3. Pengertian Kredit
Pengertian kredit mempunyai dimensi yang beraneka ragam. Menurut Muljono 1995 kata “Kredit” berasal dari bahasa Yunani
“Credere ” yang berarti “kepercayaan” atau dalam bahasa latin “Creditum” yang berarti kepercayaan akan kebenaran dalam praktik
sehari-hari. Pengertian ini selanjutnya berkembang lebih luas lagi, antara lain : Kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian
atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan ditangguhkan pada suatu jangka waktu yang disepakati.
Sedangkan pengertian yang lebih mapan untuk kegiatan perbankan di Indonesia, pengertian kredit ini telah dirumuskan dalam Bab I, pasal 1
ayat 12 Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan merumuskannya sebagai berikut : “Kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-memimjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan”. Untuk dapat melaksanakan kegiatan perkreditan atau pembiayaan secara
sehat telah dikenal adanya prinsip 5C. Kelima prinsip yang klasik ini meliputi :
a. Character Seperti telah diuraikan di atas bahwa suatu pemberian kredit adalah
atas dasar kepercayaan, jadi yang mendasari suatu kepercayaan adanya keyakinan dari pihak Bank bahwa si peminjam mempunyai
moral, watak ataupun sifat-sifat pribadi yang positif dan kooperatif dan mempunyai rasa tanggungjawab baik dalam kehidupan pribadi
sebagai manusia, kehidupannya sebagai anggota masyarakat ataupun dalam menjalankan kegiatan usahanya. Manfaat dari penilaian soal
karakter ini untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat kejujuran dan integritas, serta tekad baik, yaitu kemauan untuk memenuhi
kewajiban-kewajibannya dari calon debitur. Soal karakter ini merupakan faktor dominan, sebab walaupun calon debitur tersebut
cukup mampu untuk menyelesaikan utangnya tetapi kalau tidak mempunyai itikad baik tentu membawa berbagai kesulitan bagi bank
dikemudian hari. b. Capacity
Capacity adalah suatu penilaian kepada calon debitur mengenai
kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang dilakukannya atau kegiatan usaha yang akan dilakukannya
yang akan dibiayai dengan kredit dari bank. Penilaian terhadap capacity
ini untuk menilai sampai dimana hasil usaha yang diperolehnya tersebut, mampu untuk melunasinya tepat pada
waktunya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya. c. Capital
Capital adalah jumlah danamodal sendiri yang dimiliki oleh calon
debitur, hal ini dapat tercermin dalam bentuk kewajiban untuk menyediakan self financing sampai sejumlah tertentu dan sebaiknya
besarnya self financing ini lebih besar dari kredit yang akan dimintakan dari perbankan. Bentuk self financing ini tidak selalu
harus berupa uang tunai dapat juga dalam bentuk barang-barang modal seperti tanah, bangunan, mesin-mesin dan lain-lain.
d. Collateral Collateral
adalah barang-barang jaminan yang diserahkan oleh peminjam atau debitur sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya.
Manfaat collateral sebagai alat pengamanan apabila usaha yang dibiayai dengan kredit tersebut gagal atau sebab-sebab lain dimana
debitur tidak mampu melunasi kreditnya dari hasil usahanya yang normal. Jaminan juga dapat sebagai alat pengamanan dalam
menghadapi kemungkinan adanya ketidakpastian pada kurun waktu yang akan datang pada saatnya kredit tersebut harus dilunasi.
e. Condition of economy Condition of economy
adalah situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain yang mempengaruhi keadaan
perekonomian pada suatu saat maupun untuk suatu kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat mempengaruhi kelancaran
usaha dari perusahaanindividu yang memperoleh kredit. B. Sejarah dan Pengertian Bank Syariah di Indonesia
Kehadiran perbankan syariah di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober Pakto
yang mengatur deregulasi perbankan di Indonesia. Kebijakan tersebut membuka lebar peluang untuk mendirikan bank dengan modal pendirian yang
relatif kecil, namun karena tidak ada ketentuan perundangan yang mendukung maka kelahiran bank syariah baru muncul setelah tahun 1990-an Rahman,
2001. Hal itu terjadi dengan memanfaatkan penafsiran dari perundang- undangan yang ada bahwa perbankan diperbolehkan menetapkan bunga
sebesar 0 nol persen. Atas dasar rekomendasi dari Hasil Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor pada 19 – 22 Agustus
1990, maka pada Bulan November 1991 lahir Bank Muamalat Indonesia BMI sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Kelahiran Bank Muamalat
Indonesia di atas, kemudian diikuti dengan kelahiran Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Keberadaan bank syariah ini lebih diperkuat dengan adanya UU
No.7 Tahun 1992 tentang perbankan dimana sistem bagi hasil mulai diakomodasi Arifin, 2002.
Dengan ditetapkannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan, maka secara tegas sistem perbankan
syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistem perbankan nasional. Undang- undang tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan
Rakyat BPR dan Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Berdasarkan peraturan Bank Indonesia Nomor 27PBI2000, bank syariah adalah bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Menurut Setiarso
2005 terdapat empat perbedaan mendasar antara bank konvensional dengan bank syariah, yaitu 1 dari segi akad dan aspek legalitas, 2 struktur
organisasi, 3 bisnis dan usaha yang dibiayai dan 4 lingkungan kerja dan corporate culture
. Dari segi akad dan aspek legalitas, akad yang dilakukan bank syariah
mempunyai konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Jika terjadi perselisihan antara nasabah dan bank,
maka bank syariah dapat merujuk pada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BAMUI dimana penyelesaiannya dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Dari struktur organisasi, struktur bank syariah dapat sama dengan bank konvensional tetapi terdapat keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang
bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis syariah. Dari segi bisnis dan usaha yang dibiayainya, bank
syariah tidak terlepas dari saringan sariah. Dalam hal lingkungan kerja dan corporate culture
, etika sifat amanah dan shidiq harus melandasi setiap karyawan, sehingga tercipta profesionalisme yang berdasarkan Islam. Dalam
hal reward dan punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
Pada tanggal 16-12-2003 MUI menetapkan fatwa bahwa bunga bank itu haram. Bunga bank yang dimaksud adalah dalam arti luas, yaitu bunga yang
ditetapkan dalam berbagai bentuk transaksi pinjam meminjam al-qardh dan transaksi yang menimbulkan utang piutang al-dayn baik yang dilakukan oleh
lembaga keuangan maupun oleh individu. Tujuan utama penetapan fatwa tersebut adalah untuk mengajak umat
Islam agar dalam bermu’amalah senantiasa memperhatikan dan mengikuti pedoman yang telah digariskan oleh hukum Islam dan menghindarkan praktik
mu’amalah yang dilarang oleh Islam, antara lain bunga riba.
1. Konsep Perbankan Syariah