dengan  suka  rela  mau  mengubah  sikap  dan  perilakunya  sesuai  dengan  ajaran Islam, yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
Melihat dua pengertian kata kunci diatas, yaitu strategi dan dakwah. Maka penulis mendapat sebuah pengertian dari strategi dakwah. Strategi dakwah adalah
sebuah  usaha  penyampaian  pesan-pesan  ajaran  Islam,  yang  dilaksanakan  secara matang yakni dengan melihat pola dakwah yang tepat dan sesuai dengan sasaran
dakwahnya.  Hal  ini  seorang  da’i  harus  bisa  memanfaatkan  faktor-faktor  internal dan  ekternal,  agar  dakwah  yang  nantinya  akan  disampaikan  itu  berhasil  dan
sampai sesuai dengan tujuan ajaran Islam. Berbicara  masalah  strategi  dakwah,  memang  tidak  akan  lepas  kaitannya
dengan  metode  dakwah.  Kegitan  dakwah  dibutuhkan  suatu  strategi  yang merupakan  taktik  dalam  berdakwah,  sehingga  dapat  dilaksanakan  dengan  tuntas
dan  berhasil  dalam  mencapai  tujuan.  Strategi    dalam  penyampaian  pesan  agama dapat  dilaksanakan  melalui  pola  dakwah  yang  tepat  sasaran.
11
Pola  dakwah  yang sering dijadikan strategi adalah:
a. Strategi dakwah bil lisan
Dakwah bil lisan adalah dakwah yang disampaikan dengan perkataan- perkataan  yang  mempunyai  nilai  informatif  dalam  berdakwah,  akan
tetapi  tanpa  melupkan  nilai  persuasif  dakwah  itu  sendiri.  Strategi dakwah ini biasanya sering dikenal dengan sebutan ceramah agama.
b. Strategi dakwah bil hal
Dakwah  bil  hal  adalah  dakwah  yang  disampaikan  dengan  tindakan- tindakan  nyata  atau  perbuatan  nyata  terhadap  kebutuhan  penerima
11
Bahri  Ghazali,  Dakwah  Komunikatif:  Membangun  Kerangka  Dasar  Ilmu  Komunikasi Dakwah. Jakrarta: PT. Pedoman Ilmu Jaya, 1997  h. 21.
dakwah,  sehingga  tindakan   nyata  tersebut  sesuai  dengan  apa  yang dibutuhkan  oleh  penerima  dakwah.  Dakwah  seperti  ini  biasanya  lebih
mempunyai  nilai  pesuasif  yang  lebih  dalam  mempengaruhi  para mad’u.
Membuat strategi dakwah harus memperhatikan masalah teknik dan taktik yang  memang  jitu.  Untuk  mantapnya  strategi  dakwah,  maka  segala  sesuatunya
harus  dipertautkan  dengan  komponen-komponen  yang  merupakan  jawaban terhadap pertanyaan dalam rumusan teori komunikasi Lasswell
12
, yaitu: a.
Who? Siapa da’i atau penyampai pesan dakwahnya? b.
Says What? Pesan apa yang disampaikan? c.
In Which Channel? Media apa yang digunakan? d.
To Whom? Siapa Mad’unya atau pendengarnya? e.
With what Effect? Efek apa yang diharapkan?
B. Ruang Lingkup Dakwah
1. Subyek dan Obyek Dakwah
Subyek dakwah adalah orang  yang melaksanakan tugas dakwah atau bisa disebut sebagai da’i.  Pelaksana tugas dakwah ini bisa perorangan atau kelompok.
Pribadi  atau  subyek  adalah  sosok  manusia  yang  mempunyai  nilai  keteladanan yang  baik  uswatun  hasanah  dalam  segala  hal.
13
Da’i  yang  baik  adalah  seorang da’i  yang  mempunyai  akhlakul  karimah  dalam  dirinya.    Kemudian  da’i  yang
sukses  adalah  da’i  yang  ketika  hidup  bermasyarakat  bisa  terus  mengubah  dan
12
Syaiful  Rohim,  Teori  Komunikasi:  Perspektif,  Ragam  Dan  Aplikasi,  Jakarta:  PT. Rineka Cipta, 2009,Cet. ke-1. h. 162.
13
Rafiudin  dan  Maman  Abdul  Jalil,  Prinsip  dan  Strategi  Dakwah,  Bandung:  CV. Pustaka Setia, 1997, Cet. ke-1, h. 47
harus  sadar  akan  perubahan  ini,  untuk  mengarahkan  dan  mengingatkan  dakwah kepada jalan kebaikan menurut Islam.
Daerah  da’i  adalah  mulai  dari  masyarakat  desa  yang  primitif  hingga masyarakat industri yang telah terpengaruh diktatornya pengaruh ekonomi raksasa
dan  teknologi  ultra  modern  dan  merajalelanya  individualisme.  Da’i  berada  di tengah  gejolak  masyarakat  yang  bergejolak.  Jelaslah  bahwa  da’iadalah  seorang
yang  harus  paham  benar  tentang  kondisi  masyarakat  itu  dari  berbagai  segi, psikologi,  sosial,  kultural,  etnis,  ekonomi,  politik,  makhluk  Tuhan  ahsani
takwim.
14
Sebagai orang yang akan menjalankan amanah Allah di atas bumi, maka juru dakwah harus memiliki sifat-sifat khusus, harus memiliki kepribadian muslim
sejati yaitu dengan dengan akhlakulkarimah. Menurut  M.  Ghazali  bahwa  ada  tiga  sifat  dasar  yang  harus  dimiliki
seorang  juru  dakwah  ke  jalan  Allah,  yaitu:  setia  pada  kebenaran,  menegakkan perintah  kebenaran  dan  menghadapi  semua  manusia  dengan  kebenaran.
15
M. Ghazali juga menegaskan dua syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang juru
dakwah,  yaitu:  pengetahuan  mendalam  tentang  Islam  dan  juru  dakwah  harus memiliki jiwa kebenaran ruh yang penuh dengan kebenaran, kegiatan, kesadaran,
kemajuan.
16
Obyek  dakwah  ini  disebut  juga  madu  atau  sasaran  dakwah,  yaitu  orang- orang yang diseru, dipanggil, atau diundang, Maksudnya ialah orang yang diajak
ke dalam Islam sebagai penerima dakwah.
17
Sehubungan dengan kenyataan yang
14
M. Syafaat Habin, Buku Pedoman Dakwah, Jakarta: Wijaya, 1982, Cet. ke-1, h. 106- 107
15
A. Hasymi, Dustur Dakwah menurut al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, h. 14
16
A. Hasymi, Dustur Dakwah menurut al-Quran,  h. 16
17
Hasanuddin, Hukum Dakwah Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, Cet. ke-1, h. 34
berkembang dalam masyarakat, bila dilihat dari aspek kehidupan psikologis, maka dalam  pelaksanaan  program  kegiatan  dakwah,  sasaran  dakwahnya  terbagi
menjadi: a.
Sasaran  yang  menyangkut  kelompok  masyarakat  dilihat  dari  segi sosiologis  berupa  masyarakat  terasing,  pedesaan,  kota  besar  dan  kecil,
serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar. b.
Sasaran  yang  berupa  kelompok-kelompok  masyarakat  dilihat  dari  segi struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah dan keluarga.
c. Sasaran  yang  berupa  kelompok-kelompok  masyarakat  dilihat  dari  segi
sosial kultural berupa golongan priyayi, abangan dan santri. Klasifikasi ini terutama terdapat dalam masyarakat di Jawa.
d. Sasaran  yang  berhubungan  dengan  golongan  dilihat  dari  segi  tingkat
usia berupa golongan anak-anak, remaja dan orang tua. e.
Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup  sosial  ekonomi  berupa  golongan  orang  kaya,  menengah  dan
miskin. f.
Sasaran  yang  menyangkut  golongan  masyarakat  dilihat  dari  segi okupasional profesi dan pekerjaan berupa golongan petani, pedagang,
seniman, buruh, pegawai negeri, dan sebagainya.
18
2. Metode Dakwah
Metode  berasal  dari  bahasa  Jerman  methodica  artinya  ajaran  tentang metode.  Dalam  bahasa  Yunani,  metode  berasal  dari  kata  methodos  artinya  jalan,
18
M. Arifin, Psikologi Dakwah, Jakarta : Bumi Aksara, 1997, ed. Cet. ke-2, cet. Ke-4, h. 47.
yang  dalam  bahasa  Arab  disebut  thariq.
19
Dalam  bahasa  Inggris,  metode  berasal dari kata method, yang  mempunyai arti pelajaran atau cara yang ditempuh untuk
mencapai tujuan dengan hasil yang efektif.
20
Metode  dakwah  berarti  jalan  atau  cara  atau  teknik  berkomunikasi  yang digunakan  oleh  seorang  da’idalam  menyampaikan  risalah  Islam  kepada
masyarakat  madu  yang  menjadi  obyek  dakwahnya.
21
Dalam  mencari  sebuah keberhasilan  dakwah  di  masayarakat  kadang  membutuhkan  metode  yang  yang
sesuai  dalam  berdakwah.  Karena  masyarakat  sebagai  mad’u  yang  dihadapi  bisa berbeda-beda.  Tugas  seorang  da’i  adalah  mencari  dan  menyesuaikan  metode
dakwah  yang  akan  dipakai  dalam  berdakwah.  Pedoman  dasar  atau  prinsip penggunaan  metode  dakwah  Islam  sudah  termaktub  dalam  al-Quran  dan  Hadits
Rasulullah saw. Dalam al-Quran, sesungguhnya Allah telah befirman dalam surat An-Nahl
ayat 125, di mana dijelaskan tentang metode atau cara berdakwah yang baik. Artinya  :  “Serulah  manusia  kepada  jalan  Tuhanmu  dengan hikmah  dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara baik.” An Nahl 16: 125
Ayat di atas menjelaskan bahwa ada tiga metode atau tiga cara berdakwah yang  baik,  yaitu:  berdakwah  dengan  cara  yang  hikmah  bijaksana,  berdakwah
dengan  cara  mauidzatulhasanah  nasehat-nasenat  yang  baik,  dan  berdakwah dengan mujadalah berdebat dengan cara yang baik.
19
Hasanuddin, Hukum Dakwah Tinjauan Aspek Hukum dalam Berdakwah di Indonesia, h. 35.
20
Masdar Helmi, Problem Dakwah Islamiyah dan Pedoman Mubaligh, Semarang : CV. Toha Putra, 1969, h. 34
21
Said  bin  Ali  Qathani,  Dakwah  Islam  Dakwah  Bijak,  Jakarta  :  Gema  Insani  Press, 1994, cet. Ke-1, h. 101