yang Dipergunakan Dalam Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia Perairan

N o

Parameter Fisika-Kimia

Satuan Alat Tempat

Pengukuran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Intensitas Cahaya Kecerahan Temperatur Air DO pH BOD5

Nitrat & Posfat Arus Pb Cd candella cm o C mg/l - mg/l mg/l m/s ppm ppm Luxmeter Keping secchi

Termometer air raksa Metode Winkler pH meter Metode Winkler&Inkubasi Spektrofotometer Bola Pimpong AAS AAS In-situ In-situ In-situ In-situ In-situ Laboratorium Laboratorium In-situ Laboratorium Laboratorium

3.6. Analisis Data

3.6.1. Kandungan Logam Berat

Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan kandungan logam berat pada ikan batak terhadap batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan menurut SNI 7387 : 2009. Sedangkan kandungan logam berat dalam air dibandingkan dengan baku mutu air menurut PP.RI No.82 Tahun 2001. (Lampiran F)

3.6.2. Metode Storet

Metode Storet merupakan salah satu metode untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Dengan metode storet dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi dan melampau baku mutu air. Secara prinsip


(46)

metode storet membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya dengan menggunakan status mutu air. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dengan parameter-parameter tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Ratnaningsih, 2010).

Nilai parameter fisika kimia lingkungan air Sungai Asahan yang diukur mengacu pada kriteria mutu air menurut PP No. 82 Tahun 2001 (Lampiran G).

Pada merode storet, status mutu air dengan menggunakan sistem klasifikasi US-EPA (Enviromental Protection Agency), dinyatakan pada Tabel 3.2. berikut:

Tabel 3.2. Klasifikasi Mutu Air Berdasarkan Metode Storet

No. Kelas Skor Karakteristik Kualitas Air

1 A 0 Baik sekali

2 B -1 s/d -10 Baik

3 C -10 s/d -30 Tercemar sedang

4 D ≤ -31 Tercemar berat

Penentu status mutu air dengan menggunakan metode storet dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Hitung nilai maksimum, minimum dan rata-rata setiap parameter kualitas air yang diamati, kemudian cantumkan dalam tabel

2. Bandingkan nilai rata-rata, nilai maksimum, dan nilai minimum dari masing-masing parameter kualitas air tersebut dengan nilai baku mutu

3. Jika nilai-nilai dari hasil pengukuran tersebut memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor 0 (nol)

4. Jika nilai-nilai tersebut tidak memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi skor tertentu sebagai berikut (Tabel 3.3) :

a. Bila jumlah data (pengamatan) kurang dari 10, maka untuk nilai maksimum, minimum dan rata-rata untuk parameter fisika berturut-turut diberi skor (-1,-1-3), untuk parameter kimia (-2,-2,-6), dan untuk parameter biologi (-3,-3,-9).

b. Bila jumlah data sama atau lebih dari 10, maka untuk nilai maksimum, minimum, dan rata-rata untuk parameter fisika berturut-turut diberi skor


(47)

(-2,-2,-6), untuk parameter kimia (-4,-4,-12), dan untuk parameter biologi (-6,-6,-18).

5. Nilai IKA Storet adalah nilai penjumlahan dari skor yang ada

6. Berdasarkan nilai total skor tersebut kualitas perairan dapat digolongkan apakah baik sekali, baik, tercemar sedang atau tercemar berat sebagaimana dijelaskan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Pemberian Skor dalam Penentuan Indeks Storet Jumlah

Data

Nilai Parameter

Fisika Kimia Biologi

< 10 Maksimum -1 -2 -3

Minimum -1 -2 -3

Rata-rata -3 -6 -9

≥ 10 Maksimum -2 -4 -6

Minimum -2 -4 -6


(48)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Nilai Faktor Fisika Kimia Perairan

Data hasil pengukuran faktor fisika kimia di setiap stasiun penelitian di Sungai Asahan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Faktor fisika kimia air Sungai Asahan pada stasiun penelitian berdasarkan PP No. 82 tahun 2001.

a. Temperatur

Dari penelitian yang telah dilakukan nilai rata-rata suhu yang diperoleh berkisar antara 22-26ºC, dan suhu tertinggi terdapat pada stasiun 5 dan stasiun 4, yaitu dengan nilai 26ºC. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa nilai temperatur diperairan tergolong normal. Hal ini disebabkan karena pengambilan sampel dilakukan pada siang hari dengan cuaca yang cerah.

Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketingggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Di samping itu, pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor

N o

Parameter Satuan Nilai Rata-rata Baku mutu Air (Kelas III) Stasiun

1 2 3 4 5

FISIK

1. Temperatur oC 23 22 24 26 26 Deviasi 3

2. Arus m/s 0,5 0,8 0,6 0,5 0,8 -

3. Kecerahan cm 80 65 70 76 75 -

4. Intensitas Cahaya candella 1490 1055 1114 1778 1157 -

KIMIA

5. pH - 6,2 6,3 6,3 6,5 6,6 6-9

6. DO mg/l 8,2 8,0 7,6 7,1 7,6 > 4

7. BOD5 mg/l 4,6 4,1 3,2 3,1 3,9 3

8. Nitrat mg/l 0,1 0,2 0,2 0,1 0,1 20


(49)

yang diakibatkan oleh manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengakibatkan hilangnya perlindungan sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.

b. Kecepatan Arus

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh nilai kecepatan arus berkisar antar 0,5- 0,8 m/s, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 5 dan stasiun 2 dengan nilai 0,8 m/s. Hal ini disebabkan karena stasiun 5 atau Sungai Hula-Huli mempunyai kedalaman yang lebih besar dibandingkan dengan stasiun lainnya. Berdasarkan kecepatan arus, Welch (1952) mengelompokkan sungai menjadi berarus sangat deras (>100 cm/detik), arus cepat (50-100 cm/detik), arus sedang (25-50 cm/detik), arus lambat (10-25 cm/detik), dan arus sangat lambat (>10 cm/detik).

Arus merupakan faktor pembatas pada aliran air, arus yang tertentu dan berkesinambungan adalah ciri utama habitat lotik. Arus merupakan faktor yang penting dalam susunan struktur komunitas setempat pada ekosistem lotik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan arus ditentukan oleh kemiringan, kekasaran, kedalaman, dan kedalam dasarnya (Hynes, 1986).

Menurut Welch (1952), arus mempengaruhi transportasi sedimen dan mengikis substrat dasar perairan. Kecepatan dan tipe arus berpengaruh langsung terhadap pembentukan substrat dasar perairan, aerasi air, dan meningkatnya proses pembusukan. Hal ini didukung oleh Nugroho (2006), menyatakan bahwa kecepatan arus sangat menentukan habitat alamiah pada suatu perairan. Arus yang deras pada perairan lotik mempengaruhi pola pendistribusian oksigen. Semakin tinggi arus maka akan meningkatkan kandungan oksigen terlarut dan semakin tinggi arus air maka kandungan CO2 rendah (Asdak, 1995).


(50)

c. Kecerahan

Dari penelitian yang telah dilakukan nilai rata-rata kecerahan yang diperoleh berkisar antara 65-80 cm, dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1, yaitu dengan nilai 80 cm. Hal ini disebabkan karena pengambilan sampel dilakukan pada siang hari dengan cuaca yang cerah dan kondisi sungai yang nampak jernih.

Menurut Sastrawijaya (1991), menjelaskan bahwa cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut. Selain itu, kekeruhan air terjadi disebabkan adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta zat yang terurai secara halus sekali, jasad-jasad renik, lumpur tanah liat dan adanya zat-zat koloid yang tidak mengendap dengan segera (Mahida, 1993). Penetrasi cahaya atau kecerahan adalah batas pandang kedalam air untuk melihat warna putih yang berada dalam air. Semakin keruh badan air maka akan semakin dekat batas pandangnya, sebaliknya jika airnya jernih maka batas pandang akan jauh. Cahaya matahari akan menentukan intensitas dan kecerahan pada kedalaman tertentu dan akan mempengaruhi suhu perairan (Nugroho, 2006).

d. Intensitas Cahaya

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai intensitas cahaya berkisar antara 1.055-1.778 candella, dengan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 1.778 candella. Hal ini terjadi karena pada stasiun 4 daerah sungai terbuka, sehingga cahaya matahari langsung masuk kedalam badan air tanpa adanya penghalang.

Menurut Tarumingkeng (2001), bahwa antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari permukaan air, letak geografis dan musiman.


(51)

e. pH

Nilai pH yang diperoleh dari setiap stasiun berkisar antara 6,2-6,6, dimana stasiun 5 memiliki pH dengan nilai tertinggi yaitu 6,6. Rendahnya pH pada stasiun 1 disebabkan karena senyawa organik maupun anorganik yang lebih banyak dibandingkan stasiun yang lain. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa nilai pH pada setiap stasiun masih tergolong normal.

Menurut Kristanto (2002), bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. pH air sangat berpengaruh terhadap organisasi air, baik tumbuhan maupun hewan yang hidup di dalamnya. pH air dapat digunakan untuk menyatakan baik buruknya kondisi suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Adapun pH air yang dapat menjadikan ikan dapat tumbuh secara optimal yaitu berkisar antara 6,5-9,0 (Cahyono, 2000).

f. DO (Dissolved Oxygen)

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh rata-rata DO berkisar antara 7,1-8,2 mg/l. DO tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu sebesar 7,1-8,2 mg/l. Menurut Barus (2004), Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting didalam ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang mempunyai konsentrasi sebanyak 21% volume, air hanya mampu menyerap 1% volume saja. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa nilai DO (Dissolved Oxygen) pada setiap stasiun masih tergolong normal.

Menurut Sastrawijaya (1991), oksigen terlarut bergantung kepada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya, yang bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik


(52)

yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan mati dan organisme anaerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida.

g. BOD(Biochemical Oxygen Demand)

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh rata-rata BODberkisar antara 3,1-4,6 mg/l, dan nilai BOD tertinggi terdapat pada stasiun 5 yaitu sebesar 3,1-4,6 mg/l. Tingginya nilai BOD pada stasiun 1 disebabkan oleh banyaknya kandungan senyawa organik dan anorganik yang terdapat dalam badan perairan tersebut sehingga membutuhkan banyak oksigen untuk menguraikannya. Sedangkan nilai BOD terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 3,1 mg/l. Rendahnya BOD pada stasiun 4 dapat disebabkan oleh senyawa organik maupun anorganik yang terdapat pada stasiun tersebut masih tergolong rendah. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa nilai BOD(Biochemical Oxygen Demand) pada setiap stasiun masih tergolong normal.

Menurut Kristanto (2002), BOD menunjukkan jumlah oksigen yang terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan (limbah) di dalam air. Konsumsi oksigen tinggi ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air, berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi.

h. Kadar Nitrat

Dari data di atas menunjukkan bahwa hasil pengukuran nitrat berkisar antara 0,1-0,2 mg/l. Nilai kandungan nitrat tertinggi didapatkan pada stasiun 2 dan 3 sebesar 0,2 mg/l, tingginya nilai kandungan nitrat pada stasiun ini berasal dari

pembusukan vegetasi yang terbawa oleh arus dari hulu sungai. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa kadar nitrat pada setiap


(53)

Menurut Barus (2004), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

i. Kadar Posfat

Dari data diatas menunjukkan bahwa hasil pengukuran posfat berkisar antara 0,11-0,25 mg/l. Nilai kandungan posfat tertinggi didapatkan pada stasiun 2 sebesar 0,25 mg/l, tingginya nilai kandungan posfat pada stasiun ini berasal dari limbah masyarakat yang terbawa oleh arus dari hulu sungai yang banyak mengandung senyawa organik dan anorganik. Sedangkan nilai kandungan posfat terendah terdapat pada stasiun 5 yaitu sebesar 0,11 mg/l. Berdasarkan PP. No.82 Tahun 2001 menyatakan bahwa kadar phosfat pada setiap stasiun masih tergolong normal.

Menurut Alaert (1984), untuk mencapai pertumbuhan plankton yang optimal, diperlukan konsentrasi Fosfat pada kisaran 0,27 mg/l – 5,51 mg/l dan akan menjadi faktor pembatas apabila kurang dari 0,02 mg/l. Bila kadar Fosfat pada air alam sangat rendah (<0,01 mg/l), maka pertumbuhan tanaman ganggang akan terhalang, keadaan inilah yang dinamakan oligotrop. Sedangkan bila kadar Fosfat dan nutrien lainnya tinggi, maka pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas lagi. Keadaan inilah yang dinamakan eutotrop sehingga tanaman tersebut akan dapat menghabiskan oksigen dalam sungai atau kolam pada malam hari.


(54)

4.2. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Metode Storet

Tabel 4.2. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Metode Storet

N o

Parameter Satuan Baku Mutu Air Kelas III

Skor Metode Storet Stasiun

1 2 3 4 5

FISIK

1. Temperatur oC Deviasi 3 0 0 0 0 0

2. Arus m/s - - - -

3. Kecerahan cm - - - -

4. Intensitas

Cahaya candella

- - - -

KIMIA

5. pH - 6-9 0 0 0 0 0

6. DO mg/l > 4 0 0 0 0 0

7. BOD5 mg/l 3 0 0 0 0 0

8. Nitrat mg/l 20 0 0 0 0 0

9. Posfat mg/l 0,2 0 0 0 0 0

Jumlah 0 0 0 0 0

Dari Tabel 3.4. dapat dilihat bahwa skor pada setiap stasiun bernilai 0. Berdasarkan Klassifikasi mutu air kelas III dengan menggunakan metode storet dapat disimpulkan bahwa setiap stasiun tergolong karakteristik kualitas air kelas A kategori perairan baik sekali. Menurut Nybakken (1992), mengatakan bahwa perubahan faktor fisik kimia perairan sangat dipengaruhi oleh aktivitas-aktivitas yang terdapat di sekitar daerah aliran sungai dan juga sangat dipengaruhi oleh iklim serta waktu pengambilan sampel, sehingga nilai faktor fisik kimia perairan bersifat dinamis, artinya tidak dapat dijadikan sebagai indikator dalam pemantauan kualitas air secara kontinu. Faktor utama yang mengendalikan ekosistem dan komunitas adalah energi, faktor fisik kimia lingkungan serta interaksi antara berbagai spesies yang membentuk sistem tersebut.

4.3. Kadar Logam Berat Pb dan Cd pada Air Sungai

Data hasil pengukuran kadar logam berat Pb dan Cd pada air sungai di setiap lokasi penelitian di Sungai Asahan dapat dilihat pada Tabel 4.3.


(55)

Tabel 4.3. Kandungan Pb dan Cd pada air sungai serta standar Baku Mutu berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001.

Keterangan:

Stasiun 1= Sungai Ponot Stasiun 2= Sungai Baturangin Stasiun 3= Sungai Tangga Stasiun 4= Sungai Parhitean Stasiun 5= Sungai Hula-Huli

Berdasarkan Tabel 4.3. di atas diperoleh kandungan rata-rata nilai Timbal (Pb) pada air sungai di setiap stasiun diluar batas baca untuk deteksi limit Pb yaitu <0,01 mg/L. Kadar Pb ini tergolong aman karena di bawah baku mutu air golongan I (Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001) dengan nilai 0,03 mg/L. Hal ini disebabkan karena keberadaan Pb secara alami dan yang bersumber dari aktivitas manusia disekitar sungai Asahan seperti tempat wisata, penambangan batu, pemukiman penduduk, kawasan perkebunan dan persawahan disekitar sungai Asahan, asap yang berasal dari TPL dan kenderaan bermotor sangat kecil sekali di bawah <0,01. Sehingga kadar logam Pb dalam air tidak mampu di baca alat AAS, karena keterbatasan alat tersebut dalam membaca kadar logam Pb.

Kandungan logam kadmium (Cd) diperoleh nilai berkisar antara 0,002-0,007 mg/L. Nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1 (sungai Ponot) sebesar 0,007 mg/L dan nilai terendah terdapat pada stasiun 2 dan 3 (sungai Baturangin dan Tangga) sebesar 0,002 mg/L. Hal ini mungkin disebabkan pada stasiun 1 (sungai Ponot) merupakan daerah wisata yang terdapat puntungan rokok, sisa makanan dan sampah plastik yang mengandung kadmium. Kadar Cd ini tergolong aman karena di bawah baku mutu air golongan I (Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001) dengan nilai 0,01 mg/L.

Parameter Satuan

Hasil Baku

Mutu

S1 S2 S3 S4 S5

Timbal (Pb) mg/L <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 0,03


(56)

4.4. Kadar Logam Berat Pb dan Cd pada Ikan

Data hasil pengukuran kadar logam berat Pb dan Cd pada ikan batak di setiap lokasi penelitian di Sungai Asahan dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Kandungan Pb dan Cd pada ikan di stasiun penelitian serta batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan berdasarkan SNI 7387 : 2009.

Keterangan:

Stasiun 1= Sungai Ponot Stasiun 2= Sungai Baturangin Stasiun 3= Sungai Tangga Stasiun 4= Sungai Parhitean Stasiun 5= Sungai Hula-Huli

Berdasarkan Tabel 4.4. di atas diperoleh kandungan rata-rata Timbal (Pb) pada ikan di setiap stasiun diluar batas baca untuk deteksi limit untuk Pb yaitu sebesar <0,054 mg/L. Kandungan rata-rata Kadmium (Cd) pada ikan di setiap stasiun diluar batas baca untuk deteksi limit untuk Cd yaitu sebesar <0,003 mg/L. Berdasarkan SNI 7378 : 2009 tentang batas maksimum cemaran logam dalam makanan, yaitu 0,3 mg/L untuk Timbal (Pb) dan 0,1 mg/L untuk Kadmium (Cd), maka konsentrasi logam Pb dan Cd pada ikan masih memenuhi standar baku mutu layak untuk dikonsumsi. Hal ini disebabkan karena keberadaan Cd secara alami dan yang bersumber dari aktivitas manusia disekitar sungai Asahan seperti tempat wisata, penambangan batu, pemukiman penduduk, kawasan perkebunan dan persawahan disekitar sungai Asahan, industri TPL sangat kecil sekali di bawah <0,054 mg/L untuk Pb dan <0,003 mg/L untuk Cd. Sehingga kadar logam Pb dan Cd dalam tubuh ikan tidak mampu di baca alat AAS, karena keterbatasan alat tersebut dalam membaca kadar logam Pb dan Cd.

Parameter Satuan

Hasil

Baku Mutu

S1 S2 S3 S4 S5

Timbal (Pb) mg/L <0,054 <0,054 <0,054 <0,054 <0,054 0,3 Kadmium (Cd) mg/L <0,003 <0,003 <0,003 <0,003 <0,003 0,1


(57)

Keberadaan logam berat di air menimbulkan terjadinya proses akumulasi ditubuh organisme. Akumulasi biologis dapat terjadi melalui absorpsi langsung terhadap logam berat yang terdapat dalam air dan melalui rantai makanan. Akumulasi terjadi karena kecendrungan logam berat untuk membentuk senyawa kompleks dengan zat-zat organik yang terdapat dalam tubuh organisme (Sanusi et al., 1985).

Hubungan antara jumlah absorpsi logam dan kandungan logam dalam air biasanya secara proporsional, dimana kenaikan kandungan logam dalam jaringan sesuai dengan kenaikan kandungan logam dalam air. Pada logam-logam esensial kandungannya dalam jaringan biasanya melalui regulasi (diatur pada batas-batas konsentrasi tertentu kandungan logam konstan), tetapi pada logam-logam non esensial kandungan logam tersebut dalam jaringan naik terus sesuai dengan kenaikan konsentrasi logam dalam air lingkungannya (non regulasi) (Darmono, 1995).


(1)

Lampiran B. Bagan Kerja Metode Inkubasi (selama 5 hari pada temperatur 200C) dan Metode Winkler untuk Mengukur BOD5

(Suin, 2002) dihitung nilai DO akhir

diinkubasi selama 5 hari

pada temperatur 20°C dihitung nilai DO awal

Sampel Air

Sampel Air Sampel Air

DO Akhir DO Awal

Keterangan :

Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan Nilai DO


(2)

Lampiran C. Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO3)

(Michael, 1984 ; Suin, 2002) 5 ml sampel air

Larutan

Larutan

Hasil

1 ml NaCl (dengan pipet volum) 5 ml H2SO4 75%

4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid

Dipanaskan selama 25 menit

Diukur dengan spektrofotometer pada λ= 410nm Didinginkan


(3)

Lampiran D. Bagan Kerja Analisis Fospat (PO43-)

(Michael, 1984 ; Suin, 2002) 5 ml sampel air

Larutan

Hasil

1 ml Amstrong Reagen 1 ml Ascorbic Acid

Dibiarkan selama 20 menit


(4)

Lampiran E. Peta Lokasi Penelitian

Skala 1 : 83.000

Keterangan :

Stasiun 1 = Sungai Ponot (Koordinat: 02033’17,3” LU – 099018’23,8” BT) Stasiun 2 = Baturangin (Koordinat: 02033’06,6” LU – 099018’53,7” BT) Stasiun 3 = Tangga (Koordinat: 02033’34,3” LU – 099018’36,7” BT) Stasiun 4 = Parhitean (Koordinat: 02033’53,0” LU – 099020’05,9” BT) Stasiun 5 = Hula-Huli (Koordinat: 02033’42,4” LU – 099021’32,5” BT)


(5)

Lampiran F. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan Berdasarkan SNI 7387 : 2009

Jenis Logam Berat Batas Maksimum Timbal (Pb)

Cadmium (Cd)

0,3 ppm 0,1 ppm


(6)

Lampiran G. Data Baku Mutu Berdasarkan PP. No. 82 Tahun 2001 tanggal 14 desember 2001

Parameter Satuan Baku Mutu

FISIKA

1. Temperatur oC deviasi 3

KIMIA ANORGANIK

1. pH - 6-9

2. BOD mg/l 3

2. Oksigen Terlarut/DO mg/l 4

3. Fosfat/PO4 mg/l 0,2

4. Nitrat/NO3 mg/l 20

5. KadmiumTotal/Cd mg/l 0,01

6. Timbal Total/Pb mg/l 0,03

- Nilai diatas merupan batas maksimum, kecuali untuk Ph dan DO

- Bagi pH merupakan nilai rentang yang tidak boleh kuran atau lebih dari nilai yang tercantum.

- Nilai DO merupakan batas minimum


Dokumen yang terkait

Analisis Kandungan Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Formaldehid Pada Beberapa Ikan Segar Di KUB(Kelompok Usaha Bersama) Belawan, Kecamatan Medan Belawan Tahun 2015

5 131 146

Kandungan Logam Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) pada Air dan Komunitas Ikan di Daerah Aliran Sungai Percut

3 140 76

Analisis Logam Berat Cadmium (Cd), Cuprum (Cu), Cromium (Cr), Ferrum (Fe), Nikel (Ni), Zinkum (Zn) Pada Sedimen Muara Sungai Asahan Di Tanjung Balai Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

5 89 98

Kerang Bulu (Anadara Inflata) Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) Dan Cadmium (Cd) Di Muara Sungai Asahan

17 113 136

Pemeriksa Cemaran Logam Berat Pb, Cd, Cu, Dan Zn Dalam Daging Rajungan, Ketam Batu, Dan Lokan Segar Yang Berasal Dari Perairan Belawan Secara Spektrometri

8 45 84

KAJIAN KANDUNGAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) DAN KADMIUM (Cd) PADA IKAN DI PERAIRAN MUARA SUNGAI WAY KUALA BANDAR LAMPUNG

2 12 50

Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) di Air dan Sedimen di Perairan Pelabuhan Kejawanan, Cirebon

0 2 33

Status Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) Dan Kadmium (Cd) Pada Sedimen Di Perairan Dumai Bagian Barat, Riau.

1 16 80

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Sungai - Ikan Batak (Neolissochillus sumatranus) Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) di Perairan Sungai Asahan

2 21 16

Ikan Batak (Neolissochillus sumatranus) Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) di Perairan Sungai Asahan

1 7 15