Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian

perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa yang akan meningkatkan kebutuhan akan sarana transportasi dan lahan untuk industri. Proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: 1 sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan 2 sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan Nasoetion dan Winoto, 1996. Menurut Supriyadi 2004 menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu: 1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan fisik maupun spasial, demografi maupun ekonomi. 2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. 3. Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan. Menurut Winoto 2005 faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain : 1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan. 2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor non pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya konversi lahan. 3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah RTRW yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian. 5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan yang ada.

2.5 Kelembagaan Lahan

Menurut New Institutional Economics NIE dalam Fauzi 2010, kelembagan sebagai “rules of the game” dalam masyarakat atau secara formal diartikan sebagai “humanly devised constraint” kendali yang dirancang manusia yang membentuk interaksi manusia. Dalam konteks yang lebih konkrit, kelembagaan terdiri dari hukum formal, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, aturan informal, dan nilai-nilai values yang ada dan diakui dalam masyarakat serta bentuk-bentuk pengorganisasiannya. Dengan demikian norma- norma yang berlaku dalam masyarakat dalam hal pemilikan dan pengelolaan lahan menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Kelembagaan lahan yaitu aturan-aturan kerjasama yang disepakati dan dipatuhi oleh suatu masyarakat. Lahan sebagai faktor produksi penting yang ketersediaannya terbatas dan terdistribusi tidak merata menimbulkan kerjasama antara pemilik lahan luas dengan petani berlahan sempit atau petani tidak berlahan dalam suatu kelembagaan lahan. Kelembagaan lahan dan tenaga kerja dapat berpengaruh terhadap produktivitas lahan dan biaya usahatani Suwarto et al, 2008. Menurut Fauzi 2010, salah satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Property right ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial dan adat. Relefansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam masyarakat. Konsep ekonomi kelembagaan dapat digunakan untuk memahami kompleksitas pengelolaan lahan yang berkelanjutan dan sekaligus juga dapat dijadikan “payung” bagi penyelesaian masalah yang terjadi di sektor pertanahan di Indonesia. Ekonomi kelembagaan dapat digunakan untuk melakukan sistematisasi aturan-aturan yang menyangkut persoalan atas lahan regulatory framework dan prosedur perencanaan dan administrasi yang menyertainya. Hal ini sangat dibutuhkan dalam menjalankan program pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk meyakinkan bahwa framework kelembagaan ini bekerja dengan baik sehingga “pasar” lahan land market akan bekerja dengan benar sehingga tidak saja menghasilkan pengelolaan yang efisien tapi juga memiliki aspek equity. Demikian juga aparat pelaku yang terlibat dalam pengelolaan lahan harus memperhatikan aspek ekonomi kelembagaan ini karena interaksinya yang kuat antara pasar dan tata kelola akan menentukan besarnya manfaat yang akan dirasakan oleh semua pihak.

2.6 Ketahanan Pangan

Menurut USAID 1992 ketahanan pangan sebagai satu kondisi dimana masyarakat pada satu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dietary dalam rangka untuk peningkatan kesehatan dan hidup yang lebih produktif. Sedangkan menurut Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup; dan sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif. Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO 1996 ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu: kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, aksesibilitasketerjangkauan terhadap pangan sertakualitaskeamanan pangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tanggar yang tercermin dari: 1 tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; 2 aman;

Dokumen yang terkait

ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DAN KEBUTUHAN PANGAN DI KABUPATEN JEMBER

3 183 12

Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bekasi Jawa Barat (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara).

8 37 112

Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor.

1 45 109

Analisis sikap, kepuasan, dan loyalitas petani terhadap benih kedelai di Desa Sukasirna, Kecamatan Sukaluyu, Kabupaten Cianjur

0 4 89

Pendapatan Usahatani Kedelai di Desa Sukasirna Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur

1 12 75

Analisis Ekonomi Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Karawang Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tanjungpura Kecamatan Karawang Barat)

3 34 92

PENDAPATAN USAHATANI KEDELAI DI DESA SUKASIRNA KECAMATAN SUKALUYU KABUPATEN CIANJUR

1 5 26

Perubahan Sosial Masyarakat Pertanian Akibat Pertumbuhan Kawasan Industri : studi kasus di Desa Sukasirna dan Desa Selajambe Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur.

0 1 30

BAB II LANDASAN TEORI A. ALIH FUNGSI LAHAN 1. Pengertian Alih Fungsi Lahan Pertanian - ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Pada Lahan sawah Kecamatan Pagelaran Kabupaten peringsew

0 0 46

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Kesejahteraan Petani - ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM (Studi Pada Lahan sawah Kecamatan Pagelaran

0 0 18