dilindungi. KBRI seharusnya paham dan menyadari bahwa permasalahan TKI ini begitu kompleks.
Berdasarkan identifikasi di atas, maka permasalahan TKI sebetulnya dimulai sejak mereka mengurus keberangkatan sampai ke tempat penampungan dan di tempat
kerja mereka di luar negeri.
A. Kendala Pemerintah dalam Melakukan Pengawasan Ketenagakerjaan
Dalam era otonomi daerah, tantangan pemerintah propinsi dan pemerintah kabupatenkota dalam bidang ketenagakerjaan adalah melakukan analisis situasi,
merencanakan, serta memonitor proses pembangunan yang bertumpu pada ketenaga- kerjaan. Dalam kaitan ini, semacam sistem informasi ketenagakerjaan akan sangat
membantu sebagai alat kebijakan. Proses globalisasi dengan segala manfaat dan dampak negatifnya, adalah
sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Kebijakan ekonomi yang terpenting untuk menghindari dampak negatif globalisasi adalah tidak melalui pasar kerja secara
langsung, tetapi melalui kebijaksanaan tidak langsung seperti pemberian prioritas terhadap pendidikan bagi semua dan regulasi finansial dan manejemen makro
ekonomi yang solid. Sejauh perekonomian dalam negeri masih terlalu terbatas untuk menyediakan
kesempatan kerja atau usaha bagi angkatan kerja yang berjumlah besar, maka pengiriman Tenaga Kerja Indonesia TKI ke luar negeri masih tetap akan strategis.
Universitas Sumatera Utara
Kebijaksanaan menyeluruh dan terpadu untuk memberikan perlindungan terhadap mereka tampaknya masih perlu disempurnakan.
Adanya kendala pemerintah ini juga tidak terlepas dari permasalahan TKI selama berada di luar negeri. Selama berada di luar negeri, bahkan ketika masih
berada di dalam penampungan menunggu keberangkatan ke luar negeri, ada kalanya sebagian dari TKI menghadapi masalah yang merugikan TKI tersebut. Persoalannya
adalah apa penyebab munculnya masalah, dan bagaimana kadar masalah yang dihadapi tersebut, serta seberapa banyak TKI yang mengalaminya. Hal ini penting
untuk dipertimbangkan dengan menggunakan pemikiran positif agar tidak muncul kesan bahwa seakan-akan semua TKI mengalaminya, sehingga tidak jarang muncul
pendapat yang menggugat program penempatan TKI di luar negeri dan meminta agar pemerintah menghentikannya.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Depnakertrans mengalami kesulitan mengawasi kinerja Pelaksana penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta
PPTKIS, karena minimnya aparat pengawas. Tanpa pemantauan, secara intensif, PPTKIS cenderung melakukan pelanggaran, terutama menyediakan fasilitas ala
kadarnya di penampungan dan balai latihan kerja BLK. Berdasarkan catatan yang terdokumentasi di Depnakertrans, persentase TKI
yang menghadapi masalah setiap tahunnya menunjukkan kecenderungan menurun. Bila pada Tahun 2003 TKI yang menghadapi masalah sekitar 12, maka selama tiga
tahun berikutnya persentase tersebut terus menurun hingga hanya sekitar 4 pada
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2006. Sejalan dengan desentralisasi, persoalan pekerja migran internal sebenarnya merupakan tantangan PEMDA, baik di daerah asal maupun daerah
penerima. PEMDA sudah seharusnya menghadapi persoalan ini dengan peningkatan ekonomi regional dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Sementara itu,
permasalahan yang timbul dari pekerja migran internasional antara lain disebabkan oleh belum maksimalnya perlindungan buruh, terutama yang bekerja sebagai
pembantu rumah tangga. Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, misalnya, hanya memberi penyuluhan soal sistem kerja agar lebih memahami bagaimana cara kerja
yang diinginkan majikan. Karenanya, kampanye bagaimana seharusnya para majikan di Singapura memperlakukan TKI perlu dilakukan.
Selama ini, kedutaan besar Indonesia di negara-negara lain belum memiliki atase sosial. Oleh karena itu, penempatan atase sosial, terutama di negara-negara yang
banyak menerima TKI, perlu dipertimbangkan. Atase sosial ini harus memiliki keahlian yang lengkap mengenai konseling, advokasi, pendampingan sosial, dan
teknik-teknik resolusi konflik. Di dalam negeri, pembekalan terhadap TKI tidak hanya menyangkut “cara-
cara bekerja dengan baik” di negara tujuan. Namun, sebaiknya menyangkut pula coping strategies dalam menghadapi persoalan yang mungkin timbul di negara
tujuan. Pelatihan mengenai strategi penanganan masalah ini bisa menyangkut pengetahuan mengenai karakteristik politik dan sosial-budaya negara tujuan, serta
Universitas Sumatera Utara
cara-cara menghadapi burn-out kebosanan kerja, stress, kesepian, maupun pengetahuan mengenai fungsi dan tugas kedutaan besar.
Kelemahan yang lain dari Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 adalah terlalu besarnya kewenangan pihak perusahaan PPTKIS mulai dari rekrutmen hinga
penempatan dan pemulangan sebenarnya sebagai suatu hal yang penuh dalam pelaksanaan perlindungan TKI. Dengan besarnya kewenangan yang diberikan kepada
PPTKIS, terlihat kecenderungan tenaga kerja Indonesia tidak mendapat perlindungan yang memadai, apalagi didukung sistem pengiriman dan penempatan TKI ke luar
negeri penuh interpretatif. Sementara itu bertitik tolak dari tata pemerintahan yang baik good
governance Instruksi Presiden RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
79
tidak mempunyai arti yang sebenarnya. Lebih dari 12 lembaga pemerintah dan non
pemerintah yang terlibat dalam proses penempatan maupun monitoring, hal itu sebenarnya untuk berbagi tanggung jawab terhadap warga negara yang akan
berangkat bekerja di luar negeri. Namun banyaknya lembaga yang terlibat tanpa ada kejelasan tugas dan fungsinya, hanya menambah rumitnya urusan.
Menurut Jumhur Hidayat, BNP2TKI mengalami masalah kelembagaan dan teknis. Masalah kelembagaan yang dihadapi adalah dualisme pelayanan TKI
BNP2TKI dan Depnakertrans dan delegasi wewenang. Implikasi dari dualisme
79
Pada Tahun 2006 telah dikeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 6 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang setidaknya
telah memangkas 40 meja tahapan birokrasi kepengurusan TKI menjadi hanya 11 meja.
Universitas Sumatera Utara
pelayanan diantaranya sistem online BNP2TKI tidak dimanfaatkan, pelayanan pemberangkatan secara manual, kepulangan TKI bermasalah dari Timur Tengah
semakin meningkat, maraknya pemalsuan tanda tangan pejabat KBRI, anggaran APBN untuk PAP KTKLN tidak terserap.
80
Dualisme pelayanan mengindikasikan terjadinya kemunduran dalam manajemen TKI. Masalah delegasi kewenangan yang
dihadapi adalah terbatasnya kewenangan BNP2TKI dalam melakukan pengawasan dan pemberian sanksi terhadap mitra kerja pendukung penempatan dan perlindungan
TKI. Sedangkan kendala teknis yang dihadapi adalah banyaknya pengangguran dan
terbatasnya lapangan kerja didalam negeri sehingga memerlukan lapangan kerja di luar negeri yang dapat dimasuki TKI.
81
Terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan lemahnya koordinasi kelembagaan serta pelayanan dokumen dalam
penyiapan TKI, belum optimalnya perlindungan dan banyaknya TKI bermasalah yang memerlukan penanganan khusus dan intensif terutama dari sisi pemenuhan hak-
hak TKI, terbatasnya kapasitas kelembagaan dalam pelayanan TKI terutama dari sisi kelembagaan BP3TKI, serta permasalahan SDM TKI.
Prosedur seleksi yang dilakukan PPTKIS terhadap calon TKI terkesan sangat longgar. Persyaratan seperti usia, daerah asal, surat izin orang tuasuami banyak yang
tidak benar. Tingginya permintaan dari negara yang mempekerjakan dan kemiskinan
80
Jumhur Hidayat, ”Pengawasan Komite III DPD RI s terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
“, http:dpd.go.id201003pengawasan-komite-iii-dpd-terhadap-uu-mengenai-ketenagakerjaan, diakses
tangga; 18 Agustus 2010.
81
Ibid
Universitas Sumatera Utara
yang melilit mereka menjadi penyebab terjadinya kondisi demikian. Kondisi ekonomi calon TKI dijadikan alasan PPTKIS bersikap longgar. Petugas PPTKIS mengaku
merasa kasihan dan wajib membantu calon TKI agar segera berangkat dan memperoleh penghasilan layak. Namun sebagai akibatnya, banyak TKI yang
diperlakukan secara tidak layak dan ini tentu saja akan bersinggungan dengan peran lembaga PPTKIS.
B. Ketentuan Hukum Pada Pelanggaran Tugas Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia