Subyek dan obyek pajak bumi dan bangunan

2.1.4. Subyek dan obyek pajak bumi dan bangunan

2.1.4.1. Subyek pajak bumi dan bangunan Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Subyek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian subyek pajak tersebut di atas menjadi wajib pajak PBB. Jika subyek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak obyek pajak sedangkan perawatannya dikuasakan kepada orang atau badan, orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak oleh Direktur Jenderal Pajak DJP. Namun penunjukan tersebut bukan merupakan bukti kepemilikan. Subyek pajak yang ditetapkan seperti pada contoh di atas dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada DJP bahwa kuasa tersebut bukan wajib pajak terhadap obyek pajak yang dimaksud. Apabila keterangan wajib pajak disetujui, maka DJP membatalkan penetapan sebagai wajib pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. Namun bila tidak disetujui, DJP mengeluarkan surat keputusan penolakan disertai dengan alasan- alasan. Selanjutnya setelah jangka waktu satu bulan sejak diterima Surat Keterangan ternyata DJP tidak memberi keputusan keterangan yang telah pernah diajukan dianggap disetujui. 2.1.4.2. Obyek pajak bumi dan bangunan Sebagaimana penjelasan di atas bahwa obyek pajak pada penelitian ini adalah PBB P2, yang mana obyek pajaknya adalah bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, danatau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali Universitas Sumatera Utara kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Pengertian bumi adalah permukaan bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah, yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah: 1 Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut, 2 Jalan tol, 3 Kolam renang, 4 Pagar mewah, 5 Tempat olah raga, 6 Galangan kapal, dermaga, 7 Taman mewah, 8 Tempat penampungankilang minyak, air dan gas, pipa minyak, 9 Fasilitas lain yang memberikan manfaat Waluyo, 2004. Selain obyek pajak kena pajak, terdapat pula obyek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan, sesuai Pasal 3 UU No. 12 Tahun 1994, yaitu: 1 Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum. 2 Ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. 3 Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakalayang sejenisnya dengan itu. 4 Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa. 5 Digunakan oleh diplomatik, konsulat dan perwakilan Organisasi Internasional dengan asas timbal balik. 6 Digunakan oleh badan atau perwakilan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Obyek pajak berdasarkan UU No. 12 Tahun 1994, sebagai perubahan UU No. 12 Tahun 1985, adalah: 1. PBB belum didasarkan pada self assesment system. Nilai jual obyek pajak NJOP selama ini masih ditetapkan oleh pemerintah pusat, sebaiknya NJOP Universitas Sumatera Utara ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan alasan agar dapat mencapai mendekati nilai jual obyek pajak yang ideal dalam artian nilai jual relatif sama dengan harga jual. 2. Besarnya NJOP tidak kena pajak menjadi Rp. 8.000.000,- 3. NJOP tidak kena pajak tidak diterapkan untuk setiap wajib pajak, dengan demikian NJOPTKP tersebut dikurangkan terhadap hasil penjumlahan NJOP tanah dan NJOP bangunan. Hal ini berbeda dengan NJOPTKP menurut UU Nomor 12 Tahun 1985, yang mana NJOPTKP ini dapat diterapkan terhadap NJOP bangunan saja. 4. Pengurangan NJOPTKP hanya berlaku untuk satu unit obyek PBB yang dimiliki atau dikuasai oleh wajib pajak. Dengan demikian, apabila wajib pajak mempunyai lebih dari satu obyek pajak maka NJOPTKP hanya dapat dikurangkan terhadap satu obyek pajak saja, dalam hal ini obyek pajak yang mempunyai NJOP paling tinggi. Untuk obyek pajak yang mempunyai obyek pajak yang lain tidak diberikan pengurangan NJOPTKP. Nasucha 1997 mengungkapkan bahwa PBB merupakan pajak obyektif, di mana pengenaan pajak didasarkan pada obyek dari PBB, yaitu bumi danatau bangunan, sehingga otomatis yang menjadi obyek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Sebagai dasar pengenaan pajak adalah NJOP, yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, maka penentuan NJOP diperoleh melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau melalui nilai perolehan baru, atau dengan NJOP pengganti. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan ketentuan baru yang berlaku efektif mulai tahun 2001, atas setiap wajib pajak diberikan keringanan berupa ketentuan NJOPTKP sebesar Rp. 12.000.000,- per wajib pajak. Ketentuan ini menggantikan ketentuan lama yang besarnya Rp. 8.000.000,-. Dengan adanya NJOPTKP akan banyak masyarakat kecil terutama yang tinggal di perdesaan yang selama ini hanya mempunyai obyek PBB yang bernilai kecil, akan terbebas dari kewajiban membayar PBBnya. Untuk menghitung obyek PBB dikenakan tarif PBB 0,5. Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak NJKP, yang ditetapkan serendah-rendahnya 20 dan setinggi-tingginya 100 dari NJOP. Saat ini ketentuan mengenai NJKP yang diberlakukan adalah sebesar 20 dan 40. NJKP sebesar 40 diberlakukan khusus bagi obyek PBB yang dipergunakan untuk perumahan dengan NJOP sebesar 1 satu milyar rupiah atau lebih. Ketentuan NJKP sebesar 40 tersebut tidak berlaku bagi obyek pajak yang dimiliki oleh PNS, ABRI, pensiunan yang semata-mata penghasilannya hanya berasal dari gaji pensiunan, dengan demikian tarif efektif untuk menghitung besarnya PBB yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah sebesar 0,1 dan 0,2 dari NJOP.

2.1.5. Jumlah wajib pajak