nilai-nilai kunci; kejelasan tentang tindakan yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan.
Denison 2006 dalam Zwan 2006 menyatakan bahwa konsistensi di dalam organisasi merupakan dimensi yang menjaga kekuatan dan stabilitas di dalam
organisasi. Berdasarkan fenomena di RS Bhayangkara menunjukkan bahwa
67,2 perawat pelaksana menjawab bahwa kepala ruangan selalu menerapkan
peraturan yang tegas bagi perawat. Data tersebut didukung dari hasil wawancara dengan salah satu kepala ruangan, beliau menyatakan apabila ada perawat
melakukan kesalahan maka kepala ruangan akan menegur perawat tersebut. Sejalan dengan penelitian Denison 2006 di Russian Organisations menunjukkan
bahwa staf yang menganggap nilai-nilai inti di organisasi merupakan hal yang penting di dalam organisasi yang dapat menjadi pertahanan untuk integritas
organisasi sehingga staf bertindak berdasarkan nilai-nilai di dalam organisasi tersebut.
2.2. Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan wujud dari persepsi staf yang tercermin dalam sikap dan terfokus pada perilaku seseorang terhadap pekerjaannya dalam bentuk
interaksi manusia dengan lingkungan pekerjaannya Djuwita, 1999. Hoppeck dikutip oleh As’as 1995 melakukan penelitian terhadap 309 staf suatu
perusahaan di Pennsylvania, AS menunjukkan bahwa kepuasan kerja merupakan penilain dari pekerja mengenai seberapa jauh pekerjaanya secara keseluruhan
memuaskan kebutuhan.
Universitas Sumatera Utara
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan seseorang. Munandar 2004 mengemukakan bahwa kepuasan kerja dicerminkan melalui lima indikator
yaitu kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, kepuasan terhadap imbalan, kepuasan terhadap promosi, kepuasan terhadap supervisi, dan kepuasan terhadap
rekan kerja. Berdasarkan hasil analisis kepuasan kerja perawat pelaksana selama bekerja
di RS Bhayangkara Medan menunjukkan bahwa sebagian besar kepuasan kerja perawat pelaksana dalam kategori tidak puas yaitu sebesar 60,7. Hal ini
ditunjukkan dari pernyataan bahwa 32,8 perawat yang menyatakan tidak puas dengan jaminan sosial di rumah sakit. Data tambahan yang didapatkan peneliti
pada bulan Juni 2012 melalui wawancara didapatkan pengakuan dari beberapa perawat bahwa rumah sakit tidak memberikan jaminan sosial bagi perawat. Daft
2006 menyatakan bahwa salah satu hirarki kebutuhan Maslow yaitu kebutuhan akan rasa aman yang meliputi rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan
emosional. Griffin 2004 menambahkan kebutuhan akan rasa aman akan terpenuhi apabila di dalam lingkungan kerja dipenuhi kontinuitas kerja tidak ada
PHK, sistem keluhan dan jaminan sosial, sehingga jika salah satu kebutuhan tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan ketidak puasan. Penelitian yang
dilakukan Barri 2004 di salah satu rumah sakit di Medan menunjukkan bahwa perawat 34,5 puas dengan jaminan sosial di rumah sakit. Selain ketidak puasan
tentang jaminan sosial, 31,1 perawat merasa tidak puas dengan sistem promosi di rumah sakit. Robbins, 1996 menyatakan bahwa staf menginginkan kebijakan
promosi yang adil, promosi akan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan
Universitas Sumatera Utara
pribadi, tanggung jawab yang akhirnya menimbulkan kepuasan kerja staf. Selain itu 21,8 perawat menyatakan tidak puas dengan kesempatan belajar bagi
perawat. Robertson 1990 membuktikan bahwa perawat yang diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya memperoleh skor yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perawat yang tidak mendapatkan izin untuk melanjutkan pendidikannya. Berdasrkan hasil pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa perawat tidak puas dengan kebijakan rumah sakit dalaam hal jaminan sosial, promosi dan kesempatan untukmelanjutkan pendidikan.
Penelitian yang dilakukan Djuwita 2006 di salah satu rumah sakit di Jakarta menunjukkan perawat menyatakan 60 puas terhadap jaminan sosial, 55 puas
terhadap kesempatan promosi dan 70 menyatakan puas tentang kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Berdasarkan perbandingan tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebijakan rumah sakit yang mempengaruhi kepuasan kerja, didapatkan hasil penelitian yang berbeda dikarena perbedaan dari sitem kebijakan
yang ditetapkan oleh masing-masing rumah sakit. Namun tidak semua penyataan menyebutkan bahwa perawat tidak puas
bekerja di rumah sakit 65,6 menyatakan puas dengan sistem supervisi yang dilakukan rumah sakit. Sesuai pernyataan Ghiselli dan Brown di dalam Bari
2007 menyatakan bahwa supervisi merupakan salah satu faktor yang menentukan kepuasan kerja. Robbins 1996 menjelaskan kepuasan seseotang
salah satunya dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan atasannya apabila pimpinan atasan bersifat ramah dan dapat memahami, menunjukkan minat pada pekerjaan
staf. Rowles 1997 dalam Barri 2004 melakukakan penelitian di tiga rumah
Universitas Sumatera Utara
sakit di Midwestern, mendapatkan kepuasan kerja meningkat dengan gaya kepemimpinan partisipasi. Pernyataan lain mendukung bahwa perawat puas yaitu
80,3 perawat menyatakan puas dengan otonomi di rumah sakit. Berdasarkan penelitian Rosita 2005 menunjukkan 50,8 staf merasa puas dengan otonomi
yang diberikan perusahaan. Robbins 1996, salah satu kondisi yang dapat membuat staf mengalami kesenangan dan kepuasaan kerja yaitu pekerjaan yang
menantang serta otonomi atau kemandirian melakukan tindakan di organisasif dan mengeluarkan pendapat.
Berdasarkan analisa data tentang kepuasan kerja didapatkan secara keseluruhan perawat yang bekerja di Rumah sakit Bhayangkara 60,7 adalah
tidak puas. Namun situasi dan kondisi yang ada pada saat ini harus menjadi perhatian pihak rumah sakit bila perkembangan rumah sakit ingin terus
ditingkatkan, baik dalam hal kualitas pelayanan ataupun sarana dan prasana. Handoko 1996 mengatakan bahwa kepuasan kerja dapat dicapai jika pekerjaan
tersebut penuh tantangan, adanya sistem penghargaan yang adil berupa upah dan promosi jabatan, kondisi kerja yang mendukung dan budaya organisasi yang baik.
2.3. Hubungan Budaya Organisasi Dengan Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana