Gambar 4.
Grafik Persen Terdisolusi vs Waktu Formula SD F2 Formula SD F2 adalah formula dengan perbandingan ekstrak temulawak :
PVP K30 1:2 dengan kadar kurkumin dalam formula 4 .
Gambar 5.
Grafik Persen Terdisolusi vs Waktu Formula SD F3 Formula SD F3 adalah formula dengan perbandingan ekstrak temulawak :
PVP K30 1:4 dengan kadar kurkumin dalam formula 2,4 .
0,00 10,00
20,00 30,00
40,00 50,00
60,00 70,00
80,00 90,00
100,00
20 40
60 80
100 120
ter d
is o
lu si
Waktu menit
0,00 10,00
20,00 30,00
40,00 50,00
60,00 70,00
80,00 90,00
100,00
20 40
60 80
100 120
t e
rd is
o lu
si
Waktu menit
Gambar 6.
Grafik Persen Terdisolusi vs Waktu Formula SD F1, SD F2, SD F3 Gambar diatas menunjukkan bahwa formula SD F3 menghasilkan profil
disolusi yang lebih baik dibandingkan formula yang lain diliat dari persen kurkumin terdisolusi di tiap menit. Srinarong 2009 menyebutkan bahwa dengan
menurunnya proporsi drug load, persen terdisolusi akan meningkat. Pada gambar 7 digambarkan profil disolusi masing-masing formula, dan
ditemukan hasil yang menarik di mana hingga menit kelimabelas F2 menunjukkan persen terdisolusi yang lebih besar daripada F1, namun pada menit ketigapuluh F1
menunjukkan persen terdisolusi yang lebih banyak daripada F2. Pada menit keempatpuluh lima kembali F2 menunjukkan persen terdisolusi yang lebih tinggi
daripada F1. Fenomena tersebut juga terjadi pada F3, hingga menit keempatpuluh lima F3 menunjukkan persen terdisolusi yang lebih tinggi daripada F2, tetapi
sejak menit keenampuluh hingga seratus duapuluh F2 menunjukkan persen terdisolusi yang sedikit lebih tinggi daripada F3.
0,00 10,00
20,00 30,00
40,00 50,00
60,00 70,00
80,00 90,00
100,00
-20 20
40 60
80 100
120 F1 1:1
F2 1:2 F3 1:4
J. Hubungan Proporsi Drug Load Terhadap Disolusi Kurkumin
Fenomena yang terjadi menunjukkan adanya perubahan kecepatan disolusi pada F1, F2, dan F3 pada waktu tertentu. Pengambilan kesimpulan pada hasil
disolusi harus dilakukan dengan metode Disolusi Efisiensi DE sehingga tidak didapat kesimpulan yang bias dari hasil disolusi formula-formula tersebut. DE
adalah metode untuk mengungkapkan hasil pengamatan kecepatan disolusi obat dalam suatu medium dengan cara membandingkan luas area di bawah kurva
disolusi dengan luas segiempat seratus persen zat aktif larut dalam medium pada saat tertentu Fudholi, 2013.
DE
t
= y
dt
y
100
t x 100 …………………………………………6
Fudholi, 2013 y
dt
= luas area di bawah kurva zat aktif terlarut pada saat t y
100
t = luas segiempat 100 zat aktif larut dalam medium untuk waktu t
Harga DE dinyatakan dalam kurun waktu pengamatan tertentu sehingga semakin besar harga t akan semakin besar juga harga DE karena artinya semakin banyak
titik-titik pengamatan yang digunakan. Berikut merupakan tabel formulasi pembuatan dispersi padat.
Tabel IX. Disolusi Efisiensi Formula Dispersi Padat Menit 120
Formula DE
120
Rata- rata DE
120
Replikasi 1 Replikasi 2
Replikasi 3
F1 1:1 40.21
39.70 40.11
39.70 F2 1:2
68.87 69.79
69.66 69.44
F3 1:4 78.39
79.03 79.16
78.86
Hasil penghitungan DE hingga t = 120 menit adalah DE
120
F1 = 40.17; F2 = 69.96; F3 = 79.51. Harga DE
120
menunjukkan hingga menit keseratus duapuluh F3 memiliki kecepatan disolusi yang paling baik dibanding F2 dan F1.
Hasil diperkuat dengan pembuktian statistik dalam program R. Pada uji statistik digunakan metode Saphiro-Wilk sebagai uji normalitas data. Nilai
signifikansi p-value dari tiap formula, F1 = 0,3554; F2 = 0,25; F3 = 0,3024. Nilai p dari ketiga formula 0,05 sehingga diketahui bahwa data terdistribusi
normal. Metode Levene digunakan pada uji statistik selanjutnya untuk melihat
perbedaan varian data. Uji statisik menunjukkan bahwa varian tidak berbeda ditunjukkan dengan nilai p = 0.3918. Hasil pengujian normalitas dan variansi
menunjukkan distribusi data normal dan varian data sama, sehingga dapat dilanjutkan dengan uji Anova dan uji T untuk melihat formula mana yang
memiliki kecepatan disolusi paling baik. Uji Anova dilakukan pada data yang terdistribusi normal dengan varian
sama atau dengan kata lain digunakan untuk menguji data parametrik. Uji Anova dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan dari masing-
masing nilai Disolusi Efisiensi tiap formula pada menit 120. Apabila didapatkan nilai p 0,05 maka terdapat perbedaan yang signifikan dari Disolusi Efisiensi
masing-masing formula, dan apabila p 0,05 maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada Disolusi Efisiensi masing-masing formula. Pengujian anova
menghasilkan nilai p = 6.31 x 10
-11
, maka nilai p 0,05 dan dapat disimpulkan pada disolusi efisiensi masing-masing formula pada menit 120 berbeda signifikan.
Uji statistik yang terakhir adalah uji T Welch Two Sample t-test untuk melihat tingkat Disolusi Efisiensi antar formula. Nilai p 0,05 menunjukkan
formula a formula b. Sebaliknya bila p 0,05 maka formula a formula b.
Tabel X. Uji Statistik Welch Two Sample t-test
Welch Two Sample t-test
p-value F1 F2
1 F1 F3
1 F2 F1
1.118 x 10
-06
F2 F3 1
F3 F1 7.241 x 10
-08
F3 F2 9.784 x 10
-06
Tabel IX. menunjukkan bahwa F3 memiliki Disolusi Efisiensi yang lebih besar dari F2 dan F1, sementara F2 memiliki Disolusi Efisiensi lebih besar dari
F1. Nilai Disolusi Efisiensi yang sudah diperingkatkan dengan uji statistik Welch Two Sample t-test menunjukkan bagaimana formula F3 dengan perbandingan
ekstrak temulawak : PVP K30 1:4 memiliki profil disolusi yang lebih baik dibandingkan F2 1:2 dan F1 1:1, kemudian F2 1:2 memiliki profil disolusi
yang lebih baik dibandingkan F1 1:1.
44
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan ini maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan proporsi drug load pada dispersi padat kurkumin
dari esktrak temulawak dalam pembawa PVP K30 yang dibuat dengan vaccum rotary evaporator
mempengaruhi profil disolusi kurkumin. Semakin rendah proporsi drug load dalam formula dispersi padat akan semakin baik disolusinya,
dibuktikan dengan Disolusi Efisiensi F3 dengan drug load 2,4 yang lebih besar dibandingkan F2 drug load 4 dan F1 drug load 6.
B. Saran
1. Diperlukan pengembangan metode pembuatan sediaan dispersi padat
kurkumin yang sesuai untuk mengatasi sifat higroskopis PVP K30. 2.
Diperlukan penelitian untuk menguji jumlah maksimum konsumsi PVP K30 yang aman bagi manusia.
Daftar Pustaka
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pp 1036.
Anonim, 2009, Guidance for the Validation of Analythical Methodology and Calibration of Equipment used for Testing of Illicit Drugs in Seized
Materials and Biological Specimens , United Nations Office on Drugs
and Crime UNODC, New York. Anonim, 2012, www.keison.co.uk, diakses tanggal 16 Maret 2013.
Babu, P.S., Srinivasan, K., 1997, Hypolipidemic Action of Curcumin, The Active
Principle of Tumeric Curcuma longa in Streptozotocin Induced Diabetic Rats., Mol. Cell. Biochem. 166, 169-175.
Beringer, P., 2005, Remington: The Science and Practice of Pharmacy, Lippincott Williams Wilkins, Philadelphia, pp. 672-687.
Bermawie, N.,
Rahardjo, M., Wahyuno, D., dan Ma‟mun, 2007, Status Teknologi Budidaya dan Pasca Panen Tanaman Kunyit dan Temulawak Sebagai
Penghasil Kurkumin , Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,
Jakarta. Budavari, S., O‟Neill, M,J,, Smith, A,, Heckelman, P.E., Kinneary, J.F., 1996, The
Merck Index , 12th edition, Merck Co, Rahway, New Jersey, USA.
Chiou, W.L., dan Riegelman, S. ,1971, Pharmaceuticl Applications of Solid of Solid Dispersion System. J. Pharm. Sci. 609: 1281-1302.
Fischer, F., dan Bauer, S., 2009, Polyvinylpyrrolidon.Ein Tausendsassa in der Chemie. Chemie in unserer Zeit 43 6: 376
–383. Fudholi, A., 2013, Disolusi Pelepasan Obat in Vitro, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
pp. 5-31, 59-81, 142-145. Gandjar, I.G., dan Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, pp. 353-376, 456-480. Goldberg, A.H., Gibaldi, M., dan Kanig, J.L.,1965, Increasing Dissolution Rates
and Gastrointestinal Absorption of Drugs via Solid Solutions and Eutectic Mixtures III
– Experimental Evaluation of Griseofulvin- Succinic Aid Solid Solution., J. Pharm. Sci. 559: 487-492.
Gordon H. and Tristan F., 1999, SI Chemical Data, 4
th
edition , J. Wiley and Sons.