5
B. TEPUNG BERPROTEIN TINGGI
Protein merupakan polipeptida yang tersusun oleh lebih dari 100 buah asam amino yang berikatan satu sama lain melalui ikatan peptida dengan urutan yang khas. Damodaran 1996
menyatakan protein merupakan sumber gizi utama yaitu sebagai sumber delapan asam amino esensial yang diperlukan tubuh, yaitu lisin, triptofan, fenilalanin, metionin, treonin, leusin,
isoleusin, dan valin. Di samping memberikan nilai gizi, protein juga memberikan sifat fungsional yang penting dalam membentuk karakteristik produk pangan. Sifat fungsional ini berperan
penting dalam pengolahan pangan, penyimpanan, dan penyajian yang memengaruhi karakteristik yang diinginkan, mutu makanan, dan penerimaannya oleh konsumen seperti penampakan, warna,
tekstur, dan cita rasa. Protein memerlukan pemekatan atau pemurnian untuk memperoleh sifat fungsional agar memberikan kinerja yang optimal, sehingga munculah proses pemekatan protein
yang menghasilkan tepung berprotein tinggi. Pada dasarnya pembuatan tepung berprotein tinggi dari koro-koroan sama dengan
pembuatan tepung berprotein tinggi dari beras, yaitu dengan memanfaatkan enzim α-amilase
untuk memecah sebagian komponen pati Hansen et al. 1989. Dengan bantuan enzim tersebut, pati dalam tepung koro akan dipecah acak menjadi dekstrin dan maltosa, sedangkan protein akan
terkonsentrasi pada bagian yang tidak terurai oleh enzim. Suatu produk, baik tepung atau produk olahan lainnya, dapat diklaim berprotein tinggi apabila kandungan proteinnya lebih tinggi 25
dari produk acuannya BPOM 2011. Menurut Zayas 1997, tepung berprotein tinggi termasuk dalam pekatan protein dengan konsentrasi kurang dari 60, sedangkan produk pekatan protein
lain seperti konsentrat dan isolat protein memiliki konsentrasi berturut-turut 60-70 bk dan lebih dari 90 bk.
C. SIFAT FISIK DAN KIMIA TEPUNG BERPROTEIN TINGGI
1. Densitas kamba Bulk Density
Densitas kamba adalah sifat penting tepung-tepungan karena sangat berperan pada transportasi, penyimpanan, dan pengemasan. Pengetahuan tentang karakteristik kamba suatu
bahan sangat penting. Ketika sejumlah padatan dituang ke dalam container, total volume yang ditempati mengandung sejumlah substansi udara Lewis 1996.
Densitas kamba didefinisikan sebagai massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh bahan yang diketahui volumenya dan
merupakan hasil pembagian dari berat bahan dan volume wadah. Porositas merupakan bagian yang tidak ditempati oleh partikel atau bahan padatan.
Bubuk digolongkan dalam dua tingkat, yaitu bubuk sebagai partikel dan bubuk sebagai suatu kesatuan kamba. Sifat-sifat kamba dipengaruhi oleh sifat-sifat partikel, dimana
hubungan keduanya tidak sederhana dan meliputi faktor-faktor eksternal, seperti sistem geometris, proses mekanis dan proses panas dari bubuk, sehingga untuk menentukan sifat-sifat
bubuk dari partikel agak sulit Wirakartakusumah et al. 1992. Menurut Winata 2001 densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, sifat bahan,
komposisi bahan, dan mungkin pula dipengaruhi oleh degradasi molekul-molekul dalam bahan, akibat adanya proses pengolahan. Jadi kenaikan densitas kamba disebabkan adanya
degradasi molekul-molekul pati, protein, lemak, dan lain-lain saat diberi perlakuan pemasakan awal, sehingga molekul-molekul tersebut menempati ruang yang lebih sempit.
6
2. Derajat warna dan derajat putih
Warna diukur secara umum menggunakan Cromameter Minolta dan dinyatakan sebagai nilai L, a, b. Nilai L adalah ukuran sejumlah cahaya yang direfleksikan atau
ditransmisikan oleh obyek 0=hitam, 100=putih. Nilai a adalah ukuran warna merah ketika positif dan hijau ketika negatif. Nilai b adalah warna kuning ketika positif dan biru ketika
negatif. Sedangkan derajat putih adalah atribut untuk menduga obyek mendekati warna referensi yang lebih putih Waggle et al. 1989.
Menurut Waggle et al. 1989 pada konsentrasi tetap, nilai L meningkat dengan penurunan kelarutan protein karena peningkatan kecerahan dipengaruhi oleh protein yang
tidak larut. Jika ada dua sampel yang memiliki nilai b setara, sampel yang kurang larut akan tampak putih.
3. Aktivitas air a
w
Kerusakan yang terjadi pada bahan pangan pada umumnya merupakan kerusakan kimiawi, enzimatik, mikrobiologis, atau kombinasi antar ketiga macam kerusakan tersebut.
Semua jenis kerusakan ini memerlukan air selama prosesnya. Oleh karena itu, banyaknya air dalam bahan pangan ikut menentukan kecepatan terjadinya kerusakan.
Menurut Fennema 1996 air terikat dapat dibagi ke dalam empat tipe berdasarkan derajat keterikatan airnya. Tipe 1 adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain
melalui suatu ikatan hidrogen berenergi besar. Tipe II yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan-ikatan hidrogen dengan molekul air lain yang terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya
berbeda dari air murni. Tipe III air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam
jaringan suatu bahan atau air murni yang memiliki sifat-sifat air seperti biasa dengan keaktifan penuh.
Aktivitas air a
w
adalah sejumlah air bebas di dalam media pertumbuhannya dan bahan pangan yang dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air larutan dan tekanan uap
air murni. Aktivitas air juga dapat diartikan sebagai sejumlah air bebas di dalam bahan pangan yang pada kondisi tertentu mikroba dapat tumbuh dan memungkinkan bahan pangan tersebut
tidak layak untuk dikonsumsi Fardiaz et al. 1992. Dengan meningkatnya aktivitas air, air menjadi lebih tersedia sebagai pelarut dan
medium untuk reaksi, kecepatan enzimatik, dan degradasi mikrobiologi juga meningkat. Rata- rata batas terendah aktivitas air untuk pertumbuhan mikroba adalah 0.90 bakteri, 0.80-0.90
khamir, dan 0.60-0.70 kapang Fennema 1996. Meningkatnya ketersediaan air juga mempercepat pencoklatan enzimatik dan berkurangnya nilai gizi Pomeranz 1991.
D. SIFAT FUNGSIONAL TEPUNG BERPROTEIN TINGGI
1. Daya serap air
Daya serap air suatu protein didefinisikan sebagai kemampuan untuk menahan air melawan perlakuan gravitasi dan fisikokimia. Air berinteraksi dengan protein dalam beberapa
cara. Interaksi antara molekul air dan gugus hidrofilik pada rantai protein terjadi melalui ikatan hidrogen. Pengikatan air dengan protein dipengaruhi oleh gugus hidrofilik polar seperti
imino, amino, karboksil, hidroksil, karbonil, dan sulfihidril. Kapasitas protein untuk menahan
7
air dipengaruhi oleh jenis dan jumlah dari gugus polar pada rantai polipeptida protein Zayas 1997.
Asam amino diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya untuk mengikat air yaitu : 1 Asam amino polar dengan daya pengikatan air paling tinggi, 2 asam amino yang tidak
mengion, mengikat sejumlah air dalam jumlah yang medium. 3 asam amino hidrofobik yang hanya dapat mengikat sedikit air atau tidak sama sekali. Gugus asam amino polar pada
molekul protein adalah sisi utama dalam interaksi protein-air Zayas 1997. Pengikatan air dapat disebabkan oleh kemampuan matriks protein untuk mengembang
dan menyerap air tanpa pelarut. Viskositas tinggi dihasilkan dari protein yang larut atau mengembang dan pembentukan gel selama persiapan sampel Waggle et al. 1989.
Penyerapan air oleh beberapa jenis protein dapat mengakibatkan pembengkakan. Pembengkakan mencerminkan pengambilan air oleh jaringan protein sambil melonggarkan
jaringan polipeptida. Tingkat pembengkakan dipengaruhi oleh gaya-gaya antar molekul, ikatan hidrogen, interaksi elektrostatik antara polipeptida yang berdekatan, dan fasilitas
tertentu yang dengannya air akan memberikan gangguan dan menggantikan ikatan protein- protein dengan protein-air Muchtadi 1991.
2. Daya serap minyak
Daya serap minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran partikel protein, kondisi proses pengolahan, zat tambahan lain, suhu, dan derajat denaturasi protein.
Partikel yang berukuran kecil mampu menyerap minyak 65-130 dari berat keringnya, lebih banyak jika dibandingkan dengan partikel yang berukuran besar. Denaturasi protein dapat
meningkatkan kemampuan protein untuk mengikat lemak dikarenakan terbukanya struktur protein memaparkan asam amino yang bersifat non-polar.
Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi protein-lipid. Ikatan yang ikut berperan dalam interaksi protein-lipid adalah ikatan hidrofobik elektrostatik,
ikatan hidrogen, dan ikatan non-kovalen. Ikatan hidrofobik penting dalam stabilitas kompleks protein-lipid. Interaksi antara protein dan anion asam lemak dapat mengubah struktur protein
dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul Zayas 1997. Protein hidrofobik efektif pada tegangan permukaan yang lebih rendah dan mengikat
lebih banyak materi lipofilik seperti lipid, emulsifier, dan materi flavor. Kapasitas protein untuk mengikat lemak sangat penting dalam produksi meat extender atau replacer, dimana
penyerapan lemak oleh protein meningkatkan retensi flavor dan meningkatkan mouthfeel. Lemak diserap terutama melalui pemerangkapan secara fisik. Penyerapan lemak dapat
ditingkatkan jika protein dimodifikasi secara kimia untuk meningkatkan densitas kambanya Pomeranz 1991.
3. Daya emulsi
Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan
lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau medium
dispersi Muchtadi 1991.
8
Daya emulsi merupakan kemampuan protein untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase tegangan interfasial sehingga mempermudah terbentuknya emulsi.
Kemampuan ini disebut kemampuan protein sebagai emulsifier. Menurut Subarna et al. 1990 daya emulsi ini dipengaruhi oleh konsentrasi protein, kecepatan pencampuran, jenis
protein, jenis lemak, dan sistem emulsi. Daya kerja emulsifier disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat, baik pada minyak non-polar maupun air polar.
Emulsifier mengandung dua gugus, yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Di dalam molekul emulsifier, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polar
lebih dominan, maka molekul emulsifier tersebut akan diadopsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah
sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu. Demikian juga sebaliknya jika gugus non-polar lebih dominan, maka molekul emulsifier akan lebih kuat diikat oleh minyak
dibandingkan dengan air Muchtadi 1991. Apabia emulsifier tersebut lebih larut dalam air polar maka dapat lebih membantu
terjadinya dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air ow. Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalam minyak non-polar
terjadilah emulsi air dalam minyak wo. Contohnya adalah mentega dan margarin Winarno 2002.
4. Daya busa
Busa merupakan struktur terdispersi dimana cairan koloid seperti larutan protein bertindak sebagai medium pendispersi dan gas sebagai fase terdispersi. Mekanisme
pembentukan busa diawali dengan terbukanya ikatan dalam molekul protein sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Kemudian udara masuk di antara molekul protein yang terbuka
dan bertahan sehingga volume protein mengembang Cherry dan Watters 1980. Busa pangan umumnya sangat kompleks, termasuk campuran dari gas-gas, cairan-cairan, padatan-padatan,
dan surfaktan-surfaktan. Protein berkontribusi pada distribusi merata dari sel-sel udara dalam struktur pangan. Menurut Elizalde et al. 1991 kapasitas pembusaan sangat kritis dalam
aplikasi pangan. Protein dari sumber berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam menstabilkan busa karena perbedaan dalam komposisi, konformasi, fleksibilitas molekuler,
dan sifat-sifat fisikokimianya. Kemampuan membentuk busa dipengaruhi oleh sumber protein alami, metode, dan
suhu selama proses. Kemampuan pembusaan meningkat jika konsentrasi protein meningkat dikarenakan meningkatnya ketebalan lapisan film pada interfasial. Foam inhibitor adalah
bahan yang tidak larut air dan dapat mengganggu film protein di gelembung-gelembung udara. Zat yang termasuk foam inhibitor adalah lemak dengan aktivitas permukaan yang tinggi.
Lemak melemahkan interaksi protein-protein dengan mengganggu permukaan hidrofobik Zayas 1997.
Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan dan stabilitas busa protein meliputi kelarutan, laju difusi ke arah permukaan, dan penyerapan. Faktor-faktor tersebut bergantung
pada sifat-sifat hidrofobik, orientasi, dan asosiasi polipeptida, viskoelastisitas, kesetimbangan agregasi-konjugasi, muatan permukaan, dan hidrasi Pomeranz 1991.
Pembentukan dan stabilitas busa juga dipengaruhi oleh pH, suhu, garam, gula, lemak, dan sumber protein. Volume dan stabilitas busa bertambah dengan meningkatnya konsentrasi
protein. Busa yang terbentuk pada konsentrasi tinggi bersifat padat dan stabil karena lapisan
9
permukaan lebih tebal Kinsella dan Damodaran 1981. Film-film dengan viskositas permukaan yang tinggi membentuk busa yang kuat sebagai hasil dari gaya kohesif antar
molekul-molekul protein. Stabilitas busa mencapai maksimal saat elastisitas permukaan juga maksimal. Sifat daya busa dapat diaplikasikan pada pembuatan whipped toppings, chiffon
dessert, dan minuman.
5. Daya gelasi
Gelasi merupakan salah satu sifat protein yang berkaitan dengan penarikan air dari lingkungan oleh molekul-molekul protein. Sifat gelasi berfungsi untuk pembentukan dan
pengendapan matriks protein. Gelasi protein adalah sifat yang kompleks dan sulit diinterpretasikan karena membutuhkan kondisi tertentu yang sangat ekstrim untuk
pembentukan gel. Faktor-faktor yang memengaruhi gelasi adalah kekuatan gel, pelekatan antara agregat protein, pelekatan dengan zat lain, dan elastisitas Widowati et al. 1998.
Kemampuan gelasi dari protein-protein dipengaruhi juga oleh konsentrasi protein, komposisi asam amino, berat molekul, dan hidrofobisitas protein-protein.
Gel dapat terbentuk karena pemanasan dan penambahan kapur. Mekanisme pembentukan gel karena pemanasan terjadi pada dua tahap, yaitu tahap asosiasi dan agregasi
yang mengakibatkan terbentuknya formasi gel di bawah kondisi yang sesuai. Suhu gelasi bergantung pada karakter protein di dalam sistem. Waktu dan suhu pemanasan untuk
terbentuknya gel umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi protein. Peningkatan suhu juga akan meningkatkan kekeruhan gel Schmidt 1981. Pembentukan gel protein
merupakan hasil dari interaksi-interaksi intermolekuler yang menghasilkan jaringan tiga dimensi serat-serat protein. Dalam sebuah gel, cairan mencegah matriks tiga dimensi dari
collapsing melipat, dan matriks mencegah cairan keluar. Gel-gel dibentuk saat protein- protein membuka sebagian, mengembangkan segmen-segmen polipeptida terurai yang
berinteraksi pada titik-titik spesifik untuk membentuk jaringan ikatan silang tiga dimensi. Pembentukan gel adalah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan hidrofobik,
gaya-gaya van der walls, dan ikatan disulfida kovalen. Gel dengan kekuatan dan stabilitas tinggi dapat dibentuk dari ikatan silang yang memberi fluiditas, elastisitas, dan perilaku aliran
dari gel-gel Zayas 1997. Interaksi molekuler dimungkinkan pada konsentrasi protein yang meningkat, menghasilkan gel-gel lebih kuat, seiring dengan banyaknya air yang diikat ke
molekul protein. Matriks gel dibentuk sebagai hasil dari asosiasi terdenaturasi dengan pembentukan agregat-agregat.
Gel bervariasi dalam sifat misalnya kekerasan dan kelekatan. Sifat unik dari gel adalah perilaku seperti bahan padat, namun sekaligus memiliki ciri-ciri cairan. Sifat-sifat protein
untuk membentuk gel dan menahan jumlah tertentu dari gula, flavor, dan bahan baku pangan lainnya dalam matriks tiga dimensi dipakai secara luas dalam pengolahan pangan dan
pengembangan makanan baru.
E. DAYA CERNA PROTEIN
Daya cerna protein merupakan proporsi protein pada bahan pangan yang diserap. Daya cerna menunjukkan efektivitas suatu protein dicerna hingga menghasilkan asam-asam amino, lalu
diserap oleh usus halus. Daya cerna protein dapat diukur, baik secara in vivo maupun in vitro. Pengukuran daya cerna secara in vivo digolongkan menjadi dua, yaitu daya cerna semu apparent
10
Suhu °C A
kti vit
as r
elati f
pH L
aju re
aks i
digestibility dan daya cerna sejati true digestibility. Daya cerna sejati memperhitungkan nitrogen metabolik, sedangkan daya cerna semu mengasumsikan nitrogen yang terbuang
seluruhnya berasal dari makanan WHO 2007. Sementara itu, pengukuran daya cerna protein in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan multienzim pankreatik protease yang kondisi
reaksinya disesuaikan dengan kondisi fisiologis. Pengukuran daya cerna protein in vitro relatif lebih cepat dan hasilnya merupakan persen relatif terhadap kasein standar.
F. LIQUOZYME SUPRA