4
molekul koagregasi yang mencegah pelekatan dan penyebaran patogen pada sel epithelial, 4 menghasilkan senyawa antibakteri, seperti bakteriosin, 5 menurunkan pH dengan dihasilkannya
asam laktat yang menghambat pertumbuhan bakteri patogen, dan 6 menekan aktivitas enzim penghasil amin yang toksik dan karsinogenik dari bakteri usus lainnya.
Kriteria yang harus diperhatikan untuk menentukan strain mikroba probiotik yaitu: 1 mampu memfermentasikan susu dalam waktu yang relatif cepat, 2 mampu menggandakan diri,
3 tahan terhadap suasana asam sehingga mampu hidup dan bertahan dalam saluran pencernaan, 4 menghasilkan produk akhir yang dapat diterima konsumen, dan 5 mempunyai stabilitas yang
tinggi selama proses fermentasi, penyimpanan, dan distribusi Hoier, 1992.
B. Bakteri Escherichia coli E. coli Penyebab Diare
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan kondisi feses yang tidak berbentuk atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali selama 24 jam. Penyebab diare terbesar
adalah infeksi dan intoksikasi poisoning. Bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare antara lain Escherichia coli, Salmonella thypii, Salmonella parathypii, Vibrio cholera, dan
Shigella sp. Bakteri Escherichia coli yang ditemukan oleh Theodor Escherich tahun 1885 merupakan
bakteri yang berasal dari kotoran hewan atau manusia, baik sakit maupun sehat. Oleh karena itu, dikenal juga dengan istilah koli tinja. Secara garis besar, klasifikasi bakteri E .coli berasal dari
Filum Proteobacteria, Kelas Gamma Proteobacteria, Ordo Enterobacteriales, Familia Enterobacteriaceae, Genus Escherichia, Spesies Escherichia coli. Secara morfologi E. coli
merupakan bakteri berbentuk batang pendek, gemuk, berukuran 2.4 µ x 0.4 sampai 0.7 µ, Gram- negatif, tidak bersimpai, bergerak aktif dan tidak berspora Hakli, 2009. Menurut Nataro dan
Kaper 1998 tipe patogenesis dari strain E. coli dapat dibedakan menjadi Enteropathogenic E. coli
EPEC, Enterotoxigenic
E. coli
ETEC, Enteroinvasive
E. coli,
EIEC, Enterohaemorrhagic E. coli EHEC, Enteroagregative E. coli EAEC, dan Diffusely Adherent
Escherichia coli DAEC. Interaksi beberapa E. coli patogenik dengan sel epithelial usus ditunjukkan pada Gambar 1.
EPEC melekat pada permukaan mukosa usus dan menyebabkan terjadinya perubahan struktur sel. Pelekatan EPEC pada permukaan mukosa ditunjukkan pada Gambar 2. EPEC
kemudian melakukan invasi menembus sel mukosa. Pada dosis 10
5
-10
10
, sel EPEC dapat menyebabkan diare Sussman, 1997. EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil. Infeksi EPEC
yang melibatkan gen EPEC adherence factor EAF, menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraseluler dan arsitektur sitoskeleton di bawah membran mikrovilus. Seperti ETEC,
EPEC juga menyebabkan diare tetapi dengan mekanisme molekuler kolonisasi yang berbeda. EPEC memiliki sedikit fimbria, tidak menghasilkan sitotoksin, tetapi EPEC menggunakan
adhesion yang dikenal sebagai intimin untuk mengikat sel usus inang. Sel EPEC juga bersifat invasif jika memasuki sel inang dan menyebabkan radang Collier, 1998. Mekanisme induksi
EPEC ditunjukkan pada Gambar 3.
7
D. Organ Ginjal
Seperti halnya hati, ginjal juga merupakan organ yang sering dijadikan sasaran utama zat toksik Lu, 1995. Menurut Frankel 1985, ginjal merupakan organ yang paling penting untuk
menjamin komposisi yang tepat dari darah dan cairan ekstraseluler, dan tugas utamanya adalah mengekskresikan bahan-bahan yang tidak lagi dibutuhkan oleh tubuh ke dalam urin. Urin
merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan. Oleh karena itu, ginjal memiliki volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui
sel tubulus, dan mengaktifkan toksikan tertentu. Struktur yang menonjol pada ginjal adalah nefron, kira-kira berjumlah 1.3 x 10
8
. Tiap nefron terdiri atas glomerulus dan serangkaian tubulus. Untuk itu, senyawa-senyawa yang
menyebabkan kerusakan pad glomerulus dan tubulus sering disebut sebagai nefrotoksikan. Kelompok utama nefrotoksikan adalah logam berat, antibiotik, analgesik, dan hidrokarbon
berhalogen tertentu. Semua bagian nefron secara potensial dapat dirusak oleh efek toksikan. Pada glomerulus, antibiotika puromisin dapat meningkatkan permeabilitas glomerulus
terhadap protein seperti albumin. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam muatan listrik membrane dasar glomerulus. Sebaliknya, antibiotika aminoglikosid, seperti gentamisin dan
kanamisin, mengurangi filtrasi glomerulus, selain mempengaruhi tubulus ginjal Lu, 1995. Pada tubulus proksimal, kadar toksikan sering lebih tinggi karena terjadi absorpsi dan
sekresi aktif tubulus. Dengan demikian, tempat ini sering menjadi sasaran efek toksin. Logam berat seperti merkuri, kromium, cadmium, dan timbal dapat mengubah fungsi tubulus yang
ditandai dengan glikosuria, aminoasiduria, dan poliuria. Pada dosis yang lebih tinggi, logam berat menyebabkan kematian sel Lu, 1995.
E. Malonaldehida
Menurut Koltas et al. 2006 malonaldehida yang merupakan hasil peroksidasi lipid merupakan indikator terjadinya stres oksidatif pada jaringan dan sel. Stres oksidatif
menggambarkan kondisi kerusakan oksidatif yang terjadi ketika keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan tidak bertahan dengan baik Lampe dan Cheryl, 2008. Biomarker stres
oksidatif merupakan produk akhir reaksi antara radikal bebas dan komponen lipid, protein, karbohidrat, DNA, dan molekul lainya yang potensial Mayne, 2003.
Menurut Bird dan Draper 1984, malonaldehida MDA merupakan produk hasil peroksidasi lipid dalam tubuh. MDA terutama dihasilkan pada reaksi penguraian sel. Secara
biologis MDA dihasilkan dari berbagai macam reaksi. Reaksi tersebut misalnya adalah kebocoran sistem mitokondria, oksidasi lipida, dekomposisi asam amino, dan komponen karbohidrat, serta
reaksi yang melibatkan radikal bebas. MDA juga merupakan produk yang dihasilkan oleh radikal bebas melalui radiasi ionisasi di dalam tubuh dan produk sampingan dari biosintesis
prostaglandin yang memiliki tiga atom karbon yang sangat reaktif. MDA di dalam material biologis terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai kompleks dengan unsur pokok berbagai
jaringan. Sumber utama dari MDA adalah peroksida asam lemak dengan tiga atau banyak ikatan
ganda, khususnya asam arakhidonat. Mekanisme reaksi ini diawali dengan penyerangan membran fosfolipid pada rantai asam lemak tidak jenuh jamak oleh suatu radikal hidroksil, dilanjutkan
dengan terbentuknya carbon centered radical -C- di membran fosfolipid. Carbon centered radical akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal bebas baru yang disebut radikal bebas
peroksil. Radikal peroksil ini cukup reaktif untuk menyerang asam lemak di sekitarnya dan
9
dengan mikroorganisme tersebut, kompleks ini kemudian dikenal sebagai benda asing oleh fagosit dan kemudian diserang atau dihancurkan.
2. Acute-phase proteins atau early phase, muncul beberapa jam kemudian, diinduksi, tetapi
masih bersifat nonspesifik, timbul bila fagosit gagal mengenal mikroorganisme melalui jalur di atas. Mikroorganisme akan terpapar terhadap acute-phase proteins APPs yang
diproduksi oleh hepatosit dan kemudian dikenali oleh protein komplemen. Kompleks mikroorganisme, APPs, dan protein komplemen kemudian dikenali oleh fagosit dan diserang
serta dihancurkan. 3.
Late phase, merupakan respon imun spesifik timbul 4 hari setelah infeksi pertama, ditandai
oleh clonal selection limfosit spesifik. Pada fase ini dibentuk molekul dan sel efektor pertama.
Imunomodulator adalah zat yang dapat memodulasi mengubah atau memengaruhi sistem imun tubuh menjadi ke arah normal. Produk imunomodulator berperan menguatkan sistem imun
tubuh imuno stimulator atau menekan reaksi sistem imun yang berlebihan imuno suppressan Anonim, 2007. Baratawidjaja 2002 menyebutkan bahwa imunomodulator adalah obat yang
dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan. Imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui
imunorestorasi, imunostimulasi, dan imunosupresi. Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation.
1.
Imunorestorasi
adalah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti: immunoglobulin dalam bentuk
Immune Serum Globulin ISG,
Hyperimmune Serum Globulin HSG, plasma,
plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati, dan timus. 2.
Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem
imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Biological Response Modifier BRM adalah bahan-bahan yang dapat mengubah respons imun, biasanya
meningkatkan. Bahan yang disebut imunostimulator itu dapat terdiri atas: biologik dan hormon timus.
3. Imunosupresi
merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai
penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau auto-inflamasi Baratawidjaja, 2002.
G. Sel Limfosit
Berbagai sistem telah dikembangkan di dalam tubuh untuk menjerat dan kemudian menyingkirkan setiap bahan yang berhasil menghindari pertahanan luar. Sistem penjeratan ini
dilakukan oleh sel yang mampu mengikat, menelan, dan menghancurkan bahan asing melalui suatu proses yang disebut fagositosis. Sel fagositik pada mamalia termasuk dalam dua sistem
yang komplementer. Salah satu sistemnya yaitu sistem meloid, terdiri dari sel yang bekerja cepat tetapi tidak mampu bertahan lama. Sistem kedua, sistem fagositik mononuklir, terdiri dari sel
yang bekerja lebih lambat tetapi mampu melakukan fagositosis berulang-ulang. Sel fagositik mononuklir ini dapat mengolah antigen untuk tanggap kebal Tizard, 1988.
Tubuh manusia memiliki suatu sistem yang berfungsi melindungi tubuh dari unsur-unsur patogen yaitu sistem imun. Sistem imun terdiri dari komponen genetik, monokuler, dan seluler
yang berinteraksi secara luas dalam merespon terhadap antigen endogenus dan eksogenus. Salah
10
satu jenis sel yang berfungsi dalam merespon antigen adalah sel darah putih Baratawidjaja, 2002.
Leukosit atau sel darah putih merupakan salah satu sel dalam sistem pertahanan tubuh. Leukosit memiliki ukuran molekul yang lebih besar dan bebas bergerak Roitt, 1991. Leukosit
terdiri dari 75 sel granulosit dan 25 sel agranulosit yang terbentuk dari dalam sumsum tulang Baratawidjaja, 2002. Agranulosit sel adalah sel limfosit dan manosit, sedangkan basofil,
neutrofil, dan eusinofil termasuk kelompok granulosit Roitt, 1991. Menurut Gayton 1987 limfosit manusia berjumlah sekitar 30 dari persentase normal sel darah putih.
Limfosit adalah sel darah putih leukosit yang berukuran kecil, berbentuk bulat dengan diameter 7-15 µ m dan terdapat juga pada organ limfoid, seperti limpa, kelenjar limfe, dan timus.
Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, untuk mengenali antigen yang beragam, namun setiap limfosit hanya dapat mengenal satu antigen sehingga dalam proses respon
imun, limfosit saling bekerja sama untuk mengeliminasi beragam antigen yang masuk ke dalam tubuh Roitt, 1991. Limfosit merupakan sel imunokompeten nonfagositik yang berfungsi dalam
respon imun spesifik, selular, dan humoral. Pada manusia normal, limfosit B sel B berjumlah 5- 15 dan limfosit T sel T 65-80 dari total limfosit Kresno, 1996. Sel B berperan dalam
respon imun humoral sedangkan sel T berfungsi dalam sistem imun seluler Roitt, 1991. Sel limfosit B dan T bertanggung jawab dalam respon imun spesifik untuk mengenali antigen melalui
reseptor antigen. Sel juga mampu membedakan antigen dengan komponen tubuh sendiri atau berfungsi sebagai pengontrol sistem imun Bellanti, 1993.
Pada penelitian ini, dilakukan isolasi sel limfosit selama pemeliharaan tikus percobaan, kemudian dihitung jumlahnya. Sel limfosit diisolasi dari organ limfa tikus percobaan.
H. Proliferasi Limfosit
Proliferasi merupakan fungsi biologis mendasar limfosit, yaitu proses deferensiasi dan pembelahan mitosis sel. Limfosit adalah sel tunggal yang bertahan baik pada saat dikultur
dalam media sederhana. Sel limfosit konsisten tetap dalam tahap diam dan membelah sampai ditambahkan mitogen. Respon proliferasi kultur sel limfosit digunakan untuk menggambarkan
fungsi limfosit dan status imun individu Tejasari, 2000. Zakaria et. al. 1992 menyatakan bahwa kemampuan limfosit untuk berproliferasi atau
membentuk klon menunjukkan bahwa sel limfosit mempunyai kemampuan merespon imunologik atau tingkat kekebalan. Bila sel dikultur dengan senyawa nitrogen, maka limfosit akan
berproliferasi secara tidak spesifik. Proliferasi sel limfosit juga dapat meningkat dengan adanya antigen atau hapten. Hapten
adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada preformed secara langsung, tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung. Hapten akan
diikat oleh sel T carrier sehingga hapten tersebut membentuk epitop pada bagian molekul carrier. Pembentukan epitop pada kompleks hapten-carrier dikenal oleh sistem imun, sehingga
dapat merangsang pembentukan antibodi. Limfosit berproliferasi lebih cepat jika dipaparkan antigen atau hapten Susanti, 2006.
Pengujian proliferasi sel limfosit dapat dilakukan dengan menggunakan metode pewarnaan tryphane blue atau dengan metode pewarnaan MTT 3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5-
diphenyl-tetrazolium. Metode pewarnaan tryphane blue menggunakan prinsip penyerapan zat warna melalui membran sel. Pewarna tryphane blue hanya dapat mewarnai jika membran sel
rusak. Oleh karena itu, pewarna tryphane blue dapat digunakan untuk membedakan sel hidup dan