BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Berdasarkan Tabel 4.1. diketahui bahwa mayoritas responden ada pada kelompok umur 35 – 50 tahun yaitu sebanyak 24 orang 60, 9 orang 22,5 pada
kelompok umur 25 – 34 tahun dan 7 orang 17,5 pada kelompok umur 15 – 24 tahun. Hal ini berarti bahwa umur mereka masih tergolong usia angkatan kerja.
5.2. Sanitasi Lingkungan Rumah
Sanitasi lingkungan rumah responden pada penelitian ini terkait pada kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan suhu.
5.2.1. Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Berdasarkan Kepadatan
Penghuni dengan Kejadian Penyakit TB Paru
Kepadatan hunian dalam penelitian ini adalah perbandingan antara luas lantai rumah responden dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal,
memenuhi syarat kesehatan jika luas lantai rumah ≥9 m
2
per orang atau dalam kategori baik.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan secara proporsi kepadatan penghuni yang baik atau yang memenuhi syarat kesehatan 47,5 hampir sebanding
dengan yang tidak baik atau yang tidak memenuhi syarat kesehatan 52,5. Secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan kepadatan penghuni dengan kejadian
penyakit TB paru pada ibu rumah tangga dengan nilai p = 0,447 p0,05. Hal ini bisa
Universitas Sumatera Utara
terjadi karena adanya homogenitas antara kepadatan penghuni baik atau memenuhi syarat dengan yang tidak baik atau tidak memenuhi syarat, sedangkan responden
yang memiliki kepadatan penghuni baik mayoritas menderita TB paru. Artinya walaupun responden tinggal dalam rumah dengan kepadatan penghuni baik tetapi
memiliki ventilasi, suhu, kelembaban yang kurang serta perilaku hidup tidak sehat maka akan memberi pengaruh besar terhadap kejadian penyakit TB paru begitu juga
sebaliknya. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mahastuti 2006 yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit TB paru di Kabupaten Gunung Kidul. Sama halnya
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayunah 2008 di Kabupaten Cilandak Jakarta Selatan dan Supriyadi 2003 di Kota Banjarmasin yang menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan penyakit TB paru. Kondisi kepadatan hunian di dalam rumah akan mempengaruhi kondisi suhu
udara dan kualitas udara yang ada dalam ruangan. Seperti meningkatnya kadar CO
2
dalam ruangan sehingga suplai O
2
yang dibutuhkan penghuni dalam rumah jadi berkurang. Kepadatan penghuni juga mempengaruhi penularan TB paru melalui
kontak erat penderita TB paru BTA + dengan penghuni rumah yang lain, sehingga risiko untuk tertular penyakit ini semakin besar. Karena rumah dengan jumlah
penghuni yang padat akan meningkatkan kadar CO
2
dalam rumah, dengan meningkatnya kadar CO
2
dalam rumah memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak bagi bakteri Mycobacterium tuberculosis, sehingga jumlah bakteri
Universitas Sumatera Utara
di dalam rumah dapat meningkat. Banyaknya bakteri Mycobacterium tuberculosis di dalam rumah yang di dukung oleh jumlah penghuni yang padat akan meningkatkan
risiko untuk terjadinya TB paru Notoatmojdo, 2011. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang di lakukan oleh
Almaini 2007 yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian penyakit TB paru di Kabupaten Rejang
Lebong. Sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan Sutangi 2003 di Kabupaten Indramayu yang menyatakan bahwa ada pengaruh antara kepadatan
hunian terhadap kejadian penyakit TB paru.
5.2.2. Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Berdasarkan Lantai Rumah
dengan Kejadian Penyakit TB Paru
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat diketahui bahwa sebagian besar lantai rumah responden dominan terbuat dari bahan yang kedap air dan secara
statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian penyakit TB paru pada ibu rumah tangga dengan nilai p = 0,407 p0,05. Namun
pada penelitian ini tidak melihat sampai sejauh mana responden melakukan kegiatan untuk membersihkan lantai rumahnya seperti berapa kali lantai rumah dibersihkan
dan bagaimana cara membersihkannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara lantai rumah
terhadap kejadian penyakit TB paru. Hal ini disebabkan karena sebagian besar lantai rumah responden sudah baik atau dominan terbuat dari bahan yang kedap air yaitu
82,5 dan mayoritas menderita penyakit TB paru yaitu sebanyak 63,6 dan sebagian
Universitas Sumatera Utara
kecil rumah dengan lantai tanah dalam keadaan baik atau padat dan tidak lembab, sehingga tidak memungkinkan bakteri berkembangbiak di lantai.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatimah 2008 di Kabupaten Cilacap dan Ayunah 2008 di Cilandak Jakarta Selatan
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis lantai dengan kejadian TB paru. Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Ruswanto 2010 yang
menyatakan bahwa jenis lantai rumah merupakan suatu faktor risiko atau adanya pengaruh terhadap kejadian penyakit TB paru di Kabupaten Pekalongan.
Menurut Achmadi 2008 yang menyatakan bahwa lantai rumah yang tidak kedap air seperti tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru melalui
kelembaban ruangan, karena lantai yang tidak kedap air cenderung menimbulkan kelembaban dan menyebabkan kondisi lembab, pengap, yang akan memperpanjang
masa viabilitas atau daya tahan hidup Mycobacterium tuberculosis dalam rumah dan akhirnya akan meyebabkan potensi penularan penyakit TB paru menjadi lebih besar.
Jadi komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Secara hipotesis, jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian
TB paru melalui kelembaban ruangan.
5.2.3. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Rumah Berdasarkan Ventilasi terhadap
Kejadian Penyakit TB Paru
Luas ventilasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas ventilasi yang meliputi luas lubang angin, luas jendela dan pintu yang terbuka dibagi dengan luas
lantai. Berdasarkan hasil observasi dan pengukuran yang dilakukan dapat diketahui
Universitas Sumatera Utara
bahwa masih banyaknya rumah responden yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu 60 sehingga menyebabkan pertukaran udara tidak dapat
berlangsung dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara ventilasi
dengan kejadian penyakit TB paru pada ibu rumah tangga dengan nilai p = 0,041 p0,05. Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar rumah responden hanya
memiliki jendela dan pintu di depan rumah sehingga ventilasi yang berfungsi sebagai pertukaran udara dalam rumah menjadi berkurang. Ada beberapa rumah yang
memiliki jendela tetapi tidak pernah dibuka karena menyangkut keamanan rumah. Selain itu lubang angin yang ada pada rumah responden kabanyakan ditutup dengan
menggunakan plastik ataupun kayu sehingga tidak berfungsi sebagai ventilasi. Ventilasi rumah berfungsi untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah
tersebut tetap segar. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829MenkesSKVII1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, ventilasi rumah
yang baik adalah ≥10 dari luas lantai.
Penyakit TB paru erat kaitannya dengan ventilasi karena ventilasi rumah yang memenuhi syarat kesehatan yaitu
≥10 dari luas lantai memungkinkan adanya pergantian udara agar tetap terjaga sirkulasinya, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan penularan penyakit pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi bakteri yang ada di dalam rumah. Rumah dengan luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat akan menyebabkan bakteri selalu dalam konsentrasi tinggi sehingga
Universitas Sumatera Utara
kondisi ini akan memperbesar kemungkinan penularan kepada orang lain Supriyono, 2002 dan Achmadi, 2008.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Suarni 2009 yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian TB paru di
Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supriyono 2002 di Kecamatan Ciampea Bogor,
Dahlan 2001 di Kota Jambi yang menyatakan ada pengaruh antara ventilasi dengan kejadian penyakit TB paru.
Hal ini sesuai dengan pendapat Kristiana 2010 yang menyatakan bahwa rumah yang luas ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan mempengaruhi
kesehatan penghuni rumah, hal ini disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, sehingga bakteri penyebab penyakit TB paru
yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar. Ventilasi juga dapat meyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit, oleh karena itu kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit TB paru.
Namun bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutangi 2003 yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna antara ventilasi
dengan kejadian penyakit TB paru di Kabupaten Indramayu.
Universitas Sumatera Utara
5.2.4. Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Berdasarkan Pencahayaan
dengan Kejadian Penyakit TB Paru
Pencahayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perhitungan dari luas ventilasi yang meliputi luas lubang angin, luas jendela rumah dan luas pintu yang
terbuka dibagi dengan luas lantai. Pada umumnya sinar matahari masuk ke dalam rumah responden namun luas
ventilasi kurang memadai sehingga cahaya yang masuk tidak memenuhi syarat kesehatan. Kondisi pencahayaan yang kurang disebabkan karena kurangnya ventilasi
yang ada pada rumah responden seperti jendela, pintu dan lubang angin sehingga sinar matahari tidak dapat masuk. Selain itu padatnya perumahan dimana antara
rumah yang satu dengan yang lain saling berdempetan. Dan ada beberapa rumah yang memiliki jendela namun tidak pernah dibuka yang sehubungan dengan keamanan
rumah dari kekhawatiran dengan adanya pencurian. Menurut Notoatmodjo 2011 dan Sarudji 2010 ukuran minimal cahaya masuk kedalam rumah adalah dengan luas
ventilasi 15-20 dari luas lantai. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
pencahayaan dengan kejadian penyakit TB paru dengan nilai p = 0,003 p0,05. Dalam hal ini sistem pencahayaan masih dijumpai 10 rumah yang tidak dilengkapi
jendela. Rumah yang memiliki jendelapun hanya sebagian kecil yang membukanya setiap pagi hari. Begitu pula dalam hal sinar matahari, ventilasi dan penerangan
ruangan, terdapat 30 rumah yang tidak masuk sinar matahari langsung. Ketiadaan jendela atau fungsi jendela, gelap dan lembab dapat mengganggu sistem penghawaan
Universitas Sumatera Utara
dan penggantian udara segar dalam rumah. Apalagi bila keadaan rumah tersebut tidak dimasuki sinar matahari secara langsung, dapat menjadi tempat yang baik untuk
berkembangnya bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam udara ruangan untuk waktu yang lama.
Menurut asumsi peneliti bahwa responden yang memiliki rumah dengan cahaya yang kurang maka akan meningkatkan angka perkembangbiakan bakteri
Mycobacterium tuberculosis karena bakteri ini akan bertahan hidup dalam waktu yang lama tanpa sinar atau cahaya matahari.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suarni 2009 yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara pencahayaan
rumah yang tidak memenuhi syarat terhadap kejadian penyakit TB paru di Kecamatan Pancoran Mas kota Depok, sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Fatimah 2008 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian TB paru di Kabupaten Cilacap.
Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayunah 2008 di Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan dan Supriyadi 2003 di kota
Banjarmasin yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan atau tidak ada pengaruh antara pencahayaan dengan kejadian penyakit TB paru.
Pencahayaan langsung dalam ruangan dapat mengurangi terjadinya penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis, karena sinar ultraviolet sinar matahari dapat
membunuh bakteri ini secara langsung dan cepat. Dalam hal ini luas ventilasi sangat
berpengaruh terhadap jumlah cahaya yang masuk ke dalam rumah karena semakin
Universitas Sumatera Utara
luas ventilasi maka semakin banyak cahaya yang masuk Supriyadi, 2003. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung
masuk ke dalam ruangan dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini disamping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuknya cahaya. Lokasi
penempatan jendela juga harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai dan bukan menyinari dinding. Maka sebaiknya pembuatan jendela
harus di tengah-tengah tinggi dinding. Dan jika memungkinkan sebaiknya menggunakan beberapa atap rumah dengan kaca terutama untuk ruangan yang tidak
ada ventilasi sama sekali sehingga ruangan tidak menjadi gelap Notoatmodjo, 2011.
5.2.5. Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Berdasarkan Kelembaban
dengan Kejadian Penyakit TB Paru
Kelembaban udara dalam penelitian ini adalah keadaan kelembaban udara dalam rumah yang diukur dengan menggunakan termohygrometer dan dinyatakan
dalam persen, memenuhi syarat jika nilai kelembabannya antara 40 - 70. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa responden yang
memiliki rumah dengan kelembaban yang baik atau memenuhi syarat hampir sebanding dengan responden yang memiliki kelembaban yang tidak baik atau tidak
memenuhi syarat. Namun dari responden dengan kelembaban yang tidak baik, mayoritas menderita TB paru yaitu sebanyak 78,9. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar responden tidak membuka jendela pada siang hari sehingga cahaya matahari tidak dapat masuk secara langsung yang mengakibatkan ruangan dalam
rumah menjadi lembab sehingga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kelembaban dengan kejadian penyakit TB paru pada ibu rumah tangga dengan nilai p = 0,045 p0,05.
Kelembaban dalam rumah sangat berhubungan dengan ventilasi dan pencahayaan. Jika ventilasi dan pencahayaan tidak memenuhi syarat maka kelembaban dalam
rumah semakin tidak memenuhi syarat kesehatan. Kurangnya ventilasi rumah, kepadatan perumahan dan pengaruh cuaca yang panas kemungkinan menjadi faktor
penyebab kelembaban udara dalam rumah tidak baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan.
Kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat bertahan hidup beberapa jam bahkan
berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun lamanya pada tempat yang sejuk, lembap dan gelap tanpa sinar matahari Sarudji, 2010 dan Fatimah, 2008.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutangi 2003 di Kabupaten Indramayu dan Ruswanto 2010 di Kabupaten Pekalongan yang
menyatakan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian penyakit TB paru.
Namun berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suarni 2009 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban rumah dengan
kejadian penyakit TB paru di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayunah 2008 di Kabupaten
Cilandak Jakarta Selatan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian penyakit TB paru.
Universitas Sumatera Utara
5.2.6. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Rumah Berdasarkan Suhu terhadap
Kejadian Penyakit TB Paru
Suhu dalam penelitian ini adalah suhu udara ruangan dalam rumah yang di ukur dengan menggunakan alat termohygrometer yang dinyatakan dalam derajat
celsius. Dari hasil pengukuran terhadap suhu rumah mayoritas responden memiliki suhu rumah tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebanyak 60.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan suhu dengan kejadian penyakit TB paru pada ibu rumah tangga dengan nilai p = 0,007
p0,05. Hal ini disebabkan karena sebagian besar responden memiliki rumah dengan suhu yang tidak baik atau tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga dapat
meningkatkan perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit TB paru, sehingga angka kejadian penyakit TB paru akan meningkat.
Hal ini relevan dengan pendapat yang dinyatakan oleh Ruswanto 2010 bahwa keadaan suhu sangat berperan pada pertumbuhan bakteri Mycobacterium
tuberculosis, dimana laju pertumbuhan bakteri tersebut ditentukan berdasarkan suhu udara yang ada di sekitarnya. Kondisi ini sangat berkaitan dengan sirkulasi udara di
dalam rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akibat dari luas ventilasi yang
kurang dari 10 luas lantai rumah.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Adrial 2006 yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara suhu dengan
kejadian penyakit TB paru di kota Batam.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayunah 2008 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
suhu rumah dengan penyakit TB paru di Kabupaten Cilandak Jakarta Selatan. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suarni 2009 yang menyatakan
bahwa tidak terdapat berhubungan yang bermakna antara suhu dalam rumah dengan kejadian TB paru di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok.
Menurut Adrial 2006 suhu udara dalam rumah agar tetap nyaman bagi masyarakat perlu disampaikan dengan membuat ventilasi yang cukup yaitu minimal
10 dari luas lantai rumah, jendela yang selalu dibuka setiap pagi, adanya lubang angin yang dapat berhubungan langsung dengan udara di luar rumah sehingga
sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik, adanya panghijauan dengan tanaman di halaman rumah atau taman bunga atau di pasangnya alat seperti kipas angin di dalam
rumah jika memungkinkan agar kenyamanan dalam rumah tetap terjaga.
5.3. Penghasilan Keluarga dan Tingkat Pendidikan