KONTRIBUSI INOVASI PRODUK, KUALITAS PRODUK, DAN EKUITAS MEREK DALAM MENINGKATKAN KEUNGGULAN BERSAING USAHA KECIL MENENGAH BATIK DI SURAKARTA.

(1)

Bismillaahirrahmaanirrohim,

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “KONTRIBUSI INOVASI PRODUK, KUALITAS PRODUK, DAN EKUITAS MEREK DALAM MENINGKATKAN KEUNGGULAN BERSAING USAHA KECIL MENENGAH BATIK DI SURAKARTA”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi jurusan Manajemen pada Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan, bimbingan, serta saran-saran dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP, selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Dr. Dhani Ichsanudin Nur, SE, MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. 3. Bapak Drs. Ec. Gendut Sukarno, MS, selaku Ketua Jurusan Manajemen

Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa i


(2)

memberikan bimbingan selam menuntut ilmu di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

5. Bapak Drs. Zawawi, MPd, yang telah banyak memberikan do’a, nasehat, petunjuk dan bimbingan spiritual selama ini.

6. Seluruh Dosen dan Staf Dosen yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

7. Kedua orang tua tercinta, terima kasih atas segala doa-doa yang telah dipanjatkan demi kesuksesan anakmu, juga kepada saudara-saudara saya. 8. Istriku tercinta AMRIH RAHAYU, terimakasih atas dukungannya selama

ini, juga kedua anakku SAHILA & KUNNA, semoga Allah menjadikan kalian cahaya bagi keluarga kita.

9. Berbagai pihak yang turut membantu dan menyediakan waktunya demi terselesaikannya Skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari isi maupun penyajian Skripsi ini karena keterbatasan yang ada. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan Skripsi ini.


(3)

Surabaya, Oktober 2009

Penulis


(4)

DAFTAR ISI

KATA PEGANTAR ……… .. i

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR TABEL ……….. viii

DAFTAR GAMBAR ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ………. xi

ABSTRAKSI ………. xii

BAB I PENDAHULUAN ………...………... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ………..……… 1

1.2 Rumusan Masalah ……….………….. 10

1.3 Tujuan Penelitian ………..…….. 11

1.4 Manfaat Penelitian ………....……….……. 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………...……… 13

2.1. Penelitian Terdahulu ……….. 13

2.2. Landasan Teori ……… 16

2.2.1. Konsep Pemasaran ……….. 16

2.2.2. Strategi Pemasaran ……….. 19

2.2.3. Inovasi ……… 20

2.2.3.1. Inovasi Produk ………. 21

2.2.4. Kualitas ……… 24

2.2.4.1. Kualitas Produk ……… 25

2.2.5. Produk ……….. 28

2.2.5.1. Pengertian Produk ……….. 28

2.2.5.2. Tahap-tahap Siklus Hidup Produk ……….. 30


(5)

2.2.6. Merek ………. 30

2.2.6.1. Ekuitas Merek ……… 32

2.2.7. Keunggulan Bersaing ………. 35

2.2.7.1. Keunggulan Biaya ……….. 38

2.2.7.2. Keunggulan Deferensiasi ……… 39

2.2.7.3. Pengukur Keunggulan Bersaing ………. 40

2.2.8. Hubungan antar variabel Penelitian ……… 43

2.2.8.1. Hubungan Inovasi Produk dengan Keunggulan Bersaing ….. 43

2.2.8.2. Hubungan Kualitas Produk dengan Keunggulan Bersaing … 43 2.2.8.3. Hubungan Ekuitas Merek dengan Keunggulan Bersaing …… 44

2.3. Kerangka Konseptual ……….. 45

2.4. Hipotesis ………. 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 47

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ………. 47

3.1.1. Definisi Operasional Variabel ……… 47

3.1.2. Pengukuran Variabel ……….. 51

3.2. Teknik Penentuan Sampel ……… 52

3.2.1. Populasi ……… 52

3.2.2. Sampel ………. 52

3.3. Teknik Pengumpulan Data ……….. 54

3.3.1. Jenis Data ……… 54

3.3.2. Sumber Data ……… 54

3.3.3. Pengumpulan Data ……….. 55

3.4. Teknik Analisis Uji Hipotesis ……… 56

3.4.1. Teknik Analisis SEM ………. 56


(6)

3.4.2. Asumsi Model (Struktur Equation Model) ………. 57

3.4.3. Pengujian Hipotesis Kausalitas ………...… 59

3.4.4. Pengujian Model dengan One Step Approach ……… 60

3.4.5. Pengujian Model dengan One Step Approach-Modification... 60

3.4.6. Evaluasi Model ……… 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………... 65

4.1. Deskripsi Obyek Penelitian ……… 65

4.1. 1. Gambaran Umum Lingkungan Industri Batik di Surakarta … 65

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ……….. 67

4.2.1. Deskripsi Karakteristik Responden ……… 67

4.2.2. Deskripsi Variabel Inovasi Produk ……… 69

4.2.3. Deskripsi Variabel Kualitas Produk ……….. 70

4.2.3.1. Deskripsi Performance ……….. 71

4.2.3.2. Deskripsi Durabilitas ……… 72

4.2.3.3. Deskripsi Reliabilitas ……… 72

4.2.3.4. Deskripsi Estetika ………. 73

4.2.4. Deskripsi Variabel Ekuitas Merek ……… 74

4.2.4.1. Deskripsi Loyalitas Merek ……… 75

4.2.4.2. Deskripsi Kesadaran Merek ……….. 76

4.2.4.3. Deskripsi Asosiasi Merek ………. 77

4.2.5. Deskripsi Variabel Keunggulan Bersaing dan Indikatornya … 77 4.3. Analisis Data ……… 79

4.3.1. Evaluasi Outlier ………... 79

4.3.2. Evaluasi Reliabilitas ……… 81

4.3.3. Evaluasi Validitas ……… 83


(7)

4.3.4. Evaluasi Construct Reliability dan Variance Extracted …….. 84

4.3.5. Evaluasi Normalitas ……… 86

4.3.6. Analisis Model One-Step Approach to SEM ………. 88

4.3.7. Analisis Unidimensi First Order ……… 92

4.3.8. Analisis Unidimensi Second Order ……… 92

4.3.9. Uji Kausalitas ……….. 93

4.4. Pembahasan ………. 94

4.4.1. Pengujian Hipotesis Hubungan Inovasi Produk dengan Keunggulan Bersaing ……… 94

4.4.1. Pengujian Hipotesis Hubungan Kualitas Produk dengan Keunggulan Bersaing ……….. 95

4.4.1. Pengujian Hipotesis Hubungan Ekuitas Merek dengan Keunggulan Bersaing ……….. 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 99

5.1. Kesimpulan ………. 99

5.2. Saran ……… 99

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

(9)

Tabel 1.1. Data industri batik skala kecil dan menengah Surakarta ………… 9

Tabel 3.1. Goodness fit index ………. 64

Tabel 4.1. Karakteristik Responden berdasarkan Jumlah Karyawan ………... 68

Tabel 4.2. Karakteristik Responden berdasarkan Tempat Usaha ……… 69

Tabel 4.3. Frekuensi hasil jawaban responden mengenai inovasi produk ….. 70

Tabel 4.4. Frekuensi hasil jawaban responden mengenai performance .…… . 71

Tabel 4.5. Frekuensi hasil jawaban responden mengenai durabilitas ……….. 72

Tabel 4.6. Frekuensi hasil jawaban responden mengenai reliabilitas ..…….. 73

Tabel 4.7. Frekuensi hasil jawaban responden mengenai estetika …………... 74

Tabel 4.8. Frekuensi hasil jawaban responden mengenai loyalitas merek …... 75

Tabel 4.9. Frekuensi hasil jawaban responden mengenai kesadaran merek ... 76

Tabel 4.10. Frekuensi hasil jawaban responden mengenai asosiasi merek ….… 77 Tabel 4.11. Frekuensi hasil jawaban responden mengenai keunggulan bersaing……… 78

Tabel 4.12. Outlier data ……….. 80

Tabel 4.13. Reliabilitas data ……… 82

Tabel 4.14. Validitas data ……….. 83

Tabel 4.15. Construct reliability dan Variance extracted ……….. 85

Tabel 4.16. Normalitas data ……….. 87

Tabel 4.17. Evaluasi criteria Goodness of fit indices Model One-Step Approach-Base Model ………... 89

Tabel 4.18. Evaluasi criteria Goodness of fit indices Model One-Step Approach-Modifikasi ... 91


(10)

(11)

Gambar 2.1. Rantai nilai ………. 38 Gambar 2.2. Kerangka Konseptual………. 45 Gambar 4.1. Model Pengukuran & Struktural One Step Approach –

Base Model ………... 89 Gambar 4.2. Model Pengukuran & Struktural One Step Approach-

Modifikasi ……….. 90


(12)

LAMPIRAN 1. Kuisioner

LAMPIRAN 2. Hasil Analisis data


(13)

DI SURAKARTA

Oleh : Heru Waluyo 0612010305/FE/EM

ABSTRAKSI

Perputaran bisnis dan persaingan yang ketat mengharuskan perusahaan perlu menerapkan strategi yang tepat. Dalam strategi dijelaskan bagaimana perusahaan mencapai keunggulan bersaing. Berkaitan dengan pentingnya upaya meningkatkan keunggulan bersaing, terdapat beberapa alternative pendekatan yang perlu dilakukan perusahaan agar unggul dengan pesaing lain, yaitu dengan melakukan inovasi produk, memperbaiki kualitas produk dan menguatkan ekuitas merek. Tiga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1. Semakin banyak inovasi produk yang dilakukan, maka semakin meningkat keunggulan bersaing, 2. Semakin tinggi kualitas produk yang dihasilkan, maka semakin tinggi keunggulan bersaing, 3. Semakin tinggi ekuitas merek yang dimiliki, maka semakin tinggi keunggulan bersaing.

Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari menyebarkan kuisioner kepada UKM Batik di Surakarta sebanyak 100 kuisioner. Untuk pengujian data menggunakan analisis SEM (Struktural Equation Model). Teknik pengukuran variabel menggunakan skala interval, dengan memakai metode perbedaan semantic (semantic differentials scale).

Dari hasil uji kausalitas didapatkan hasil bahwa faktor inovasi produk berpengaruh positif tidak signifikan terhadap keunggulan bersaing, faktor kualitas produk berpengaruh positif tidak signifikan terhadap keunggulan bersaing, dan factor ekuitas merek berpengaruh positif tidak signifikan terhadap keunggulan bersaing.

Kata Kunci : Inovasi Produk, Kualitas Produk, Ekuitas Merek, dan Keunggulan Bersaing.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Industri perbatikan di Indonesia telah menempuh perjalanan sejarah yang cukup panjang, hingga mampu melewati ruang waktu di segala zaman. Batik telah menembus segala ruang sosial di sepanjang peradaban umat manusia. Indonesia patut berbangga karena bagaimanapun batik telah menjadi ikon nasional, setidaknya bagi penggemar dan pecinta batik itu sendiri. Predikat itu didasarkan pada sebuah alasan historis yang cukup kuat, di mana batik telah mewarnai perjalanan bangsa ini, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka dari semua bentuk imperialisme asing.

Kini, hampir semua orang di seluruh penjuru dunia telah mengenal dan bersinggungan langsung dengan batik. Mulai dari strata sosial di level paling atas hingga masyarakat di kelas paling bawah. Mulai dari kualitas yang paling mewah hingga kualitas yang paling rendah. Pada batiklah kini terdapat titik temu antara yang tua dan muda, antara yang dulu dan yang kini, antara yang atas dan yang bawah, dan antara tradisi dan modernitas. Juga antara yang sakral dan yang profan. Batik adalah medan perjumpaan yang unik, menarik, sekaligus memendam sebuah harapan besar.

Sewaktu batik masih didominasi oleh batik tulis, batik menempati kedudukan yang penting di dalam masyarakat. Motif batik bukan hanya


(15)

sekedar hasil karya seorang seniman batik, melainkan merupakan karya yang mempunyai nilai-nilai filosofis yang sangat mendalam. Batik waktu itu tidak terlepas dari kehidupan feodal dengan berbagai simbol-simbol dalam kehidupan. Batikpun menjadi hasil karya seni budaya. Kemudian batik meluas dan memasuki kehidupan masyarakat luas, sehingga bagi generasi berikutnya menjadi bagian dari warisan tradisional dan merupakan “keharusan” memiliki atau memakainya. Meluasnya pemakai atau konsumen batik mendorong pengusaha untuk dapat menyediakan batik dengan berbagai tingkat kualitas dan harga.

Industri batik Indonesia mempunyai potensi besar, tetapi juga harus disadari dalam era globalisasi ini berbagai permasalahan dan tantangan telah menghadangnya. Dari sisi pemasaran, adalah tantangan dari negara pesaing yang semakin meluas antara lain dari Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Afrika Selatan dan Polandia. Segi pemasaran batik Indonesia juga belum fokus untuk mengangkat batik Indonesia sebagai high fashion dunia. Usaha perlindungan HKI yang belum maksimal, mengakibatkan semakin banyaknya motif-motif batik tradisional yang ditiru oleh para perajin negara lain (www.kapanlagi.com, Download 25 Mei 2009)

Seandainya benar sinyalemen itu terjadi, berarti terdapat sindrome negatif dalam fenomena perbatikan nasional saat ini. Oleh sebab itu gejala ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan mengancam kematian industri perbatikan Indonesia di masa mendatang. Apalagi di tengah


(16)

ketatnya kompetisi global yang semakin terbuka. Malaysia bahkan telah mencanangkan program kembali ke batik sejak tahun 2003.

Malaysia telah mulai gencar mempromosikan batiknya ke sejumlah negara termasuk Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat. Padahal menurut Sulaiman Abdul Ghani, Ketua Batik International Research and Design Acces University of Technology MARA Malaysia, Malaysia baru mengenal batik pada tahun 1920-an khususnya di daerah Trenggano dan Kelantan yang sebenarnya bersumber dari Indonesia, terutama daerah Cirebon dan Pekalongan. Kemudian dijadikan industri pada tahun 1950-an, dan sejak tahun 1960-an baru ada identitas Malaysia-nya. Ironisnya lagi bahwa Malaysia baru mengenal canting pada tahun 1970-an. Memasuki tahun 1985 batik Malaysia terpuruk karena tidak ada inovasi desain dan pewarnaan. Namun kini Malaysia telah bangkit kembali, bahkan telah mulai ekspansi ke berbagai benua, (Kompas, 11 Desember 2005).

Industri batik juga dikejutkan dengan batik ilegal yang masuk ke pasar Indonesia pada tahun 2008. Produk selundupan yang sebagian besar berasal dari China itu diperkirakan mencapai Rp 290 miliar. Tahun 2007 lalu, nilai produksi batik nasional setara dengan Rp 2,9 triliun. Dari jumlah itu, maksimal 10% didistorsi akibat merambahnya produk ilegal asal China tersebut. Kedatangan batik asing ini langsung menggerus pangsa pasar batik yang selama ini menjadi tumpuan periuk nasi pengusaha local. Hal itu disampaikan Dirjen Industri Kecil dan Menengah Departemen


(17)

Perindustrian Fauzi Azis usai pembukaan Pameran Gelar Batik Nusantara di Gedung Departemen Perindustrian, Jakarta, Senin (8/9/2008) (www.indonesia.go.id, Download 29 Mei 2009)

Menurut Artisan batik Iwan Tirtaamidjaja, perkembangan batik di masa kini ibarat wine, esensinya semakin berkurang dan terus berkurang dari waktu ke waktu hingga akhirnya menjadi air. Demikian pula dengan batik, dari waktu ke waktu kualitasnya semakin berkurang, meski secara kuantitatif terus bertambah. Menurutnya, hal itu terjadi karena nilai filosofi batik telah mulai pudar terutama yang terjadi pada sejumlah produk batik printing yang dibuat asal-asalan sekadar untuk memenuhi permintaan pasar (www.kabarindonesia.com, Download 25 Mei 2009)

Oleh sebab itu, seluruh elemen industri perbatikan di Indonesia kini harus mulai bangkit dan bergerak serta melakukan beberapa langkah strategis untuk mengantisipasi terjadinya era persaingan terbuka secara total. Sebab tidak menutup kemungkinan, pada saatnya nanti industri perbatikan mancanegara akan “membatik" di pasar dalam negeri. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Malaysia dan China di atas, adalah fenomena nyata yang menandakan peta persaingan global industri perbatikan sudah mulai terbuka.

Dalam konteks ini maka yang akan berbicara adalah regulasi pasar, dimana kualitas dan keunggulan suatu produk akan sangat menentukan eksistensi produk itu sendiri. Untuk menghadapi tantangan tersebut, komitmen terhadap kualitas merupakan suatu kebutuhan dan hal yang


(18)

mendesak untuk dilaksanakan oleh perusahaan yang ingin mencapai sukses. Kualitas menjadi penting dalam banyak industri karena merupakan pembeda/deferensiator yang paling efektif bagi sejumlah produk (Supranto, 2003).

Kualitas merupakan pemahaman bahwa produk yang ditawarkan oleh penjual mempunyai nilai yang lebih yang tidak dimiliki oleh produk pesaing. Oleh sebab itu perusahaan perlu memfokuskan pada kualitas produk dan membandingkanya dengan produk yang ditawarkan oleh perusahaan pesaing. Akan tetapi, suatu produk dengan penampilan terbaik atau bahkan dengan penampilan yang lebih baik bukan lah merupakan produk dengan kualitas tertinggi jika tampilannya bukanlah yang diinginkan dan dibutuhkan oleh pasar.

Secara konsisten memberikan kualitas yang superior akan memungkinkan suatu perusahaan membangun sejumlah kekuatan penting seperti rintangan masuk yang kompetitif, loyalitas pelanggan, produk yang dibedakan, biaya pemasaran yang rendah, dan harga yang lebih tinggi. Hubungan yang dekat dengan pelanggan, disertai kualitas produk yang lebih tinggi dan service yang lebih cepat, dapat dipergunakan untuk memperoleh keunggulan bersaing (Supranto, 2003).

Pasar batik yang semakin melebar, serta dinamika selera masyarakat maka, perubahan dan perkembangan motif harus dilakukan secara cepat dan dalam waktu yang singkat. Siklus disain akan semakin pendek, dan pasar harus segera dibanjiri untuk mendapatkan pengembalian


(19)

investasi. Perusahaan-perusahaan besar, juga dalam TPT, akan berorientasi kepada budaya kontemporer barat, yang selalu berpandangan “ingin yang baru”, “lebih besar” atau “lebih bagus”. Oleh karenanya perusahaan akan menerapkan strategi planned obsolescence atau menjadi ketinggalan zaman atau tidak up to date, kedalam poduknya. Strategi “new” atau “improved” dilakukan. Hal ini tentu akan semakin mengancam para pelaku usaha batik yang rata-rata sebagai usaha kecil menengah jika tidak mampu mengikuti perubahan dan perkembangan pasar yang menuntut berbagai inovasi, baik inovasi melalui pengembangan produk atau peluncuran produk baru.

Mental sebagian pelaku usaha di industri ini yang merasa cukup mapan dan filosofi "alon-alon waton kelakon" tampaknya harus ditinjau ulang, karena sudah tidak relevan lagi dalam persaingan global. Sebab hal itu cenderung untuk membuat orang menjadi malas berkreasi dan berinovasi karena sudah merasa cukup dengan apa yang ada dan didapatkan saat ini. Jika cara berpikir seperti ini masih tetap dipertahankan, dikhawatirkan industri perbatikan kita akan dilibas oleh kompetitor manca negara.

Berkaitan dengan inovasi produk, pelaku usaha batik perlu memperluas lini produk yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa inovasi menjadi hal yang sentral dalam persaingan industri dan merupakan senjata yang tangguh untuk menghadapi persaingan (Avlonitis, et.al. 1994). Inovasi merupakan salah satu alternative bagi organisasi untuk


(20)

berkembang dan bertahan hidup dalam lingkungan yang dinamis dan bergejolak. Perusahaan yang tidak melakukan inovasi akan tertinggal oleh pesaingnya karena pelanggan perusahaan tersebut lambat laun akan meningkalkan dan beralih ke perusahaan pesaing. Inovasi juga memberikan kontribusi pada posisi bersaing suatu perusahaan yang pada akhirnya akan membawa perusahaan tersebut mencapai keunggulan bersaing (Hult dan ketchen, 2001)

Selain melakukan berbagai inovasi pada produk-produknya serta menawarkan produk yang berkualitas, pengusaha batik perlu membangun suatu merek yang kuat agar dapat menjadi pemimpin pasar. Dalam persaingan yang ketat, merek yang kuat merupakan suatu pembeda yang jelas, bernilai dan berkesinambungan, menjadi ujung tombak bagi daya saing perusahaan, dan sangat membantu dalam strategi pemasaran. Merek yang kuat memungkinkan tercapainya harga premium, dan akhirnya memberikan laba yang tinggi.

Merek yang kuat mempunyai ekuitas merek yang tingi yang mampu memberikan banyak keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Merek yang kuat menikmati tingkat kesadaran merek dan loyalitas konsumen yang tinggi, memberikan beberapa pertahanan kepada perusahaan dalam menghadapi persaingan harga yang keras (Kotler dan Armstrong, 2008: 282). Akhirnya kini hanya ada dua pilihan yang harus ditentukan sekarang kalau industri perbatikan Indonesia tidak ingin


(21)

tertinggal: melenggang sebagai pemenang atau mundur sebagai pecundang.

Sebagai entitas industri nasional, pengembangan perbatikan nasional harus memiliki road mape yang jelas sebagai kerangka acuan strategis. Sehingga orientasi pengembangan industri perbatikan berjalan sesuai arah dan tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian pengembangan industri perbatikan di Indonesia menjadi lebih fokus dan efektif. Sehingga diharapkan industri perbatikan Indonesia mampu menatap ke depan, melangkah maju untuk memenangkan persaingan terbuka dalam konteks percaturan global. Hal ini sekaligus menjadi entrypoint bagi industri Indonesia untuk mulai "membatik" dunia dengan penuh bijaksana.

Batik dalam pengertian yang berkembang di Indonesia dapat dimasukkan kedalam dua katagori, yaitu kerajinan dan TPT(Tekstil dan Produk Tekstil). Industri batik pada tahun 2006 berjumlah 48.287 unit usaha tersebar di 17 propinsi, dan menyerap tenaga kerja sebanyak 792.300 orang. Sedangkan nilai produksi mencapai Rp. 2,90 triliun dan nilai ekspor US$ 110 juta. Sedang beberapa data menunjukan bahwa Jawa Tengah memberikan kontribusi ekspor sekitar 30-35% dari ekspor nasional (www.leapidea.com, Download 19 Mei 2009)

Sementara itu, diwilayah Surakarta, industri batik di kota ini beberapa tahun terakhir ini juga mengalami berbagai masalah terutama pada usaha batik skala kecil menengah. UKM batik Surakarta selain


(22)

berhubungan langsung dengan konsumen akhir juga menerima pesanan dari pengecer dan toko-toko, baik dari wilayah Surakarta atau daerah-daerah lain di Indonesia bahkan sampai mancanegara. Namun pada beberapa tahun belakangan ini terjadi penurunan nilai produksi batik. Padahal jumlah unit usaha pada industri ini dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Berdasarkan data dari Disperindag Surakarta, pada tahun 2005 nilai produksi batik (juta rupiah) sebesar 5.434.929,13 kemudian pada tahun 2006 turun menjadi 5.367.688,15, meski pada tahun 2007 terjadi kenaikan menjadi 5.525.883,57 namun pada tahun 2008 kembali turun menjadi 4.388.536,98. Permasalahan ini semakin nyata karena jumlah unit usaha dalam industri ini terus menunjukkan peningkatan sementara nilai produksi menunjukkan kecenderungan menurun.

Tabel 1.1.

Data usaha kecil dan menengah batik Surakarta

No Tahun Jumlah Unit Usaha Nilai Produksi (juta)

1 2005 1.055 5.438.929,13

2 2006 1.146 5.367.688,15

3 2007 1.245 5.525.883,57

4 2008 1.340 4.388.536,98

Sumber : Disperindag Surakarta 2009

Menurunnya nilai produksi ini dikarenakan berkurangnya jumlah pesanan dari pelanggan. Penurunan ini terjadi karena produk usaha kecil


(23)

menengah batik Surakarta memiliki pesaing produk batik yang berasal dari daerah Pekalongan dan Jogjakarta yang memiliki produk batik dengan kualitas yang lebih baik. Selain dari Pekalongan dan Jogja, pesaing juga bertambah dengan masuknya batik Cina ke Indonesia yang berimbas pada beralihnya sebagian pelanggan ke produk impor tersebut yang mempunyai produk-produk yang inovatif.

Masa depan usaha kecil menengah batik Surakarta akan sangat ditentukan dengan pendekatan branding, peningkatan terhadap kualitas dan melakukan berbagai inovasi produk sebagai jalan untuk meningkatkan keunggulan bersaing pada industri ini. Sekarang dan masa mendatang Brand and Quality telah dan akan menjadi ciri utama globalisasi yang berlaku dimana saja. Dalam menghadapi persaingan global ini, mau tidak mau UKM Batik Surakarta harus memperhatikan hal tersebut diatas. Sedang dalam menghadapi pesaing China, maka rasionalisasi biaya produksi dengan berbagai inovasi perlu dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka rumusan masalah yang ditetapkan adalah sebagai berikut:

1. Apakah Inovasi produk mempunyai kontribusi dalam meningkatkan Keunggulan Bersaing Usaha Kecil Menengah Batik Surakarta?

2. Apakah Kualitas produk mempunyai kontribusi dalam meningkatkan Keunggulan Bersaing Usaha Kecil Menengah Batik Surakarta?


(24)

3. Apakah Ekuitas Merek mempunyai kontribusi dalam meningkatkan Keunggulan Bersaing Usaha Kecil Menengah Batik Surakarta?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :.

1. Untuk menganalisis kontribusi Inovasi produk dalam meningkatkan Keunggulan Bersaing Usaha Kecil Menengah Batik Surakarta.

2. Untuk menganalisis kontribusi Kualitas produk dalam meningkatkan Keunggulan Bersaing Usaha Kecil Menengah Batik Surakarta.

3. Untuk menganalisis kontribusi Ekuitas Merek dalam meningkatkan Keunggulan Bersaing Usaha Kecil Menengah Batik Surakarta.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan akan didapat dari penelitian yang dilakukan antara lain :

1. Bagi Perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai pertimbangan untuk meningkatkan nilai perusahaan untuk mencapai keunggulan bersaing.

2. Bagi Peneliti

Memberikan tambahan wawasan awal bagi penulis dalam menerapkan teori-teori yang telah diterima di perkuliahkan.


(25)

3. Bagi Ilmu Pengetahuan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan sebagai bahan pertimbangan serta sumbangan pemikiran bagi kalangan akademik maupun peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan masalah ini.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

1. L Lakhal (Journal of the Operational Research Sosiety Vol.60 2009 hal: 637-6453. Dengan judul “Impact of quality on competitive advantage and organizational performance”

Peningkatan kualitas yang efektif telah menjadi potensi berharga untuk mempertahankan keunggulan bersaing dan meningkatkan kinerja organisasi. Penelitian ini menerapkan dan mengembangkan konsep pada kerangka kerja yang menghubungkan kualitas, keunggulan kompetitif, dan kinerja organisasi. Data untuk studi ini dikumpulkan dari 74 perusahaan dan hubungan yang diusulkan dalam kerangka ini telah diuji menggunakan struktural equation modelling. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin meningkat kualitas produk dapat mengakibatkan semakin meningkat keunggulan bersaing dan meningkatkan kinerja organisasi.

Kontribusi pada penelitian adalah untuk memberikan dukungan empiris dampak langsung dan tak langsung pada kualitas produk terhadap kinerja organisasi dan keunggulan kompetitif di Tunisia. Sedangkan dalam penelitian skripsi ini, peneliti hanya ingin menguji dampak kualitas produk dalam meningkatkan keunggulan bersaing, tanpa


(27)

melibatkan kinerja organisasi. Persamaan yang lain dalam penelitian ini adalah sama-sama menggunakan SEM sebagai uji data.

2. W

asutida Nurittamont, Phapruke Ussahawanitchakit (International Journal of Business Strategy, May 2008)

Penelitian yang berjudul “The influences of brand equity in competitive advantage and performance of spa business in Thailand” bertujuan untuk meneliti dan menyelidiki pengaruh ekuitas merek dalam keunggulan kompetitif dan kinerja bisnis Spa di Thailand. Ekuitas merek adalah nilai tambah untuk produk dan layanan yang akan membantu perusahaan-perusahaan besar memperoleh keunggulan bersaing dan meningkatkan kinerja bisnis. Dalam penelitian tersebut, ada empat dimensi ekuitas merek yang meliputi kesadaran merek, loyalitas merek, asosiasi merek, dan apresiasi dari kualitas yang dipilih sebagai variabel independen. Hasilnya menunjukkan bahwa ekuitas merek memiliki hubungan positif signifikan dengan keunggulan kompetitif dan kinerja bisnis. Pada penelitian skripsi kali ini, peneliti hanya ingin mengetahui pengaruh equitas merek terhadap keunggulan bersaing tanpa melibatkan variabel kinerja bisnis.

3. R. Hurley dan G.T.M Hult (Journal of Marketing Vol.62, July 1998 hal: 42-54), dengan judul “Innovation, Market Orientation, and Organizational Learning: An Integration and Empirical Examination”.


(28)

Hurley dan Hult meneliti dengan menggunakan responden sebanyak 9648 karyawan di 56 perusahaan di Amerika untuk mengetahui karakteristik organisasi yang berimbas pada kapasitas inovasi perusahaan. Inovasi ini akan mempengaruhi kenggulan bersaing dan kinerja perusahaan sekaligus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kapasitas inovasi akan berpengaruh pada keunggulan bersaing dan kinerja perusahaan. Namun pada penelitian skripsi ini, peneliti hanya ingin mengetahui kontribusi inovasi terhadap keunggulan bersaing, tanpa melibatkan kinerja perusahaan dan karakteristik organisasi

4. Bharadwaj, Sundar G., P. Rajan Varadarajan, & John Fahy (Journal of Marketing Vol.57 October 1993; page : 88-99), dengan judul “Sustainable Competitive Advantage in Service Industries: A Conceptual Model and Research Propositions”.

Dalam penelitian ini Bharadwaj, dkk, menerapkan sebuah model keunggulan bersaing berkelanjutan. Dalam penelitian tersebut dijelaskan sumber-sumber potensial keunggulan bersaing yang mempunyai kontribusi terhadap posisi keunggulan bersaing. Sehingga dengan mengetahui posisi keunggulan bersaing akan dapat dirumuskan strategi bersaing yang bertujuan untuk mencapai keunggulan bersaing berkelanjutan dan dengan demikian dapat meningkatkan kinerja bisnis. Terdapat beberapa sumber potensial keunggulan bersaing diantaranya adalah inovasi, ekuitas merek, budaya organisasi, kualitas, keahlian organisasional, ketrampilan yang diimplementasikan, teknologi informasi dan lain-lain. Namun dalam


(29)

penelitian skripsi ini, peneliti hanya ingin mengetahui kontribusi inovasi, kualitas, dan equitas merek dalam meningkatkan keunggulan bersaing. 5. Hanny N. Nasution (Manajemen Usahawan Indonesia Th. XXXIV. No. 09

September 2005; hal : 42-48) dengan judul “Inovasi Organisasi : Konsep dan Pengukuran”.

Dalam penelitiannya , Hanny N. Nasution menerapkan konsep dan pengukuran inovasi organisasi. Tujuan utamanya adalah menginvestigasi validitas dan reliabilitas konstruk inovasi. Sebagai hasilnya, konstruk inovasi organisasi yang dibangun dalam penelitian tersebut valid dan reliable. Pada penelitian skripsi ini, peneliti mengadopsi konstruk dan indicator-indikator inovasi produk untuk mengukur variabel inovasi produk.

2.2. Landasan Teori 2.2.1. Konsep Pemasaran

Pemasaran adalah proses social dan manajerial dimana pribadi atau organisasi memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran nilai dengan yang lain (Kotler dan Armstrong 2008: 6). Dari demensi strategi, Cravens (1996: 22) menjelaskan bahwa pemasaran merupakan proses perencanaan dan penentuan konsep, harga, promosi dan distribusi ide, barang atau jasa yang bertujuan menciptakan pertukaran untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi. Terlihat bahwa pemasaran tak hanya proses menjual atau memperdagangkan barang dan jasa saja seperti yang banyak dikemukakan oleh banyak orang.


(30)

Lebih luas lagi, pemasaran mencakup penciptaan barang dan jasa dalam suatu proses social.

Konsep pemasaran pun semakin meluas. Kunci untuk mencapai tujuan organisasional yang ditetapkan adalah perusahaan tersebut harus menjadi lebih efektif dibandingkan para pesaing dalam menciptakan, menyerahkan , dan mengkomunikasikan nilai pelanggan kepada pasar sasaran yang telah dipilih (Kotler 2006 : 16). Lebih jauh lagi Kotler menjabarkan mengenai konsep pemasaran holistic (holistic marketing concept). Konsep pemasarn ini berdasarkan pada pengembangan, desain, implementasi program pemasaran, proses, dan aktifitas dari unit bisnis dan interdependensinya. Cravens (1996: 10) mengungkapkan konsep pemasaran menjadi pedoman penting dalam menjalankan bisnis dan menciptakan keunggulan bersaing. Jika seseorang tidak menginginkan atau membutuhkan barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan, maka konsumen itu tidak akan membelinya. Konsep pemasaran terdiri dari tiga elemen pokok:

a. Menjadikan kebutuhan dan keinginan konsumen menjadi tujuan bisnis. b. Menentukan bagaimana organisasi akan memenuhi kebutuhan dan

keiginan tersebut.

c. Mengupayakan kemampuan perusahaan untuk menyajikan kepuasaan bagi pelanggan dan mendapatkan keunggulan bersaing.

Kotler (2006: 16) juga menyebutkan bahwa konsep pemasaran holistic terdiri atas empat komponen yakni: relationship marketing,


(31)

integrated marketing, intern marketing, dan social responcsbility marketing. Relationship marketing bertujuan membangun tujuan jangka panjang dengan pelanggan, pemasok distributor, dan mitra lain. Dalam integrated marketing, pemasar menjalankan aktivitas pemasaran dan menyusun program pemasaran terpadu untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai bagi konsumen. Kesuksesan aktivitas pemasaran juga tergantung pada pekerja yang berada dibalik aktivitas tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi dan kerja sama antar pekerja pemasaran sebagai upaya intern marketing agar mampu melayani konsumen dengan baik. Sedangkan sosial responsibility marketing ditujukan karena baik perusahaan maupun konsumen merupakan bagian dari masyarakat.

Terlihat bahwa konsep pemasaran ini mempunyai perspektif yang luas. Dimulai dengan mengenali dan membangun hubungan dengan para stakeholder, menentukan aktivitas-aktivitas untuk menyajikan nilai, kemudian mengkoordinasikan pekerja dalam melayani konsumen, dan berinteraksi dengan lingkungan sdebagai bagian dari masyarakat. Salah satu konsep dari pemasaran holistk adalah mengintegrasikan aktivitas eksplorasi, penciptaan, dan penyampaian nilai yang bertujuan membangun kepuasan jangka panjang dan kesejahteraan para stakeholder.

Meskipun konsep pemasaran ini terlihat mudah , namun tak semua perusahaan berpedoman pada hal tersebut. Dengan melihat kebutuhan dan keinginan stakeholder kemudian mewujudkan serta menciptakan kepuasan


(32)

yang bisa menjadi asset utama, maka secara otomatis perusahaan telah menciptakan keunggulan bersaing.

2.2.2. Strategi Pemasaran

Untuk mencapai kinerja yang optimal, diperlukan strategi bisnis yang tepat. Strategi bisnis membahas bagaimana perusahaan mendapatkan posisi dalam pasar, menarik dan mempertahankan keunggulan bersaing, menjalankan operasi, dan mencapai target-target lainnya (Thompson 2003: 3). Strategi bisnis disusun berdasar perencanaan strategisnya untuk membuat unit bisnis itu menjadi lebih menguntungkan dengan mempertimbangkan prioritas pelanggan.

Dalam merencanakan perencanaan strategis, pemasar memegang kendali penting. Perusahaan harus mempertimbangkan bauran pemasaran produk yang dihasilkan serta kondisi pasar. Rencana pemasarn strategis penting dalam mengembangkan tujuan-tujuan perusahaan dan strategi pemasaran. Pemasaran strategis menentukan nilai yang ingin disampaikan pada konsumen, meliputi segmentation, targeting, dan positioning. Sedangkan penyampaian dan pengkomunikasian nilai tersebut, dilaksanakan berdasar apa yang telah ditetapkan dalam rencana pemasaran taktis.

Perusahaan hendaknya juga mengetahui bagaimana menyajikan nilai bagi konsumennya. Salah satu cara adalah dengan mengembangkan produk dan layanan baru. Pengembangan ini dilakukan dengan melakukan inovasi sebagai respon dinamika perubahan lingkungan.


(33)

Strategi pemasran menjelaskan bagaimana perusahaan mencapai dan mempertahankan keunggulan bersaing serta membangun sinergi. Dengan mengggali sumber daya yang dimiliki, perusahaan akan mendapatkan keunggulan bersaingnya. Namun, sumber daya tersebut harus bernilai bagi konsumen, unik dan sulit ditiru oleh pesaing. Keunggulan bersaing tercapai ketika konsumen cenderung memilih barang atau jasa perusahaan tertentu dibanding barang atau jasa pesaingnya.

2.2.3. Inovasi

Inovasi merupakan salah satu alternative bagi organisasi untuk berkembang dan bertahan hidup dalam lingkungan yang dinamis dan bergejolak (Cottam,2001 dalam Hanny, 2005). Karenanya, suatu perusahaan perlu menggiatkan aktivitas pemasaran dan inovasinya untuk mendapatkan kinerja yang optimal. Perusahaan yang tidak mau melakukan inovasi tentu akan tertinggal dari para pesaingnya.

Besar kecilnya inovasi yang dilakukan oleh suatu organisasi tergantung pada tingkat inovasi (innovativeness) organisasi tersebut. Hurley et. al. (1998) berpendapat bahwa inovasi adalah kapasitas atau kemampuan untuk memperkenalkan proses, produk atau jasa, atau ide baru dalam organisasi. Melalui inovasi, perusahaan bisa menjadi proaktif dalam mengeksplorasi peluang-peluang baru. Hult dan ketchen (2001) menambahkan inovasi memberikan kontribusi pada posisi bersaing suatu perusahaan yang pada akhirnya akan membawa perusahaan tersebut mencapai keunggulan bersaing. Inovasi juga menjelaskan upaya


(34)

pembelajaran dan perubahan yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk berkembang dan memasarkan produk barunya (Calantone dan Cavusgil, 2002).

Secara umum, inovasi dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu inovasi produk, inovasi proses, dan inovasi manajerial (Damanpour 1991). Lebih lanjut Damanpour menjelaskan inovasi produk dianggap sebagai barang atau jasa baru yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sedangkan inovasi proses didefinisikan sebagai elemen baru yang diperkenalkan dalam proses operasi barang atau jasa. Inovasi proses bisa berupa bahan baku, spesifikasi tugas, mekanisme kerja dan arus informasi, serta peralatan untuk proses produksi barang atau jasa. Inovasi manajerial berkaitan dengan struktur organisasi dan proses administrasi, metode kerja, kebijakan organisasi, dan prosedur lainnya untuk membiayai dan memasarkan barang atau jasa.

2.2.3.1. Inovasi produk

Damanpour (1991) menjelaskan, inovasi produk dianggap barang atau jasa baru yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Menurut Sanvik et. al. (2003) inovasi produk memiliki kemampuan untuk mempengaruhi permintaan pasar secara signifikan. Sanvik juga menyatakan bahwa inovasi produk tak hanya menawarkan produk baru kepasar (new-to-the-market) tapi juga penggunaan produk baru dalam internal perusahaan (new-to-the-firm). New-to-the-firm product adalah produk yang baru pertama kali diproduksi oleh perusahaan meskipun


(35)

perusahaan lain telah memproduksi produk serupa. Sedangkan new-to-the-market product digolongkan sebagai jenis produk baru dipasar karena memang produk tersebut belum pernah diproduksi atau ditawarkan sebelumnya.

Berdasarkan definisi inovasi diatas, produk baru dibedakan dalam enam kategori (Hooley 2004: 471-472) yaitu:

a. Cost reductions, barang atau jasa yang sama disajikan dengan biaya yang lebih rendah.

b. Repositioning, produk yang telah ada diarahkan pada segmen pasar yang baru.

c. Improvements, produk lama yang ditingkatkan atau diperbaiki kinerja dan nilainya

d. Additions, penambahan fitur pada produk yang telah ada sebagai suplemen e. New produk lines, lini produk baru bagi perusahaan untuk memasuki pasar

baru

f. New to the world products, tipe ini menciptakan pasar yang benar-benar baru.

Penemuan baru dan produk lini baru diidentifikasikan sebagai langkah maju dari produk dan jasa dalam zona yang beresiko tinggi. Perbaikan produk (improvement) dan additions merupakan produk dengan resiko relatif rendah, sedangkan pengurangan biaya dan reposisi produk atau kombinasinya merupakan pengembangan produk dengan resiko paling rendah.


(36)

Inovasi ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan nilai yang diharapkan oleh konsumen dengan nilai yang dikandung oleh suatu produk yang telah ada. Selisih kedua nilai tersebut merupakan area yang bisa dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menciptakan produk baru.

Tahapan didalam mengelola proses pengembangan gagasan dalam melakukan inovasi produk, ada delapan tahap yang harus dilalui (Kotler, 2006: 592) :

1. Pemunculan ide-ide yang dimunculkan tersebut layak untuk dipertimbangkan atau tidak

2. Penyaringan ide-ide yang diseleksi berdasarkan kesesuaian dengan tujuan strategi, dan sumber daya perusahaan

3. Pengembangan dan pengujian konsep, mencari konsep yang baik untuk produk yang membuat konsumen mau mencobanya

4. Pengembangan strategi pemasaran, strategi dalam pengembangan produk ini haruslah efektif dan dapat dicapai

5. Analisis bisnis, secara financial, produk baru ini harus dapat menghasilkan laba bagi perusahaan

6. Pengembangan produk, menganalisa apakah produk yang dikembangkan layak secara teknis dan komersial

7. Pengujian pasar, menguji kesesuaian antara penjualan produk dipasar dengan yang diharapkan

8. Komersialisasi, mengenalkan produk pada konsumen untuk meningkatkan penjualan.


(37)

Proses penerimaan konsumen terhadap suatu inovasi produk memerlukan waktu. Oleh karena itu perusahaan harus memahami proses penerimaan konsumen (consumer adoption process) untuk membangun suatu strategi yang efektif untuk penetrasi awal. Proses penerimaan konsumen ini kemudian diikuti dengan proses kesetiaan konsumen (consumer loyalty process), yang menjadi perhatian bagi perusahaan yang mapan.

2.2.4. Kualitas

Menurut American Sosiety of Quality Control, kualitas adalah totalitas fitur dan karakteristik produk atau jasa yang mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang dinyatakan atau disiratkan. Definisi ini mengesankan bahwa suatu perusahaan telah memberikan kualitas apabila produk dan jasanya telah memenuhi atau melebihi keinginan, persyaratan, dan harapan pelanggan.

Goetsch Davis dalam Yamit,Z (2002: 8) membuat definisi kualitas yang lebih luas cakupannya yaitu, kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pendekatan yang dikemukakan Goetscg Davis ini menegaskan bahwa kualitas bukan hanya menekankan pada aspek hasil akhir, yaitu produk dan jasa tetapi juga menyangkut kualitas manusia, kualitas proses dan kualitas lingkungan. Sangatlah mustahil menghasilkan produk dan jasa berkualitas tanpa melalui manusia dan proses yang berkualitas.


(38)

2.2.4.1. Kualitas Produk

Kotler dan Armstrong (2001: 354) arti dari kualitas produk adalah kemampuan suatu produk untuk melaksanakan fungsinya, meliputi daya tahan, keandalan, ketepatan, kemudahan operasional dan perbaikan, serta atribut bernilai lainya.

Kualitas produk merupakan pemahaman bahwa produk yang ditawarkan oleh penjual mempunyai nilai yang lebih yang tidak dimiliki oleh produk pesaing. Oleh sebab itu perusahaan berusaha memfokuskan pada kualitas produk dan membandingkanya dengan produk yang ditawarkan oleh perusahaan pesaing. Akan tetapi, suatu produk dengan penampilan terbaik atau bahkan dengan penampilan yang lebih baik bukan lah merupakan produk dengan kualitas tertinggi jika tampilannya bukanlah yang diinginkan dan dibutuhkan oleh pasar.

Berdasarkan perspektif kualitas, David Garvin dalam Yamit, Z (2002: 10) mengembangkan dimensi kualitas produk kedalam delapan dimensi yang dapat digunakan sebagai dasar perencanaan strategis bagi perusahaan, yaitu :

1. Realibility (Realibilitas), yaitu suatu produk akan bekerja dengan memuaskan atau tidak dalam jangka waktu tertentu. Realibilitas berhubungan dengan jumlah kerusakan yang dialami pelanggan sesudah pembelian suatu produk.

2. Durabilitas (Daya tahan), adalah berapa lama atau umur produk yang bersangkutan bertahan sebelum diganti. Semakin besar frekuensi


(39)

pemakaian konsumen terhadap produk maka semakin besar pula durabilitas produk.

3. Performance (Kinerja), berhubungan dengan karakteristik operasi dasar dari sebuah produk.

4. Esthetics (Estetika), berhubungan dengan bagaimana penampilan produk, bisa dilihat dari tampak, rasa, model/gaya, dan bentuk dari produk.

5. Conformance (Konformasi), yaitu suatu tingkatan dimana suatu desain produk dan karakteristik operasinya mendekati standar target.

6. Features (Fitur), adalah karakteristik produk yang dirancang untuk menyempurnakan fungsi produk atau menambah ketertarikan konsumen terhadap produk.

7. Serviceability (Pelayanan), yaitu kecepatan atau kemudahan untuk memperoleh reparasi produk.

8. Perceived quality (Kualitas yang dipersepsikan), pandangan kualitas berdasarkan konsumen, yang timbul dari pengalaman sebelum, selama, dan sesudah pembelian. Persepsi konsumen terhadap produk didapat dari harga, merek, periklanan, reputasi, dan negara asal produk.

Menurut David Garvin dalam Yamit (2002: 10), mengidentifikasi lima pendekatan perspektif kualitas produk yang dapat digunakan oleh para praktisi bisnis, yaitu:

1. Transcendental Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah sesuatu ayang dapat dirasakan, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan maupun diukur. Perspektif ini


(40)

umumnya diterapkan dalam karya seni seperti seni music, seni tari, seni drama dan seni rupa. Untuk produk dan jasa perusahaan dapat mempromosikan dengan mengunakan pernyataan-pernyataan seperti kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), kecantikan wajah (kosmetik). Definisi seperti ini sangat sulit untuk dijadikan sebagai dasar perencanaan dalam manajemen kualitas.

2. Product-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah suatu karakteristik atau atribut yang dapat diukur. Perbedaan kualitas mencerminkan adanya perbedaan atribut yang dimilliki produk secara objektif, tetapi pendekatan ini tidak dapat menjelaskan perbedaan dalam selera dan preferensi individual.

3. User-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang atau cocok dengan selera (fitness for used) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Pandangan yang subjektif ini mengakibatkan konsumen yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah kepuasan maksimum yang dapat dirasakannya.

4. Manufacturing-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah bersifat supply-based atau dari sudut pandang produsen yang mendefinisikan kualitas sebagai sesuatu yang sesuai dengan persyaratannya (conformance quality) dan prosedur.


(41)

Pendekatan ini berfokus pada kesesuaian spesifikasi yang ditetapkan perusahaan secara internal. Oleh karena itu yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, dan bukan konsumen yang menggunakannya.

5. Value-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Kualitas didefinisikan sebagai “affordable excellence”. Oleh karena itu kualitas dalam pandangan ini bersifat relative, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Produk yang paling bernilai adalah produk yang tepat beli.

2.2.5. Produk

2.2.5.1. Pengertian Produk

Kotler dan Armstrong (2001: 346), produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan kebutuhan.

Produk mencakup lebih dari sekedar barang berwujud (tangible) saja, melainkan juga termassuk barang tak berwujud (intangible). Dalam merencanakan penawaran produk perusahaan harus memperhatikan lima tingkatan produk (five levels of produk). Menurut Kotler (2001:348), produk terdiri dari lima tingkatan yakni : Core benefit, Generic product, Expected product, Augmented produk, dan Potential product.


(42)

1. Core Benefit

Tingkat produk yang paling dasar, jasa atau manfaat fundamental yang sesungguhnya dibeli konsumen. Pada tingkat ini perusahaan harus memandang dirinya sebagai penyedia manfaat bagi konsumennya.

2. Basic Product

Pada tingkatan ini perusahaan telah merubah manfaat inti menjadi produk dasar atau gambaran dasar dari suatu produk.

3. Expected Product

Pada tingkatan ini perusahaan menyiapkan sebuah produk yang diharapkan, sebuah kumpulan atribut dan kondisi yang biasanya diharapkan pembeli pada saat akan membeli produk.

4. Augmented Product

Perusahaan menyiapkan produk tambahan yang memenuhi harapan konsumen. Produk tambahan ini membuat perusahaan untuk melihat dari sudut pandang konsumen secara utuh. Pada tingkat produk ini akan dinilai oleh pembeli melalui manfaat tambahan yang ada dalam produk tersebut. 5. Potential Product

Adalah semua tambahan dan perubahan bentuk yang mungkin terjadi pada produk dimasa yang akan datang, maksudnya yaitu kemungkinan produk akan berkembang. Pada tingkat ini dimana perusahaan mencari berbagai cara untuk memuaskan konsumen dan mencari pembedaan atas tawaran mereka dengan pesaingnya.


(43)

2.2.5.2. Tahap-tahap Siklus Hidup Produk

Siklus hidup produk adalah suatu konsep penting yang memberikan pemahaman tentang dinamika kompetitif suatu produk. Siklus hidup produk dapat dibagi dalam empat tahap yaitu:

1. Perkenalan (introduction)

Suatu periode pertumbuhan penjualan yang lambat saat produk itu diperkenalkan dipasar. Laba belum diperoleh pada tahap ini karena biaya pengenalan produk sangat besar.

2. Pertumbuhan (growth)

Suatu periode penerimaan pasar yang cepat dan peningkatan laba yang pesat.

3. Kedewasaan (maturity)

Suatu periode dimana produk telah diterima oleh sebagian besar pembeli potensial, diperlukan biaya pemasaran yang besar untuk mempertahankan produk dalam menghadapi pesaing.

4. Penurunan (declaine)

Suatu periode ketika penjualan turun dan laba merosot. 2.2.6. Merek

Merek (brand) adalah nama, istilah, lambang, atau desain, atau kombinasi semua ini yang menentukan identitas produk atau jasa dari satu atau sekelompok penjual dan membedakan produk atau jasa tersebut dari produk atau jasa pesaing (Kotler dan Armstrong, 2001: 357). Beberapa analis memandang merek sebagai asset tetap dan utama perusahaan,


(44)

menjaga kelangsungan produk khusus dan fasilitas perusahaan. Merek merupakan elemen kunci dalam hubungan perusahaan dengan konsumen. Nilai nyata dari sebuah merek yang kuat adalah kekuatannya untuk menangkap preferensi dan loyalitas konsumen.

Pengertian merek menurut Aaker (1991: 7) adalah nama atau symbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu. Dengan demikian suatu merek membedakannya dari barang atau jasa yang dihasilkan oleh competitor.

Merek memberikan beberapa manfaat:

1. Merek memudahkan memproses pesanan dan menelusuri masalah.

2. Nama merek dan tanda merek memberikan perlindungan hukum atas cirri-ciri produk yang unik.

3. Merek memberikan kesempatan untuk menarik pelanggan yang setia dan menguntungkan. Kesetiaan merek memberikan perlindungan dari persaingan serta pengendalian yang lebih besar dalam perencanaan program pemasaran.

4. Merek membantu melakukan segmentasi pasar. 5. Merek yang kuat membantu membangun citra perusahaan, memudahkan

perusahaan meluncurkan merek-merek baru yang mudah diterima oleh para distributor dan pelanggan.


(45)

2.2.6.1. Ekuitas merek (Brand equity)

Menurut Aaker (1991: 15), ekuitas merek adalah seperangkat asset dan libialitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan.

Kotler dan Armstrong (2001: 357) Ekuitas merek adalah nilai dari suatu merek, menurut sejauh mana merek itu mempunyai loyalitas merek yang tinggi, kesadaran nama, kualitas yang diterima, asosiasi merek yang kuat, serta asset lain seperti paten, merek dagang, dan hubungan saluran.

Merek yang kuat mempunyai ekuitas merek yang tingi yang mampu memberikan banyak keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Merek yang kuat menikmati tingkat kesadaran merek dan loyalitas konsumen yang tinggi, memberikan beberapa pertahanan kepada perusahaan dalam menghadapi persaingan harga yang keras (Kotler dan Armstrong, 2008: 282)

Menurut Kotler (2000: 462) Ekuitas merek yang tinggi memberikan sejumlah keuntungan kompetitif:

1. Perusahaan akan menikmati biaya pemasaran yang lebih kecil karena kesadaran dan kesetiaan merek konsumen yang tinggi.

2. Perusahaan akan mempunyai posisi yang lebih kuat dalam negosiasi dengan distributor dan pengecer karena pelanggan mengharapkan mereka untuk menjual merek tersebut.


(46)

3. Perusahaan dapat mengenakan harga yang lebih tinggi daripada pesaingnya karena merek tersebut diyakini memiliki mutu yang lebih tinggi.

4. Perusahaan lebih mudah untuk meluncurkan perluasan merek karena merek tersebut memiliki kredibilitas tinggi.

5. Merek melindungi perusahaan dari persaingan harga yang ganas.

Aset dan liabilitas yang menjadi dasar ekuitas merek dilelompokkan menjadi lima kategori (Aaker 1991) yaitu :

1. Loyalitas Merek (Brand Loyalty)

Loyalitas merek merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek (Aaker 1991: 39). Ukuran ini memberi gambaran mungkin tidaknya seseorang pelanggan akan beralih ke merek lain. Bila kesetiaan merek meningkat maka akan bisa meredam serangan dari pesaing.

Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, loyalitas merek dapat menjadi asset strategis bagi perusahaan. Berikut ini adalah beberapa potensi yang dapat diperoleh dari loyalitas merek , dari sudut pandang perusahaan (Aaker 1991) :

a. Mengurangi biaya pemasaran b. Meningkatkan perdagangan c. Menarik minat pelanggan baru


(47)

2. Kesadaran Merek (Brand Awareness)

Menurut (Aaker 1991: 61) kesadaran merek adalah kesanggupan seseorang konsumen untuk mengenali, mengingat atau menyebutkan suatu nama merek produk tertentu sesuai dengan kategori/jenis produk tertentu. Peran kesadaran merek tergantung pada tingkatan pada pencapaian kesadaran dibenak konsumen, yang dapat dibagi menjadi:

a. Puncak pikiran (top of mind)

b. Pengingatan kembali merek (brand recall) c. Pengenalan merek (brand recognition) d. Tidak menyadari merek (unware of brand) 3. Asosiasi Merek (Brand Association)

Asosiasi merek adalah segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai sebuah merek (Aaker 1991: 109). Segala hal tersebut adalah kesan yang ditangkap atau muncul dibenak seseorang, kesan-kesan yang terkait merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek atau dengan semakin seringnya penampakan merek tersebut dalam strategi komunikasinya.

Berikut adalah hal-hal yang menunjukkan bagaimana asosiasi merek menciptakan nilai baik bagi perusahaan maupun para pelanggannya: a. Membantu proses penyusunan informasi

b. Membedakan suatu merek dengan merek lainnya. c. Alasan untuk membeli


(48)

d. Menciptakan sikap/perasaan positif e. Landasan untuk perluasan.

4. Kesan Kualitas Merek (Brand Perceived Quality)

Menurut (Aaker 1991: 85) Kesan kualitas didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan keinginan pelanggan. Kesan kualitas bisa dieksploitasi dengan cara mengenalkan berbagai perluasan merek, yaitu dengan menggunakan merek tertentu untuk masuk ke kategori produk baru.

5. Asset-asset Merek Lainnya

Keempat elemen ekuitas merek diluar asset-aset merek lainnya dikenal dengan elemen-elemen utama dari ekuitas merek, elemen ekuitas merek yang kelima secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut.

2.2.7. Keunggulan Bersaing

Menurut Porter keunggulan bersaing adalah jantung kinerja perusahaan dalan pasar bersaing. Keunggulan bersaing juga dapat didefinisikan sebagai keunggulan suatu perusahaan dibanding pesaingnya dalam hal biaya yang rendah dan deferensiasi (Porter, 1994: 3). Sedang menurut Kotler (2001: 322) bahwa keunggula bersaing adalah suatu keunggulan di atas pesaing dengan menawarkan nilai lebih kepada konsumen, baik melalui harga yang lebih rendah atau dengan menyediakan lebih banyak manfaat yang mendukung penetapan harga


(49)

lebih mahal. Namun Day dan Wensley (1998) memandang keunggulan bersaing sebagai suatu proses dinamis dari sumberdaya yang akan melahirkan keunggulan posisi dan berimbas pada kinerja juga keunggulan yang berkelanjutan. Jadi keunggulan bersaing tersebut terdiri dari tiga elemen yang saling berkesinambungan, yaitu sumber daya, keunggulan posisi, dan prestasi hasil akhir serta investasi laba untuk mempertahankan keunggulan.

Keunggulan bersaing perusahaan tergantung pada sumber daya yang memiliki tiga dimensi (Collis & Montgomery, 1995 dalam hooley et. al. 2004: 367) yaitu sumber daya tersebut bernilai bagi konsumen, sumber daya tersebut unik atau jarang bagi organisasi, dan sumber daya tersebut tidak dapat ditiru pesaing. Yang dimaksud sumber daya harus bernilai bagi konsumen ialah apa yang ditawarkan oleh perusahaan benar-benar dibutuhkan dan diinginkan oleh konsumen. Agar tetap unggul, sumber daya perusahaan juga harus unik atau jarang di mana tidak semua perusahaan terutama pesaing memilikinya, misalnya system distribusi yang berbeda. Sebelumnya, perusahaan harus mengetahui terlebih dahulu sumber daya yang dimilikinyan dan memunculkan kompetensi yang unik dan berbeda (distinctive competencies). Jika keunikan sumber daya ini dapat dipertahankan dari waktu ke waktu, maka perusahaan akan bisa mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage).


(50)

Selain bernilai bagi konsumen dan unik, sumber daya perusahaan hendaknya sulit atau bahkan tidak bisa untuk ditiru oleh pesaing , misalnya hak cipta, hak paten, dan asset fisik lain yang unik.

Perusahaan harus mengeksploitasi sumber daya yang dimiliki untuk mendapatkan posisi yang unggul dibanding pesaing-pesaingnya. Porter mengungkapkan dua keunggulan pokok yang bisa diterapkan perusahaan untuk meningkatkan daya saing. Yang pertama adalah keunggulan biaya yang dilakukan dengan mengurangi biaya namun tetap menjaga margin keuntungan. Selain keunggulan biaya, perusahaan juga bisa menerapkan keunggulan deferensiasi. Keunggulan deferensiasi berarti perusahaan melakukan aktivitas yang bernilai tambah yang disajikan dalam bentuk dan cara yang berbeda atau unik sehingga konsumen pun memberikan nilai superior.

Pencapaian keunggulan bersaing ini berkaitan dengan rantai nilai (Gambar 2.1), baik dari sudut perusahaan maupun konsumen. Rantai nilai disebut sebagai alat untuk mengidentifikasi cara-cara untuk menciptakan nilai bagi pembeli melalui aktivitas strategis yang ada didalamnya. Setiap aktivitas dalam rantai nilai dapat dijadikan sebagai sumber keunggulan bersaing.


(51)

Gambar 2.1 Rantai nilai

INFRA STRUKTUR PERUSA HA A N

M A NA JEM EN SUM BER D A YA

PENG EM BA NG A N TEKNO LO G I

PEM BELIA N

LO G ISTIK O PERA SI LO G ISTIK PEM A SA RA N PELA YA

KED A LA M PENJUA LA N NA N

Sumber: M.E.Porter, 1994. Keunggulan Bersaing Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul. Edisi Terjemah. Binarupa Aksara: Jakarta.

2.2.7.1. Keunggulan Biaya

Keunggulan biaya merupakan salah satu dari dua keunggulan yang diperkenalkan oleh Porter. Keunggulan biaya memungkinkan perusahaan untuk menekan struktur biaya dibawah pesaing namun tetap mempertahankan eksitensi barang atau jasanya dipasar. Dengan kata lain, keunggulan biaya terjadi jika biaya kumulatif dalam melakukan aktivitas nilai lebih rendah dari pesaing. Perusahaan bisa memilih strategi ini jika barang atau jasa yang dihasilkan merupakan produk komoditas atau tidak jauh berbeda dengan yang dihasilkan oleh pesaing.

Dengan unggul dalam biaya, perusahaan bisa mendapatkan kinerja diatas rata-rata industrinya. Keuntungan didapat dari harga yang sama atau bahkan lebih rendah karena biaya per unit murah. Selain itu, dengan harga


(52)

yang rendah perusahaan dapat meningkatkan penjualan dan memperluas pangsa pasar, bahkan dapat dengan mudah memasuki pasar baru. Strategi ini cocok digunakan bagi barang atau jasa yang konsumennya sensitive terhadap perubahan harga.

2.2.7.2. Keunggulan Diferensiasi

Suatu perusahaan juga bisa meraih keunggulan bersaingnya dengan melakukan diferensiasi. Membangun keunggulan diferensiasi berarti menciptakan sesuatu yang unik dalam pasar. Melalui strategi ini, seluruh kekuatan dan kemampuan perusahaan digunakan untuk menunjukkan cirri yang berbeda dari pesaing di mana hal tersebut dinilai tinggi oleh konsumen. Keuntungan diatas rata-rata bisa diperoleh perusahaan yang unggul dalam hal diferensiasi. Perusahaan mempunyai kekuatan untuk memasang harga premium untuk barang atau jasanya.

Diferensiasi dapat dikembangkan dengan melihat sumber keunikan yang terdapat disepanjang rantai nilai. Tak hanya itu, dalam rantai nilai pun akan bisa dieksploitasi differentiation driver lain sehingga peluang untuk melakukan diferensiasi semakin besar. Perusahaan yang ingin unggul dalam diferensiasi, harus mampu mengeksploitasi semua sumber diferensiasinya namun tetap menjaga keunggulan biaya.

Diferensiasi dianggap memiliki daya tahan yang besar jika produk yang ditawarkan sulit ditiru atau langka dipasar. Daya tahan tersebut dibangun dari identifikasi sumber nilai yang tepat dan keunikan yang tidak mudah ditiru oleh pesaing. Perusahaan juga perlu memperhatikan


(53)

diferensiasi yang diciptakannya. Tidak semua diferensiasi yang diciptakan bernilai bagi konsumen.

Menurut Craven (1996: 18) untuk memperoleh keunggulan bersaing, yang perlu diperhatikan adalah:

1. Prosesnya harus terfokus kepada konsumen.

2. Analisa kebutuhan atau keinginan yang sesuai segmen pasar.

3. Peluang untuk memperoleh manfaat, didapat dari selisih yang diinginkan konsumen dengan usaha pesaing untuk memuaskan mereka.

4. Peluang dapat diketahui dengan mencari atribut produk yang khusus, dimana permintaan pembeli ada yang tidak terpuaskan.

5. Analisis kepuasan konsumen harus mengidentifikasikan peluang-peluang yang lebih menjanjikan dalam penciptaan nilai yang unggul. 2.2.7.3. Pengukur Keunggulan Bersaing (Porter, Craven, Day & Wensley)

1. Nilai bagi Pembeli (Craven, Porter)

Keunggulan bersaing diperoleh dengan mencari aspek-aspek deferensiasi yang akan dinilai sebagai nilai superior oleh konsumen sasaran dan yang tidak mudah diduplikasikan oleh pesaingnya Cravens (1996: 34). Keunikan tidak mendorong tercapainya deferensiasi kecuali jika keunikan ini memiliki nilai bagi pembeli. Perusahaan yang berhasil melakukan deferensiasi selalu berusaha mencari cara menciptakan nilai bagi pembeli sehingga menghasilkan harga premi yang lebih tinggi daripada biaya ekstra yang telah dikeluarkan (Porter 1994: 120)


(54)

Penciptaan nilai ini bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penciptaan nilai secara langsung bisa melalui benefit yang ditawarkan dari penggunaan teknologi superior, pelayanan yang lebih baik, deferensiasi merek , dan sebagainya. Penerapan sistem kontrol biaya yang efektif pun bisa dijadikan alat untuk menciptakan nilai secara tidak langsung. Sistem tersebut akan menekan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan dan pada akhirnya akan berimbas pada harga yang lebih rendah.

2. Daya tahan terhadap peniruan (Porter)

Daya tahan diferensiasi ditentukan oleh dua hal: langgengnya nilai yang terlihat pembeli dan tiadanya peniruan dari pesaing (Porter 1994: 147). Adanya peniruan dari perusahaan lain akan berakibat pada berkurangnya keunggulan bersaing perusahaan tersebut. Selalu ada resiko bahwa kebutuhan atau persepsi pembeli akan berubah sehingga menghilangkan nilai pada bentuk tertentu deferensiasi. Pesaing bisa juga meniru strategi perusahaan bersangkutan atau mencari strategi baru yang lebih maju daripada strategi yang telah dipilih perusahaan itu.

3. Hambatan yang kompetitif bagi masuknya pesaing baru (Porter) Keunggulan bersaing juga ditandai dengan sulitnya pesaing baru untuk memasuki pasar serupa. Pesaing biasanya dipandang sebagai ancaman oleh kebanyakan perusahaan. Perhatian perusahaan pada umumnya dipusatkan untuk mencari cara memperbesar pangsa pasar dengan memperkecil pangsa pasar pesaing serta untuk mencari cara


(55)

mencegah masuknya pesaing baru kedalam pasar (Porter 1994: 190). Masuknya banyak pesaing baru akan mengakibatkan pasar dipenuhi produk-produk serupa, hal ini akan memungkinkan terjadinya perang harga yang akan berakibat pada menurunnya laba perusahaan, berkurangnya market share dan beralihnya konsumen ke produk pesaing.

Untuk bisa mencapai keunggulan bersaing berkelanjutan perlu diciptakan hambatan sehingga sulit bagi pesaing untuk melakukan imitasi. lambat laun akan terkikis dengan bertambahnya pesaing dan meningkatnya persaingan, sehingga perusahaan dituntut untuk terus menerus memperbaiki kompetensinya untuk mempertahankan keunggulan bersaing yang dimiliki.

4. Kemampuan mendapatkan laba (Porter, Day &Wensley)

Pendapat dari Porter (1994) yang mengatakan bahwa keunggulan bersaing merupakan jantung kinerja perusahaan. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa keunggulan bersaing dan kinerja perusahaan sesuatu yang tak terpisahkan. Rasionale dibalik pandangan ini bahwa perusahaan yang dapat mencapai keunggulan secara otomatis juga mempunyai kinerja yang superior. Apa yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan berarti juga bisa digunakan untuk mengukur keunggulan bersaing. Pendapat ini juga didukung oleh Day & Wensley (1998) bahwa keunggulan bersaing terdiri dari tiga elemen yaitu sumber daya, keunggulan posisi, dan prestasi hasil akhir. Salah satu komponen dari prestasi hasil akhir adalah kemampuan mendapatkan laba.


(56)

2.2.8. Hubungan antar Variable Penelitian

2.2.8.1. Hubungan Inovasi Produk dengan Keunggulan Bersaing

Semakin inovatif suatu produk maka nilai yang diberikan pada konsumen pun akan semakin tinggi dan tingkat deferensiasi yang ditawarkan pun makin tinggi pula. Oleh karena itu pula, makin besar kapasitas inovasi organisasi makin besar pula keunggulan bersaingnya (Hurley dan Hult, 1998)

Keunggulan bersaing dapat dihasilkan dari inovasi yang konsisten dengan perusahaan, dan menyediakan beberapa nilai nyata bagi pelanggan, secara langsung atau tidak langsung. (Foxall (1994), wolfe (1994), Rogers (1995), Gatignon dan Xuareb (1997), yang diringkas oleh Hoffman (2000). Hubungan ini semakin dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Bharadwaj, dkk (1993) bahwa inovasi produk sebagai sumber keungulan bersaing menjadi sangat penting untuk memperoleh keunggulan bersaing. Jadi, terdapat hubungan positif yang signifikan antara inovasi produk dan keunggulan bersaing.

2.2.8.2. Hubungan Kualitas Produk dengan Keunggulan Bersaing

Secara konsisten memberikan kualitas yang superior akan memungkinkan suatu perusahaan membangun sejumlah kekuatan penting seperti rintangan masuk yang kompetitif, loyalitas pelanggan, produk yang dibedakan, biaya pemasaran yang rendah, dan harga yang lebih tinggi. Hubungan yang dekat dengan pelanggan, disertai kualitas produk yang


(57)

lebih tinggi dan service yang lebih cepat, dapat dipergunakan untuk memperoleh keunggulan bersaing (Supranto, 2003).

Dalam jurnal yang ditulis Lakhal (2009) juga menunjukkan bahwa perbaikan kualitas berperan penting dalam meningkatkan keunggulan bersaing. Perusahaan dengan tinggat kualitas produk yang tinggi akan mempunyai tingkat keunggulan bersaing yang tinggi. Jadi, terdapat hubungan yang positif signifikan antara kualitas produk dan keunggulan bersaing.

2.2.8.3. Hubungan Ekuitas Merek dengan Keunggulan Bersaing

Seperti yang telah dikemukan sebelumnya, dalam jurnal Nurittamont dan Ussahawanitchakit (2008), terdapat hubungan positif antara ekuitas merek dengan keunggulan bersaing.

Merek merupakan pembeda suatu produk dari produk pesaing, dan equitas merek merupakan sumber potensial keunggulan bersaing (Gardner dan Levy (1955), Aaker (1991), Keller (1993)) yang diringkas dalam Hofman (2000).

Merek yang kuat mempunyai ekuitas merek yang tingi yang mampu memberikan banyak keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Merek yang kuat menikmati tingkat kesadaran merek dan loyalitas konsumen yang tinggi, memberikan beberapa pertahanan kepada perusahaan dalam menghadapi persaingan harga yang keras (Kotler dan Armstrong, 2008: 282).


(58)

2.3. Kerangka Konseptual X5.1 X7.2 X5.2 X6.2 X6.1 Loyalitas merek Asosiasi merek Kesadaran merek X7.1 Equitas Merek Inovasi Produk Kualitas Produk Keunggulan Bersaing Kemampuan mendapatkan laba (Y4) X1.1 X1.2 X2.1 X2.2

X3.1 Reliabili tas Durabili tas Perfor mance Estetis Hambatan yang kompetitif (Y3) Daya tahan thdp peniruan (Y2) Nilai bagi pembeli(Y1) X4.2 X4.1 X3.2 Penciptaan Produk baru (X8.1) Modifikasi Produk yang telah ada (X8.2)


(59)

2.4. Hipotesis

Berdasarkan studi pustaka tersebut, maka dapat dibentuk hipotesa :

H1: Semakin banyak Inovasi Produk yang dilakukan, maka semakin meningkat Keunggulan Bersaing UKM Batik Surakarta.

H2: Semakin tinggi Kualitas Produk yang dihasilkan, maka semakin tinggi Keunggulan Bersaing UKM Batik Surakarta.

H3: Semakin tinggi Ekuitas Merek yang dipunyai, maka semakin tinggi Keunggulan Bersaing UKM Batik Surakarta.


(60)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, serta untuk lebih dapat memahami isi dan agar konsep yang digunakan dalam penelitian ini dapat diukur dan untuk menghindari penafsiran makna yang berbeda atau adanya kesalahan dalam penafsiran konsepsi itu harus diberi definisi. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini diukur dengan skala interval untuk mendapatkan tanggapan tentang kontribusi inovasi produk, kualitas produk dan ekuitas merek dalam meningkatkan keunggulan bersaing pada industri batik. Variabel-variabel dalam penelitian ini akan dianalisis sebagai berikut :

3.1.1. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional menerangkan bagaimana mengukur atau mengoperasikan suatu konsep. Adapun operasional dan variabel-variabel penelitian ini adalah sebagi berikut :

1. Inovasi Produk

Inovasi didefinisikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau UKM batik dalam melakukan berbagai pembaruan atau modifikasi pada produk batik. Inovasi produk meliputi intensitas


(61)

penciptaan/pengadaan produk baru, modifikasi, pembaruan materi bahan baku, model, dan bentuk fisik lainnya.

Dalam industri batik, inovasi produk bisa berupa desain atau model batik baru, penciptaan jenis batik.

Untuk mengukur inovasi produk, digunakan 2 item pernyataan yang diadopsi dari penelitian Hanny N. Nasution (2005).

Adapun indikatornya sebagai berikut :

1. penciptaan produk baru yang dilakukan perusahaan 2. memodifikasi produk yang telah ada.

2. Kualitas Produk

Kualitas produk didefinisikan sebagai kemampuan produk batik untuk melaksanakan fungsinya, baik yang tersirat atau yang dinyatakan. Pada industri batik, Batik yang berkualitas merupakan pemahaman bahwa batik tersebut tidak luntur (toleransi kelunturan 1x pencucian), mempunyai derajat kesusutan tidak lebih dari 3%, harga sesuai dengan jenis bahan dan kesulitan dalam membuat. Dalam konsep kualitas produk dimensi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Performance (Kinaerja) adalah kemampuan produk batik berdasarkan bahan dasar produk yang meliputi :

a. kain yang digunakan untuk batik tidak panas dipakai b. produk batik merupakan pakaian yang nyaman

2. Durabilitas (Daya tahan) adalah keawetan produk batik atau sampai berapa lama produk batik dapat terus dipakai.


(62)

a. produk batik tidak cepat ketinggalan jaman

b. produk batik mempunyai keawetan pada kain yang tidak mudah susut.

3. Reliabilitas (Kehandalan) adalah berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan pada waktu pemakaian atau produk bekerja sangat memuaskan sesuai janji produk.

a. Mutu batik tidak mudah berubah dari waktu ke waktu untuk jangka yang lama.

b. produk batik tidak mudah luntur

4. Esthetics (Estetika) adalah corak, kesesuaian motif, nilai seni yang terkandung pada produk batik yang meliputi :

a. corak batik sangat menarik

b. perpaduan motif batik sangat sesuai 3. Ekuitas Merek

Ekuitas merek adalah nilai pada merek batik, batik yang mempunyai ekuitas merek yang tinggi akan lebih mudah dijual dan harga yang ditawarkan juga lebih bagus karena popularitasnya dikenal oleh pelanggan, dikenal oleh pesaing diwilayah tempat pemasarannya (Surakarta), dalam konsep ekuitas merek dimensi yang digunakan :

1. Loyalitas merek adalah keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek a. intensitas pembelian terhadap merek

b. rekomendasi pelanggan ke orang lain untuk menggunakan merek


(63)

2. Kesadaran merek merupakan popularitas merek karena mudah dikenali atau diingat oleh pelanggan.

a. pengenalan merek

b. pengingatan kembali merek

3. Asosiasi merek merupakan segala hal yang berkaitan yang dihubungkan mengenai merek

a. asosiasi yang dihubungkan dengan pesaing b. asosiasi yang dihubungkan dengan kelas produk. 4. Keunggulan Bersaing

Keunggulan Bersaing adalah keunggulan yang dimiliki suatu perusahaan batik diantara para pesaingnya dalam memberikan nilai lebih kepada konsumennya, kemampuan bertahan dalam industri batik dan kemampuan menghasilkan laba yang lebih baik dari pesaingnya.

Adapun indikatornya sebagai berikut : 1. Nilai bagi pembeli

Merupakan nilai yang diberikan kepada konsumen dalam membeli suatu produk batik. Nilai ini bisa berupa harga yang lebih murah, kebanggaan atau terpenuhinya kebutuhan konsumen sesuai yang diharapkan.

2. Daya tahan terhadap peniruan

Dalam mempertahankan eksistensi dalam sebuah industri, perusahaan harus mempunyai kemampuan didalam produknya hal yang sulit untuk ditiru oleh pesaing. Dalam hal ini bisa dalam bentuk membuat produk


(64)

batik yang unik dan jarang ditemui dipasar/jarang dipunyai perusahaan lain.

3. Hambatan yang kompetitif

Didefinisikan sebagai minimnya pesaing baru yang memasuki jenis usaha ini, karena tingginya tingkat persaingan. Pesaing baru tidak berani masuk karena merasa tidak akan bisa menandingi perusahaan yang sudah ada..

4. Kemampuan mendapat laba

Didefinisikan sebagai kemampuan UKM Batik dalam mendapatkan keuntungan dari menjual produk batiknya. Batik yang bermutu bagus akan dicari banyak konsumen dan dengan sendirinya akan mendapatkan posisi tawar yang tinggi bagi penjual untuk mendapatkan laba yang lebih tinggi.

3.1.2. Pengukuran Variabel

Dalam pengukuran ini skala pengukuran yang digunakan adalah skala interval yang menyatakan kategori, peringkat serta jarak construk yang diukur dengan metode jenjang selisih semantic (semantic differential scale) yang berisikan pernyataan sikap menggunakan skala penilaian tujuh butir yang menyatakan secara verbal dua kutub (bipolar) penilaian ekstrim. Dua ekstrem yang menyatakan dalam metode ini antara lain dapat berupa penilaian mengenai : Baik-buruk, Kuat-lemah, Modern - kuno. Responden diminta mengisi ruang semantic yang tersedia untuk merelokasikan seberapa dekat responden terhadap subyek, obyek atau kejadian tertentu


(65)

penilaian yang ekstrem. Metode pengukuran ini umumnya digunakan untuk mengetahui sikap penilaian responden terhadap merek dagang, produk, identifikasi perusahaan, pekerjaan individu tertentu dan dimensi construct yang lain-lain.

Dalam skala interval digunakan jenjang tujuh atau setiap pertanyaan diukur dalam 7 skala antara angka 1 sampai dengan angka 7

yang dapat digambarkan sebagai berikut : 1 7

Sangat tidak setuju Sangat setuju

Semakin kekiri, maka berarti responden tersebut semakin tidak setuju. Sedangkan apabila responden memilih angka semakin kekanan berarti semakin setuju.

3.2. Teknik Penentuan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi adalah gabungan dari seluruh elemen yang berbentuk peristiwa, hal atau orang yang memilki karakteristik yang serupa yang menjadi pusat perhatian seorang peneliti karena itu dipandang sebagai sebuah semesta penelitian (Ferdinand,2006: 223). Dalam penelitian ini yang menjadi target populasi adalah UKM batik di wilayah Surakarta yang berjumlah 1.340 Unit.

3.2.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2003: 91). Teknik pengambilan sampel


(66)

dalam penelitian ini adalah non-probability sampling (penarikan sampel tidak secara acak) yaitu tekhnik yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsure atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2003: 95).

Jenis sampel yang digunakan adalah Convenience sampling yaitu suatu tekhnik penentuan sampel berdasarkan kemudahan, pada tekhnik ini peneliti hanya sekedar menghentikan atau mendatangi orang yang bersedia untuk menjawab pertanyaan peneliti (Ferdinand, 2006: 232). Dalam hal ini sampel terdiri dari UKM Batik yang mudah dijumpai dan mudah bagi peneliti untuk melakukan wawancara atau mengajukan daftar pertanyaan. Sedangkan yang menjadi responden adalah pemilik usaha atau karyawan (bagian pemasaran) yang mampu memberi informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pengecualian untuk Variabel ekuitas merek, responden adalah konsumen UKM Batik Surakarta.

Pedoman pengukuran sampel menurut Ferdinand (2002: 48) :

a. 100-200 sampel untuk teknik Maximum Likelihood Estimation.

b. Tergantung pada jumlah parameter yang diestimasi. Pedomannya

adalah 5-10 kali jumlah parameter yang diestimasi.

c. Tergantung pada jumlah indicator yang digunakan dalam

seluruh variabel laten. Jumlah sampel adalah jumlah indicator dikali 5-10. Bila terdapat 20 indikator, maka besarnya sampel adalah 100-200.


(1)

Untuk Variabel Ekuitas Merek di isi oleh Konsumen UKM Batik Surakarta III. Variabel Ekuitas Merek (X3)_

a. Loyalitas Merek (X3.1)

1. Saya sering membeli produk batik dengan merek yang dipunyai UKM batik Surakarta.

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju

2. Saya merekomendasikan kepada orang lain untuk membeli produk batik dengan merek yang dipunyai UKM batik Surakarta.

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju

b. Kesadaran Merek (X3.2)

1. Saya mengenal merek-merek batik yang dipunyai UKM batik Surakarta.

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju

2. Merek UKM batik Surakarta lebih saya ingat dibanding merek dari produsen lain.

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju


(2)

1. Merek-merek batik UKM batik Surakarta merupakan produk yang lebih baik dibanding merek batik dari daerah lain.

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju

2. Merek UKM batik Surakarta merupakan produk yang berkualitas.

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju IV. Variabel Keunggulan Bersaing (Y)

1. Nilai bagi pembeli yang membeli batik kami adalah terciptanya kepuasan dan kebanggaan terhadap produk kami.

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju

2. Batik kami merupakan batik yang unik dan jarang dipunyai pesaing lain.

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju

3. Banyak pesaing baru yang tidak berani untuk terjun pada usaha ini karena tingkat persaingan yang ketat.

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju


(3)

4. Kami mendapatkan keuntungan yang cukup baik dari produk yang kami jual.

1 7 Sangat tidak setuju Sangat setuju


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aaker, David A. (1991). Managing Brand Equity. The Free Press, New York. Anderson, J.C. and D.W. Gerbing, 1988. Structural Equation Modeling in

Practice : A Review and Recommended Two-Step Approach, Psycological Bulletin. 103 (3) : 411-23.

Avlonitis, G.J. & N. Tzokas (1994),”Assessing the innovatievness of organization and its antecedents: project innovstrat”. European Journal of Marketing, 28(11), 5-28.

Bentler, P.M. and C.P. Chou, 1987. Practical Issue in Structural Modeling, Sociological Methods and Research. 16 (1) : 78-117

Bharadwaj, Sundar G., P. Rajan Varadarajan, & John Fahy,” Sustainable Competitive Advantage in Service Industries: A Conceptual Model and Research Propositions”. Journal of Marketing Vol.57 October 1993; p: 88-99.

Calantone, Roger J dan S. Tamer Cavusgil. 2002, “Learning orientation, Firm Innovation Capability, and Firm Performance”. Journal of Research in Marketing. Vol. 21, p: 179-200.

Cravens, David W. 1996. Pemasaran Strategis. Edisi keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Damanpour, F. 1991, “Organizational Innovation: A Meta Analysis of Effects of Determinants and Moderators”. Academy of Management Journal. Vol. 34(3), p: 555-590.

Day, George S. dan Robin Wensley. 1998, “Assessing Advantage: A Frame work for Diagnosing Competitive Superiority”. Journal of Marketing. P: 30. Ferdinand, A.T. 2002. Structural Equation Modelling dalam Penelitian

Manajemen: Aplikasi Model-model Rumit dalam Penelitian untuk Tesis Magister dan Disertasi Doktor. Semarang: BP UNDIP.

---. 2006. Metode Penelitian Manajemen Pedoman Penelitian Untuk Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Ilmu Manajemen. Semarang: BP UNDIP

Handi, Irawan. 2005, “Bisnis Strategi Dan Pemasaran Implikatif” . (http://ms.rekayasa.com, Download 15 Oktober 2009)


(5)

Hair et. al. 1998. Multivariate Data Analysis. 5th Edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.

Hartline, Michael D. and O.C. Ferrell [1996], “The Management of Customer-Contact Service Employees : An Empirical Investigation”, Journal of Marketing. 60 (4) : 52-70.

Hoffman, Nicole P. 2000, “An Examnination of The Sustainable Competitive Advantage Concept: Past, Present, and Future”. Academy of Marketing Science Review vol. 4.

Hooley, Graham, John Saunders, dan Nigel Piercy. 2004. Marketing Strategy and Competitive Positioning. 3rd Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Hult, G. T. M. dan David J. Ketchen Jr. 2001. “Does Market Orientation Matter? A Test of the Relationship between Positional Advantage and Performance”. Strategy Management Journal. Vol. 22 (9), p: 899-906. Hurley, R., & Hult G. T. M. 1998. “Innovation, Market Orientation, and

Organizational Learning An Integration and Empirical Examination”. Journal of Marketing. Vol. 62, p: 42-54.

Kotler, Philip. 2001. Manajemen Pemasaran, Jilid 2. Jakarta: Prenhalindo.

--- dan Armstrong, Gary. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Edisi Kedelapan, jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.

---dan Armstrong, Gary. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Edisi Kedelapan, jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

--- dan Kevin Lane Keller. 2006. Marketing Management . 12thEdition. New Jersey: Prentice Hall Inc.

L Lakhal. “Impact of quality on competitive advantage and organizational”. Journal of the Operational Research Sosiety Vol.60 2009 hal: 637-645. Nurittamont , Wasutida dan Ussahawanitchakit, Phapruke. 2008. “The influences

of brand equity in competitive advantage and performance of spa business in Thailand”. International Journal of Business Strategy.

Nasution , Hanny N. 2005. “Inovasi Organisasi: Konsep dan Pengukuran”. Manajemen Usahawan Indonesia Th. XXXIV. No. 09. Hal : 42-48. Jakarta.

Porter, M. E. 1994. Keunggulan Bersaing Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul. Edisi Terjemah. Jakarta: Binarupa Aksara.


(6)

Purwanto, BM, 2003. Does Gender Moderate the Effect of Role Stress on Salesperson's Internal States and Performance ? An Application of Multigroup Structural Equation Modeling [MSEM], Jurnal Manajemen, Akuntansi dan Ekonomi Pembangunan, Buletin Ekonomi FE UPN "Veteran" Yogyakarta. 6 (8) : 1-20

Ramelan, Rahardi. 2007. “Industri Batik dan Permasalahannya”.

www.leapidia.com. (Download 19 Mei 2009)

Sanvik, Izabela Leskiewics dan Kare Sandvik. 2003. “The Impact of Market Orientation on Product Innovativeness and Business Performance”. International Journal of Research Marketing. Vol. 20, p: 355-376.

Sugiyono, 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV Alfabeta.

Supranto, J. 2003. “Memperoleh Keunggulan Bersaing Melalui Kualitas dan Service Pelanggan pada Jasa Perbaikan Barang Elektronik di Jawa Barat”. www.yai.ac.id/UPI/penelitian%5Cmakalah8.doc. (Download 2 Juni 2009)

Tabachnick B.G. and Fidel, L.S., 1996, Using Multivariate Statistics, Third Edition, Harper Collins College Publisher, New York

Thomson, Arthur A., Strickland, John A. 2003. Strategy Management: Conceps and Cases. 13thEdition. McGraw Hill.

Zulian, Yamit. 2004. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Yogyakarta: Ekonisia.

www.indonesia.go.id (Download 29 Mei 2009) www.kabarindonesia.com (Download 25 Mei 2009) www.kapanlagi.com (Downnload 25 Mei 2009) www.leapidea.com (Download 19 Mei 2009)