Kecerdasan Emosional KAJIAN PUSTAKA

Kecerdasan emosional menurut Cooper 1998:XV adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Sedangkan John Mayer, psikolog dari University of New Hampshire dalam Harmoko http:www.binuscareer.comArticle.aspx?id= hLO3fqu87k6312FWL86qSqg3D3D mendefinisikan kecerdasan emosi yaitu kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara mengendalikan emosi sendiri. Goleman mengungkapkan perbedaan antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan intelektual IQ. Kecerdasan intelektual sesungguhnya merupakan keturunan seseorang yang tidak dapat dirubah, karena pembawaan sejak lahir. Sedangkan kecerdasan emosional tidak demikian. Kecerdasan emosional dapat dipelajari, dilatih, dan bisa dikembangkan. Tetapi perlu diingat bahwa semuanya itu merupakan proses yang memerlukan waktu, ketekunan, semangat tinggi dan keberanian untuk mencoba. Kecerdasan emosional merupakan jembatan antara apa yang kita ketahui, dengan apa yang kita lakukan. Dengan semakin tinggi kecerdasan emosional, kita akan semakin terampil melakukan apapun yang kita ketahui benar. Entrepreneur yang memiliki kecerdaan emosional yang optimal, akan lebih berpeluang mencapai puncak keberhasilannya. Mereka akan tetap menganggap bahwa krisis itu adalah sebuah peluang, peka akan adanya peluang dalam situasi apapun dan mampu mengatasi berbagai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI konflik. Orang-orang yang benar-benar mengoptimalakan EQ, akan lebih jeli dalam melihat sebuah peluang. Ia lebih cekatan dalam bertindak dan lebih punya inisiatif. Atau ia akan lebih siap dalam melakukan negosiasi bisnis. Lebih mampu melakukan langkah strategis bisnisnya, memiliki kepekaan, daya cipta, dan komitmen yang tinggi. http:www. purdiecandra.comjmcontent view9346. Unsur-unsur yang berkaitan dengan kecerdasan emosional menurut Goleman 1999:274 meliputi: a. Keyakinan Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku, dan dunia. b. Rasa Ingin Tahu Perasaan bahwa menyelidiki segala sesuatu itu bersifat positif dan menimbulkan kesenangan. c. Niat Hasrat dan kemampuan untuk berhasil dan untuk bertindak berdasarkan niat itu dengan tekun, ini berkaitan dengan perasaan terampil, perasaan efektif. d. Kendali Diri Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia, suatu rasa, kendali batiniah. e. Keterkaitan Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan pada perasaan saling memahami. f. Kecakapan Berkomunikasi Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan, perasaan, dan konsep dengan orang lain. g. Koperatif Kemampuan menyeimbangkan kebutuhan sendiri dengan kebutuhan orang lain. 2. Dimensi Kecerdasan Emosional Siprianus Koda dalam “Membedah Dinamika Emosi Sebagai Struktur Logis-Ilmiah” Seri Buku Vox, 2000:90 menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kesanggupan manusia dalam menjangkau lima “kawasan” yang paling menentukan keberhasilan hidup seorang individu. Pertama, mengenal emosi diri. Pemahaman terhadap perasaan yang sedang berlangsung adalah dasar kecerdasan emosional. Dengan kontinuitas proses pemahaman terhadap gejolak perasaan, individu dimungkinkan untuk menjangkaui wawasan psikologi dan pemahaman diri, sekaligus pembebasan individu dari belenggu perasaan. Proses ini akan bermuara pada tercetusnya keputusan–keputusan yang efektif. Kedua, mengelola emosi. Kesadaran diri merupakan dimensi penentu bagi penanganan perasaan agar dapat menjelma secara memadai. Pada individu yang gagal mengelola emosinya, akan terjadi pertarungan yang tak berkesudahan melawan emosinya sendiri. Ketiga, memotivasi diri sendiri. Penataan emosi yang memadai merupakan sarana untuk memotivasi diri dan menguasai diri, serta untuk bereaksi secara wajar. Kemampuan demikian memperbesar peluang produktivitas dan efektivitas kerja dalam pelbagai bidang. Keempat, mengenali emosi orang lain. Kesadaran emosional yang merupakan landasan sikap empati, mengandung kemampuan menangkap pesan–pesan sosial yang tersembunyi, yang menginformasikan kebutuhan dan kehendak orang lain. Kelima, membina hubungan. Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Berbekal kemampuan ini, seseorang akan terbantu dalam meraih popularitas, sukses dalam memimpin dan relasi antar pribadi.

D. Etnis

Etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, agama, sejarah, grografis, dan hubungan kekerabatan http:www.lin.go.id. Dalam hal ini penulis hanya memfokuskan pengelolaan usaha pada etnis Cina dan etnis Jawa. Berikut ini gambaran umum mengenai etnis Jawa dan etnis Cina. 1. Golongan etnis Jawa Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat asli Indonesia yang kini hidupnya sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Secara umum masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga golongan kelas sosial yaitu: 1 golongan orang biasa dan pekerja kasar atau buruh, 2 golongan pedagang atau saudagar, 3 golongan pegawai negri, pencatatatan sipil dan priyayi Koentjaraningrat,1985:231. Selanjutnya Koentjaraningrat dalam Martaniah 1984:54-57 menyebutkan mentalitas “priyayi” adalah sebagai berikut; 1 mereka menganggap hakekat karya adalah kekuasaan, kedudukan, dan lambing-lambang lahiriah dari kemakmuran; 2 persepsi waktu mereka lebih ditentukan oleh masa lampau; 3 mereka sangat menggantungkan diri pada nasib; 4 mereka sangat berorientasi ke arah atasan, sehingga mematikan hasrat untuk berdiri sendiri, dan disiplin pribadi. Adapun mentalitas petani adalah: 1 tidak bisa bersepekulasi tentang hakekat hidup, karya, dan hasil karya manusia; 2 persepsi waktu mereka terbatas, dan sebagian keputusan-keputusan penting dan arah orientasi hidupnya ditentukan oleh keadaan masa kini; 3 menganggap bahwa nasib sangat menentukan, dan bahwa orang harus hidup selaras dengan alam; 4 petani menilai tinggi konsep sama-rasa-sama-rata; mereka beranggapan bahwa pada hakekatnya manusia itu tidak berdiri sendiri, maka dari situ akan saling membantu. Menurut De Jong Martaniah, 1984:56 orang Jawa untuk mencapai sesuatu tidak berusaha dengan keras, tetapi dengan “tapabrata,” jadi usaha yang dilakukan bersifat pasif. Kekhasan masyarakat Jawa juga dapat dilihat pada bidang pendidikan keluarga mereka. Dalam masyarakat Jawa, pendidikan di PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dalam keluarga tidak bermaksud untuk menghasilkan orang yang dapat berdiri sendiri melainkan menekankan orang yang sosial misalnya tolong menolong, gotong royong dan toleransi terhadap sesama Mulder,1973:48. Anak-anak dibuat hidup senyaman dan semudah mungkin. Dorongan untuk berprestasi dan hasrat untuk tahu tidak dihargai dan didorong. Mereka hanya diberi mainan yang sifatnya penuh dengan khayalan dan tidak membantu kecerdasan. Dasar anggapan ini adalah bahwa anak–anak itu pada dasarnya tidak membutuhkan apa–apa selama mereka diam dan manis, dan lingkungannya pun berusaha keras agar ia tetap diam dan manis. Ia dimajakan dalam kehangatan badan dan jarang diperlakukan dengan cara yang mengganggu. Anak dibuat senang oleh orang–orang, benda–benda dan mainan, hampir tidak diberi semangat untuk menjelajahi dunia luar sendiri dan dengan spontan ditahan dengan memberi sedikit kebebasan bergerak. Karena itulah masyarakat Jawa tidak memiliki kemadirian untuk berdiri diatas kaki sendiri Mulder,1973:106- 108. Pada orang Jawa hampir tidak ada motivasi yang kuat untuk bekerja. Mereka bekerja sekedar untuk dapat hidup, mereka lebih suka mengosongkan hidup ini untuk menanti hidupnya di dunia akhirat Hariyono,1993:43. Masyarakat Jawa mempunyai citra malas, meskipun menurut penelitian para ahli yaitu Windstedt dan Thomson Alatas, 1988:97-102 anggapan itu tidak benar karena kemalasan merupakan suatu konsep yang relatif. Kemalasan dicirikan oleh suatu tanggapan yang mengelak suatu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dokumen yang terkait

Pengaruh permodalan, pendidikan dan kultur lingkungan kerja terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha.

0 2 188

Pengaruh etnis, permodalan, dan pendidikan terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dan kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola usaha : studi kasus pada pedagang bumbon/craken di Pasar Beringharjo Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 0 173

Pengaruh permodalan, tingkat pendidikan dan penerapan business entity terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dan kecerdasan emosional dengan efektivitas mengelola usaha : survei pada toko kelontong skala kecil dan menengah di Kecamatan Depok.

1 1 227

PENGARUH PERMODALAN, PENDIDIKAN, DAN KULTUR LINGKUNGAN KERJA TERHADAP HUBUNGAN ANTARA JIWA KEWIRAUSAHAAN DENGAN EFEKTIVITAS MENGELOLA USAHA

0 0 175

SKRIPSI PENGARUH PERMODALAN, PENDIDIKAN, DAN KULTUR LINGKUNGAN KERJA TERHADAP HUBUNGAN ANTARA JIWA KEWIRAUSAHAAN DENGAN EFEKTIVITAS MENGELOLA USAHA

0 0 214

PENGARUH PERMODALAN, PENDIDIKAN, DAN KULTUR LINGKUNGAN KERJA TERHADAP HUBUNGAN ANTARA JIWA KEWIRAUSAHAAN DENGAN EFEKTIVITAS MENGELOLA USAHA

0 0 163

PENGARUH PERMODALAN, TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENERAPAN BUSINESS ENTITY TERHADAP HUBUNGAN ANTARA JIWA KEWIRAUSAHAAN DAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN EFEKTIVITAS MENGELOLA USAHA: SURVEI PADA COUNTER HP DI KECAMATAN DEPOK

0 0 214

PENGARUH ETNIS, PERMODALAN, DAN PENDIDIKAN TERHADAP HUBUNGAN ANTARA JIWA KEWIRAUSAHAAN DAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEEFEKTIFAN MENGELOLA USAHA

0 1 190

Pengaruh etnis, permodalan, dan pendidikan terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dan kecerdasan emosional dengan keefektifan mengelola usaha : studi kasus pada pedagang bumbon/craken di Pasar Beringharjo Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

0 3 171

Pengaruh permodalan, pendidikan dan kultur lingkungan kerja terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha - USD Repository

0 0 186