Kinerja Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah

(1)

DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH

Oleh:

Martyanti RB Sianturi A14304034

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(2)

RINGKASAN

MARTYANTI RB SIANTURI. Kinerja Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah. Dibimbing oleh NINDYANTORO.

Krisis Ekonomi dan kekacauan politik terjadi pada tahun 1998 yang menyebabkan banyaknya gejala separatisme di Indonesia. Hal tersebut dicoba diredam oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan desentralisasi. Pada 1 januari 2001 dilaksanakan kebijakan otonomi daerah sebagai implikasi dari desentralisasi. Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing dan meningkatkan pelayanan kepada publik.

Otonomi daerah di Kabupaten Bogor sudah dilaksanakan, tetapi jumlah penduduk miskin semakin meningkat dan ketimpangan juga terjadi. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana kinerja pembangunan Kabupaten Bogor sebelum dan ketika otonomi daerah dilaksanakan, apakah otonomi daerah mempunyai dampak positif terhadap pembangunan daerah Kabupaten Bogor. Kinerja yang dianalisis adalah pada bidang perekonomian. Oleh karena itu, permasalahan yang dianalisis dalam skripsi ini adalah bagaimana struktur perekonomian Kabupaten Bogor, bagaimana kinerja keuangannya dan bagaimana kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bogor. Penelitian ini akan membandingkan keadaan sebelum dan ketika otonomi daerah dilaksanakan.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis struktur perekonomian Kabupaten Bogor sebelum dan pada masa Otonomi daerah, menganalisis kinerja keuangan Kabupaten Bogor sebelum dan pada masa desentralisasi fiskal serta menganalisis kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bogor yang dilihat dari keberadaan fasilitas publik, PDRB per kapita dan angka IPM.

Struktur perekonomian akan dianalisis dengan analisis shift share pada masa sebelum (1995-2000) dan saat otonomi daerah dilaksanakan (2001-2006). Derajat desentralisasi fiskal dan derajat kemandirian daerah digunakan untuk melihat kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor. Kesejahteraan akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan data fasilitas publik seperti jumlah sarana pendidikan, kesehatan dan panjang jalan, PDRB per kapita dan IPM di kabupaten Bogor.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur perekonomian Kabupaten Bogor sebelum dan pada masa otonomi daerah didominasi oleh sektor industri pengolahan. Sektor perekonomian yang progresif sebelum otonomi daerah adalah sektor listrik, gas dan air bersih. Laju pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi menurun 10,45 persen. Pada masa otonomi daerah sektor yang progresif adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor pengangkutan, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian dan pertambangan tetap menjadi sektor yang lambat pertumbuhannya dalam periode sebelum dan saat otonomi daerah dilaksanakan. Laju pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi meningkat 27,41 persen.


(3)

Kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Bogor yang dilihat dari derajat desentralisasi dan derajat kemandirian daerah menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor masih tergantung pada pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari rendanya kontribusi PAD terhadap penerimaan yang rata-rata mencapai 27,89 persen sebelum otonomi daerah dan 16,34 persen saat otonomi daerah dilaksanakan.

Jumlah fasilitas pendidikan seperti SD, SMP dan SMA mengalami peningkatan. Jumlah fasilitas kesehatan yang terdiri dari rumah sakit dasn puskesmas juga mengalami peningkatan meskipun pembangunan fisik fasillitas ini tidak merata di wilayah pembangunan Kabupaten Bogor. Begitu pula halnya dengan panjang jalan yang juga cenderung mengalami peningkatan. IPM Kabupaten Bogor terus meningkat walaupun sempat turun pada tahun 2000 menjadi 63,32 yang kemudian terus mengalami peningkatan menjadi 69,79 pada tahun 2006. PDRB perkapita Kabupaten Bogor juga terus mengalami peningkatan dari Rp. 5.895.735,06 kemudian mengalami penurunan hingga mencapai Rp. 3.996.666,78 pada tahun 1999 dan kemudian mengalami peningkatan hingga mencapai Rp. 6.296.255,96 pada tahun 2006 dan angka ini berada di atas PDRB per kapita Jawa Barat yaitu Rp. 6.321.825,86.

Berdasarkan hasil analisi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa struktur perekonomian Kabupaten Bogor lebih baik saat otonomi daerah dilaksanakan. Peranan pemerintah pusat masih besar dalam penerimaan Kabupaten Bogor. Kinerja keuangan Kabupaten Bogor justru lebih baik sebelum desentralisasi fiskal dilaksanakan karena pada saat desentralisasi fiskal derajat desentralisasi fiskal dan derajat kemandirian lebih rendah daripada sebelum desentralisasi fiskal. Alokasi APBD untuk pelayanan publik masih rendah. Jumlah fasilitas memang semakin meningkat tetapi penyebarannya tidak merata. Angka IPM dan PDRB per kapita di Kabupaten Bogor juga mengalami peningkatan.

Penulis menyarankan agar pemerintah Kabupaten Bogor mengembangkan sektor-sektor yang progresif yaitu sektor pengangkutan, sektor keuangan, dan sektor industri pengolahan misalnya melalui peningkatan alokasi belanja pembangunan (modal) untuk sektor-sektor tersebut. Selain itu pemerintah Kabupaten Bogor harus mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat dalam keuangannya. Hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan potensi penerimaan Kabupaten Bogor melalui pajak parkir, pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame sedangkan retribusi tempat parkir tepi jalan, retribusi terminal, retribusi jasa usaha tempat parkir khusus, retribusi izin trayek mengingat potensi Kabupaten Bogor di bidang pariwisata dan angkutan. Laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dapat ditingkatkan melalui pengawasan terhadap manajemen pengelolaannya dan setiap BUMD wajib melaoprkan keuangannya kepada pemerintah. Pemerintah juga diharapakan meningkatkan alokasi APBD terhadap belanja pembangunan (modal) dan pendidikan dan melakukan perbaikan fasilitas agar tercapai peningkatan pelayanan publik sesuai tujuan dari otonomi daerah.


(4)

KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BOGOR SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH

Oleh:

MARTYANTI RB SIANTURI A14304034

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(5)

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Martyanti RB Sianturi Nomor Registrasi Pokok : A14304034

Program Studi : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya

Judul Skripsi : Kinerja Pembangunan Daerah Kabupaten

Bogor Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir. Nindyantoro, M.SP NIP. 131 879 329

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian, IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BOGOR SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2008

Martyanti RB Sianturi A14304034


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada tanggal 20 Maret 1986 dan merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Monang Sianturi dan Tiominar Manurung. Pada akhir tahun 1989, penulis bersama keluarga pindah ke Dolok Ilir, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 091591 Dolok Ilir kemudian melanjutkan ke SLTPN 1 Serbelawan pada tahun 1998 sampai 2001 dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Serbelawan pada tahun 2004.

Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumber Daya melalui jalur USMI. Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, antara lain sebagai Bendahara Komisi Pelayanan Khusus UKM PMK IPB periode 2006/2007 dan Asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan tahun ajaran 2007/2008 untuk mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Kinerja Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah”.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Seperti pepatah mengatakan, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang masih memerlukan perbaikan dikarenakan keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman penulis. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2008


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih atas segala waktu, masukan dan koreksi yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

1. Kedua orang tua penulis yaitu bapak Monang Sianturi dan Ibu Tiominar Manurung, A.Md atas kasih sayang, doa, dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. Pa, Ma, karya ini tidak besar tetapi semoga ini bisa menjadi salah satu cara untuk selalu membahagiakan bapak dan mama.

2. Bapak Ir. Nindyantoro, MSP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta masukan demi kesempurnaan skripsi ini. 3. Bapak A. Faroby Falatehan, SP, ME selaku dosen penguji utama yang

memberi koreksi, kritikan serta saran yang membangun untuk skripsi ini. 4. Bapak Adi Hadianto, SP selaku dosen penguji wakil departemen yang

memberi koreksi dan saran bagi penulisan skripsi.

5. Adik-adikku Franklin Sianturi, Nova Sianturi, Linda Sianturi dan Yohanna Sianturi. Terimakasih untuk doa, semangat dan kasih sayangnya. Semangat selalu dan terus berpacu untuk dapat menjadi yang terbaik dalam studinya. 6. Harryara IP Hutabarat, A.Md yang telah memberikan motivasi, masukan, doa

bagi penulis. Semangat selalu untuk pekerjaan, kuliah, pelayanan serta organisasinya. Semua kerja keras itu akan menghasilkan buah yang manis. 7. Sahabat-sahabatku Merika S Sinaga, Rolas TE Silalahi, Lenny J Sinaga,

Marlina TJ Siahaan, Rocky DF Silalahi dan Jimmy A Siahaan. Kalian adalah sahabat-sahabat terbaikku, susah dan senang selalu kita lewati bersama.

8. Rahma, Pipih, Natalia, EPS’41, Malibuers, Salamisers dan Kopelkhuers. Terimakasih untuk doa dan bantuannya selama studi dan penulisan skripsi ini.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Perumusan Permasalahan... 3

1.3Tujuan ... 5

1.4Kegunaan penelitian... 5

1.5Ruang lingkup penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1Pengukuran Kinerja Pembangunan Daerah ... 7

2.2.1 Indikator-Indikator Kinerja Pembangunan ... 7

2.2Konsep Kinerja Keuangan Daerah... 9

2.3Keuangan Daerah dalam Pembangunan Sebelum dan Pada Masa Desentalisasi Fiskal... 10

2.4Pembagian Urusan Pemerintahan ... 12

2.5Hasil Penelitian Terdahulu... 14

2.5.1 Penelitian Mengenai Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal ... 14

2.5.2 Penelitian Mengenai Kinerja Pembangunan Daerah... 16

2.4.3 Penelitian Mengenai ShiftShare... 17

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1Kerangka Pemikiran Teoritis ... 18

3.1.1 Defenisi dan Konsep Pembangunan Daerah ... 18

3.1.2 Konsep Desentralisasi ... 19

3.1.3 Teori Barang Publik ... 21

3.1.4 Analisis ShiftShare... 23

3.2Kerangka Pemikiran Operasional ... 27

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4.2 Metode Pengumpulan Data ... 30

4.3 Metode Analisis Data... 30

4.3.1 Metode Deskriptif ... 31

4.3.2 Metode BackCasting... 32

4.3.3 Analisis ShiftShare... 32

4.3.4 Analisis Kinerja Keuangan Daerah... 37

4.3.4.1 Derajat Desentralisasi Fiskal... 37


(11)

DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH

Oleh:

Martyanti RB Sianturi A14304034

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(12)

RINGKASAN

MARTYANTI RB SIANTURI. Kinerja Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah. Dibimbing oleh NINDYANTORO.

Krisis Ekonomi dan kekacauan politik terjadi pada tahun 1998 yang menyebabkan banyaknya gejala separatisme di Indonesia. Hal tersebut dicoba diredam oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan desentralisasi. Pada 1 januari 2001 dilaksanakan kebijakan otonomi daerah sebagai implikasi dari desentralisasi. Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing dan meningkatkan pelayanan kepada publik.

Otonomi daerah di Kabupaten Bogor sudah dilaksanakan, tetapi jumlah penduduk miskin semakin meningkat dan ketimpangan juga terjadi. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana kinerja pembangunan Kabupaten Bogor sebelum dan ketika otonomi daerah dilaksanakan, apakah otonomi daerah mempunyai dampak positif terhadap pembangunan daerah Kabupaten Bogor. Kinerja yang dianalisis adalah pada bidang perekonomian. Oleh karena itu, permasalahan yang dianalisis dalam skripsi ini adalah bagaimana struktur perekonomian Kabupaten Bogor, bagaimana kinerja keuangannya dan bagaimana kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bogor. Penelitian ini akan membandingkan keadaan sebelum dan ketika otonomi daerah dilaksanakan.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis struktur perekonomian Kabupaten Bogor sebelum dan pada masa Otonomi daerah, menganalisis kinerja keuangan Kabupaten Bogor sebelum dan pada masa desentralisasi fiskal serta menganalisis kesejahteraan masyarakat Kabupaten Bogor yang dilihat dari keberadaan fasilitas publik, PDRB per kapita dan angka IPM.

Struktur perekonomian akan dianalisis dengan analisis shift share pada masa sebelum (1995-2000) dan saat otonomi daerah dilaksanakan (2001-2006). Derajat desentralisasi fiskal dan derajat kemandirian daerah digunakan untuk melihat kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor. Kesejahteraan akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan data fasilitas publik seperti jumlah sarana pendidikan, kesehatan dan panjang jalan, PDRB per kapita dan IPM di kabupaten Bogor.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur perekonomian Kabupaten Bogor sebelum dan pada masa otonomi daerah didominasi oleh sektor industri pengolahan. Sektor perekonomian yang progresif sebelum otonomi daerah adalah sektor listrik, gas dan air bersih. Laju pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi menurun 10,45 persen. Pada masa otonomi daerah sektor yang progresif adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor pengangkutan, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa. Sektor pertanian dan pertambangan tetap menjadi sektor yang lambat pertumbuhannya dalam periode sebelum dan saat otonomi daerah dilaksanakan. Laju pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi meningkat 27,41 persen.


(13)

Kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Bogor yang dilihat dari derajat desentralisasi dan derajat kemandirian daerah menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor masih tergantung pada pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari rendanya kontribusi PAD terhadap penerimaan yang rata-rata mencapai 27,89 persen sebelum otonomi daerah dan 16,34 persen saat otonomi daerah dilaksanakan.

Jumlah fasilitas pendidikan seperti SD, SMP dan SMA mengalami peningkatan. Jumlah fasilitas kesehatan yang terdiri dari rumah sakit dasn puskesmas juga mengalami peningkatan meskipun pembangunan fisik fasillitas ini tidak merata di wilayah pembangunan Kabupaten Bogor. Begitu pula halnya dengan panjang jalan yang juga cenderung mengalami peningkatan. IPM Kabupaten Bogor terus meningkat walaupun sempat turun pada tahun 2000 menjadi 63,32 yang kemudian terus mengalami peningkatan menjadi 69,79 pada tahun 2006. PDRB perkapita Kabupaten Bogor juga terus mengalami peningkatan dari Rp. 5.895.735,06 kemudian mengalami penurunan hingga mencapai Rp. 3.996.666,78 pada tahun 1999 dan kemudian mengalami peningkatan hingga mencapai Rp. 6.296.255,96 pada tahun 2006 dan angka ini berada di atas PDRB per kapita Jawa Barat yaitu Rp. 6.321.825,86.

Berdasarkan hasil analisi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa struktur perekonomian Kabupaten Bogor lebih baik saat otonomi daerah dilaksanakan. Peranan pemerintah pusat masih besar dalam penerimaan Kabupaten Bogor. Kinerja keuangan Kabupaten Bogor justru lebih baik sebelum desentralisasi fiskal dilaksanakan karena pada saat desentralisasi fiskal derajat desentralisasi fiskal dan derajat kemandirian lebih rendah daripada sebelum desentralisasi fiskal. Alokasi APBD untuk pelayanan publik masih rendah. Jumlah fasilitas memang semakin meningkat tetapi penyebarannya tidak merata. Angka IPM dan PDRB per kapita di Kabupaten Bogor juga mengalami peningkatan.

Penulis menyarankan agar pemerintah Kabupaten Bogor mengembangkan sektor-sektor yang progresif yaitu sektor pengangkutan, sektor keuangan, dan sektor industri pengolahan misalnya melalui peningkatan alokasi belanja pembangunan (modal) untuk sektor-sektor tersebut. Selain itu pemerintah Kabupaten Bogor harus mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat dalam keuangannya. Hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan potensi penerimaan Kabupaten Bogor melalui pajak parkir, pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame sedangkan retribusi tempat parkir tepi jalan, retribusi terminal, retribusi jasa usaha tempat parkir khusus, retribusi izin trayek mengingat potensi Kabupaten Bogor di bidang pariwisata dan angkutan. Laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dapat ditingkatkan melalui pengawasan terhadap manajemen pengelolaannya dan setiap BUMD wajib melaoprkan keuangannya kepada pemerintah. Pemerintah juga diharapakan meningkatkan alokasi APBD terhadap belanja pembangunan (modal) dan pendidikan dan melakukan perbaikan fasilitas agar tercapai peningkatan pelayanan publik sesuai tujuan dari otonomi daerah.


(14)

KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BOGOR SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH

Oleh:

MARTYANTI RB SIANTURI A14304034

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008


(15)

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBER DAYA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Martyanti RB Sianturi Nomor Registrasi Pokok : A14304034

Program Studi : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya

Judul Skripsi : Kinerja Pembangunan Daerah Kabupaten

Bogor Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir. Nindyantoro, M.SP NIP. 131 879 329

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian, IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019


(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BOGOR SEBELUM DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2008

Martyanti RB Sianturi A14304034


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sanggau, Kalimantan Barat pada tanggal 20 Maret 1986 dan merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Monang Sianturi dan Tiominar Manurung. Pada akhir tahun 1989, penulis bersama keluarga pindah ke Dolok Ilir, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 091591 Dolok Ilir kemudian melanjutkan ke SLTPN 1 Serbelawan pada tahun 1998 sampai 2001 dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Serbelawan pada tahun 2004.

Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumber Daya melalui jalur USMI. Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, antara lain sebagai Bendahara Komisi Pelayanan Khusus UKM PMK IPB periode 2006/2007 dan Asisten Mata Kuliah Agama Kristen Protestan tahun ajaran 2007/2008 untuk mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB.


(18)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Kinerja Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah”.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Seperti pepatah mengatakan, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan yang masih memerlukan perbaikan dikarenakan keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman penulis. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2008


(19)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih atas segala waktu, masukan dan koreksi yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

1. Kedua orang tua penulis yaitu bapak Monang Sianturi dan Ibu Tiominar Manurung, A.Md atas kasih sayang, doa, dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. Pa, Ma, karya ini tidak besar tetapi semoga ini bisa menjadi salah satu cara untuk selalu membahagiakan bapak dan mama.

2. Bapak Ir. Nindyantoro, MSP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta masukan demi kesempurnaan skripsi ini. 3. Bapak A. Faroby Falatehan, SP, ME selaku dosen penguji utama yang

memberi koreksi, kritikan serta saran yang membangun untuk skripsi ini. 4. Bapak Adi Hadianto, SP selaku dosen penguji wakil departemen yang

memberi koreksi dan saran bagi penulisan skripsi.

5. Adik-adikku Franklin Sianturi, Nova Sianturi, Linda Sianturi dan Yohanna Sianturi. Terimakasih untuk doa, semangat dan kasih sayangnya. Semangat selalu dan terus berpacu untuk dapat menjadi yang terbaik dalam studinya. 6. Harryara IP Hutabarat, A.Md yang telah memberikan motivasi, masukan, doa

bagi penulis. Semangat selalu untuk pekerjaan, kuliah, pelayanan serta organisasinya. Semua kerja keras itu akan menghasilkan buah yang manis. 7. Sahabat-sahabatku Merika S Sinaga, Rolas TE Silalahi, Lenny J Sinaga,

Marlina TJ Siahaan, Rocky DF Silalahi dan Jimmy A Siahaan. Kalian adalah sahabat-sahabat terbaikku, susah dan senang selalu kita lewati bersama.

8. Rahma, Pipih, Natalia, EPS’41, Malibuers, Salamisers dan Kopelkhuers. Terimakasih untuk doa dan bantuannya selama studi dan penulisan skripsi ini.


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Perumusan Permasalahan... 3

1.3Tujuan ... 5

1.4Kegunaan penelitian... 5

1.5Ruang lingkup penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1Pengukuran Kinerja Pembangunan Daerah ... 7

2.2.1 Indikator-Indikator Kinerja Pembangunan ... 7

2.2Konsep Kinerja Keuangan Daerah... 9

2.3Keuangan Daerah dalam Pembangunan Sebelum dan Pada Masa Desentalisasi Fiskal... 10

2.4Pembagian Urusan Pemerintahan ... 12

2.5Hasil Penelitian Terdahulu... 14

2.5.1 Penelitian Mengenai Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal ... 14

2.5.2 Penelitian Mengenai Kinerja Pembangunan Daerah... 16

2.4.3 Penelitian Mengenai ShiftShare... 17

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1Kerangka Pemikiran Teoritis ... 18

3.1.1 Defenisi dan Konsep Pembangunan Daerah ... 18

3.1.2 Konsep Desentralisasi ... 19

3.1.3 Teori Barang Publik ... 21

3.1.4 Analisis ShiftShare... 23

3.2Kerangka Pemikiran Operasional ... 27

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4.2 Metode Pengumpulan Data ... 30

4.3 Metode Analisis Data... 30

4.3.1 Metode Deskriptif ... 31

4.3.2 Metode BackCasting... 32

4.3.3 Analisis ShiftShare... 32

4.3.4 Analisis Kinerja Keuangan Daerah... 37

4.3.4.1 Derajat Desentralisasi Fiskal... 37


(21)

V. GAMBARAN UMUM

5.1Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 39

5.1.1 Geografi dan Pemerintahan... 39

5.1.2 Perekonomian Kabupaten Bogor ... 41

5.1.2.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi ... 41

5.1.2.2 PDRB dan PAD ... 42

5.1.3 Demografi ... 43

5.2 Rencana Strategis Pembangunan Kabupaten Bogor ... 43

5.2.1 Analisis Lingkungan Internal... 44

5.2.2 Analisis Lingkungan Eksternal ... 45

VI. STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN BOGOR 6.1 Sebelum Berlakunya Otonomi Daerah... 48

6.1.1 Analisis Rasio Indikator Kegiatan Ekonomi... 49

6.1.2 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ... 50

6.1.3 Pertumbuhan Bersih dan Profil Pertumbuhan Sektor Ekonomi Kabupaten Bogor ... 53

6.2 Masa Otonomi Daerah ... 55

6.2.1 Analisis Rasio Indikator Kegiatan Ekonomi... 56

6.2.2 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ... 57

6.2.3 Pertumbuhan Bersih dan Profil Pertumbuhan Sektor Ekonomi Kabupaten Bogor ... 59

6.3 Pergeseran Sektor Ekonomi Kabupaten Bogor... 62

VII. KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR 7.1 Kinerja Keuangan Kabupaten Bogor ... 64

7.1.1 Derajat Desentralisasi Fiskal... 68

7.1.2 Derajat Kemandirian Daerah... 71

VIII. KESEJAHTERAAN PENDUDUK 8.1 Fasilitas Pelayanan Publik ... 75

8.1.1 Banyak Sekolah Negeri di Kabupaten Bogor ... 75

8.1.2 Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Bogor ... 77

8.1.3 Perkembangan Infrastruktur Jalan... 78

8.2 Analisis Indeks Pembangunan Manusia (IPM)... 79

8.3 Analisis Pendapatan per Kapita ... 81

IX. PENUTUP 9.1 Kesimpulan ... 83

9.2 Saran... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(22)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman 1. Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Bogor... 3 2. Laju Pertumbuhan Ekonomi per Wilayah Pembangunan Kabupaten

Bogor Tahun 2002-2005 ... 4 3. Kualifikasi Kemampuan Keuangan Daerah... 38 4. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor Berdasarkan Lapangan

Usaha Tahun 2002-2006 ... 42 5. Perbandingan PDRB dan PAD Kabupaten Bogor Tahun 2002-2006... 42 6. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Bogor

Tahun 2002-2005 ... 43 7. Perubahan PDRB Kabupaten Bogor Selama Tahun 1995 sampai

Tahun 2000 ... 48 8. Nilai Ra, Ri dan ri periode sebelum otonomi daerah ... 49

9. Nilai Komponen pertumbuhan propinsi (PPP) di Kabupaten Bogor

selama tahun 1995-2000 ... 51 10. Nilai Komponen pertumbuhan proporsional (PP) di Kabupaten Bogor selama tahun 1995-2000 ... 51 11. Nilai Komponen PPW Kabupaten Bogor Selama Tahun 1995-2000 ... 53 12. Nilai Pertumbuhan Bersih (PB) Kabupaten Bogor Tahun 1995-2000... 53 13. Perubahan PDRB di Kabupaten Bogor selama tahun 2001- 2006... 56 14. Nilai Ra, Ri dan ri Kabupaten Bogor pada Masa Otonomi Daerah... 56

15. Nilai Komponen Pertumbuhan Propinsi (PPP) di Kabupaten Bogor

dari tahun 2001-2006 ... 58 16. Nilai Komponen Pertumbuhan Propisional (PP) di Kabupaten

Bogor tahun 2001-2006 ... 58 17. Nilai Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) di Kabupaten

Bogor selama tahun 2001-2006 ... 59 18. Nilai Pertumbuhan bersih (PB) di Kabupaten Bogor Selama

Tahun 2001-2006 ... 60 19. Realisasi Pengeluaran Kabupaten Bogor Sebelum Desentralisasi

Fiskal ... 64 20. Realisasi Pengeluaran Kabupaten Bogor Dalam Masa Desentralisasi

Fiskal ... 65 21. Penerimaan Kabupaten Bogor sebelum Desentralisasi Fiskal

(dalam ribuan rupiah)... 65 22. Penerimaan Kabupaten Bogor Pada Masa Desentralisasi Fiskal... 66 23. Struktur PAD Kabupaten Bogor ... 66 24. Jumlah Sekolah Negeri di Kabupaten Bogor tahun 2003-2006... 76 25. Rasio Jumlah Sekolah Negeri Terhadap Jumlah Penduduk 2003-2006 ... 76 26. Rasio Jumlah Fasilitas Kesehatan Sebelum dan Sesudah Otda

di Kabupaten Bogor Terhadap Jumlah Penduduk ... 77 27. Banyakya Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Bogor tahun 1995-2006 ... 78 28. Perkembangan Jalan Kabupaten di Kabupaten Bogor 1995-2006... 79


(23)

Nomor Teks Halaman 29. IPM Kabupaten Bogor Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah ... 80 30. PDRB per kapita Kab. Bogor Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah.. 81 31. PDRB perkapita per Wilayah Pembangunan Kabupaten Bogor


(24)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman 1. Harga dan Jumlah Barang Publik... 22 2. Bagan Kerangka Berfikir Operasional ... 29 3. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Kabupaten Bogor sebelum Otonomi daerah... 54 4. Profil pertumbuhan Sektor Perekonomian Kabupaten Bogor Pada

Masa Otonomi Daerah ... 61 5. Derajat Desentralisasi Fiskal Sebelum Dilaksanakannya Desentralisasi Fiskal ... 70 6. Derajat Desentralisasi Fiskal Pada masa Desentralisasi Fiskal... 71 7. Derajat Kemandirian Fiskal Sebelum Desentralisasi Fiskal ... 72 8. Derajat Kemandirian Daerah pada Masa desentralisasi Fiskal ... 74


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman 1. Sumber-sumber penerimaan daerah sebelum desentralisasi fiskal ... 90

2. Sumber-sumber penerimaan daerah saat berlakunya desentralisasi

fiskal... 91 3. PDRB Kab.Bogor Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga

Konstan 1993, Tahun 1995-2000 (juta rupiah) ... 92 4. PDRB Kab.Bogor Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 1995-2000 (juta rupiah) ... 92 5. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha atas dasar Harga

Konstan 1993, Tahun 1995-1999 (juta rupiah) ... 92 6. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha atas dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 1995-1999 (juta rupiah) ... 93 7. PDRB Kab.Bogor Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2001-2006 (juta rupiah) ... 93 8. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha atas dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2001-2006 (juta rupiah) ... 93 9. Hasil Perhitungan shift share Sebelum Otonomi Daerah ... 94 10.Hasil Perhitungan shift share Pada Masa Otonomi Daerah ... 94 11.Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Bogor 1995-2006 ... 95 12.Derajat Kemandirian Daerah Kabupaten Bogor 1995-2006... 96


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Konsep otonomi daerah sudah mulai ada sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 1974. Titik berat otonomi pada daerah tingkat II (kabupaten dan kotamadya) yang merupakan amanah dari pasal II ayat 1 UU tersebut belum terwujud. Pemerintah pusat masih kurang mau mendelegasikan wewenang ke daerah. Sistem pemerintahan menurut UU ini telah menyulitkan lahirnya pemerintahan dengan akuntabilitas publik yang cukup, karena itu tidak sejalan dengan aspirasi demokratisasi pemerintahan. Kondisi ini menimbulkan argumen untuk meninggalkan konsep otonomi yang sedang berlaku dan menggantinya dengan sesuatu yang baru.

Pada era reformasi, gejala separatisme dan kekacauan politik yang muncul sebagai fenomena transisi politik dicoba untuk diredam oleh pemerintahan Habibie dengan mengeluarkan kebijakan desentralisasi. Kebijakan desentralisasi yang baru tersebut mengubah pola hubungan pusat-daerah yang patrenalistik menjadi pola hubungan yang bersifat kemitraan. Kebijakan tersebut dituangkan dalam UU No 22 Tahun 1999 mengatur tentang “pemerintah daerah” dan UU No 25 Tahun 1999 mengatur tentang “perimbangan keuangan antara pusat dan daerah”. UU ini kemudian diperbaharui menjadi UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004. Kedua UU ini kemudian menjadi dasar berlakunya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Tujuan utama kebijakan desentralisasi adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik. Pemerintah pusat dapat lebih berkonsentrasi kepada kecenderungan global dan


(27)

mengambil manfaat darinya. Pemerintah pusat juga diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Dilain pihak, bagi pemerintah daerah akan memacu kemampuan prakarsa dan kreativitas sehingga kapabilitasnya akan semakin meningkat dengan desentralisasi (Rasyid, 2005).

Pelaksanaan desentralisasi fiskal sejalan dengan otonomi daerah. Elmi (2002) menyatakan desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administrasi dan pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Adanya pelimpahan sebagian kewenangan terhadap sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintahan di daerah, diharapkan daerah-daerah akan dapat melaksanakan tugas-tugas rutin, pelayanan publik dan meningkatkan investasi yang produktif (capital investment) di daerahnya.

Otonomi daerah berimplikasi pada pembiayaan daerah melalui APBD. Penyerahan kewenangan pemerintahan dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Daerah harus mampu menggali sumber-sumber keuangan yang ada di daerah di samping didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota.

Otonomi Daerah mulai dilaksanakan pada tahun 2001. Pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini juga dialami Kabupaten Bogor sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat.


(28)

1.2 Perumusan Masalah

Otonomi daerah menjadi harapan untuk terjadinya pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan ekonomi pada umumnya adalah peningkatan pendapatan riil per kapita serta adanya unsur keadilan atau pemerataan dalam penghasilan dan kesempatan berusaha. Pertumbuhan ekonomi daerah pun diharapkan meningkat dari tahun ke tahun.

Kenyataan yang terjadi selama ini adalah walaupun otonomi daerah telah dilaksanakan tetapi jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor semakin meningkat setiap tahunnya. Pada Tabel 1, jumlah penduduk miskin tahun 2003 hanya 476.371 jiwa. Jumlahnya juga terus meningkat terus sampai tahun 2006 menjadi 1.157.391 jiwa. Bila dibandingkan jumlah penduduk miskin dengan jumlah penduduk dalam bentuk persentase juga terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah penduduk hanya sebesar 12,56 persen, meningkat menjadi 27,45 persen pada tahun 2006.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten Bogor

Tahun Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)*

Jumlah penduduk Kab.Bogor (jiwa)*

% Jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk

2000 478.800 3.508.826 13,64

2002 451.300 3.610.432 12,49

2003 476.371 3.791.784 12,56

2004 1.001.805 3.945.411 25,39

2005 1.084.718 4.100.934 26,45

2006 1.157.391 4.215.585 27,45

Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor.

*)Sensus Daerah Kabupaten Bogor Tahun 2006

Harapan yang lain dengan dilaksanakannya otonomi daerah adalah pembangunan yang merata. Pembangunan yang merata di setiap daerah di suatu kabupaten akan semakin menunjukkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal yang terjadi di Kabupaten Bogor adalah ketimpangan pembangunan yang terlihat dari perbedaan laju pertumbuhan ekonomi di tiga


(29)

wilayah pembangunan. Setiap tahun wilayah pembangunan Bogor Barat memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang paling rendah dibandingkan dengan yang lainnya, padahal seharusnya dengan terlaksanaya otonomi daerah, ketimpangan pembangunan dapat dikurangi. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut ini. Tabel 2.Laju Pertumbuhan Ekonomi per Wilayah Pembangunan di Kabupaten

Bogor Tahun 2002-2005

Wilayah Pembangunan 2002 2003 2004 2005

Barat 2,42 1,6 1,97 2,19

Tengah 4,54 6,11 6,47 9,72

Timur 4,45 4,33 6,23 8,84

Kab. Bogor 4,48 4,81 5,56 5,85 Sumber: Bappeda Kabupaten Bogor.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah disampaikan sebelumnya maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis tentang kinerja pembangunan daerah di Kabupaten Bogor. Salah satu indikator kinerja pembangunan adalah di bidang perekonomian yang diukur dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, tingkat pemerataan pendapatan (indeks gini), tingkat daya beli, realisasi penerimaan APBD, dan lain-lain.

Berdasarkan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas maka perumusan masalah yang akan diteliti di dalam skripsi ini adalah kinerja pembangunan daerah di bidang perekonomian yang akan dilihat dari:

1. Bagaimana struktur perekonomian yang akan ditinjau dari sektor yang berkembang di Kabupaten Bogor sebelum dan saat otonomi daerah dilaksanakan?

2. Bagaimana kinerja keuangan Kabupaten Bogor sebelum dan saat desentralisasi fiskal dilaksanakan?


(30)

3. Bagaimana kesejahteraan penduduk di Kabupaten Bogor sebelum dan saat otonomi daerah dilaksanakan?

1.3 Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis struktur perekonomian di Kabupaten Bogor sebelum dan saat berlakunya otonomi daerah;

2. Menganalisis kinerja keuangan daerah Kabupaten Bogor sebelum dan saat berlakunya desentralisasi fiskal;

3. Menganalisis kesejahteraan penduduk Kabupaten Bogor sebelum dan saat berlakunya otonomi daerah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi:

1. Bagi Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai pihak yang mempunyai wewenang (otoritas) dalam menentukan langkah kebijakan pembangunan di Kabupaten Bogor.

2. Bagi para peneliti berikutnya diharapkan penelitian ini dapat berkontribusi sebagai bahan bacaan pada kajian dan rujukan yang berkaitan dengan otonomi daerah dan kinerja pembangunan daerah.

1.5 Ruang Lingkup penelitian

Otonomi daerah dan Desentralisasi fiskal telah dijalankan secara penuh pada 1 Januari 2001. Kinerja pembangunan yang dimaksudkan di dalam penelitian ini terbatas hanya untuk menganalisis kinerja pembangunan di bidang perekonomian di Kabupaten Bogor yang dilihat dari indikator-indikator seperti


(31)

struktur perekonomian, kinerja keuangan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama dari fungsi pemerintahan maka hal tersebut dicerminkan dari meratanya pendapatan perkapita dan tersedianya fasilitas publik dan dapat diakses oleh penduduk serta angka IPM yang terus meningkat. Kinerja pembangunan dianalisis pada masa sebelum otonomi daerah (1995-2000) dan saat berlakunya otonomi daerah (2001-2006).


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengukuran Kinerja Pembangunan Daerah

Pertumbuhan ekonomi merupakan alat ukur kinerja pembangunan yang mudah dilakukan dan sangat populer. Pertumbuhan ekonomi yang pesat jika disertai munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan keluarga di bawah garis kemiskinan serta perusakan sumber daya alam akan sangat berbahaya. Akibat permasalahan tersebut para pakar pembangunan di tahun 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur tersebut bukan hanya dari pertumbuhan PDB, tetapi harus disertai beberapa tolok ukur lain. Setidaknya ada tiga kelompok cara dalam menetapkan indikator pembangunan yakni: 1) indikator berbasis tujuan pembangunan. 2) indikator berbasis kapasitas sumber daya, dan 3) indikator berbasis proses pembangunan (Rustiadi et al., 2005).

2.2.1 Indikator-Indikator Kinerja Pembangunan

Indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi.

Prinsip pembangunan harus memperhatikan prinsip keberlanjutan. Penerapan pembangunan berkelanjutan yang kompleks dapat disederhanakan dengan penggunaan sejumlah indikator yang tepat. Ketepatan indikator yang dipilih menentukan pada penilaian akhir karena indikator bersifat spesifik untuk


(33)

masing-masing kondisi. Pemilihan banyaknya indikator perlu diperhatikan karena jika terlalu banyak tidak saja akan memakan biaya dan waktu yang banyak, tetapi juga dapat mengaburkan fokus yang ingin dicapai. Sebaliknya bila terlalu sedikit, dirasakan adanya kelemahan, bahkan kekeliruan dalam menerjemahkan keadaan. Indikator-indikator kinerja tersebut dibangun atas variabel-variabel penting yang dianggap bisa menggambarkan tingkat perkembangan dan pertumbuhan atau mampu menjelaskan tingkat ukuran kinerja pembangunan daerah dapat dirumuskan dengan indeks/rasio. Indeks/rasio tersebut diantaranya adalah: 1) Bidang perekonomian: diukur dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi, struktur perekonomian, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, tingkat pemerataan pendapatan (indeks gini), tingkat daya beli, tingkat tabungan masyarakat, tingkat investasi, perdagangan luar negeri (ekspor impor), indeks harga bangunan, realisasi penerimaan APBD, dan lain-lain. 2) Bidang ketertiban umum: diukur dengan luas wilayah dan jumlah penduduk berdasarkan jenis konflik/kejadian, penduduk berdasarkan jenis kasus/kejadian, kecelakaan, kebakaran hutan, dan lain-lain. 3) Bidang Kesehatan: jumlah penduduk sakit, tingkat kematian, tingkat harapan hidup, angka kelahiran, dan lain-lain. 4) Bidang Pendidikan: diukur tingkat pendidikan, angka putus sekolah, rataan lama sekolah, angka buta dan melek huruf, dan lain-lain. 5) Bidang tata ruang, lingkungan dan pemerintahan umum: diukur dengan kepadatan penduduk, rumah permanen dan non permanen, penyimpangan penggunaan lahan dari rencana tata ruang, tingkat ketersediaan ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan lain-lain.


(34)

2.2 Konsep Kinerja Keuangan Daerah

Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Informasi yang digunakan untuk pengukuran kinerja menurut Mardiasmo dalam Halim diukur berdasarkan pada anggaran yang telah dibuat dengan menganalisis varians (selisih atau perbedaan) antara kinerja aktual dengan yang dianggarkan. Analisis varians secara garis besar berfokus pada varians pendapatan (revenue variance) dan varians pengeluaran (expenditure variance) yang terdiri dari varians belanja tutin dan varians belanja investasi/modal.

Apabila derajat kemandirian suatu daerah semakin tinggi akan semakin menunjukkkan bahwa daerah tersebut mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.


(35)

2.3 Keuangan Daerah dalam Pembangunan Sebelum dan pada Masa Desentralisasi Fiskal

Sebelum desentralisasi fiskal dilaksanakan, sumber-sumber peneriman daerah terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan empat jenis transfer, yaitu (1) Subsidi Daerah Otonom (SDO), (2) Bantuan Inpres, (3) Pinjaman Daerah, dan (4) Daftar Isian Proyek (DIP). SDO adalah bantuan dari pemerintah pusat kepada PEMDA atas beban APBN untuk memenuhi kebutuhan ”belanja rutin daerah” karena belum dapat dipenuhi dari PAD. SDO bertujuan untuk membiayai gaji pegawai pemerintah (PNS) di daerah. Sebagian kecil lainnya digunakan untuk subsidi bagi pengeluaran rutin di bidang pendidikan dasar (SBBO-RSUD), dan subsidi untuk pembiayaan pelatihan pegawai pemerintah. SDO dikategorikan sebagi transfer pusat bersifat khusus (spesificgrant) karena daerah tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan penggunaan SDO. Pada tahun anggaran 1999/2000 istilah SDO direklasifikasi menjadi Dana Rutin Daerah (DRD).

Program Inpres yang dibiayai oleh APBN adalah suatu program pembangunan yang bertujuan :

a. menyebar luas dan meratakan pembangunan di daerah-daerah

b. untuk mendorong pemda melaksanakan pembangunan, pemerintah pusat membantu pembiayaan, pengarahan dan petunjuk pelaksanaannya (earmarket)

c. melibatkan masyarakat daerah, menyerap tenaga kerja daerah, dan membuka daerah-daerah terpencil

d. bottom up

Pada tahun anggaran 1999/2000 istilah bantuan inpres direklasifikasi menjadi Dana Pembangunan Daerah (DPD). Selain kedua jenis transfer di atas,


(36)

daerah diperbolehkan melakukan pinjaman terutama untuk membiayai proyek-proyek yang cost recovery. Sumber pinjaman daerah adalah Daftar Isian Proyek (DIP). DIP merupakan proyek sektoral pemerintah pusat yang dilaksanakan di daerah. Bantuan Inpres dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan (intergovernmental grants) sedangkan DIP diklasifikasikan sebagai inkind allocation karena walaupun dananya mengalir ke daerah tapi tidak termasuk ke dalam anggaran daerah.

Setelah desentralisasi fiskal dilaksanakan maka sumber penerimaaan daerah terdiri dari: (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (2) Dana Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah, (4) Dana Darurat, dan (5) Daftar Isian Proyek (DIP). Dalam UU No 25 Tahun 1999, Dana Perimbangan yang terdiri atas (a) Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dan Penerimaan dari sumber alam (Dana Bagi Hasil), (b) Dana Alokasi Khusus (DAK), dan (c) Dana Alokasi Umum (DAU). Sumber dana yang berasal dari PAD, Dana Bagi Hasil, dan DAU merupakan sumber dan yang bersifat block grant artinya penggunaan ketiga jenis dana tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan daerah berdasarkan prioritas daerah. Sumber penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal disajikan di Lampiran 1 dan 2.

Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004, struktur APBD dibagi menjadi pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang masing-masing harus dicantumkan bersamaan dengan jumlah anggarannya dan realisasi anggaran periode sebelumnya. Sumber pendapatan daerah adalah: Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Hasil Retribusi Daerah, Hasil pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah. Pendapatan


(37)

Transfer terdiri dari Transfer Pemerintah pusat-dana perimbangan yang terdiri dari Dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil sumber daya alam, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Transfer pemerintah pusat-lainnya terdiri dari dana otonomi khusus dan dana penyesuaian. Transfer pemerintah provinsi terdiri dari pendapatan bagi hasil pajak dan pendapatan bagi hasil lainnya serta lain-lain pendapatan daerah yang sah.

2.4 Pembagian Urusan Pemerintahan

Menurut UU No 32 Tahun 2004 maka pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang menjadi kewenangannya. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan. Daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.

Urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut, pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:


(38)

b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat d. penyediaan sarana dan prasarana umum

e. penanganan bidang kesehatan

f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota

j. pengendalian lingkungan hidup

k. pelayanan pertahanan termasuk lintas kabupaten/kota l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil.

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan

n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh

kabupaten/kota

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkuan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota meliputi:


(39)

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat d. penyediaan sarana dan prasarana umum

e. penanganan bidang kesehatan f. penyelenggaraan pendidikan g. penanggulangan masalah sosial h. pelayanan bidang ketenagakerjaan

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah j. pengendalian lingkungan hidup

k. pelayanan pertahanan

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil m pelayanan administrasi umum pemerintahan n. pelayanan administrasi penanaman modal o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

2.5 Hasil Penelitian Terdahulu

2.5.1 Penelitian Mengenai Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

Salah satu penelitian tentang desentralisasi fiskal diantaranya yang dilakukan oleh Hasugian (2006) yang meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di kabupaten dan kota di


(40)

Provinsi Jawa Barat. Penelitiannya menggunakan metode deskriptif dan analisis regresi dengan metode pendugaan OLS dan menggunakan data panel. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa kinerja keuangan yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik sebelum desentralisasi fiskal sedangkan laju pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Hal itu diindikasikan dengan rasio PAD terhadap penerimaan daerah. Kontribusi PAD terhadap penerimaan kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat masih rendah. Peranan mekanisme transfer terhadap tingkat kemandirian menunjukkan apabila terjadi peningkatan rasio DAU terhadap penerimaan maka akan menurunkan tingkat rasio PAD terhadap penerimaan. Rasio PAD terhadap penerimaan relatif lebih kecil pada masa desentralisasi fiskal. Pengaruh dari penerimaan daerah berupa DAU, PAD, bagi hasil terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan tetapi persentase penduduk miskin pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil. Penelitian ini terbatas hanya melihat alokasi anggaran penerimaan pemerintah daerah terhadap tingkat kemiskinan.

Penelitian yang dilakukan di Bogor yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah salah satunya yang dilakukan oleh Bawono (2005). Bawono meneliti tentang peran otonomi daerah terhadap pembangunan desa di Desa Cileuksa, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan variabel-variabel penyusun tingkat kesejahteraan pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah. Variabel tersebut adalah pendapatan, pendidikan, kesehatan, konsumsi dan tabungan. Data yang diperoleh diolah menggunakan metode Standarized Composite Index (SCI). Pada era otonomi


(41)

daerah, rata-rata variabel tingkat kesejahteraan penduduk desa meningkat dibandingkan sebelum otonomi daerah. Pembakuan/standardisasi nilai composite index dilakukan untuk melihat tingkat kesejahteraan penduduk desa pada masa otonomi daerah. Ternyata kesejahteraan penduduk Desa Cileuksa justru menurun saat otonomi daerah, terlihat dari penurunan nilai SCI. Penurunan ini disebakan oleh praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh perangkat desa dan aparat pemerintah sehinggga hal inilah yang menghambat jalannya otonomi daerah.

2.5.2 Penelitian Mengenai Kinerja Pembangunan Daerah

Analisis keterkaitan alokasi anggaran dan sektor unggulan dalam mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah di Kabupaten Bogor dilakukan oleh Sukatendel (2007). Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah analisis input-output, analisis kewilayahan, analisis kelembagaan alokasi anggaran dan pembuatan peta tematik. Penelitian ini menjelaskan bahwa sektor unggulan di Kabupaten Bogor adalah industri pengolahan dan perdagangan yang memusat di wilayah utara Bogor bagian tengah dan Bogor bagian timur. Sektor unggulan tanaman bahan makanan (pertanian) sebagian besar berlokasi di Bogor bagian barat. Selain itu penelitian ini menghasilkan bahwa dukungan anggaran pembangunan Kabupaten Bogor untuk sektor unggulan masih sangat kurang (tidak ada keterkaitan) kecuali untuk sektor bangunan. Karena kurangnya dukungan anggaran tersebut sehingga mengakibatkan semakin besarnya ketimpangan wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor.

Hermawan (2007) menganalisis pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pemerataan kemampuan keuangan dan kinerja pembangunan daerah di


(42)

kabupaten/kota di Provinsi Banten. Hasil analisis Hermawan menunjukkan bahwa pengalokasian DAU belum sepenuhnya menunjukkkan peranan DAU sebagai mediasi pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Selama tahun 2001-2005, peranan DAU di wilayah Banten adalah meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang tercermin dari menurunnya nilai Indeks Williamson dari tahun 2000 (pra desentralisasi fiskal) ke tahun 2001-2005 (masa desentralisasi fiskal). DAU belum mampu mendukung perkembangan perekonomian daerah dan memperburuk distribusi pendapatan.

2.5.3 Penelitian Mengenai Shift Share

Penelitian yang menggunakan shift share sebagai alat analisis, salah satunya dilakukan oleh Oktaviani (2007) yang menganalisis mengenai pergeseran sektor perekonomian di Kabupaten Kuningan pada masa otonomi daerah tahun 1995-1999 dan 2001-2005. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor yang mendominasi dalam menyumbangkan kontribusi PDRB Kabupaten Kuningan baik pada masa sebelum atau pada masa otonomi daerah. Berdasarkan daya saing dan laju pertumbuhan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan adalah sektor yang mengalami pergeseran. Pemerintah Kabupaten Kuningan juga terlihat belum mampu mengoptimalkan keunggulan sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, sektor perdagangan, hotel dan restoran sehingga renstra yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan belum bisa mencapai tujuan.


(43)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Berlakunya UU Otonomi Daerah No.22 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan kegiatannya dan menjalankan pembangunan serta kewenangan yang lebih luas dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan.

3.1.1 Defenisi dan Konsep Pembangunan Daerah

Pembangunan adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengembangkan atau mengadakan perubahan-perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Teori pembangunan pada awalnya adalah teori pembangunan ekonomi yang merupakan suatu rangkaian usaha dan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa. Teori Pembangunan ekonomi tersebut berkembang ke arah pendekatan politik, sosial budaya dan pendekatan menyeluruh pada setiap aspek kehidupan (holistik).

Menurut Todaro (1983), pembangunan haruslah diartikan sebagai suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional termasuk pula percepatan/akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan yang absolut. Pembangunan itu pada hakekatnya haruslah menyuarakan seluruh nada dasar perubahan yang dengan itu pula seluruh sistem sosial seirama atau senada dengan berbagai dasar kebutuhan dan keinginan masing-masing individual dan kelompok-kelompok masyarakat yang bernaung di dalam sistem itu, bergerak maju dari kondisi kehidupan yang


(44)

serba kekurangan dan tidak memuaskan menuju kepada kondisi kehidupan yang jauh lebuh baik baik material maupun spiritual.

Menurut Anwar (2001), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek- aspek pertumbuhan (efficiency), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) yang berdimensi lokal dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Semua keputusan kebijakan yang menyangkut kebijakan desentralisasi fiskal harus berhubungan dengan empat isu secara simultan, yaitu: (1) efisiensi ekonomi, (2) ketidakmerataan antar wilayah-wilayah, (3) ketidakstabilan makro ekonomi akibat pelaksanaan desentralisasi fiskal, dan (4) kompetisi regional.

Adanya otonomi daerah menyebabkan konsep-konsep pembangunan daerah dengan pusat harus berjalan seiring dan harmonis. Otonomi daerah akan menempatkan pemerintah daerah sebagai partner pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional. Kebijakan desentralisasi fiskal harus didukung oleh sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari PAD, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman maupun subsidi/bantuan dari pemerintah pusat.

3.1.2 Konsep Desentralisasi

Menurut UU No 32 Tahun 2004, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah


(45)

kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Desentralisasi meletakkan alokasi keputusan lebih dekat kepada masyarakat. Perkembangan tanggung jawab yang lebih besar dari pemerintah dan akuntabilitas yang lebih besar kepada penduduk. Hal ini karena kita mengharapkan pembuat kebijakan lokal daerah lebih memahami tentang permasalahan dan kebutuhan daerah mereka sendiri daripada pembuat kebijakan yang tersentralisasi. (Sidik, 2007)

Desentralisasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana urusan-urusan pemerintah pusat diserahkan penyelenggaraannya kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan di daerah-daerah yang disebut daerah otonom. Desentralisasi dimaksudkan sebagai deregulasi pemerintah untuk mencapai demokratisasi dalam pemerintahan dan upaya pengambilan keputusan yang tidak terpusat untuk persoalan tingkat lokal. Sentralisasi pengambilan keputusan di daerah akan menyebabkan rendahnya kemampuan aparatur pemerintah daerah untuk mengambil inisiatif sekaligus kreatif dalam penanganan dan pengelolaan sumber daya daerah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Tipe Desentralisasi ada 4 yaitu politik, administratif, fiskal, dan desentralisasi ekonomi atau pasar. Setiap tipe berbeda karakteristik, implikasi kebijakan, dan keadaan keberhasilannya. Desentralisasi fiskal merupakan pengembangan kontrol pemerintah lokal melalui sumberdaya finansial. Desentralisasi fiskal terfokus pada bentuk transfer antar pemerintah dan pada perbedaan kapasitas penerimaan melalui yurisdiksi tingkat pendapatan yang


(46)

berbeda. Tanggung jawab finansial adalah komponen inti dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal berarti menentukan batas untuk pembuatan keputusan pada tingkat sub-nasional melalui penguatan kekuatan dan tanggungjawab dari tingkatan yang lebih rendah pada administrasi publik dalam menyediakan dan membiayai barang-barang publik dan jasa-jasa (Sidik, 2007)

Salam (2004) menyimpulkan otonomi daerah adalah urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah untuk diselenggarakan menjadi urusan rumah tangga daerah. Tujuan yang hendak dicapai dalam pemberian otonomi kepada daerah adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di mana pelimpahan kewenangan oleh pemerintah pusat kepada daerah mengandung konsekuensi yang berupa hak, wewenang dan kewajiban bagi rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.1.3 Teori Barang Publik

Pemerintah harus campur tangan dalam perekonomian untuk memperbaiki alokasi sumber-sumber ekonomi oleh karena sistem pasar tidak dapat melaksanakan alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien. Barang publik adalah barang yang disediakan oleh pemerintah dan merupakan barang milik pemerintah yang dibiayai melalui anggaran negara tanpa melihat siapa yang melaksanakan pekerjaannya. Salah satu teori yang menerangkan tentang penyediaan barang publik adalah yang dikemukakan oleh Bowen. Bowen mengemukakan suatu teori mengenai penyediaan barang-barang publik dan teorinya didasarkan oleh teori harga seperti pada penentuan harga pada barang-barang swasta. Bowen mendefenisikan barang-barang publik sebagai barang-barang di mana


(47)

pengecualian tidak dapat ditetapkan. Jadi sekali suau barang publik sudah tersedia maka tidak ada seorangpun yang dapat dikecualikan dari manfaat barang tersebut. Menurut Bowen, jumlah barang publik yang dikonsumsikan oleh individu A sama dengan jumlah barang publik yang dikonsumsikan oleh individu B, atau YA = YB.

S D A+B

DB

PA+B

PA

O

D Harga

Jumlah Barang Pemerintah

Gambar 1. Harga dan Jumlah Barang Publik

Pada Gambar tersebut, kurva DA dan DB menunjukkan kurva permintaan

individu A dan B akan barang publik. D(A+B) diperoleh dengan menjumlahkan

secara vertikal kurva DA dan DB. Jumlah barang yang disediakan pemerintah

sebesar OY, yaitu pada titik perpotongan kurva penawaran dengan kurva

permintaaan D(A+B). Barang publik sebanyak OY yang disediakan oleh pemerintah

dapat dinilmati oleh A dan B dalam jumlah yang sama, akan tetapi kepuasan A dan B terhadap barang tersebut berbeda. Individu A tidak terlalu memerlukan barang publik sehingga ia hanya bersedia membayar sebanyak OPA, yaitu


(48)

sejumlah manfaat marginal uang diperolehnya dari barang publik tersebut sedangkan B yang lebih memerlukan barang publik tersebut maka ia lebih berkepentingan atas jasa polisi agar orang miskin tidak mencuri hartanya. Karena itu B bersedia membayar jasa lebih banyak.

3.1.4 Analisis Shift Share

Analisis shift share dapat digunakan untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian suatu wilayah selama dua periode waktu. Analisis ini dapat dilakukan di tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Ditingkat kabupaten analisis dapat dilakukan untuk melihat kecamatan-kecamatan apa saja yang memberikan kontribusi pertumbuhan paling besar terhadap perekonomian kabupaten tersebut juga sektor apa saja yang mengalami perumbuhan yang paling cepat di masing-masing wilayah kecamatan tersebut.

Analisis shift share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et al pada tahun 1960. Analisis shift share adalah salah satu alat analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi tenaga kerja pada suatu wilayah tertentu. Melalui analisis ini dapat dianalisis besarnya sumbangan pertumbuhan dari tenaga kerja dan pendapatan pada masing-masing sektor di wilayah yang bersangkutan.

Analisis shift share dapat digunakan untuk melihat:

1. perkembangan sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas.

2. perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya.


(49)

3. perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah.

4. perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya.

Menurut Budiharsono (2001), terdapat tiga komponen utama dalam analisis shift share yaitu:

a.Komponen Pertumbuhan Nasional (National Growth Component)

Komponen pertumbuhan nasional adalah perubahan produksi/kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi/kesempatan kerja nasional, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah.

b. Komponen Pertumbuhan Proporsional (Proportional Mix Growth Component) Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.

c. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Regional Share Growth Component)

Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan regional pada wilayah tersebut.


(50)

Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasikan perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila PP + PPW ≥ 0 maka dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke-i di wilayah ke-j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu PP + PPW < 0 menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ke-i pada wilayah ke-j tergolong pertumbuhannya lambat.

Kelebihan dan Kelemahan Analisis Shift Share

Analisis shift share membandingkan perbedaan laju pertumbuhan berbagai sektor di suatu wilayah di atasnya. Metode ini memiliki keunggulan dari metode lainnya yaitu di dalam shift share kita bisa memperinci penyebab perubahan atas beberapa variabel. Menurut Tarigan (2005) analisis shift share menggunakan metode pengisolasian berbagai faktor yang menyebabkan perubahan struktur industri suatu daerah dalam pertumbuhannya dari suatu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya yang meliputi penguraian faktor penyebab pertumbuhan berbagai sektor di suatu daerah tetapi dalam kaitannya dengan ekonomi nasional sehingga metode ini lebih tajam daripada metode lainnya seperti Location Quotient (LQ). Kelebihan lain yang dimiliki shift share antara lain data-data yang digunakan mudah diperoleh dan relatif tersedia di setiap wilayah, yaitu data PDRB, PDB dan penyerapan tenaga kerja di setiap sektor masing-masing.

Menurut Sahara (2006), apabila diperinci analisis shift share mempunyai banyak kegunaan, antara lain digunakan untuk melihat perkembangan sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, perkembangan suatu wilayah dibandingkan


(1)

Lampiran 2. Sumber-sumber penerimaan daerah saat berlakunya desentralisasi

fiskal

No Kelompok

Penerimaan Dasar

Hukum

Rincian Penerimaan

I Pendapatan

Asli

Daerah

1.

Pajak Daerah

2. Retribusi Daerah

3. BUMD

4. Lain-lain

PAD

UU

18/1997

Jo. UU

34/2000

1.

Pajak Daerah Kab/Kota:

a.

Hotel (10%)

b.

Restoran (10%)

c.

Hiburan (35%)

d.

Reklame (25%)

e.

Penerangan jalan (10%)

f.

Pengamilan bahan Golongan C (20%)

g.

Parkir (20%)

2.

Pajak Daerah Provinsi:

a.

Kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (5 %)

b.

Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di

atas air

c.

Bahan bakar kendaraan bermotor (5%)

d.

Pengambilan dan pemanfaatan air bawah Tanah dan

Air permukaan (20%).

1.

Jasa Umum (a. Pelayanan Kesehatan; b. Pelayanan

persampahan; c. Pelayanan KTP)

2.

Jasa Usaha (a. Penyewaan aset daerah; b. Penyediaan

tempat Penginapan; c. Usaha bengkel kendaraan; d.

Tempat pencucian Mobil; e. Penjualan Bibit)

3.

Perizinan tertentu (a. Izin Mendirikan Bangunan; b. Izin

Peruntukan penggunaan Tanah)

Penerimaan dari BUMD (a. Perolehan Laba Usaha; b.

Penjualan Aset BUMD; c. Deviden; d. Penjualan Saham)

PAD Lainnya

a.

Penjualan Aset Daerah

b.

Jasa Giro

II Dana

Perimbangan

1.

Bagi Hasil

2. Dana Alokasi

Umum

3. Dana Alokasi

Khusus

UU

25/1999

Bagian daerah dari:

(a. PBB 90%; b. BPHTB 80%; c. Kehutanan 80%; d.

Perikanan 80%; e. Pertambangan Umum80%; f. Minyak

Bumi 15%; g. Gas Alam 30%; h. Dari Bagian Pusat yang

terdiri dari PBB Bagian Kab/Kota 10% dan BPHTB Bagian

Kab/Kota 20%)

Alokasi untuk Daerah minimal 25% dari Penerimaan Dalam

Negeri

a. Kab/Kota 90%

b. Provinsi 10%

Alokasi untuk Daerah melihat kondisi APBN

a.

Kebutuhan Khusus

b.

Dana Reboisasi 40%

III

Pinjaman Daerah

UU No.

25/1999

a.

Sumber Pinjaman Dalam Negeri (Pemerintah Pusat;

Lembaga Keuangan Bank; Lembaga Keuangan Bukan

Bank; Masyarakat)

b. Sumber Pinjaman Luar Negeri melalui Pemerintah Pusat

(Bilateral; Multilateral)

IV

Dana Darurat

UU No

25/1999

Dana yang disalurkan dari APBN untuk penanggulangan

bencana nasional

V

Dana Sektoral Pusat

(DIP) Dana ini

diklasifikasikan

sebagai

in-kind

allocation

karena

walaupun dananya

mengalir ke daerah

namun tidak termasuk

ke dalam APBD

UU

APBN

Daftar Isian Proyek (DIP)

a.

Dana Dekonsentrasi

b.

Dana Tugas Pembantuan


(2)

Lampiran 3. PDRB Kab.Bogor Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga

Konstan 1993, Tahun 1995-2000 (juta rupiah)

Lapangan Usaha 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Pertanian 642.590,49 635.629,34 554.579,19 433.048,07 453.346,65 453.959,33 Pertambangan dan Penggalian 349.960,43 61.402,88 63.214,26 50.362,80 47.774,15 50.043,42 Industri Pengolahan 2.489.379,98 2.359.783,48 2.543.436,33 2.189.069,36 2.219.271,70 2.266.587,36 Listrik, Gas dan Air Bersih 166.592,64 140.059,96 155.426,69 169.651,14 177.060,88 208.083,17 Bangunan 461.110,24 388.973,91 405.670,87 216.416,41 211.210,94 216.195,52 Perdagangan, Hotel dan Restoran 883.762,80 606.372,63 625.788,48 494.340,61 500.833,04 512.095,15 Pengangkutan dan Komunikasi 226.704,44 187.700,97 200.624,86 162.838,41 164.376,91 174.379,28 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 190.935,62 167.413,54 184.954,92 131.924,98 138.774,80 146.771,46 Jasa-Jasa 377.146,54 291.530,74 304.945,15 298.602,94 300.557,26 308.580,88 PDRB 5.788.183,18 4.838.867,45 5.038.640,75 4.146.254,72 4.213.206,33 4.336.695,57

Sumber: BPS Kab.Bogor

Lampiran 4. PDRB Kab.Bogor Menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 1995-2000 (juta rupiah)

Lapangan Usaha 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Pertanian 1.872.480,20 1.852.195,71 1.616.019,17 1.261.882,88 1.321.032,04 1.322.817,36 Pertambangan dan Penggalian 1.606.492,15 281.869,71 290.184,84 231.190,26 219.307,07 319.636,00 Industri Pengolahan 13.875.194,34 13.152.855,19 14.176.491,20 12.201.336,49 12.369.676,94 12.353.070,55 Listrik, Gas dan Air Bersih 551.798,53 463.915,33 514.813,97 561.929,08 586.472,09 689.226,05 Bangunan 1.250.748,56 1.055.080,80 1.100.370,83 587.023,43 572.903,74 586.424,27 Perdagangan, Hotel dan

Restoran 4.841.439,06 3.321.837,19 3.428.201,31 2.708.102,15 2.743.669,05 2.805.365,21 Pengangkutan dan Komunikasi 632.636,51 523.794,27 559.859,40 454.413,35 458.706,65 486.619,05 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 417.499,50 366.066,16 404.422,11 288.466,93 303.444,74 320.930,22 Jasa-Jasa 982.531,09 759.487,33 794.434,15 777.911,61 783.002,95 803.905,85 PDRB 26.030.819,94 21.777.101,68 22.884.796,99 19.072.256,18 19.358.215,26 19.687.994,56

Sumber: BPS Kab.Bogor, diolah.

Lampiran 5. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha atas dasar Harga

Konstan 1993, Tahun 1995-2000 (juta rupiah)

Lapangan Usaha 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Pertanian 9.350.686 9.341.211 8.675.504 8.013.996 9.098.516 7.842.830,94 Pertambangan dan Penggalian 3.464.618 3.588.869 3.624.037 2.912.315 2.142.073 3.487.447,40

Industri Pengolahan 20.810.291 24.113.080 25.310.836 20.913.548 21.029.934 21.833.139,25 Listrik, Gas dan Air Bersih 1.390.037 1.633.677 1.859.827 1.816.765 2.046.564 1.800.087,97

Bangunan 3.847.812 4.298.221 4.202.306 2.262.253 2.210.240 1.904.918,44 Perdagangan, Hotel dan Restoran 11.577.618 12.552.514 13.511.208 11.565.563 11.968.042 9.139.872,32

Pengangkutan dan Komunikasi 3.569.072 3.844.345 3.908.369 3.497.994 3.555.871 2.708.611,99 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 3.019.396 3.220.568 3.666.643 2.189.229 2.369.171 2.226.119,02

Jasa-Jasa 5.461.635 5.651.045 5.810.194 5.676.177 5.780.294 4.717.177,60 Produk Domestik Regional Bruto 62.491.165 68.243.530 71.568.924 58.847.841 60.200.705 55.660.204,93


(3)

Lampiran 6. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha atas dasar Harga Konstan 2000,

Tahun 1995-2000 (juta rupiah)

Lapangan Usaha 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Pertanian 37.268.156,16 37.230.392,54 34.577.146,30 31.940.635,63 36.263.105,74 31.258.439,03 Pertambangan dan

Penggalian 9.018.243,03 9.341.662,73 9.433.203,43 7.580.623,45 5.575.718,56 9.077.666,92 Industri Pengolahan 79.088.072,86 91.640.094,22 96.192.083,12 79.480.493,95 79.922.810,90 82.975.336,95 Listrik, Gas dan Air

Bersih 3.273.657,13 3.847.450,36 4.380.053,13 4.278.638,41 4.819.834,89 4.239.362,56 Bangunan 10.613.773,69 11.856.178,25 11.591.607,09 6.240.180,49 6.096.708,25 5.254.511,71 Perdagangan, Hotel dan

Restoran 48.774.654,51 52.881.735,57 56.920.560,19 48.723.868,73 50.419.448,44 38.504.821,52 Pengangkutan dan

Komunikasi 9.844.252,67 10.603.513,61 10.780.105,29 9.648.204,57 9.807.841,53 7.470.922,64 Keuangan, Persewaan

dan Jasa Perusahaan 7.258.031,16 7.741.608,88 8.813.885,01 5.262.473,78 5.695.018,78 5.351.150,10 Jasa-Jasa 13.674.753,93 14.148.995,65 14.547.470,36 14.211.920,74 14.472.607,22 11.810.793,46 PDRB 218.813.595,14 239.291.631,81 247.236.113,93 207.367.039,74 213.073.094,30 195.943.004,89

Sumber: BPS Jawa Barat, diolah.

Lampiran 7. PDRB Kabupaten Bogor Menurut Lapangan Usaha atas dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2001-2006 (juta rupiah)

Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005 2006*

Pertanian 1.419.118,00 1.418.048,89 1.341.294,25 1.343.360,52 1.383.027,42 1.366.323,56 Pertambangan dan

Penggalian 321.511,47 314.219,48 340.063,42 314.553,30 282.744,40 307.414,85 Industri Pengolahan 12.789.130,41 13.409.169,51 14.125.219,15 14.967.082,19 15.838.166,42 16.784.944,61 Listrik, Gas dan Air

Bersih 717.644,72 752.534,79 791.000,10 837.824,84 898.437,38 968.659,48 Bangunan 612.587,13 644.563,20 681.988,87 727,576.14 764.824,42 802.808,83 Perdagangan, Hotel

dan Restoran 2.915.726,53 3.069.949,36 3.261.434,00 3.478.304,84 3.761.156,18 4.063.192,67 Pengangkutan dan

Komunikasi 511.452,69 540.192,22 575.062,76 617.288,50 662.327,26 715.462,13 Keuangan, Persewaan

dan Jasa Perusahaan 333.308,52 350.714,98 370.645,06 393.162,64 431.271,35 452.627,18 Jasa-Jasa 843.879,90 886.220,50 934.457,53 992.276,26 1.034.410,42 1.084.752,93 PDRB 20.464.359,37 21.385.612,93 22.421.165,14 23.671.429,23 25.056.365,25 26.546.186,24

Sumber: BPS Kabupaten Bogor

*) sementara

Lampiran 8. PDRB Provinsi Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha atas dasar Harga

Konstan 2000, Tahun 2001-2006 (juta rupiah)

Lapangan Usaha 2001 2002 2003 2004 2005 2006*

Pertanian 32.149.302,28 31.617.283,70 32.402.164,32 34.457.716,98 34.942.015,45 34.725.766,21 Pertambangan dan

Penggalian 8.547.311,59 7.999.634,26 8.232.371,91 7.705.213,45 7.194.525,89 7.017.183,70 Industri Pengolahan 84.844.624,42 90.371.399,97 93.938.482,51 96.978.417,53 105.334.047,15 114.299.625,74 Listrik, Gas dan Air

Bersih 4.576.859,41 4.858.690,20 4.918.153,74 5.337.897,17 5.649.829,62 5.755.519,24 Bangunan 5.143.936,70 5.580.463,39 5.985.267,25 6.602.399,92 7.780.823,72 8.112.532,09 Perdagangan, Hotel

dan Restoran 40.136.587,93 40.643.460,69 42.758.204,32 45.529.027,75 47.259.969,72 50.609.675,67 Pengangkutan dan

Komunikasi 8.070.250,06 8.592.140,96 9.379.745,45 10.309.020,56 10.329.164,21 11.143.253,97 Keuangan, Persewaan

dan Jasa Perusahaan 5.885.016,62 6.490.645,26 6.967.352,63 7.247.001,69 7.623.682,08 7.672.322,47 Jasa-Jasa 12.777.493,89 13.577.470,98 14.943.478,53 15.836.800,82 16.821.141,16 18.200.096,05 PDRB 202.131.382,90 209.731.189,41 219.525.220,66 230.003.495,87 242.935.199,00 257.535.975,14

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat


(4)

Lampiran 9. Hasil Perhitungan

Shift Share

Kabupaten Bogor Sebelum Otonomi Daerah

Rasio Indikator Kegiatan

Ekonomi

Komponen Pertumbuhan Nasional

Sektor

Ra Ri ri

Ri-Ra

ri-Ri

PPP i

%

PP i

%

PPW i

%

PB ij

%

Keterangan

Pertanian -0,1045

-0,1613

-0,2935

-0,0567

-0,1322 -195.713,28 -10,45 -106.235,55 -5,67 -247.624,10

-13,22 -353.859,65 -18,90 Lambat

Pertambangan -0,1045 0,0066 -0,801

0,1111

-0,8076 -167.878,43 -10,45 178.464,08 11,11 -1.297.385,87 -80,76 -1.118.921,78 -69,65 Lambat

Industri

pengolahan

-0,1045 0,0492

-0,1097 0,1537

-0,1589

-1.449.957,81

-10,45 2.131.938,58 15,37 -2.204.089,59 -15,89

-72.151,01

-0,52 Lambat

Listrik, Gas,

Air -0,1045

0,2950

0,2491

0,3995

-0,0459

-57.662,95 -10,45 220.439,56 39,95

-25.323,60 -4,59 195.115,96 35,36 Cepat

Bangunan

-0,1045 -0,5049 -0,5311 -0,4004 -0,0262 -130.703,22 -10,45 -500.843,05 -40,04

-32.726,29 -2,62 -533.569,34 -42,66 Lambat

Perdagangan -0,1045

-0,2106

-0,4206

-0,1061 -0,2100 -505.930,38 -10,45 -513.467,32 -10,61 -1.016.911,57 -21,00 -1.530.378,89 -31,61 Lambat

Pengangkutan -0,1045

-0,2411

-0,2308

-0,1366

0,0103 -66.110,52

-10,45 -86.410,48

-13,66

6.508,49 1,03 -79.901,99 -12,63 Lambat

Keuangan -0,1045

-0,2627

-0,2313

-0,1582

0,0314 -43.628,70

-10,45 -66.059,71

-15,82

13.120,77 3,14 -52.938,94 -12,68 Lambat

Jasa-jasa

-0,1045 -0,1363 -0,1818 -0,0318 -0,0455 -102.674,50 -10,45 -31.251,06 -3,18

-44.698,59 -4,55

-75.949,65 -7,73 Lambat

Total -0,1045

-0,1045

-0,2437

0,0000

-0,1392

-2.720.259,79

-10,45 1.226.575,06

4,71 -4.849.130,35 -18,63 -3.622.555,29 -13,92 Lambat

Lampiran 10. Hasil Perhitungan

Shift Share

per Sektor Kabupaten Bogor Pada Masa Otonomi Daerah

Rasio Indikator Kegiatan

Ekonomi

Komponen Pertumbuhan Nasional

Sektor

Ra Ri ri

Ri-Ra

ri-Ri

PPP i

%

PP i

%

PPW i

%

PB ij

%

Keterangan

Pertanian 0,2741

0,0801

-0,0372

-0,1940 -0,1173 388.980,24 27,41

-275.308,89

-19,4 -166.465,79

-11,73

-441.774,68 -31,13 Lambat

Pertambangan 0,2741

-0,1790

-0,0438 -0,4531 0,1352 88.126,29 27,41

-145.676,85

-45,31 43.453,93

13,52

-102.222,91 -31,79 Lambat

Industri

Pengolahan 0,2741

0,3472

0,3124

0,0731

-0,0348 3.505.500,65 27,41 934.885,43

7,31

-444.571,88 -3,48 490.313,55 3,83 Cepat

Listrik, gas,

air

0,2741 0,2575 0,3498 -0,0166 0,0923 196.706,42 27,41 -11.912,90 -1,66

66.221,24 9,23 54.308,34

7,57 Cepat

Bangunan 0,2741

0,5771

0,3105

0,3030

-0,2666 167.910,13 27,41

185.613,90 30,3 -163.302,33 -26,66 22.311,57 3,64 Cepat

Perdagangan 0,2741

0,2609

0,3935

-0,0132 0,1326 799.200,64 27,41 -38.487,59 -1,32 386.753,09

13,26

348.265,50

11,94

Cepat

Pengangkutan 0,2741

0,3808

0,3989

0,1067

0,0181 140.189,18 27,41 54.572,00 10,67

9.248,26 1,81 63.820,26

12,48 Cepat

Keuangan 0,2741

0,3037

0,3580

0,0296

0,0543 91.359,87

27,41 9.865,93 2,96

18.092,86 5,43 27.958,79

8,39 Cepat

Jasa-jasa 0,2741

0,4244

0,2854

0,1503

-0,1390 231.307,48 27,41 126.835,15 15,03 -117.269,60 -13,90

9.565,55 1,13 Cepat

Total 0,2741

0,2741

0,2972

0,0000

0,0231

5.609.280,90 27,41 840.386,18 4,11 -367.840,22 -1,80 472.545,97 2,31 Cepat


(5)

Lampiran 11. Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) Kabupaten Bogor 1995-2006

Tahun

KETERANGAN DDF-1

DDF-2 DDF-3

Sebelum Desentralisasi Fiskal

PAD

TPD

BHPBP

SUM

PDS

PAD/TPD BHPBP/TPD SUM/TPD

1995/1996 43.509.226.000 121.217.284.000 13.815.135.000

55.972.422.000 57.324.361.000 35,89%

11,40% 46,18%

1996/1997 57.287.745.000 151.998.782.000 28.829.061.000

57.421.894.000 86.116.806.000 37,69%

18,97% 37,78%

1997/1998 57.649.331.000 179.554.255.000 37.176.561.000

79.592.356.000 94.825.892.000 32,11%

20,70% 44,33%

1998/1999 64.003.405.000 249.412.748.000 36.039.949.000

146.465.956.000

100.043.354.000

25,66% 14,45%

58,72%

1999/2000 71.964.955.000 344.657.416.000 48.063.301.000

209.346.160.000

120.028.256.000

20,88% 13,95%

60,74%

2000 49.243.564.000

326.576.091.000

31.656.644.000

235.772.588.000 80.900.208.000 15,08%

9,69% 72,20%

Rata-rata

27,89% 14,86%

53,32%

Setelah Desentralisasi Fiskal

PAD

TPD

BHPBP

SUM

PDS

PAD/TPD BHPBP/TPD SUM/TPD

2001 100.680.636.000

700.151.360.000

80.692.527.000

0

181.373.163.000

14,38%

11,53%

0,00%

2002 122.394.337.000

881.886.472.000

102.740.945.000

0

225.135.282.000

13,88%

11,65%

0,00%

2003 148.921.781.678

845.677.874.068

123.609.877.010

6.450.000.000

272.531.658.688

17,61%

14,62%

0,76%

2004 166.260.112.978

991.060.451.238

141.356.875.411

20.392.060.000

307.616.988.389

16,78%

14,26%

2,06%

2005 199.424.944.044

1.087.081.933.214

156.199.080.768

13.813.896.000 355.624.024.812

18,34%

14,37%

1,27%

2006 230.103.978.513

1.350.725.674.951

160.336.732.762

33.428.000.000 390.440.711.275

17,04%

11,87%

2,47%


(6)

Lampiran 12. Derajat Kemandirian Daerah (DKD) Kabupaten Bogor 1995-2000

Tahun

KETERANGAN DKD-1

DKD-2 DKD-3

Sebelum Desentralisasi Fiskal

PAD TKD

BHPBP

PDS

TPD

PAD/TKD PDS/TPD PDS/TKD

1995/1996

43.509.226.000,00 133.044.423.000

13.815.135.000,00

57.324.361.000 121.217.284.000

32,70%

47,29%

43,09%

1996/1997

57.287.745.000,00 147.255.993.000

28.829.061.000,00

86.116.806.000 151.998.782.000

38,90%

56,66%

58,48%

1997/1998

57.649.331.000,00 175.448.076.000

37.176.560.000,00

94.825.891.000 179.554.255.000

32,86%

52,81%

54,05%

1998/1999

64.003.405.000,00 234.129.747.000

36.039.948.000,00

100.043.353.000 249.412.748.000

27,34%

40,11%

42,73%

1999/2000

71.964.955.000,00 334.754.117.000

48.063.301.000,00

120.028.256.000 344.657.416.000

21,50%

34,83%

35,86%

2000 49.243.564.000,00

326.576.091.000

31.656.644.000,00

80.900.208.000 326.576.091.000 15,08% 24,77% 24,77%

Rata-rata

28,06% 42,74% 43,16%

Setelah Desentralisasi Fiskal

PAD

TKD

BHPBP

PDS

TPD

PAD/TKD PDS/TPD PDS/TKD

2001

100.680.636.000,00 563.153.894.000,00 80.692.527.000,00

181.373.163.000 700.151.360.000,00 17,88% 25,90% 32,21%

2002

122.394.337.000,00 832.273.972.000,00

102.740.945.000,00

225.135.282.000 881.886.472.000,00 14,71% 25,53% 27,05%

2003

148.921.781.678,42 803.164.134.062,49

123.609.877.010,00

272.531.658.688 845.677.874.068,42 18,54% 32,23% 33,93%

2004

166.260.112.977,79 974.948.086.640,00

141.356.875.411,00

307.616.988.389 991.060.451.237,79 17,05% 31,04% 31,55%

2005 199.424.944.044,23

1.039.361.800.397,00 156.199.080.768,00 355.624.024.812 1.087.081.933.214,23

19,19%

32,71%

34,22%

2006 230.103.978.513,31

1.317.209.232.166,50 160.336.732.762,00 390.440.711.275 1.350.725.674.951,31

17,47%

28,91%

29,64%