Kemampuan mengelola emosi pada anak dari keluarga broken home (studi kasus).
i
KEMAMPUAN MENGELOLA EMOSI PADA ANAK DARI KELUARGABROKEN HOME
(Studi Kasus) SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh : Betharia Limbong
NIM : 121114067
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2017
(2)
(3)
(4)
iv
HALAMAN MOTO
Bersukacitalah dalam Pengharapan
Sabarlah dalam Kesesakan
Dan Bertekunlah dalam Doa
(5)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya sederhana ini kepada:
Tuhan Yang Maha Esa beserta Bunda Maria
Kepada orang tuaku , keluarga, para sahabat yang telah
memberikanku dukungan dan semangat, hingga penyusunan
(6)
(7)
(8)
viii ABSTRAK
KEMAMPUAN MENGELOLA EMOSI PADA ANAK DARI KELUARGABROKEN HOME
(Studi Kasus) Betharia Limbong
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2017
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan mengelola emosi anak yang berasal dari keluarga broken home (Studi Kasus). Pertanyaan peneliti adalah 1). Bagaimana cara anak dari keluarga Broken Home mengendalikan emosi ketika mengalami masalah di lingkungan sekitar, 2). Bagaimana anak Broken Home yang memiliki masalah dapat mengendalikan emosinya, saat teman sebaya mengucapkan perkataan tidak baik kepadanya.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif, Metode studi kasus pengumpulan data yang digunakan observasi dan wawancara mendalam. Informasi didapatkan dari ketiga sumber yaitu orang tua subjek, subjek, dan sahabat subjek. selama penelitian peneliti melakukan observasi di tempat bermain dan di rumah subjek. Jumlah subjek 2 orang yaitu D dan S yang berjenis kelamin perempuan, kedua subjek tersebut sudah tidak melanjutkan pendidikan.
Hasil penelitin ini menunjukkan bahwa: 1). Saat subjek D mengalami masalah dengan lingkungan sekitar dan saat teman sebaya mengucapkan perkataan tidak baik kepada subjek akan tetapi subjek mampu mengelola emosi dengan cara menenangkan pikiran di tempat yang nyaman, melakukan aktivitas, bermain, curhat dengan ibu, berdoa, menangis, bersabar dan menegur ketika teman mengucapkan perkataan tidak baik kepada subjek. 2) subjek S juga mampu mengelola emosi dengan cara diam, main game di HP, bermain, jalan-jalan, menangis, mendengarkan musik, berdoa, bermain, melakukan aktivitas dan jalan-jalan ke pantai. kedua subjek dari keluarga Broken Home ini memiliki kemampuan mengelola emosi dengan cara yang berbeda-beda, hal ini dikarnakan subjek tidak ingin mencari masalah, mendengarkan perkataan ibu, dan bibi serta tidak ingin persahabatannya renggang.
(9)
ix ABSTRACT
EMOTION MANAGEMENT ABILITY OF BROKEN-HOME CHILDREN (Case Study)
Betharia Limbong
Sanata Dharma University Yogyakarta 2017
This research was to find a description of emotion management ability of broken-home children (case study). It was aimed to find 1). How a broken-home child manages emotion when faced with problems from the surroundings, 2). How a broken-home child who has problems can manage one’s emotion when one’s peers say something unpleasant to one.
This was a qualitative research. Data collecting methods were in-depth observation and interview. Information was gathered from three sources, i.e. the subject’s parents, neighbors, and close friends. During the research, the author did an observation at the subject’s home and where the subject hangs out. The subjects were 2 females called D and S. Those subjects were dropped out.
The result of this research showed that: 1). When D had problems with the surroundings and when her peers said something unpleasant to her, she could manage her emotion by calming her mind at a comfortable place, doing some activities, playing, confiding in her mother, praying, crying, trying to be patient, and reprimanding her peers for saying something unpleasant to her. 2). The subject S could also manage her emotion by keeping silent, playing games on her cell phone, taking a stroll, crying, listening to music, praying, playing, doing some activities, and visiting the beach. The research showed that both subjects, from broken-homes family, had different abilities to manage emotion. This was due to subjects did not want troubles, and they wanted to listen to their mother and aunt, and they did not want their friendship to be disturbed.
(10)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan atas kasih dan
karunianya. Karena skripsi yang berjudul “ Kemampuan Mengelola Emosi Anak
yang Berasal dari Keluarga Broken Home” ini dapat terselesaikan. Skripsi ini tidak
akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini peneliti hendak mengucapkan kepada:
1. Rohandi, Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
2. Dr. Gendon Barus, M. Si. Selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan
Konseling Universitas Sanata Dharma
3. Drs. Robertus Budi Sarwono, M.A. Selaku Dosen Pembimbing yang
sangat membantu peneliti melalui bimbingan, arahan, kesabaran, waktu,
kritikan, saran, serta semangat sehingga peneliti termotivasi untuk
menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah
memberikan banyak tambahan pengetahuan dalam proses perkuliahan.
5. Mas Moko yang selalu setia dan sabar membantu peneliti dalam hal surat
menyurat dan administrasi lainnya.
6. Ibuku tercinta Murtina Siboro yang selalu setia dengan cinta dan kasih
sayangnya untuk mendukung, memberikan perhatian, dan mendoakan
(11)
xi
7. Bapakku tercinta Alm. Alexander Limbong yang sudah mendidik peneliti
dengan baik walaupun tidak sepenuhnya, setidaknya peneliti pernah
merasakan kasih sayang dan perhatiannya di waktu itu. Miss you my father.
8. Keluargaku yang tercinta selalu memberi motivasi, perhatian dan kasih
sayangnya kepada peneliti.
9. Kedua subjek yang telah menerima dan mengijinkan peneliti untuk
melakukan penelitian.
10. Teman-teman Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan 2012,
yang telah memberikan dukungan, perhatian, kerjasama, dan belajar
bersama.
Penulis menyadari bahwa masih ada banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Tetapi penulis tetap berharap semoga skripsi ini bermanfaat
(12)
xii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
MOTO DAN PERSEMBAHAN iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vi
ABTSRAK vii
ABSTRACT viii
KATA PENGANTAR ix
DAFTAR ISI xi
DAFTAR LAMPIRAN xiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Indentifikasi Masalah 5
C. Batasan Masalah 6
D. Pertanyaan Penelitian 6
E. Tujuan Penelitian 6
F. Manfaat Penelitian 6
G. Definisi Istilah 8
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Pengelolaan Emosi
1. Pengertian Emosi 9
(13)
xiii
3. Kemampuan Mengelola Emosi 12
4. Aspek-aspek Kemampuan Mengelola Emosi 13 5. Faktor-faktor Kemampuan Mengelola Emosi 15
6. Ciri-ciri Kemampuan Mengelola Emosi 16
B. Hakikat Keluarga
1. Pengertian Keluarga 17
2. Fungsi-fungsi Keluarga 19
3. Anak dan Perkembangan Emosi 20
4. Karakter Perkembangan Anak 21
5. Tugas-tugas Perkembangan Masa Usia Sekolah
Dasar 23
C. HakikatBroken Home
1. PengertianBroken Home 25
2. Penyebab KeluargaBroken Home 26
3. Dampak KeluargaBroken Home 26
D. Kajian Penelitian Relavan 27
E. Kerangka Pikir 29
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian 31
B. Waktu dan Tempat Penelitian 32
C. Subjek Penelitian 32
D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data 32
1. Wawancara 32
(14)
xiv
E. Keabsahan Data 34
F. Teknik analisis Data 35
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data 36
B. Analisis Data 37
C. Pembahasan 56
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
D. Kesimpulan 59
E. Keterbatasan Penelitian 60
F. Saran 60
DAFTAR PUSTAKA 62
(15)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Hasil Observasi 64
A. Subjek 1 64
B. Subjek 2 68
Lampiran 2: Lembar Verbatim 72
A. Subjek D 72
B. Significant Other D 83
C. Subjek S 88
D. Significant Other S 98
Lampiran 3: Coding
A. Subjek D 102
(16)
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah dan fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya keluarga wadah pembentukan masing-masing anggotanya, terutama anak yang masih berada dalam bimbingan tanggung jawab orang tuanya. Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama serta mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera. Dalam keluarga, orang tua berperan sebagai pendidik utama. Kedudukannya selaku pendidik utama itu dapat berupa pembimbing, pengajar, dan pemimpin pekerjaan atau pemberi contoh teladan pada anak. Sebagian besar dari anak manusia tumbuh berkembang dan didewasakan dalam lingkungan keluarga, sejak masa bayi, anak sudah menghirup iklim kasih sayang dan loyalitas terhadap keluarga. Oleh karena itu keluarga merupakan sarana paling penting untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Menurut Lazarus (1991), emosi adalah suatu keadaan yang kompleks pada diri organisme, yang meliputi perubahan secara badaniah dalam bernafas,detak jantung, perubahan kelenjar dan kondisi mental seperti keadaan menggembirakan yang ditandai dengan perasaan yang kuat dan biasanya diseertai dengan dorongan yang mengacu pada suatu bentuk
(17)
perilaku. Jika emosi terjadi sangat intens, biasanya akan menganggu fungsi intelektual.
Safaria dan Saputra (2009) menegaskan bahwa individu yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan lebih cakap menangani ketegangan emosi, akan lebih mampu menghadapi dan memecahkan konflik secara efektif
Pengendalian emosi seorang individu harus memberikan perhatian pada aspek mental. Aspek mental dari emosi juga memerlukan bimbingan. Apabila dalam keadaan emosional seseorang bereaksi terhadap rangsangan yang muncul. Oleh karena itu di samping harus belajar bagaimana cara menangani rangsangan yang membangkitkan emosi dan belajar bagaimana cara mengatasi reaksi yang biasanya disertai emosi. (Hurlock, 1988)
Berdasarkan teori perkembangan dalam Papalia, Olds, dan Feldman (2002) dan Santrock (2002), menyatakan bahwa periode anak merupakan tahap awal kehidupan individu yang akan menentukan sikap, nilai, perilaku, dan kepribadian individu di masa depan.
Masa puber merupakan periode yang tumpang tindih karena mencakup tahun-tahun akhir masa kanak-kanakdan tahun awal masa remaja. Kriteria yang sering digunakan untuk menentukan permulaan masa puber adalah haid yang pertama kali pada anak perempuan (sekitar umur 13 tahun) dan mimpi basah-malam pertama kali pada anak laki-laki (sekitar umur 14 tahun). Harvey A. Tiker dan Elizabeth B. Hurlock (Sabri. 2001)
(18)
Menurut Sigmund Freud (dalam Sumanto, 2014) fase pubertas, (12-18 tahun) mengungkapkan bahwa dalam fase ini dorongan-dorongan mulai muncul kembali, dan apabila dorongan-dorongan ini dapat ditransfer dan disublimasikan dengan baik, anak akan sampai pada masa kematangan terakhir, yaitu fase genital.
Pada usia ini anak mulai menyadari dirinya, bahwa dirinya berbeda dengan bukan dirinya (orang lain atau benda). Kesadaran ini diperoleh dari pengalaman, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh orang lain atau benda lain. Anak menyadari bahwa keinginannya berhadapan keinginan orang lain, sehingga orang lain tidak selamanya memenuhi keinginannya. Bersama dengan itu, berkembang pula perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika lingkungannya (orang tuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak secara keras atau kurang menyayangi maka pada diri anak akan muncul sikap keras kepala/menentang, menyerah jadi penurut yang diliputi rasa percaya diri kurang dengan sifat pemalu.
Keluarga adalah lingkungan pertama bagi anak dalam melaksanakan proses sosialisasi dan memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, keluarga nantinya akan mempengaruhi perkembangan dalam pembentukan watak dan kepribadian anak (Budi Ningsih, 2007).
Broken home merupakan puncak tertinggi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila suami istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah
(19)
pihak. Perpisahan atau pembatalan perkawinan dapat dilakukan secara hukum maupun dengan diam-diamdan kadang ada juga kasus dimana salah satu pasangan (suami, istri) meninggalkan keluarga. (Hurlock,2008)
Pada masa sekarang keputusan untuk mengakhiri perkawinan sering ditempuh oleh pasangan suami istri ketika masalah dalam hubungan perkawinan mereka tidak dapat diselesaikan dengan baik (Benokraitis dalan Regina dan Risnawaty, 2007). Peningkatan tersebut paling banyak disebabkan oleh faktor ketidakharmonisan keluarga, tidak adanya tanggung jawab, dan permasalahan ekonomi. Hal tersebut terlihat dari angka perceraian pasangan di indonesia yang terus meningkat. Berdasarkan Data Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA) pada tahun 2010 terdapat 285.184perkara yang berakhir dengan perceraian dan diajukan ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berdasarkan data tersebut, peningkatan perkara yang masuk dapat mencapai 81% (tingkat perceraian di Indonesia meningkat)
Ketidak harmonisan dalam keluarga membuat anak menjadi tertekan akan masalah yang dialaminya baik itu masalah orang tua maupun masalah lingkungan sekitar. Dampak terjadinya broken home yaitu kesibukan orangtua, kurangnya waktu untuk anak serta terjadinya pertengkaran antara ayah dan ibu. Keluarga yang tidak harmonis menyebabkan dalam diri anak merasa tidak nyaman dan kurang bahagia, anak yang kebutuhannya kurang dipenuhi oleh orang tua membuat anak
(20)
harus bekerja keras dan senang mencari perhatian orang. Keluarga broken home juga sangat berpengaruh pada perkembangan emosi anak.
Emosi merupakan berbagai perasaaan yang kuat berupa perasaan benci, takut, marah, cinta, senang dan juga kesedihan. Anak yang mengalami keluarga broken home kerap kali tidak mampu mengelola emosinya, namun ada juga anak yang mampu mengelola emosinya karena melakukan kegiatan-kegiatan yang positif. Hal yang dilakukan anak ketika memiliki masalah atau tekanan dari lingkungan yaitu pengelolaan emosi pada dirinya. anak mampu mengendalikan dirinya karena melakukan berbagai strategi yaitu menenangin pikiran, mendengarkan musik, bermain dan lain sebagainya.
Setelah melihat hal tersebut peneliti tertarik untuk mengangkat judul “KEMAMPUAN MENGELOLA EMOSI PADA ANAK DARI BERASAL DARI KELUARGABROKEN HOME(Studi Kasus)”. B. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, terkait dengan pengolahan emosi anak keluarga broken home dapat diidentifikasikan berbagai masalah sebagai berikut.
1. Anak keluarga broken home memiliki masalah atau tekanan dari lingkungan sekitar.
2. Kurangnya tanggung jawab orang tua atas pendidikan dan kebutuhan ekonomi anak keluargabroken home
(21)
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan berbagai bentuk permasalahan yang muncul dalam latar belakang, penelitian ini memfokuskan pada menjawab masalah-masalah mengenai emosi anak yang mengalami keluargabroken home.
D. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan-pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana cara anak dari keluargabroken home mengendalikan emosi ketika mengalami masalah di lingkungan sekitar ?
2. Bagaimana anak broken home yang memiliki masalah dapat mengendalikan emosinya, saat teman sebaya mengucapkan perkataan tidak baik kepadanya?
E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yaitu:
1. Untuk mengetahui cara anak dari keluarga broken home mengelola emosinya ketika mengalami masalah.
2. Untuk mengetahui cara anak broken home yang memiliki masalah dan mengendalikan emosinya, saat teman sebaya mengucapkan perkataan tidak baik kepadanya.
F. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, peneliti berharap muncul beberapa manfaat sebagai berikut:
(22)
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis ini adalah memberikan informasi dan sumbangan bagi pengembangan dan pengetahuan, khususnya emosi pada anak dari keluarga broken home. Selain itu, dapat menjadi refrensi untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis a. Bagi penulis
Penilitian ini bermanfaat dan dapat memberikan pelajaran. Banyak bertukar pendapat dan pemikiran serta dapat memahami bahwa kehidupan anak broken home terkadang tidak semua berakhir kenegatifan.
b. Bagi Masyarakat.
Penelitian ini bermanfaat terutama bagi keluarga bahwa pentingnya menjaga keharmonisan dalam keluarga. Selain itu memperoleh gambaran tentang kehidupan positif maupun negatif dari anakbroken home
c. Bagi Anak
Pada anak keluarga broken home dapat mengetahui dan memahami bentuk-bentuk dan dampak positif ataupun negatif dalam pecahnya keluarga sehingga mampu mengambil hal yang positifnya saja.
(23)
G. Definisi Istilah
1. Mengelola emosi adalah kemampuan untuk peka terhadap perasaan sendiri dan orang lain, menyadari bahwa tidak semua ungkapan emosi dapat diterima oleh kelompok sosial, mengatur ekspresi emosi, merespon reaksi emosional orang lain, memverbalisasi emosi yang saling bertentangan, dan berperilaku prososial.
2. Anak adalah seseorang yang harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara jasmaniah maupun sosial 3. Broken home adalah keluarga yang disebabkan oleh perceraian
diantara bapak dan ibu hidup terpisah, poligami, salah satu orang tua mempunyai selingkuhan. Keluarga yang diliputi konflik keras.
(24)
9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan kajian pustaka yang terdiri dari kajian teori pengelolaan emosi, kajian penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir kemampuan mengelola emosi dari keluarga broken home.
A. Hakikat Pengelolaan Emosi 1. Pengertian Emosi
Kata emosi berasal dari bahasa inggris, emotionyang berasal dari kata emouvior yang berarti “kegembiraan”. Emosi juga berasal dari bahasa latin emovere, dari e- (varian eks) yang berarti “luar” dan movere yang berarti “bergerak”. Yusuf (2008) menyatakan bahwa emosi merupakan pola keadaan yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Misalnya menangis karena sedih, tertawa karena bahagia.
Menurut Gohm dan Clore (dalam Safaria dan Saputra, 2009). Menjelaskan Pada dasarnya emosi manusia bias dibagi menjadi dua kategori umum. Kategori yang pertama adalah emosi positif. Emosi positif memberikan dampak yang menyenangkan dan menenangkan. Macam dari emosi positif ini seperti tenang, santai, rileks, gembira, lucu, dan senang. Ketika manusia merasakan emosi positif ini, manusia akan merasakan keadaan psikologis yang positif. Kategori kedua adalah emosi negatif. Ketika manusia merasakan emosi negative ini maka dampak yang kita rasakan adalah negatif, tidak menyenangkan dan menyusahkan. Macam
(25)
dari emosi negatif di antaranya sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah, dendam, dan lain-lain.
Emosi yang berasal dari bahasa Latin movere, berarti menggerakkan atau bergerak, dari asal kata tersebut emosi dapat diartikan sebagai dorongan untuk bertindak. Emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi dapat berupa perasaan amarah, ketakutan, kebahagiaan, cinta, rasa terkejut, jijik dan rasa sedih Goleman, 1995 (dalam Mashar 2011)
Berdasarkan pengertian emosi dari para ahli dapat disimpulkan bahwa emosi positif maupun emosi negatif dapat diamati dari perilaku atau ekspresi yang tampak baik dari ekspresi wajah, gerakan tubuh dan tangan ataupun melalui komunikasi nonverbal (termasuk cara bicara dan nada suara).
2. Jenis-jenis Emosi
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap ekspresi dan pola sistem saraf otonom. Lazarus ,1991 (dalam Mashar 2011) mengategorikan emosi menjadi dua kategori, yaitu emosi primer atau dasar (basic) dan emosi sekunder (derived). Emosi primer merupakan emosi yang ada pada spesies mamalia, sedangkan emosi sekunder merupakan kombinasi dari beberapa emosi primer.
Terdapat beberapa perbedaan antar-ahli emosi dalam mengategorikan emosi primer. Mengacu pada pendapat Darwin,
(26)
karakteristik yang biasa terdapat pada emosi primer: pertama, emosi primer berakar dari evolusi warisan, yang telah dimiliki sejak awa sejak masa bayi dan muncul dengan cepat dan otomatis dalam interaksinya dengan lingkungan; kedua, emosi primer memiliki karakteristik sebagai ekspresi wajah yang universal dan dapat dikenali pada berbagai budaya yang berbeda; ketiga, emosi primer berkaitan dengan sistem sirkuit saraf dan otak dan berkorelasi dengan aktivitas sistem otonom, namun Lazarus (1991) memberi empat perbedaan utama dalam menyimpulkan emosi-emosi yang masuk dalam kategori emosi-emosi primer, yaitu:
a. Emosi primer merupakan emosi asli dan elemen dari fisiologis
b. Emosi primer ditemukan secara konsisten pada berbagai budaya dan beberapa spesies binatang
c. Emosi primer ada sejak lahir atau pada tahun pertama kehidupan d. Emosi primer merupakan dorongan dan ekpresi yang lebih ditujukan
sebagai tugas penyesuaian yang paling penting dalam mempertahankan diri dari bahaya, reproduksi, orientasi, dan eksplorasi (atau disebut juga sebagai universalitas biologis)
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa emosi primer memiliki karakteristik tertentu. Diantaranya bersifat fisiologis sebagai bawaan sejak lahir, berkaitan dengan kerja susunan syarat otonom dan ekspresinya bersifat universal.
(27)
3. Kemampuan Mengelola Emosi
Menurut pandangan teori kognitif (Safaria, 2009), emosi lebih banyak ditentukan oleh hasil interpretasiindividu terhadap sebuah peristiwa. Kita bisa memandang dan menginterpretasikan sebuah peristiwa dalam persepsi atau penilaian negatif, tidak menyenangkan, menyengsarakan,menjengkelkan, mengecewakan, atau sebaliknya dalam persepsi yang lebih positif seperti sebuah kewajaran, hal yang indah, seseuatu yang mengharukan atau membahagiakan. Ketika kita menilai sebuah peristiwa secara lebih positif maka perubahan fisiologis kitapun menjadi lebih positif.
Menurut Yusuf & Juantika (2009), kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan bersikap toleran terhadap frustasi, mampu mengendalikan marah, dapat mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain, memiliki kemampuan untuk mengatasi stres dan dapat mengurangi perasaan cemas. Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan memahami diri, mengelola emosi, memanfaatkan emosi secara produktif, empati dan dapat membina hubungandengan orang lain sehingga seseorang lebih mampuuntuk mengelola sifat-sifat negatif yang muncul dalam diri seseorang seperti kesepian dan murung, kurang menghargai sopan santun, lebih mengikuti kemauan naluriah tanpa pertimbangan akal sehat dan agresif.
(28)
Menurut Wijokongko (1997) kemampuan mengelola emosi adalah suatu kekuatan yang dimiliki manusia untuk menguasa diri dan memanfaatkannya untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. menurut Wijokongko kemampuan tersebut bersifat sembunyi dan dimiliki oleh setiap orang. Kemampuan tersebut perlu untuk terus digali dan dikembangkan agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mencapai kualitas hidup . kualitas hidup dimaksud adalah keseimbangan emosidan kesejahteraan hidup.
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan untuk menangani perasaan, kapan seseorang merasakan, dan bagaimana seseorang mengalami atau mengekspresikan emosinya agar bermanfaat dan dapat diterima secara sosial.
4. Aspek-aspek Kemampuan Mengelola Emosi
Menurut Goleman (1999), aspek kemampuan mengelola emosi, meliputi:
a. Mengendalikan emosi
Individu dengan keahlian mengendalikan emosi dapat menjaga emosi. Individu dapat mengelola dan menyeimbangkan emosi yang terjadi didalam diri individu tersebut. selain itu juga remaja mampu berfikir jernih dan tetap fokus walaupun berada didalam posisi tertekan.
(29)
b. Remaja merasa senang apabila merasa dipercayai oleh orang lain karena dengan dipercaya remaja akan bertanggung jawab dalam mengelola diri. Selain itu, dengan dipercaya, remaja mampu mengakui kesalahan sendiridan berani menegur perbuatan yang tidak dapat diterima.
c. Beradaptasi dengan baik
Remaja dengan keahlian beradaptasi, dapat terbuka terhadap ide-ide baruyang dimunculkan sehingga remaja akan mampu menyesuaikan diri dengan baik didalam lingkungan sosialdan memiliki prioritas dalam hidup.
d. Menyadari bahwa tidak semua ungkapan emosi dapat diterima oleh orang lain.
Meningkatnya usia remaja, membuat mereka belajar dan menyadari bahwa tidak semua ungkapa emosi kesedihan atau kegembiraan hendaknya dapat diungkapkan dan dapat diterima oleh orang lain
e. Peka terhadap perasaan sendiri dan orang lain.
Individu pada tahap remaja belajar untuk peka terhadap emosi yang dialami oleh orang lain di lingkungannya. Hal ini dapat membantu remaja dalam belajar dan mengetahui reaksi-reaksi emosi yang dapat diterima maupun yang tidak dapat diterima oleh lingkungannya.
(30)
f. Merespon atau menanggapi reaksi emosional orang lain
Remaja mampu menanggapi reaksi emosional dari orang lain secara tepat dan dapat diterima oleh kelompok sosial.
g. Mengatur ekspresi emosi dalam lingkungan sosial
Pengungkapan emosi yang berlebihan harus dikendalikan oleh remaja pada umumnya karena pengungkapan emosi yang berlebihan dapat mengganggu orang lain yang ada di lingkungan tempat tinggal.
Aspek-aspek mengelola emosi tersebut akan digunakan sebagai perbuatan pertanyaan tentang kemampuan mengelola emosi anak broken home. setiap aspek akan dibuat pertanyaan untuk wawancara.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Mengelola Emosi
Hurlock (1991). faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan mengelola emosi antara lain:
a. Pengalaman Belajar
Pengalaman hidup seseorang mempengaruhi emosi. Pemgalaman yang dimaksud adalah pengalaman mengungkapan emosi, pengalaman belajar akan menentukan reaksi emosi yang mereka gunakan untuk mengungkapkan emosi.
(31)
b. Kematangan berfikir
Perkembangan belajar dalam kematangan berfikir menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti menjadi memahami bagaimana cara mengelola emosi dengan positif.
6. Ciri-ciri Kemampuan Mengelola Emosi
Menurut Goleman (2007), ciri-ciri orang yang dapat mengelola emosi antara lain:
a. Mampu mengarahkan amarah yang tepat
Seseorang mampu mengelola emosinya dengan baik dan mengetahui waktu yang tepat untuk mengungkapkan amarahnya agar tidak membuat luka orang lain. Misalnya: Saat orang merasa tersinggung dengan ucapan orang lain, seseorang akan mencari waktuyang tepat untuk mengutarakan apa yang dirasakan. Hal ini dimaksud agar tidak saling melukai perasaan sendiri dan orang lain.
b. Berkurangnya perilaku agresif
Saat seseorang dapat mengelola emosi dengan baik, seseorang akan mampu memilah tindakan mana yang merugikan dan menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain. Misalnya. Seorang anak yang dulunya mempunyai kebiasaan marah dengan cara melukai temannya sekarang berfikir akan kebiasaannya yang
(32)
buruk akan menghambat relasinya, sehingga anak mengurangi perilakunya yang agresif.
c. Lebih baik dalam mengelola diri
Seseorang dapat mengelola dan menyeimbangkan emosi yang terjadi didalam diri individu tersebut. Selain itu juga seseoranag mampu berfikir jernih dan tetap fokus apabila berada idalam masalah. Misalnya seseorang yang dapat mengelola kesalahannya dengan bersikap tenang dan berfikir positif.
B. Hakikat Keluarga
Lembaga paling utama dalam bertanggung jawab adalah keluarga. Karena ditengah keluargalah anak manusia dilahir dan dididik sampai menjadi dewasa.
1. Pengertian Keluarga
Istilah keluarga (family) dan rumah tangga (household) tidak selalu bermakna sinonim karena terdapat hal yang membedakan dari keduanya. Pada sebuah rumah tangga tercakup didalamnya hubungan antara anggota keluarga dan bukan anggota keluarga yang tinggal disebuah rumah. rumah tangga bisa terdiri atas keluarga dan bukan keluarga, sedangkan pada keluarga cakupannya lebih terbatas, dan hanya terdiri atas dua orang atau lebih berdasarkan ikatan darah, pernikahan, atau adopsi (Loudon dan Bitta,1993). Selanjutnya, menurut Schiffman dan Kanuk (dalam Kertamuda, 2008) Keluarga adalah dua orangatau lebih yang saling
(33)
berinteraksi dan mempunyai ikatan darah, pernikahan, atau pengadopsian serta tinggal secara bersama-sama.
Lingkungan keluarga merupakan suatu tempat dimana anak berinteraksi sosial dengan orang yang paling lama, sehingga upaya pencegahan yang utama difokuskan pada keluarga kemudian sekolah. keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas bapak, ibu, anak, dan lain-lain (kakek, nenek, dan sebagainya) yang hidup dibawah satu atap dan saling berhubungan. Suryanto, 2008 (dalam Kertamuda 2008)
Keluarga adalah dua atau lebih invidu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan yang hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan dalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Salvicion dan Ara Celis (dalam Syamsul, Bambang, 2015).
Berdasarkan pandangan diatas secara umum terdapat persamaan antara lain bahwa keluarga merupakan hubungan atau interaksi antara dua orang atau lebih dan mempunyai ikatan darah, ikatan karena pernikahan, kekerabatan yang didalamnya terdapat suatu sistem yang saling mengikat satu sama lain seperti perbedaan aturan, budaya dan peran setiap anggota.
(34)
C. Fungsi-fungsi Keluarga
Menurut Berns (2004), keluarga mempunyai lima fungsi dasar, yaitu:
a. Reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada didalam masyarakat.
b. Sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda.
c. Penugasan peran sosial. Keluarga memberikan identitaspada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi dan peran gender.
d. Dukungan ekonomi. Keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan dan jaminan kehidupan.
e. Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi anak. interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan fungsi keluarga yaitu melakukan perawatan dan sosialisasi pada anak. sosialisasi yaitu proses yang ditempuh anak untuk memperoleh keyakinan, nilai-nilai dan perilaku yang perlu dan pantas oleh keluarga dewasa, terutama orang tua.
(35)
D. Anak dan perkembangan emosi keluargabroken home
Pada usia ini anak menerima suatu peran baru, bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang dan kelompok yang baru, dan mulai mengembangkan standar-standar baru dalam menilai diri mereka sendiri (Santrock, 2006).
Masa pertengahan dan akhir anak-anak ialah periode perkembanganyang terentangdari usia kira 6-11 tahun, yang kira-kira setara dengan tahun-tahun sekolah dasar. Periode ini kadang-kadang disenut masa sekolah dasar (Santrock, 2002).
Menurut Papalia (2009), masa kanak-kanak berada pada usia lima atau enam sampai 11 tahun. Masa sekolah atau pertengahan anak-anak (Middle chilhood) berada pada usia enam sampai 12 tahun (Havighurst dalam Desmita, 2009). Menurut Bukatko dan Berk (2008), masa pertengahan dan akhir anak-anak berawal pada usia enam hingga 11 tahun.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa rentang usia anak-anak berada pada 6 sampai 11-12 tahun. Pada masa ini, anak-anak secara formal dihadapkan pada dunia yang lebih besar dan budaya kontrol diri pada anak juga telah meningkat. Di samping itu, pada masa ini anak-anak mengalami perkembangan pemahaman dirinya
(36)
E. Karakeristik Perkembangan Anak. 1. Perkembangan kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002) pada masa pertengahan dan anak-anak akhir berada dalam tahap operasional konkret. Hal ini berarti anak sudah mampu melakukan pengoperasian dengan mengubah tindakan secara mental dan memperlihatkan keterampilan-keterampilan konservasi. Penalaran secara logis menggantikan pemikiran intuitif, tetapi hanya keadaan-keadaan konkret, dan tidak abstrak. Menurut Erikson (dalam Santrock, 2002) bahwa anak-anak dalam tahap ini banyak memperoleh pengalaman-pengalaman baru, tentang pengetahuan atau informasi dan keterampilan intelektual
2. Perkembangan sosioemosi
Dalam perkembangan psikososial anak-anak mengalami perkembangan pemahaman diri, perubahan-perubahan dalan gender,dan perkembangan moral yang menandai perkembangan anak-anak selama di sekolah dasar. Anak mulai membandingkan kemampuan mereka denga teman sebaya, jika mereka merasa tidak mampu mereka dapat menarik diri kedalam keluarga yang melindunginya. Oleh karena itu pada masa ini, dukungan sosial dari orang tua, teman sebaya, dan guru menjadi hal yang penting bagi anak. (Papalia, Olds, dan Feldman, 2010).
Anak-anak mempelajari perbedaan antara memiliki emosi dan mengungkapkannya. Mereka memperlajari apa yang membuat mereka marah, takut atau sedih, serta mempelajari emosi orang lain. Selain itu,
(37)
mereka belajar menyesuaikan perilaku mereka dengan situasi dimana anak berada. Pengendalian emosi melibatkan usaha untuk mengontrol emosi dan perilaku. (Eisenberg dalam Papalia dkk, 2010)
Menurut Santrock (2002) bahwa dunia sosioemosi anak menjadi lebih kompleks, yaitu relasi keluarga, relasi teman-teman sebaya, dan lingkungan anak. sekolah dan relasi dengan para gurumerupakan aspek-aspek kehidupan anak yang semakin terstruktur.
Keterampilan-keterampilan yang meningkat yaitu proses informasi sosial dan pengetahuan sosial. Selain itu, anak sadarorang lain memiliki suatu perspektif sosial yang disadari atas pemikiran orang itu, yang mungkin sama atau tidak dengan pikiran anak. akan tetapianak cenderung berfokus pada perspektifnya sendiri dan bukan mengkoordinasikan sudut pandang (Santrock, 2002).
3. Perkembangan Relasi Keluarga
Ketika anak-anak memasuki masa pertengahan dan akhir, para orang tua hanya memberi sedikit waktunya untuk mereka, namun orangtua tetap menjadi pelaku sosialisasi yang sangat penting dalam kehidupan anak. orang tua bertugas memantau kehidupan anak-anak di luar keluarga, di sekolah, dan disekitar teman sebaya. Anak-anak harus belajar berhubungan dengan orang dewasa, dalam berinteraksi anak-anak melibatkan orientasi pengendalian dan prestasi yang lebih formal. Kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan sekolah (Santrock, 2002)
(38)
Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, perkembangan kognitif anak-anak sudah semakin matang sehingga memungkinkan orangtua untuk bermuswarah dengan mereka tentang penolakan penyimpangan dan pengendalian perilaku mereka. orangtua mengarahkan tindakan-tindakan anak dan menerapkan disiplin, orangtua terus menjalankan pengawasan umum dan menggunakan kendali, meskipun anak diperbolehkan terlibat dalam pengaturan (Santrock, 2002).
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa masa pertengahan dan anak-anak akhir adalah dimana anak memasuki sekolah dasar. Usia mereka berkisar antara 6 sampai 11 tahun. Perkembangan kognitif anak pada usia ini memasuki tahap operasional konkret. Anak sudah mampu melakukan penalaran konkrit mengenai hal-hal disekitarnya dan yang dialami sehingga anak sudah mampu mempersepsikan seseorang berdasarkan pengalaman yang diterima orang tersebut.
F. Tugas-tugas Perkembangan Masa Usia Sekolah Dasar
Syamsu Yusuf (dalam Sumanto, 2014) mengemukakan tahapan tugas perkembangan individu. Pada masa usia sekolah dasar disebut juga masa intelektual, atau masa keserasian bersekolah pada umur 6-7 tahun anak dianggap sudah matang untuk memasuki sekolah. Masa usia sekolah dasar terbagi menjadi dua, yaitu: a) masa kelas-kelas rendah dan (b) masa kelas tinggi.
(39)
1. Ciri-ciri pada masa kelas-kelas rendah (6/7-9/10 tahun):
Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional. Adanya kecenderungan memuji diri sendiri. Membandingkan dirinya dengan anak yang lain. Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal dianggap tidak penting. Pada masa ini (terutama usia 6-8 tahun) anak menghendaki nilai angka rapor yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak).
2. Ciri-ciri pada masa kelas-kelas tinggi (9/10/11/12/13 tahun).
Minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret. Amat tinggi rasa ingin tahu dan ingin belajar. menjelang akhir masaini telah ada minat kepada hal-hal atau mata pelajaran khusus sebagai mulai menonjolnya bakat-bakat khusus. Sampai usia 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas usia ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran tepat mengenai prestasi sekolahnya. Gemar membentuk kelompok sebaya untuk teman bermain bersama. Dalam permainan itu mereka suka tidak terikatlagi dengan aturan permainan tradisional (yang sudah ada).
(40)
G. Broken Home
a. PengertianBroken Home
Broken home adalah sebagai kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Kondisi ini menimbulkan dampak yang sangat besar terutama bagi anak-anak, seperti anak menjadi murung, sedih yang berkepanjangan dan malu. Selain itu, anak juga kehilangan pegangan serta panutan dalam masa transisi menuju kedewasaan. Broken home merupakan kondisi dimana keluarga yang terdiri dari ayah, ibu tidak lagi bersatu. Anak dan ibu secara ideal tidak terpisah tetapi bahu membahu dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua dan mampu memenuhi tugas sebagai pendidik. (Sinudarsono,2009)
Menurut Kamus Terbaru Bahasa Indonesia (2008). Keluarga berantakan adalah Keluarga yang tidak harmonis karena terputusnya hubungan komunikasi anak, suami dan istri di sebabkan oleh sesuatu hal.
Keluarga berantakan adalah adanya kematian ayah dan ibu, perceraian diantara ayah dan ibu, hidup terpisah, poligami, perselingkuhan, keluarga yang diliputi konflik keras. (Kartono, 2005)
Berdasarkan pengertian broken home dari para ahli dapat disimpulkan bahwabroken homeadalah keluarga yang berantakan akibat
(41)
orang tua tidak peduli dengan situasi dan keadaan keluarga di rumah serta orang tua juga tidak lagi memperhatikan terhadap anak-anaknya. b. Penyebab Terjadinya KeluargaBroken Home
Pertengkaran, menurut Pohan (1986) merupakan salah satu faktor penyebab terjadi broken home. Betapa kecilnya permasalahan yang dialami dalam keluarga. Seperti gangguan komunikasi, perbedaan pendapat, kurang terbuka satu sama lain antara suami istri akan menimbulkan suatu perpecahan bahkan sampai perceraian. Setiap gangguan harus diatasi secepatnya, mencari pangkal persoalan, dimengerti, kemudian dilakukan pertukaran pikiran untuk mengatasi dan mencari jalan keluarnya.
c. Dampak KeluargaBroken HomeBagi Anak.
Bagi suami istri yang sudah mempunyai anak, pertengkaran atau pertikaian akan membawa pengaruh amat buruk bagi perkembangan kepribadian anak-anak mereka. Tanpa disadari, orang tua ibarat menanamkan benih busuk kedalam jiwa anak, menaburkan pupu yang merusak buat pertumbuhan dan perkembangan anak mereka sendiri. Tak dapat dimungkiri, anak-anak yang senantiasa diliputi oleh pertengkaran kedua orang tuanya, akan mempunyai kepribadian yang rapuh dan goyah, seperti Anak yang terombang-ambing, tidak mempunyai pendidikan yang mantap, ragu-ragu dalam bertindak, dan sukar menyesuaikan diri dalam pergaulan.(Gunadi dan Indajanti, 2004)Anak-anak yang memberontak
(42)
mencari masalah-masalah diluar, anak yang menjadi keluarga broken homeitu menjadi sangat nakal, karena:
1. Mempunyai kemarahan, kefrustasian dan melampiaskannya
2. Anak korban cerai jadi gampang marah karena mereka terlalu sering melihat orangtua bertengkar
3. Anak-anak yang bawaanya sedih, mengurung diri, dan menjadi depresi. Anak juga bisa kehilangan identitas sosialnya. status sebagai anak cerai memberikan suatu perasaan dia orang berbeda dari anak-anak lain.
H. Kajian Penelitian yang Relevan
1. Menurut hasil penelitian Dyah (2007) mengenai hubungan antara tingkat keharmonisan keluarga dengan perkembangan perilaku sosial siswa kelas VIII tahun ajaran 2006/2007 menunjukkan bahwa dari hasil pengamatan siswa banyak siswa kelas VIII yang berperilaku sosial kurang baik, seperti senang menyendiri, kurang memperhatikan teman, kurang tolong menolong sesama teman, kurang kerjasama dalam kelompoknya, dan suka berkelahi. Semua ini biasanya berlatar belakang keluarga yang tidak harmonis.
2. Menurut hasil penelitian Bertha (2015) mengenai Studi Deskriptif Kemampuan Mengelola Emosi Remaja Putra Panti Asuhan Sancta Maria Boro dan Implikasinya Terhadap Usulan Program Bimbingan Pribadi-Sosial menunjukkan bahwa kemampuan mengelola emosi remaja panti asuhan Santa Maria Boro sudah mampu mengelola emosi dengan baik. hal
(43)
ini tampak dari perolehan kategori yang sedang menunjukkan bahwa remajaputra Panti Asuhan sancta Mari Boro sudah memiliki kemampuan mengelola emosi, namun kurang dikembangkan secara optimal.
3. Menurut hasil penelitian Octari (2016). Mengenai Problematika Interaksi Anak Keluarga Broken Home Di Desa Banyuroto, Nanggulan, Kulon Progo, Yokyakarta menunjukkan bahwa interaksi yang berlangsung didalam keluarga antara orang tua atau ibu dalam kesehariannya berjalan dengan baik walaupun tidak semua orang tua ayah atau ibu memiliki interaksi dengan anak. ada orang tua ayah atau ibu yang kurangnya waktu bersama dengan anak, kedekatan yang terjalin dengan anak kurang sehingga untuk interaksi yang terjadi tidak maksimal, keterbukaan yang ada juga kurang karena ayah dan ibu sibuk bekerja.
(44)
I. Kerangka Pikir
Gambar di atas menjelaskan bahwa kemampuan emosi adalah kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrol emosi agar anak mampu merespons secara positif setiap kondisi yang merangsang Anak
Broken Home
Aspek Emosi
Mengendalikan Emosi Dipercayai
Beradaptasi dengan baik Menyadari bahwa tidak semua ungkapan emosi dapat
diterima oleh orang lain Peka terhadap perasaan sendiri dan orang lain Merespon atau menanggapi
reaksi emosi orang lain Mengatur ekspresi emosi
dalam lingkungan
Aspek kemampuan mengelola emosi pada anak dari keluarga broken
(45)
munculnya emosi-emosi ini. Dalam kemampuan mengelola emosi memiliki tujuh aspek ini yang akandi observasikan di lapangan untuk individu yang bersangkutan.
Broken home adalah keluarga disharmonis yang menyebabkan dalam diri anak merasa tidak nyaman, kurang bahagia, kurang perhatian, tidak terpenuhinya kebutuhan anak, dan kurangnya kepedulian orangtua terhadap anak.selain itu, keluarga tidak utuh akan berpengaruh pada perkembangan emosi anak seperti mudah marah, jengkel takut, sedih, murung dan benci sedangkan emosi positif seperti gembira, ceria bahagia dan lain-lain.
(46)
31
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam bab ini di uraikan Jenis penelitian, Tempat dan waktu penelitian, Subjek penelitian, Teknik dan instrumen pengumpulan data, Keabsahan data, dan teknik analisis data
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan (Sugiyono, 2010:205). Dilihat berdasarkan sifat masalahnya penelitian ini berjenis penelitian studi kasus.Studi kasus adalah suatu penyelidikan tentang individu secara mendalam, relatif lama terus menerus dan menggunakan subyek tunggal yang artinya kasus yang dialami satu orang (Furchan, 1982).. Alat yang digunakan peneliti adalah observasi secara langsung dan wawancara kepada subjek.
Penelitian kualitatif ini menggunakan beberapa alat pengumpulan data, yaitu wawancara dan observasi. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara semi-terstruktur. Artinya dimana peneliti tidak terlalu bergantung pada bahan wawancara sehigga dapat berjalan lebih fleksibel dan terarah.Selain menggunakan metode wawancara, peneliti juga menggunakan metode observasi, yaitu mengobservasi perilaku subjek berdasarkan data yang diperoleh dari teman-teman dekat subjek.
(47)
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Peneliti melakukan penelitian di Ambarketawang, Gamping dan Umbulharjo, Yokyakarta. Untuk subjek pertama peneliti melakukan penelitian pada bulan januari 2017, sedangkan untuk subjek kedua peneliti dilakukan pada bulan Agustus 2016 di Yokyakarta
3. Subjek Penelitian
Berikut ini kriteria subjek yang diteliti: a. Subjek berjenis kelamin perempuan b. Subjek berumur 12-14 Tahun
c. Anak yang mengalami keluargabroken home(bercerai) d. Tinggal di Yogyakarta
4. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara dan observasi. Langkah awal yang akan peneliti lakukan yaitu:
a. Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu, Esterberg (dalam Sugiyono, 2010: 317). Jenis pertanyaan yang digunakan oleh peneliti dalam proses wawancara adalah pertanyaan terbuka. Pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan adalah pertanyaan yang mampu mengungkapkan aspek-aspek kemampuan mengelola emosi
(48)
Tabel 1
Panduan Wawancara
No Pertanyaan
1 Bagaimana hubungan komunikasi kamu dengan ayah dan ibu?
2 Saat bermain, apakah kamu pernah mengatakan kata tidak baik atau perkataan kotor kepada teman-temanmu?
3 Apakah kamu merasa nyaman dengan masalah yang kamu alami saat ini? 4 Apakah kamu pernah marah-marah tidak jelas dengan teman-temanmu? 5 Bagaimana cara kamu mengendalikan emosimu saat bermain bersama
teman?
6 Apa reaksi kamu jika teman-teman berkata kasar kepadamu?
7 Apakah kamu pernah melampiaskan emosi negatifmu pada teman-temanmu? Coba kamu ceritakan.
8 Reaksi emosi apa yang sering kamu luapkan kepada orang ketika kamu mengalami masalah?
9 Bagaimana cara menjaga kemarahanmu ketika teman-teman mengejek kamu anak dari keluarga yang berpisah?
10 Bagaimana cara melepaskan emosimu saat mengalami masalah?
b. Observasi adalah salah satu cara mengumpulkan data dengan mengamati perilaku subjek secara langsung. Melalui observasi peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut, Marshall (dalam Sugiyono 2010: 310). Peneliti melakukan observasi saat pertama kali datang ke lokasi dan selama proses penggalian data yang dilakukan bersama subjek di tempat tinggal subyek dan sekolah subyek.
(49)
Tabel 2 Panduan Observasi.
a. Keabsahan Data
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi untuk melihat validitaspenelitian. Sugiyono (2010: 330) menyatakan bahwa ada dua jenis triangulasi yaitu, triangulasi teknik dan triangulasi sumber. Triangulasi teknik berartipeneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untukmendapatkan data dari sumber yang sama. Sedangkan triangulasi sumber berarti untuk mendapatkan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecekbalik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu danalat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.
Penelitian ini menggunakan wawancara dan observasi dari sumber data yang sama. Peneliti membandingkan data hasil observasi dan data No Aspek yang di amati Perilaku yang di amati
1 Mengendalikan emosi Bermain serta berinteraksi 2 Dipercayai Ekspresi wajah (kesal),
menghembuskan nafas 3 Beradaptasi dengan baik Ekspresi wajah (tersenyum) 4 Tidak semua ungkapan emosi
yang tidak dapat diterima
Ekspresi wajah (jengkel, marah), intonasi suara keras
5 Peka terhadap perasaan sendiri dan orang lain
Ekspresi wajah (sedih) dan berjabat tangan
6 Merespon atau menanggapireaksi emosi orang lain
Ekspresi wajah (jengkel) dan intonasi suara keras
7 Mengatur ekspresi emosi dalam lingkungan sosial
(50)
hasil wawancara membandingkan apa yang dikatakan oleh orang tua dan teman dekat subjek dengan apa yang dikatakan oleh subjek tersebut. b. Teknik Analisis Data
Data penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Nasution (dalam Sugiyono,2010:336) menyatakan bahwa “analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun kelapangan dan berlangsung terus menerus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis aktivitas terdapat 3 komponen, yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Reduksi data adalah proses merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan hal-hal yang penting dari catatan-catatan yang tertulis di lapangan. Dalam proses ini dilakukan pemilahan dan penyisihan data yang kurang bermakna lalu menatanya sedemikian rupa sehingga dapat di tarik kesimpulan.
Peneliti menggunakan hasil penelitian sebagai sumber dasar informasi mengenai kemampuan mengelola emosi pada anak yangbroken home. Peneliti membuat verbatim dari data hasil wawancara dan disertai dengan pemberian Coding pada setiap hasil wawancara. Lalupeneliti mereduksi segala informasi yang telah diperoleh dengan cara memilih data yang penting. Peneliti melakukan coding untuk masing-masing jawaban berdasarkan aspek dari daftar pertanyaan yang berupa kode. Pemberian kode yang di lakukan oleh peneliti hanya dimengerti oleh peneliti saja.
(51)
36 BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini dipaparkan tentang hasil penelitian dan pembahasan terdiri dari tempat pelaksanaan, Deskripsi data, Analisis data, dan pembahasan mengenai pengelolaan emosi anak dari keluarga broken home.
A. Deskripsi Data
1. Tempat Pelaksanaan Peneliti
Pada penelitian ini, peneliti mendapatkan subjek di Ambarketawang, Gamping dan Umbulharjo, Yokyakarta. Penelitian ini dilakukan di lingkungan rumah subjek yang letaknya di Ambarketawang, Gamping dan Umbulharjo, Yokyakarta. Selama penggalian data peneliti melakukan pendekatan, observasi dan wawancara.
2. Subjek 1
a. Penghimpunan Data Subjek
Nama : D
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Gamping 3 Juli 2003 Alamat : Ambarketawang, gamping
Anak ke : 1
Usia : 13 Tahun
Agama : Katolik
Kelas : 4 SD
Pendidikan terakhir : TK Cita-cita : Perawat
(52)
b. Analisis
1. Latar Belakang Keluaga
Subjek adalah anak tunggal. Sejak kelas 5 SD subjek sudah berhenti sekolah dikarenakan ibu subjek tidak mampu lagi membiayai uang sekolah, oleh karena itu subjek berhenti sekolah dan sekarang subjek melakukan kesehariannya dengan membantu ibu di kebun tetangga dan mencari barang-barang bekas untuk di jual. Saat ini D tinggal bersama ibunya di Ambarketawang gamping. Orang tua D sudah bercerai sejak D berumur 8 tahun, akibat perceraian maka subjek tinggal bersama ibunya. Saat ini ayah subjek berada di Jakarta dan sudah menikah dengan wanita lain. Semenjak terjadinya perceraian ayah-ibunya, D mengatakan bahwa kehidupan keluarganya sudah tidak harmonis seperti dulu dan perceraian ini sudah cukup lama terjadi.
“Kehidupan keluargaku sekarang sudah hancur dan sudah tidak kayak dulu lagi mba. Kadang-kadang aku iri melihat kebahagiaan keluarga teman-temanku. Tapi ya sudahlah mba semua sudah terjadi dan tidak bisa bersatu lagi. Orang tuaku berpisah sejak saya masih berumur 8 tahun mba.”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa keluarga D sudah berantakan dan tidak seperti dulu lagi, terkadang D juga merasa iri hati dengan melihat begitu bahagianya keluarga teman-temannya. D tidak menginginkan hal itu terjadi pada dirinya namun semua tidak sesuai dengan diharapkan D merasa putus asa karna orang tuanya tidak akan pernah bersatu lagi seperti dulu.
(53)
Saat ini hubungan komunikasi ayah dan ibu baik, hanya cara penyampaian komunikasinya yang berbeda-beda, ada yang penyampaian komunikasi dengan secara langsung dan ada pula komunikasi melalui handphone, hal ini disebabkan karena keberadaan orang tua D berbeda-beda. Walaupun cara berkomuikasi yang berbeda-beda namun kamunikasi antara ayah dan ibu dengan D masih tetap lancar dan baik. namun D lebih sering berkomunikasi dengan ibu karna saat ini D tinggal bersama ibunya.
“Komunikasi saya dengan ayah baik mba, kami berkomunikasi melalui telepon dan SMS, sedangkan dengan ibu sangat baik mba, karna saya tinggal dengan ibu.”
Dengan melihat kondisi keluarga broken home, D mengatakan bahwa D tidak nyaman, faktor utama yang membuat D merasa tidak nyaman yaitu mendengarkan ocehan-ocehan dari tetangga.
“Gak mba apalagi kalau sudah dengar ocehan-ocehan orang- orang.”
Peristiwa perceraian pada keluarga membuat anak menjadi tidak tenang dengan masalah yang dialaminya. D merasakan begitu banyak kepedihan yang ia rasakan baik itu sedih, kecewa,tertekan dan marah. D mengakui bahwa D merasa iri dengan kebahagiaan orang tua teman-temannya.
“Sedih, tertekan dan kecewa. Kadang-kadang saya juga merasa iri hati melihat kebahagiaan kedua orang tua temanku.”
(54)
Pernyataan dibawah ini terlihat bahwa. D sudah menerima masalah yang di alami orang tuanya. Awalnya D merasa kecewa untuk menerima semua dan D mempunyai kemauan supaya keluarganya utuh kembali, akan tetapi D menyadari bahwa hal itu tidak mungkin terjadi karena salah satu orang tua D sudah ada yang menikah yaitu ayah.
“Sudah bisa menerima mba. Awalnya saya kecewa banget mba, saya ingin orang tuaku kembali bersatu lagi. Tapi karna ayah sudah berkeluarga jadi gak mungkin terjadi mba.”
2. Lingkungan fisik, Sosio-Ekonomi
Tempat tinggal D berada dalam lingkungan mayoritas kristen katolik, taraf ekonomi sederhana, lingkungan tersebut merupakan lingkungan yang padat dengan rumah penduduk disisi kanan dan kiri. Di tinjau dari segi ekonomi masyarakat yang tinggal disekitar rumah D adalah masyarakat yang memiliki pekerjaan petani, buruh dan pegawai. Budaya yang mendominasi lingkungan tempat tinggal D adalah budaya jawa.
Kondisi ekonomi keluarga D cukup sederhana. Waktu orang tua D belum bercerai kondisi ekonomi menengah atas, akan tetapi sejak terjadinya keributan, pertengkaran dan perselingkuhan antara salah satu pihak orang tua maka terjadinya perceraian sehingga harta yang dimiliki ayah D di ambil kembali, dan ayah
(55)
hanya memberi sebagian hartanya kepada ibu dan D untuk kebutuhan mereka.
3. Pertumbuhan Jasmani dan Riwayat Kesehatan
Pada umumnya pertumbuhan jasmani D sesuai dengan tahap perkembangan anak dan D lahir dengan normal. D tidak memiliki penyakit, hanya saja dia sakit kecil seperti flu, sakit kepala, deman dan batuk.
4. Lingkungan Sosial
D memiliki beberapa teman dekat. Dimana subjek sering sekali berkumpul di bersama teman-temannya. Ketika subjek telah melakukan pekerjaannya baik itu membantu ibunya di kebun maupun mencari barang-barang bekas akan tetapi subjek tidak lupa meluangkan waktu untuk bermain bersama teman-temannya. Teman-temanya merasa bangga atas kemandirian yang dimiliki subjek, karna subjek sudah bisa mencari uang sendiri tanpa menyusahkan ibunya. Dan subjek merasa bahagia berteman bersama teman-teman yang tmengerti akan kondisi keluarga orang tuanya.. D sudah mampu berinteraksi dengan teman-teman sebayanya serta orang dewasa. Walaupun D dari keluarga yang berpisah akan tetapi sebagian masyarakat ikut berempati pada D. Dalam pergaulan dia tidak ingin memilih-milih dalam berteman, dia suka berteman dengan siapa saja baik itu teman laki-laki maupun teman perempuan. Sehingga dapat diketahui bahwa
(56)
hubungan relasi dengan teman-teman sangat baik-baik saja. Walaupun ada beberapa teman-teman yang tidak meyukai berteman dengan D. Setidaknya D dapat berinteraksi dengan baik.
“Baik mba, tapi ada sebagian teman yang tidak mau berteman denganku.”
5. Ciri-ciri Kepribadian.
D adalah anak yang pintar, penurut, mandiri, mampu berfikir positif ketika memiliki masalah, D mampu mengendalikan emosinya serta penyabar. D hanya terbuka kepada orang yang terdekat dengannya.
(57)
3. Subjek 2
a. Penghimpunan Data Subjek
Nama : S
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Solo 08 Agustus 2005
Alamat : Jl. Nitikan, Umbulharjo Yokyakarta Anak ke : 1 dari 2 bersaudara
Usia : 12 Tahun
Agama : Kristen
Kelas : 5 SD
Pendidikan terakhir : TK
Cita-cita : Guru dan Bidan
b. Analisis
1. Latar Belakang Keluarga
Subjek S adalah anak pertama dari dua bersaudara, adiknya masih sekolah kelas 2 SD. S tinggal bersama bibi dari adek ayahnya, dimana bibinya membuka usaha loundri manual (mencuci menggunakan tangan). S tidak tinggal bersama ayah dan ibunya dikarnakan orang tua S sudah bercerai. Akibat perceraian, ayah sering menitipkan subjek di panti, ayah menitipkan S dipanti dikarnakan ayahnya selalu sibuk bekerja dan tidak ada yang menjemput S ketika sudah pulang dari sekolah serta tidak ada yang menjaga adiknya S di rumah, oleh sebab itu ayah menitipkan anaknya di panti asuhan. Saat ayah selesai bekerja ayah langsung menjemput kedua anaknya di panti. Ketika S berumur 8 tahun,
(58)
ayah pergi ke Bandung (pindah lokasi kerja) karna disuruh oleh atasan kerja ayah. Karna kesendirian bibi di rumah didaerah Yokyakarta, akhirnya ayah menitipkan anak di tempat bibi. Bibi mengatakan bahwa saat ini S tidak mengetahui keberadaan ibu subjek akan tetapi ibunya sudah mempunyai suami baru. Dari latar belakang sudah dapat di ketahui bahwa kehidupan keluarga sudah tidak harmonis lagi
“Keluargaku sekarang sudah gak sama lagi kayak dulu mba, sekarang saya dan adek tinggal sama bibi ditempat adeknya ayah. Sekarang ibu sudah menikah lagi dengan laki-laki dan saya gak tahu dimana ibu berada. Kata ayah sejak aku kecil mba.”
S mengatakan bahwa hubungan komunikasi dengan ayah sangat baik sedangkan komunikasi dengan ibu jarang sekali. Setiap bibi dan S menghubungi ibu melalui ponsel ibu jarang sekali mengangkat telpon dan membalas SMS.
“Baik mba, walaupun aku dan adekku tinggal ditempat bibi tapi kami masih bisa SMS dan nelpon ayah mba. Kalau Ibu mah jarang, karna setiap kami hubungin, ibu jarang angkat telpon dan balas sms mba.”
Pernyataan di bawah ini menggambarkan S merasa tidak nyaman dengan keluarga yang broken home. Akan tetapi S kenyamanan dan ketidaknyamanan tersebut ditentukan oleh keluarga,S merupakan salah satu anak yang hebat dan kuat dalam menghadapi masalah keluarganya. Meskipun keluarganya sudah broken home, S selalu mendoakan orang tuanya walaupun orang tua tidak akan bisa bersatu lagi
(59)
“Sejujurnya gak nyaman. Tapi ya mau gimana lagi mba, saya hanya bisa mendoakan mereka, ya walaupun orang tua saya tidak mungkin bersatu lagi.”
Akibat terjadinya keluarga broken home, akhir-akhir ini S sering merasa bersedih, kecewa serta kebutuhan S dan adeknya semakin terbatas. S juga mengakui semenjak orang tuanya berpisah hidup S merasa hampa, frustrasi karna berhenti sekolah, hanya adeknya yang sekolah. terkadang malu dan iri melihat teman-teman yang bisa bahagia dengan orang tua dan bisa sekolah,
“Rasanya kecewa dan sedih mba, suka menangis dan kebutuhan saya dengan adek menjadi terbatas. Pokoknya semua sudah hancur mba.harapanku untuk sekolah dan iri melihat keluarga teman-teman.”
Tidak semua permasalahan keluarga dapat diterima oleh anak, apalagi masalah yang sudah melewati batas atau sampai ke perceraian pada orang tua. S juga mengakui bahwa pertama-tama S merasa belum bisa menerima peristiwa kedua orang tuanya, namun S percaya bahwa perlahan-lahan S akan bisa menerima peristiwa kedua orang tuanya. S hanya bisa berdoa untuk orang tuanya.
“Kalau masalahnya baru-baru belum bisa mba, tapi sekarang sudah bisa menerima dan tak ada yang bisa diharapkan lagi. Semoga Tuhan memberkati orang tuaku mba.”
2. Lingkungan fisik, Sosio-Ekonomi
Tempat tinggal subjek berada dalam lingkungan mayoritas muslim, taraf ekonomi keatas, lingkungan di tempat tinggal subjek sangat padat dengan perumahan, saat sore hari lingkungan itu
(60)
ramai sekali dimana sore hari biasanya anak-anak bermain di lingkungan sekitarnya. Budaya yang mendominasi lingkungan tempat tinggal S adalah budaya jawa.
Kondisi ekonomi S ini memiliki status social menengah (sederhana, tidak kaya dan juga tidak kekurangan).
3. Pertumbuhan Jasmani dan Riwayat Kesehatan
Pada umumnya pertumbuhan jasmani S sesuai dengan tahap perkembangan anak dan lahir dengan normal. S memiliki penyakit ASMA.
4. Lingkungan Sosial
Tidak semua anak yang mengalami keluarga broken home dapat berelasi dengan orang lain, namun S merupakan anak yang mampu berelasi dengan teman sebaya, walaupun tidak semua orang ingin berteman dengannya namun S sudah mampu berelasi dengan baik dan saling menerima keadaan baik S maupun teman-temannya. Ketika ada waktu kosong S mengajak teman-teman bermain dan berkumpul di tempat mereka bermain. Teman-teman S juga sering bermain ke rumah subjek begitu juga sebaliknya.
“Baik kok mba. Kami bermain bersama-sama kadang teman-teman main kerumahku dan aku juga main kerumah teman-teman.”
(61)
5. Ciri-ciri kepribadian
S adalah anak yang sabar, penurut, pintar, rajin melakukan pekerjaan rumah dan mau membantu bibinya. Dan S mampu mengontrol dirinya sepertiberusaha untuk tidak emosi. S mempunyai sifat terbuka dengan orang yang dekat dan orangnya asyik diajak berbicara.
(62)
B. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam ini dilakukan setelah peneliti melakukan pendekatan lebih jauh terhadap subjek. Peneliti menemui dan akan melakukan pendekatan terhadap kedua subjek dengan tempat dan waktu yang berbeda-beda. awalnya subjek begitu acuh tak acuh terhadap peneliti, dan peneliti merasa putus asa dengan kecuekan subjek. Akan tetapi peneliti baru menyadari dan mengetahui dari teman dekat subjek bahwa sebenarnya subjek tidak cuek, subjek cuek karna subjek belum terlalu mengenal dengan peneliti, oleh sebab itu subjek terlalu acuh tak acuh terhadap peneliti. Akan tetapi peneliti terus melakukan pendekatan dengan subjek sampai subjek merasa nyaman dengan peneliti, hingga akhirnya peneliti dapat melakukan wawancara dengan baik dan lancar terhadap subjek.
1. Subjek D
a. Aspek Mengendalikan Diri
D dapat mengelola dan mengatasi perasaannya saat marah. Cara D mengendalikan keamarahannya saat teman mengejek D anak dari keluarga berpisah ialah mencoba mengibur diri yang positf untuk tidak tersinggung dan bersabar dalam menghadapi masalah terutama dengan ejekan teman-temannya.
“Mencoba menenangkan pikiran (diam) di tempat yang nyaman, melakukan aktivitas seperti membantu ibu dan bermain bersama teman, curhat dengan ibu, menghembuskan nafas, berdoa, menangis dan harus banyak bersabar karna orang sabar dan anak baik akan di sayang Tuhan mba.” (D1A1RM1/KMEBH-w/003-006)
(63)
D tergolong individu yang mampu mengendalikan dan mengatur perasaan emosi yang ada di dalam dirinya dengan cara meredam rasa marah dan berdiam diri ketika mendengarkan cemohan-cemohan orang-orang di lingkungan tempat tinggal D.
“Ya saya bisa mba menangani perasaan saya mba dan saya hanya bisa meredam perasaan marah dengan berdiam diri.” (D1A1/KMEBH-w/009-010)
b. Aspek Sifat Percaya
Tidak semua orang dapat mempercayai anak dari keluarga yang broken home. Akibat permasalahan keluarga yang berpisah dan keterbatasannya ekonomi yang dimiliki oleh D. Maka sebagian orang tua teman-temannya memandang bahwa anak yang berasal dari keluarga broken home suka mengambil barang milik orang lain. D menyadari bahwa tidak sepenuhnya D memiliki barang-barang berharga, tetapi bukan berarti orang tua bisa menilai seseorang dari kehidupan keluarganya. Walaupun orang tua tidak sepenuhnya percaya atau suka menilai hal yang tidak baik terhadap D akan tetapi D selalu berpikir positif supaya pikirannya dapat terkendali dan tenang dalam menghadapi masalah.
“Tidak sepenuhnya mba, kadang-kadang orang tua sekitar tidak mengizinkan saya bermain kerumah temanku, ya katanya takut barang-barangnya hilang. Saya tau saya orang yang gak bisa punya barang-barang seperti teman-teman, tapi bukan berarti orang tua temanku harus ngomong gitu, kan buat sakit hati mba.tapi ya sudahlah mba semua itu ujian dari Tuhan dan tetap bepikir positif aja, karna tidak semua orang seperti itu.”(D1A2/KMEBH-w/012-015)
(64)
c. Aspek Beradaptasi dengan Baik.
Selain bermain bersama teman, D juga meluangkan waktu untuk mengikuti doa lingkungan bersama ibunya di rumah tetangga. Dengan berdoa bersama, setidaknya apa yang dipikirkan oleh D menjadi lebih baik dari sebelumnya.
“Biasanya saya ikut ibu doa lingkungan di tempat tetangga, ya buat nenangin pikiranlah mba.”
(D1A3/KMEBH-w/018-019)
Terkait dengan masalah keluarga D merupakan anak yang cukup sulit untuk bercerita dengan orang lain, hanya dengan ibu dan sahabat yang benar-benar D percayai untuk di ajak bercerita. Tetapi D biasanya sering menceritakan masalah dengan ibu tercintanya, karna ibu selalu membuat hati D merasa nyaman untuk bercerita dan ibu juga selalu mendengarkan keluhan D.
“Ibu dan teman-teman mba, tp biasanya saya kebanyakan cerita dengan ibu, karna ibu selalu buatku nyaman untuk bercerita. Pokoknya enak banget kalau udah cerita sama ibu, karna ibu tidak pernah lelah mendengarkan ceritaku mba.” (D1A3/KMEBH-w/021-023)
d. Aspek menyadari bahwa tidak semua ungkapan emosi dapat diterima oleh orang lain
Dalam mengungkapkan perasaan emosi negatif, tidak semua orang dapat menerima emosi negatif baik itu diri sendiri maupun orang lain, begitu juga dengan subjek D, dimana saat bermain D pernah mengatakan kata yang tidak baik atau perkataan kotor kepada
(65)
temannya. karena D menyadari atas ucapannya, D dengan segera meminta maaf pada temannya.
“Pernah dan saya langsung minta maaf karna ucapanku mba.”(D1A4/KMEBH-w/026)
e. Aspek Peka terhadap perasaan sendiri dan orang lain.
D menyadari bahwa dia pernah melampiaskan emosinya pada teman melalui kata-kata yang cukup menyakiti perasaan. D marah ketika sedang menstruasi. Jika D sedang menstruasi biasanya memberitahukan kepada teman perempuan supaya temannya mengerti dan tidak terjadi kesalahpahaman ketika D suka marah-marah tidak jelas.
“Pernah. Tapi biasanya saya marah itu disaat saya lagi M mba, ya biasalah cewek mba, suka marah-marah gitu. Dan saya selalu kasih tahu teman cewek supaya mengerti akan kemarahanku mba.”(D1A5/KMEBH-w/028-030)
f. Aspek merespon atau menanggapi reaksi emosional orang lain.
Saat berkumpul dan bermain bersama sahabat pasti ada terjadinya masalah, tergantung orang menanggapi emosi itu seperti apa, misalnya seperti marah, kesal, jengkel, sabar dan lain sebagainya. Begitu juga dengan teman D, dimana ketika teman-teman mengucapkan kata kasar kepada D, reaksi emosi yang terlihat pada D yaitu diam dan menegur.
“Bisa, caranya kadang saya diam dan menghembuskan nafas supaya emosi saya reda mba, dan menegur mereka, supaya mereka tahu dan bisa mengendalikan perkataan kasarnya itu.”(D1A6RM2/KMEBH-w/034-036)
(66)
g. Aspek mengatur ekspresi emosi dalam lingkungan sosial.
Akibat terjadinya keluarga yang berpisah, begitu banyak masalah yang terjadi pada D. Selain masalah, D merasa frustasi karena apa yang D impikan tidak tercapai (pendidikan) dan keterbatasannya ekonomi. Masalah yang dialaminya membuat D tertekan dan sedih karena begitu banyak ocehan-ocehan dari orang lain, sehingga D hanya bisa bersabar. D pernah mengatakan bahwa D ingin menegur orang yang suka membicarakan keluarga D, tetapi D selalu mengingat nasihat ibunya untuk tidak menangapi orang tersebut karna itu akan menambah masalah. Sehingga D selalu mengendalikan emosinya di hadapan orang-orang tersebut.
“Yah kayak tetangga ada yang ngomong macem-macemlah. Saya ingin sekali menegur supaya mereka tidak ikut campur, tapi ibu tidak mengizinkan karna takut menambah masalah. Jadi saya berusaha memendam perasaan marah saya mba. hanya bisa berdoa sajalah mba.” (D1A7/KMEBH-w/038-041)
(67)
2. Subjek S
a. Aspek mengendalikan diri.
S termasuk anak yang mampu mengendalikan emosinya walaupun tidak sepenuhnya S dapat mengendalikan, akan tetapi S selalu berusaha untuk mengatur dan mengendalikan emosinya disaat S memiliki masalah. Setiap orang memiliki cara untuk melepaskan emosi, baik itu emosi negatif maupun emosi positif. Dari hasil wawancara S memiliki cara tersendiri untuk mengendalikan emosinya dengan cara diam, bermain game, jalan-jalan dan meneteskan air mata (menangis)
“Diam dan jangan meladenin mereka, semakin diladenin semakin menjadi mba, kadang main game di HP bibi, berdoa, jalan-jalan dengan adek, kadang sering menangis mba.”(S2A1RM1/KMEBH-w/003-005)
S adalah anak yang kuat dalam menghadapi masalah, tidak semua anak dari keluarga broken home dapat menghadapi masalah Tidak hanya itu saja ada beberapa orang-orang di lingkungan tempat tinggal S tidak menyukai dengan orang tua S. Oleh sebab itu orang-orang selalu membicarakan orang-orang tuanya, walaupun orang-orang tua S tidak berada di solo, tetapi warga selalu bertanya pada S mengenai orang tuanya, S mengatakan bahwa dia sangat sensitif membicarakan tentang orang tuanya, karna itu akan membuat S menjadi sedih.
“Ya bisa mba, tapi saya paling tidak suka jika ada orang-orang yang gosip tentang orang-orang tuaku mba. seburuk-buruk apapun sifat orang tua saya, dia tetap orang tua yang telah
(68)
melahirkan saya dan adek saya mba.” (S2A1/KMEBH-w/009-011)
b. Aspek sifat dipercayai
S mengatakan walaupun tidak sepenuhnya orang-orang percaya padanya, akan tetapi S selalu membuktikan bahwa tidak semua anak yang berasal dari keluargabroken homeitu tidak baik.
“Tidak sepenuhnya mba. karna orang selalu memandang bahwa anak yang broken home itu adalah anak yang tidak baik.”(S2A2/KMEBH-w/014-015)
c. Aspek beradaptasi dengan baik.
Terkadang anakbroken homesangat sulit beradaptasi dengan lingkungan sekitar, akan tetapi S mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar bahkan S ikut berpartisipasi untuk mengikuti bibi misa bersama di tempat tetangga, tidak hanya itu saja S juga selalu ikut ke sekolah minggu bersama adeknya. Sehingga dapat di simpulkan bahwa S tidak menjauhi nilai-nilai agama dan dapat menenagkan masalah yang S hadapi..
“Ya paling ikut bibi misa bersama di rumah tetangga, kadang ikut nemani adek ke sekolah minggu juga mba. ya bisa menenangi pikiran juga mba.” (S2A3/KMEBH-w/018-019)
S mengatakan bahwa saat dia memiliki masalah yang berat biasanya cerita dengan bibi dan ayah. Dan meraka peduli dengan masalah S, alasan S tidak ingin menceritakan masalahnya kepada teman-teman sebab S merasa kurang nyaman. S merasa bahagia
(1)
Lampiran 3
Informan : D (Nama Inisial) D1
Peneliti : Betha LembarCoding
No Data Teks
001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022
Bagaimana cara mengendalikan emosimu saat mengalami masalah di lingkungan sekitarmu?
Mencoba menenangkan pikiran (diam) di tempat yang nyaman, melakukan aktivitas seperti membantu ibu dan bermain bersama teman, curhat dengan ibu, menghembuskan nafas, berdoa, menangis dan harus banyak bersabar karna orang sabar dan anak baik akan di sayang Tuhan mba.
Apakah kamu bisa menangani perasaan marah di saat kamu mendengar ocehan-ocehan dari warga di lingkungan sekitar tentang orang tuamu?
Ya saya bisa mba menangani perasaan saya mba dan saya hanya bisa meredam perasaan marah dengan diam.
Apakah orang-orang di lingkungan sekitar mempercayai kamu sepenuhnya? Gak sepenuhnya mba, kadang-kadang orang tua sekitar gak mengizinkan saya bermain kerumah temanku, ya katanya takut barang-barangnya hilang. Saya tau saya orang yang gak bisa punya barang-barang seperti teman-teman, tapi bukan berarti orang tua temanku harus ngomong gitu, kan buat sakit hati mba
Apakah kamu pernah mengikuti perkumpulan agama di lingkungan tempat tinggalmu? Coba sebutkan perkumpulan apa sajakah itu?
Biasanya saya ikut ibu doa lingkungan di tempat orang, ya buat nenangin pikiranlah mba
Disaat memiliki masalah, kamu sering mencerita masalah itu dengan siapa? Ibu dan teman-teman mba, tapi biasanya saya kebanyakan cerita dengan ibu, karna ibu selalu buatku nyaman untuk bercerita. Pokoknya enak banget kalau udah cerita
(2)
103 026
027 028 029 030 031 032 033 034 035 036 037 038 039 040 041
Pernah dan saya langsung minta maaf karna ucapanku mba.
Apakah kamu pernah melampiaskan emosimu pada teman-temanmu?
Pernah. Tapi biasanya saya marah itu disaat saya M mba, ya biasalah cewek mba, suka marah-marah gitu. Dan biasanya saya selalu kasih tahu teman cewek supaya mereka mengerti dengan kemarahanku mba.
Disaat kamu memiliki masalah, apakah kamu dapat mengendalikan emosimu ketika teman sebayamu mengucapkan perkataan kasar kepadamu? Jika dapat, bagaimana cara mengendalikannya
Bisa, caranya kadang saya diam dan menghembuskan nafas supaya emosi saya reda mba, dan menegur mereka, supaya mereka tahu dan bisa mengendalikan perkataan kasarnya itu.
Apa yang membuat kamu merasa tertekan dengan lingkungan sekitar?
Yah kayak tetangga ada yang ngomong macem-macemlah. Saya ingin sekali menegur supaya mereka tidak ikut campur, tapi ibu tidak mengizinkan karna takut menambah masalah. Jadi saya berusaha memendam perasaan marah saya mba. hanya bisa berdoa sajalah mba.
(3)
Informan :S (Nama Inisial) S2
Peneliti :Betha LembarCoding
No Data Teks
001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022
Bagaimana cara mengendalikan emosimu saat mengalami masalah di lingkungan sekitarmu?
Diam dan jangan meladenin mereka, semakin diladenin semakin menjadi mba, kadang main game di HP bibi, berdoa, jalan-jalan dengan adek, kadang sering menangis mba.
Apakah kamu bisa menangani perasaan marah di saat kamu mendengar ocehan-ocehan dari warga di lingkungan sekitar tentang orang tuamu?
Ya bisa mba, tapi saya paling tidak suka jika ada orang-orang yang gosip tentang orang tuaku mba. seburuk-buruk apapun sifat orang tua saya, dia tetap orang tua yang telah melahirkan saya dan adek saya mba.
Apakah orang-orang di lingkungan sekitar mempercayai kamu sepenuhnya?
Tidak sepenuhnya mba. karna orang selalu memandang bahwa anak yang broken home itu adalah anak yang tidak baik.
Apakah kamu pernah mengikuti perkumpulan agama di lingkungan tempat tinggalmu? Coba sebutkan perkumpulan apa sajakah itu? Ya paling ikut bibi misa bersama di rumah tetangga, kadang ikut nemani adek ke sekolah minggu juga mba. ya bisa menenangi pikiran mba
Disaat memiliki masalah, biasanya kamu sering mencerita masalah itu dengan siapa?
(4)
105 027
028 029 030 031 032 033 034 035 036 037 038 039 040 041 042 043 044 045 046 047 048 049 050 051 052 053 054 055
perkataan kotor kepada teman-temanmu?
Pastinya pernah mba tapi saya langsung minta maaf mba.karna wajah teman-temanku itu kayak marah gitu, jadi saya takut dan langsung minta maaf.
Apakah kamu pernah melampiaskan emosimu pada teman-temanmu? Pernah mba, waktu itu saya lagi ada masalah dengan bibi karna ada satu baju loundrian bibi luntur dan waktu itu perasaan saya tidak enak (badmood) jadi saya semakin panik, bingung mba. bebarapa menit, temanku datang kerumah ngajak bermain, tapi saya menolak karna lagi pengen sendiri mba, karna saya menolak temanku langsung menarik tangan untuk ngajak bermain, disitu saya tambah kesal, saya langsung bentak dengan suara yang keras,lalu temanku itu kaget. Tak lama kemudian aku curhat dengan dia mba, supaya dia ngerti, kenapa aku gak pengen bermain. Setelah saya cerita, akhirnya teman saya mengerti disitu dia langsung meminta maaf begitu juga saya mba (saling meminta maaf).
Disaat kamu memiliki masalah, apakah kamu dapat mengendalikan emosimu ketika teman sebayamu mengucapkan perkataan kasar kepadamu? Jika dapat, bagaimana cara mengendalikannya.
dapat, biasanya saya mendengarkan musik, mencari tempat yang tenang seperti pantai, bermain bersama teman-teman, dan melakukan aktivitas yang positif seperti membantu bibi, kadang menangis, dan berdoa dengan Tuhan
Apa yang membuat kamu merasa tertekan dengan lingkungan sekitar?
Itu mba ada teman yang gak mau berteman denganku selalu mengejek orang tuaku dan saya. Padahal salah saya sama dia apa coba mba. Tadi hampir saja saya mau jambak rambutnya itu mba. tapi kalau saya melakukan itu gak ada untungnya juga mba, jadi saya berusaha mengatur emosi saya
(5)
KEMAMPUAN MENGELOLA EMOSI PADA ANAK DARI KELUARGA BROKEN HOME
(Studi Kasus) Betharia Limbong
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2017
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan mengelola emosi anak yang berasal dari keluarga broken home (Studi Kasus). Pertanyaan peneliti adalah 1). Bagaimana cara anak dari keluarga Broken Home mengendalikan emosi ketika mengalami masalah di lingkungan sekitar, 2). Bagaimana anak Broken Home yang memiliki masalah dapat mengendalikan emosinya, saat teman sebaya mengucapkan perkataan tidak baik kepadanya.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif, Metode studi kasus pengumpulan data yang digunakan observasi dan wawancara mendalam. Informasi didapatkan dari ketiga sumber yaitu orang tua subjek, subjek, dan sahabat subjek. selama penelitian peneliti melakukan observasi di tempat bermain dan di rumah subjek. Jumlah subjek 2 orang yaitu D dan S yang berjenis kelamin perempuan, kedua subjek tersebut sudah tidak melanjutkan pendidikan.
Hasil penelitin ini menunjukkan bahwa: 1). Saat subjek D mengalami masalah dengan lingkungan sekitar dan saat teman sebaya mengucapkan perkataan tidak baik kepada subjek akan tetapi subjek mampu mengelola emosi dengan cara menenangkan pikiran di tempat yang nyaman, melakukan aktivitas, bermain, curhat dengan ibu, berdoa, menangis, bersabar dan menegur ketika teman mengucapkan perkataan tidak baik kepada subjek. 2) subjek S juga mampu mengelola emosi dengan cara diam, main game di HP, bermain, jalan-jalan, menangis, mendengarkan musik, berdoa, bermain, melakukan aktivitas dan jalan-jalan ke pantai. kedua subjek dari keluarga Broken Home ini memiliki kemampuan mengelola emosi dengan cara yang berbeda-beda, hal ini dikarnakan subjek tidak ingin mencari masalah, mendengarkan perkataan ibu, dan bibi serta tidak ingin persahabatannya renggang.
(6)
ABSTRACT
EMOTION MANAGEMENT ABILITY OF BROKEN-HOME CHILDREN (Case Study)
Betharia Limbong
Sanata Dharma University Yogyakarta 2017
This research was to find a description of emotion management ability of broken-home children (case study). It was aimed to find 1). How a broken-home child manages emotion when faced with problems from the surroundings, 2). How a broken-home child who has problems can manage one’s emotion when one’s peers say something unpleasant to one.
This was a qualitative research. Data collecting methods were in-depth observation and interview. Information was gathered from three sources, i.e. the subject’s parents, neighbors, and close friends. During the research, the author did an observation at the subject’s home and where the subject hangs out. The subjects were 2 females called D and S. Those subjects were dropped out.
The result of this research showed that: 1). When D had problems with the surroundings and when her peers said something unpleasant to her, she could manage her emotion by calming her mind at a comfortable place, doing some activities, playing, confiding in her mother, praying, crying, trying to be patient, and reprimanding her peers for saying something unpleasant to her. 2). The subject S could also manage her emotion by keeping silent, playing games on her cell phone, taking a stroll, crying, listening to music, praying, playing, doing some activities, and visiting the beach. The research showed that both subjects, from broken-homes family, had different abilities to manage emotion. This was due to subjects did not want troubles, and they wanted to listen to their mother and aunt, and they did not want their friendship to be disturbed. Keyword: Ability to Manage Emotions, Child, Family Broken Home