Saya jadi tidak tertarik, bukan tidak tertarik dengan musiknya tapi tidak tertarik dengan organisasinya. Saya butuh marching karena marching punya alat
marimba. Makanya saya tertarik marching karena marching memiliki alat yang saya suka. Tapi disaat saya main yang tidak menghargai musik, saya jadi malas
untuk kesana. Karena yang saya butuh disana adalah sisi musiknya. Tapi disana musiknya pun tidak dihargai jadi saya malas kesana lagi.
Faktor kakak tingkat juga berpengaruh terhadap ketertarikan jika dia memang baik, asik, bisa sharing, seru, bisa mengajarkan banyak hal, sabar seperti kakak
tingkat 20072008. Karena tidak segan menurunkan tempo untuk mengajarkan, memberi waktu untuk anak baru. Tapi ada juga kakak tingkat yang tidak enak
contohnya kakak angkatan 2010. Dia membuat kita kacau balau. Jadi begitu proses ya gimana kita pintar-pintar tutup telinga, jaga hati agar tidak gampang
tersinggung. Mood sangat berpengaruh untuk kita waktu main musik apalagi dengan tempo yang cepat, partitur banyak, main bersama, mood jelek, otakpun
jadi tidak menangkap.
P: Apa saja hambatan yang dialami dalam proses pembelajaran
front ensemble
? N: Hambatannya untuk saya hambatan bagaimana kita harus 4 mallet dengan
tempo cepat dan tingkat kesulitan yang tinggi. Padahal sebelumnya kita tidak terbiasa sesulit itu. Solusinya mungkin membawa alat musik ke kos.
Glockenspiel sempat saya bawa setahun di kos. Kita dituntut membaca partitur dengan cepat solusinya di translate dengan pensil. Yang paling kerasa itu
mood, kalau sudah tidak mood ya sudah apalagi dengan lingkungan yang
krusial seperti tadi. Disamping pelatih, kakak tingkat yang seperti itu, adik tingkat manja yang memang mereka harus diajarkan dan pengajar yang kurang.
Solusinya ya pintar-pintar membawa diri saja. Kalau dari keseluruhan ya cuaca mungkin. Ada beberapa alat yang tidak bisa keluar kalau hujan, jadi di
pending. Kemudian tempo per divisi dan unit. Battery paling dominan dan ketika
mereka sudah memperlambat atau mempercepat kita di depan mereka di belakang itu crash nya terasa sekali. Alat front ensemble itu paling kurang jadi
kita pinjam dari mana-mana. Kita dapat alat kalau kita karantina saja. Di waktu latihan reguler kita tidak dapat alat pinjaman. Mallet juga dulu sempet kurang
tapi karena pelatih baik dan banyak uang ya dia mau membelikan mallet. Hambatan yang paling utama itu kerasnya jam latihan karena kita harus bangun
jam lima pagi kemudian pemanasan yang segitu susahnya, capai , sarapan, latihan sampai malam. Dengan makan yang ala kadarnya, karena 64 ribu untuk
seminggu diawal makan hanya sayur tauge, tahu, tempe sedangkan kita aktifitas berat. Akhirnya banyak yang sakit, saya juga salah satu yang sakit-
sakitan. Sedangkan dari komposisi marching band nya yang dilihat kan bukan hanya dari drill nya tapi kualitas musiknya juga. Padahal drill display lebih
ditekankan dari awal latihan misal setelah sarapan dengan musik main hanya berapa nada. Dan waktu yang benar-benar ditekankan untuk musik itu setelah
maghrib sampai malem. Bosan juga karena kita lebih banyak baca sendiri dan mengulang-ulang terus karena ada beberapa orang yang belum bisa di bagian
itu.