42
Rendemen tepung berprotein tinggi yang dihasilkan dari proses likuifikasi untuk peningkatan protein dari tepung koro benguk sebesar 30.73. Kadar protein tepung berprotein
tinggi ini telah memenuhi syarat BPOM tentang kategori produk pangan yaitu kadar proteinnya lebih tinggi 25 dari produk acuannya. Rendemen yang dihasilkan tersebut tidak jauh berbeda
dengan rendemen tepung beras berprotein tinggi yang dihasilkan dari proses peningkatan protein dengan cara enzimatis Hansen et al. 1981. Selain itu, rendemen tepung berprotein tinggi koro
benguk juga hampir sama dengan produk pekatan protein dari koro-koroan yaitu kacang komak sebesar 31.7 Nafi et al. 2006.
C. Karakteristik Fisikokimia Tepung Koro Benguk Varietas Putih Berprotein
Tinggi dengan Proses Optimum
1. Densitas kamba
Densitas kamba adalah sifat bahan pangan dari tepung-tepungan. Sifat tersebut merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan. Suatu bahan dikatakan
kamba apabila nilai densitas kambanya kecil, yang berarti membutuhkan ruang atau volume yang besar untuk berat yang ringan.
Menurut Schubert 1987 tepung-tepungan umumnya memiliki densitas kamba sekitar 0.40-0.75 gml. Hasil penelitian Lampiran 10 menunjukkan densitas kamba tepung koro
benguk berprotein tinggi masih berada pada kisaran tersebut. Densitas kamba tepung berprotein tinggi yang dihasilkan adalah 0.43 gml. Nilai densitas kamba tepung berprotein tinggi ini lebih
kecil dibandingkan dengan tepung koro benguk. Berdasarkan penelitian Saputra 2012 densitas kamba tepung koro benguk sebesar 0.51 gml. Apabila dibandingkan dengan tepung
kedelai komersial yang memiliki densitas kamba 0.38 gml Edema et al. 2005, maka densitas kamba tepung berprotein tinggi koro benguk masih lebih tinggi. Bila diperhatikan dari nilai
densitas kamba dari tepung-tepungan tersebut, diduga kandungan protein berpengaruh terhadap nilai densitas kamba. Dimana semakin tinggi kandungan protein pada suatu bahan, maka
densitas kambanya akan semakin kecil. Sifat fisik ini penting terutama dalam penyimpanan dan pengemasan. Bahan dengan
densitas kamba kecil tidak efisien dari segi tempat penyimpanan maupun pengemasan. Pada bobot yang sama, bahan dengan densitas kamba kecil akan membutuhkan tempat yang lebih
luas dibandingkan dengan bahan dengan densitas kamba besar. Tinggi rendahnya densitas kamba dipengaruhi oleh kadar lemak karena lemak memiliki bobot molekul yang relatif besar
di dalam sistem bahan pangan. Adebowale et al. 2005 melaporkan adanya kenaikan densitas kamba pada tepung kacang Mucuna sp. yang telah diekstrak lemaknya.
43 2. Derajat warna
Warna merupakan salah satu atribut visual penting dalam makanan disamping aroma dan tekstur. Salah satu jenis makanan yang memiliki perhatian lebih terhadap warna adalah
produk tepung. Suhu pengeringan dan perlakuan proses berpengaruh terhadap kecerahan warna tepung yang dihasilkan Honestin 2007. Warna tepung berprotein tinggi dari koro benguk
tidak terlalu gelap bahkan cenderung cerah. Hal ini dapat memperluas aplikasi penggunaan tepung koro benguk berprotein tinggi pada berbagai jenis produk makanan. Kenampakan
tepung berprotein tinggi koro benguk dapat dilihat pada Gambar 13.
a b
Gambar 13. Visualisasi warna tepung berprotein tinggi: a subjektif; b Ilustrasi hasil analisis warna pada bola imajiner sistem pewarnaan Hunter L a b
Secara visualisasi subjektif, tepung koro benguk berprotein tinggi pada penelitian ini memiliki warna tepung putih kecoklatan. Analisis warna dengan menggunakan alat
chromameter menunjukkan bahwa tepung ini memiliki nilai L sebesar 50.04, nilai a sebesar +1.89, dan nilai b sebesar +5.24 Lampiran 10. Selain itu, nilai derajat putih sampel sebesar
44.48. Nilai ini diperoleh dari formula Whiteness. Notasi L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna putih L=0, abu-abu dan
hitam L=100. Nilai L sebesar 50.04 menunjukkan bahwa tepung tersebut memiliki tingkat kecerahan sedang. Notasi a merupakan warna kromatik campuran merah dan hijau, sedangkan
notasi b merupakan warna kromatik campuran kuning dan biru. Jika nilai a dan b yang diperoleh dari hasil penelitian ini diplotkan pada grafik warna, maka terlihat bahwa sampel
berwarna kuning kecoklatan Gambar 13b. Warna tepung berprotein tinggi yang cenderung putih kecoklatan ini diduga disebabkan
oleh reaksi pencoklatan non-enzimatis selama pengeringan pada perlakuan pendahuluan dan reaksi kimia yang terjadi selama proses likuifikasi. Pengeringan selama 12 jam pada suhu 50
o
C pada penelitian pendahuluan diduga meningkatkan laju reaksi Maillard. Menurut Kumar et al.
2009, pada koro benguk utuh terdapat gula pereduksi. Faktor tersebut menyebabkan terjadinya pencoklatan non-enzimatis pada koro benguk yang dikeringkan. Gambar 14
menunjukkan perbedaan warna koro benguk sebelum dan sesudah dikeringkan. warna
sampel
44
a b
Gambar 14. Perbedaan warna koro benguk a sebelum dikeringkan dan b sesudah Dikeringkan
Reaksi pencoklatan non-enzimatis reaksi Maillard merupakan reaksi pencoklatan yang terjadi antara amino bebas dari asam amino, peptida, atau protein dan karbonil dari gula
pereduksi Villamiel et al. 2006. Reaksi ini dapat terjadi akibat pemanasan atau selama penyimpanan pada produk yang mengandung gula pereduksi dan protein yang tinggi BeMiller
dan Whistler 1996. Reaksi Maillard merupakan salah satu reaksi yang menyebabkan penurunan nilai gizi protein. Penurunan nilai gizi protein karena terdapat asam amino esensial
seperti L-lisin yang tidak lagi tersedia bagi tubuh akibat telah bereaksi dengan gula pereduksi. Menurut BeMiller dan Whistler 1996, L-lisin merupakan asam amino esensial yang reaktif
karena mempunyai gugus NH
3 +
pada karbon epsilon ε. Asam amino L-lisin dapat bereaksi, baik dalam bentuk asam amino bebas, maupun bagian dari molekul protein.
Selain perlakuan pendahuluan, penyebab lain terjadinya reaksi Maillard adalah proses likuifikasi. Proses likuifikasi mendegradasi karbohidrat menjadi komponen yang lebih
sederhana yaitu dekstrin. Likuifikasi juga memungkinkan menghasilkan gula sederhana. Gula- gula sederhana tersebut, terutama jenis gula pereduksi, memiliki kemungkinan bereaksi dengan
protein sehingga terjadi reaksi pencoklatan non-enzimatis. Secara alami, reaksi Maillard terjadi pada produk yang mengandung protein dan gula
pereduksi. Namun, laju reaksinya bergantung pada beberapa faktor, antara lain aktivitas air a
w
, pH, suhu, dan komposisi kimia di dalam sistem pangan Villamiel et al. 2006. Pada penelitian ini, pengeringan dengan suhu 50
o
C pada penelitian pendahuluan dan proses likuifikasi produk diduga meningkatkan laju reaksi Maillard.
3. Aktivitas air a
w
Aktivitas air adalah sejumlah air bebas yang berada dalam bahan pangan. Keberadaan air bebas ini menjadi suatu penentu keamanan pangan karena kerusakan bahan pangan seperti
kerusakan kimia, mikrobiologis maupun enzimatis ditentukan dari jumlah air bebas yang diukur dari nilai aktivitas air a
w
.
45
Gambar 15. Hubungan kecepatan reaksi dengan a
w
dalam bahan pangan
Jenis-jenis kerusakan tersebut dapat diketahui dari nilai aktivitas air dalam rata-rata batas terendah air untuk bahan pangan mikroba tersebut. Data penelitian menunjukkan aktivitas
air pada tepung koro benguk berprotein tinggi ini sebesar 0.62. Bila dilihat dari nilai a
w
-nya, kerusakan yang mungkin terjadi adalah kerusakan yang disebabkan oleh mikrobiologis dan
kimia Gambar 15. Menurut Winarno 2002 jenis mikroba yang umum menyerang produk pangan dengan a
w
berkisar 0.6-0.7 adalah kapang. Sedangkan kerusakan kimia yang dapat terjadi pada kisaran a
w
0.61 adalah reaksi pencoklatan non-enzimatis dan oksidasi lipida. Reaksi pencoklatan non-enzimatis kemungkinan terjadi pada produk tepung berprotein tinggi
dilihat dari warna produk yang berwarna putih kecoklatan. Pada produk kering dengan a
w
rendah, laju reaksi Maillard berlangsung cepat pada a
w
0.5-0.8. Sementara itu, reaksi tersebut sudah dapat terlihat pada suhu ruang dan meningkat laju reaksinya seiring dengan
meningkatnya suhu. Sedangkan kerusakan produk karena oksidasi lipida kemungkinan juga dapat terjadi karena tepung berprotein tinggi masih mengandung lemak meskipun proporsinya
sangat sedikit sebesar 4.64. Pencegahan kerusakan bahan pangan dapat dilakukan dengan cara menghilangkan
sebagian air dari suatu bahan pangan kemudian dikemas untuk mencegah kenaikan kadar air selama penyimpanan. Pembuatan produk tepung berprotein tinggi dari koro benguk pada
penelitian ini menggunakan spray dryer sehingga kadar air yang dihasilkan produk sebesar 5.43. Fennema 1996 menyatakan apabila suatu produk memiliki kadar air 3-7, maka
kestabilan produk akan tercapai sehingga reaksi-reaksi kimia seperti reaksi pencoklatan dan oksidasi lemak dapat dikurangi.
a
w
tepung berprotein tinggi 0.62
46
D. Sifat Fungsional Tepung Koro Benguk Varietas Putih Berprotein Tinggi