Pola perilaku ini tercermin dalam wujud reaksi-reaksi fisiologis tertentu, misalnya naiknya tekanan darah, naiknya produksi adrenalin, dan meningkatnya
kelengketan keping-keping darah, yang memperbesar kemungkinan terbentuknya gumpalan darah setiap kali merasa menghadapi tantangan. Manusia tipe A tidak dapat
menerima penundaan dan tidak mudah beristirahat. Orang dengan pola perilaku tipe A biasanya selalu bekerja dengan kapasitas maksimum, tidak bersedia mengaku kalah
atau letih tetapi lebih suka menyembunyikan kelelahan dan karena itu terus bekerja, kendati hampir kehabisan daya. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa
orang-orang tipe A dua kali lebih mungkin meninggal karena serangan jantung ketimbang orang dengan perilakuk tipe B Patel, 1998.
Hal di atas dapat dipahami bahwa pola perilaku sangat didukung oleh kondisi ekonomi bangsa kita ini yang semakin hari semakit sulit. Setiap penderita dituntut
bersaing untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Hidup di dalam situasi sosial dan ekonomi seperti sekarang ini tidak tertutup kemungkinan bagi masyarakat
untuk bekerja dengan deadline. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko untuk mengalami PJK.
6. Stres
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di RSU Dr. Pirngadi Medan diketahui bahwa orang yang menderita PJK dan mempunyai stres tinggi sebanyak 45
orang 64,3, sedangkan orang yang tidak menderita PJK tetapi mempunyai stres tinggi hanya ada 27 orang 38,6. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara stres dengan kejadian PJK p0,05.
Donal Nababan : Hubungan Faktor Risiko Dan Karakteristik Penderita Dengan Kejadian Penyakit Jantung…, 2008 USU e-Repository © 2008
Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa stres dianggap sebagai salah satu faktor risiko PJK, karena mempunyai pengaruh dalam memicu timbulnya
PJK. Stres dapat menyebabkan pengurangan aliran darah melalui mekanisme tertentu dalam diri kita. Tubuh kita selalu merespon situasi yang penuh dengan stres yang
dapat membantu agar tetap survive Soeharto, 2004. Kejadian-kejadian seperti ini dapat menyebabkan rasa tertekan atau penyakit.
Sesuatu hal yang menyulitkan adalah karena korban tidak selalu sadar bahwa ia dalam situasi stres sampai suatu krisis terjadi. Ketika mengalai nervous break down
atau serangan jantung, barulah ditelusuri ke belakang untuk memahami permasalahan secara jelas. Banyak dokter berprestasi di masa lampau telah mengamati bukti-bukti
hubungan antara stres psikologis dan gejala-gejala angina atau serangan jantung Patel, 1998.
Hal di atas dapat dipahami bahwa stres bukan hanya diakibatkan oleh hal-hal peristiwa yang menyedihkan, tetapi juga peristiwa yang menyenangkan dapat
menjadikan seseorang menjadi stres, misalnya adanya prestasi yang luar biasa. Sehingga apabila perasaan senang ataupun perasaan sedih tidak dapat disikapi dengan
baik, maka hal ini dapat meningkatkan risiko PJK pada seseorang. 5.2. Karakteristik Penderita
1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian ini yang dilakukan di RSU Dr. Pirngadi Medan, menunjukkan bahwa penderita PJK lebih banyak pada kelompok umur
≥ 40 tahun
Donal Nababan : Hubungan Faktor Risiko Dan Karakteristik Penderita Dengan Kejadian Penyakit Jantung…, 2008 USU e-Repository © 2008
84,3. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Dtrong dan McGill bahwa atheroslerosis berawal pada masa anak-anak dan perlahan-lahan menjadi lebih banyak
pada usia dewasa yang selanjutnya akan mendorong terjadinya penyumbatan arteri Soeharto, 2002. Risiko PJK terjadi pada usia 40-60 tahun dan pada wanita
menopause Tjokroprawiro, 1992. Hasil tersebut di atas dapat dipahami bahwa kejadian PJK bukanlah suatu
kejadian yang terjadi secara tiba-tiba, tetapi berkelangsungan lama. Selain itu juga semakin tua bagian organ tubuh manusia, maka semakin menurun pula
kemampuannya untuk berfungsi, dan jika dikombinasikan dengan faktor-faktor genetik serta faktor lain, maka hal ini potensial meningkatkan terjadinya PJK.
2. Jenis kelamin