Aktivitas antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus (Typhonium flagelliforme Lodd. Blume) terhadap sel kanker kolon WiDr melalui penekanan ekspresi protein COX-2.

(1)

INTISARI

Obat antikanker yang sudah beredar sekarang ini memiliki efek samping yang cukup besar bagi konsumen karena rendahnya selektivitas dari obat-obatan tersebut. Eksplorasi bahan alam yang lebih aman namun tetap memiliki efek terapi dapat dijadikan alternatif dari kemoterapi. Banyak tanaman khususnya di Indonesia yang memiliki potensi antikanker, salah satunya adalah keladi tikus (Typhonium flagelliforme Lodd. Blume).

Tujuan dari penelitian ini adalah menguji aktivitas antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr dan mengetahui potensinya dalam menghambat produksi enzim siklooksigenase 2 (COX-2), enzim yang meningkatkan kemampuan invasi dari kanker kolon. Penelitian ini merupakan jenis eksperimental murni dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola searah. Uji aktivitas sitotoksik dilakukan dengan menggunakan metode in vitro MTT assay dan dihitung inhibitory concentration 50 (IC50)dari

ekstrak uji menggunakan program statistik R-2.14.0. Dilakukan uji double staining

untuk mengetahui penyebab kematian sel dan kemudian dilakukan uji imunositokimia untuk melihat kemampuan ekstrak dalam menghambat ekspresi enzim COX-2.

Hasil uji sitotoksik terhadap sel WiDr dengan metode MTT menunjukan nilai IC50 ekstrak etil asetat daun keladi tikus sebesar 102 g/mL. Hasil uji

apoptosis dengan double staining menunjukan ekstrak etil asetat keladi tikus menginduksi apoptosis, dan hasil uji imunositokimia menunjukan bahwa ekstrak etil asetat daun keladi tikus menekan ekspresi protein COX-2.

Kata kunci : daun keladi tikus, sel kanker kolon WiDr, COX-2, apoptosis, Uji sitotoksik, IC50, Double Staining, Imunositokimia


(2)

ABSTRACT

Anticancer drugs that are marketed today have considerable side effects for patient because of the low selectivity of these drugs. In terms of reducing these side effects, exploration of natural materials that are safer but still has a therapeutic effect can be used as an alternative to chemotherapy. Many plants especially in Indonesia has the potential anticancer activity, one of which is a rodent tuber (Typhonium flagelliforme Lodd. Blume).

The purpose of this study was to test the anticancer activity of the ethyl acetate extract of rodent tuber leaves against WiDr colon cancer cells and to investigate the potential of the extract in inhibiting the production of the cyclooxygenase 2 (COX-2), an enzyme that increases the ability of invasion of colon cancer. This study is a purely experimental design was completely randomized with a unidirectional pattern. Cytotoxic activity test performed by in vitro using MTT assay and the IC50 of the extract using the R program. To investigate the cause of death of the cells, the double staining assay are performed and then the imunocytochemistry test are performed to investigate whether the extract has the potential in inhibiting the expression of COX-2 enzyme.

The result of the cytotoxicity MTT assay showed that the value of the extract is 102 g/mL. The result of double staining assay showed that the exract of rodent tuber induces apoptosis, and the result of immunocytochemistry assay showed that the ethyl acetate extract of rodent tuber suppress COX - 2 protein expression.

Keywords : rodent tuber leaves, WiDr colon cancer, COX-2, apoptosis, cytotoxicity assay, IC50, double staining, immunocytochemistry


(3)

(4)

AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK ETIL ASETAT DAUN KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme Lodd. Blume) TERHADAP SEL KANKER

KOLON WiDr MELALUI PENEKANAN EKSPRESI PROTEIN COX-2

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh : Handika Immanuel

NIM : 118114083

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK ETIL ASETAT DAUN KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme Lodd. Blume) TERHADAP SEL KANKER

KOLON WiDr MELALUI PENEKANAN EKSPRESI PROTEIN COX-2

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh : Handika Immanuel

NIM : 118114083

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(6)

(7)

(8)

HALAMAN PERSEMBAHAN

KOLOSE 3 : 23

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia”

Kupersembahkan Karyaku untuk : Bapa Di Surga Papa, Mama, Dede Para Sahabat Almamaterku


(9)

(10)

(11)

PRAKATA

Syukur bagi Allah Tritunggal karena atas anugrah dan rahmat-Nya Penulis dapat menyelesakan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) program studi Farmasi.

Penulis telah banyak menerima dukungan selama proses perkuliahan, penelitian dan penyusunan skripsi. Oleh karena itu, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Aris Widayati selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2. Agustina Setiawati, M.Sc, Apt. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, pengarahan, serta masukan kepada Penulis dalam penyusunan skripsi.

3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Apt., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan waktu, masukan, kritik dan saran kepada Penulis.

4. Dr. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan waktu, masukan, kritik dan saran kepada Penulis.

5. Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mengajar, membantu dan membimbing penulis selama perkuliahan.

6. Gigih Prayoga, Tjok Gede Perdana Wiguna, dan Mery Tri Utami sebagai rekan satu tim atas kerjasama, persahabatan, bantuan dan kebersamaan selama proses penyusunan skripsi.


(12)

7. Angky Glori, Henra, Canly Hansen Sudirman, Andre Salim, Prasetyo Handy Kurniawan, Andrian, Surya Adhi Nugraha, Vina Alvionita Susilo, Ester Rina Dwi Astuti, Laurensia Jessie Loreta, Fransisca Andriani, Verni Emelia, Greta Paulina, Gabriella Septiana, Giacinta Puspananda, atas dukungan dan doa dalam skripsi ini.

8. Teman-teman angkatan 2011 terkhusus Kelas FSM B 2011 dan FST A 2011 atas keceriaan dan kebersamaan yang tidak akan terlupakan.

9. Teknisi Laboratotium Parasitologi dan Team CCRC UGM yang telah membantu dalam penelitian ini.

10.Bagian Instalasi Patologi Anatomi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang telah membantu dalam penelitian ini.

11.Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh Penulis.

Penulis menyadari bahwa didalam skripsi ini masih ada kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari seluruh pihak. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 29 Januari 2015 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xviii


(14)

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 5

2. Keaslian penelitian ... 6

3. Manfaat penelitian ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Kanker Kolon. ... 8

1. Definisi dan karsinogenesis kanker kolon ... 8

2. Jalur APC / -catenin ... 9

3. Mutasi K-Ras ... 9

4. SMAD-4 dan TP53 ... 10

B. COX-2 dan Kanker Kolon ... 11

C. WiDr ... 14

D. Tanaman Keladi Tikus ... 15

1. Deskripsi tanaman ... 15

2. Klasifikasi tanaman ... 16


(15)

4. Kandungan fitokimia ... 16

E. Doksorubisin ... 17

F. Apoptosis dan Nekrosis ... 18

G. Uji sitotoksik dengan metode MTT ... 20

H. Uji Apoptosis Double Staining ... 22

I. Uji Imunositokimia ... 23

J. Landasan Teori ... 24

K. Hipotesis ... 25

BAB III. METODE PENELITIAN ... 26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 26

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 26

1. Variabel utama ... 26

2. Variabel pengacau ... 26

3. Definisi operasional... 27

C. Bahan Penelitian ... 27

D. Alat Penelitian ... 28


(16)

1. Determinasi tanaman keladi tikus. ... 28

2. Sterilisasi alat ... 29

3. Pembuatan simplisia. ... 29

4. Ekstraksi daun keladi tikus dengan maserasi. ... 29

5. Pembuatan media kultur ... 29

6. Uji sitotoksisitas daun keladi tikus dengan metode MTT. ... 30

7. Uji induksi apoptosis dengan metode double staining ... 32

8. Pengamatan ekspresi protein dengan metode imunositokimia . 33

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 36

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Penyiapan Ekstrak Keladi Tikus ... 38

B. Uji Sitotoksik Ekstrak Etil Asetat Daun Keladi tikus Terhadap Sel Kanker Widr…………... 40

C. Uji Apoptosis Ekstrak Etil Asetat Daun Keladi Tikus dengan Metode Double Staining……… 45

D. Uji Imunositokimia COX-2 akibat perlakuan ekstrak……… 48

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52


(17)

B. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 59


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Distribusi sel WiDr pada uji apoptosis dengan metode

double staining ... 48

Tabel II. Jumlah rata-rata sel yang mengekpresikan COX-2

dalam tiap perlakuan ... 50

Tabel III. Hasil uji statistik kebermaknaan antara perlakuan yang


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tahapan Karsinogenesis pada Kanker Kolon ... 11

Gambar 2. Pengaruh ekspresi COX-2 pada kanker kolorektal ... 13

Gambar 3. Tanaman Keladi Tikus ... 15

Gambar 4. Struktur kimia doksorubisin………... 18

Gambar 5. Reaksi MTT menjadi Formazan ... 22

Gambar 6. Kurva hubungan viabilitas sel vs log konsentrasi ekstrak daun keladi tikus……… 43

Gambar 7. Efek sitotoksik ekstrak daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr………... 44

Gambar 8. Hasil Uji double staining ekstrak keladi tikus ... 46


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Distribusi sel WiDr pada uji apoptosis dengan metode

double staining………. 60

Lampiran 2. Hasil Perhitungan Uji Ekspresi Protein dengan metode Imunositokimia……… 62

Lampiran 3. Pengolahan data uji sitotoksik MTT assay………... 63

Lampiran 4. Dokumentasi uji sitotoksik MTT assay……….. 66

Lampiran 5. Dokumentasi uji double staining……… 67

Lampiran 6. Dokumentasi uji imunositokimia……… 69

Lampiran 7. Hasil analisis statistik pada uji imunositokimia dengan Program R………. 72

Lampiran 8. Perhitungan IC50 Doksorubisin dengan program R…… 76

Lampiran 9. Perhitungan IC50 ekstrak keladi tikus dengan program R 77

Lampiran 10. Surat keterangan determinasi tanaman keladi tikus…. 78


(21)

INTISARI

Obat antikanker yang sudah beredar sekarang ini memiliki efek samping yang cukup besar bagi konsumen karena rendahnya selektivitas dari obat-obatan tersebut. Eksplorasi bahan alam yang lebih aman namun tetap memiliki efek terapi dapat dijadikan alternatif dari kemoterapi. Banyak tanaman khususnya di Indonesia yang memiliki potensi antikanker, salah satunya adalah keladi tikus (Typhonium flagelliforme Lodd. Blume).

Tujuan dari penelitian ini adalah menguji aktivitas antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr dan mengetahui potensinya dalam menghambat produksi enzim siklooksigenase 2 (COX-2), enzim yang meningkatkan kemampuan invasi dari kanker kolon. Penelitian ini merupakan jenis eksperimental murni dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola searah. Uji aktivitas sitotoksik dilakukan dengan menggunakan metode in vitro MTT assay dan dihitung inhibitory concentration 50 (IC50)dari

ekstrak uji menggunakan program statistik R-2.14.0. Dilakukan uji double staining

untuk mengetahui penyebab kematian sel dan kemudian dilakukan uji imunositokimia untuk melihat kemampuan ekstrak dalam menghambat ekspresi enzim COX-2.

Hasil uji sitotoksik terhadap sel WiDr dengan metode MTT menunjukan nilai IC50 ekstrak etil asetat daun keladi tikus sebesar 102 g/mL. Hasil uji

apoptosis dengan double staining menunjukan ekstrak etil asetat keladi tikus menginduksi apoptosis, dan hasil uji imunositokimia menunjukan bahwa ekstrak etil asetat daun keladi tikus menekan ekspresi protein COX-2.

Kata kunci : daun keladi tikus, sel kanker kolon WiDr, COX-2, apoptosis, Uji sitotoksik, IC50, Double Staining, Imunositokimia


(22)

ABSTRACT

Anticancer drugs that are marketed today have considerable side effects for patient because of the low selectivity of these drugs. In terms of reducing these side effects, exploration of natural materials that are safer but still has a therapeutic effect can be used as an alternative to chemotherapy. Many plants especially in Indonesia has the potential anticancer activity, one of which is a rodent tuber (Typhonium flagelliforme Lodd. Blume).

The purpose of this study was to test the anticancer activity of the ethyl acetate extract of rodent tuber leaves against WiDr colon cancer cells and to investigate the potential of the extract in inhibiting the production of the cyclooxygenase 2 (COX-2), an enzyme that increases the ability of invasion of colon cancer. This study is a purely experimental design was completely randomized with a unidirectional pattern. Cytotoxic activity test performed by in vitro using MTT assay and the IC50 of the extract using the R program. To investigate the cause of death of the cells, the double staining assay are performed and then the imunocytochemistry test are performed to investigate whether the extract has the potential in inhibiting the expression of COX-2 enzyme.

The result of the cytotoxicity MTT assay showed that the value of the extract is 102 g/mL. The result of double staining assay showed that the exract of rodent tuber induces apoptosis, and the result of immunocytochemistry assay showed that the ethyl acetate extract of rodent tuber suppress COX - 2 protein expression.

Keywords : rodent tuber leaves, WiDr colon cancer, COX-2, apoptosis, cytotoxicity assay, IC50, double staining, immunocytochemistry


(23)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Kanker kolon merupakan salah satu penyakit yang mematikan. World Cancer Report WHO melaporkan bahwa sekitar 944.717 kasus ditemukan di seluruh dunia pada tahun 2000. Insiden yang tinggi pada kasus kanker kolorektal ditemukan di negara Amerika Serikat, Eropa, Australia, sedangkan insiden yang rendah ditemukan di negara India dan Aljazair. Diperkirakan sebanyak 153.760 kasus baru yang terdiagnosa kanker kolorektal, yang terdiri dari 112.340 pasien yang terdiagnosa kanker kolon dan sisanya yaitu 41.420 merupakan pasien terdiagnosa kanker rektal pada tahun 2007 dan tercatat sekitar 30.000 pasien meninggal karena kanker kolon pada tahun 2010 (Chang, 2012). American Cancer Society memperkirakan terdapat 96.830 kasus baru kanker kolon dan 40.000 kasus baru untuk kanker rektal pada tahun 2014 dan diperkirakan menyebabkan kematian sebanyak 50.310 orang (American Cancer Society, 2014).

Pembentukan dan progresi kanker kolon dipengaruhi oleh enzim siklooksigenase-2 (COX-2), suatu enzim yang mengatur sintesis prostaglandin dan di ekspresikan secara berlebih pada daerah inflamasi dan pada beberapa kanker jaringan epitel (Sinicrope and Gill, 2004). Kakiuchi et al. (2002) melaporkan bahwa mRNA COX-2 dan tingkat proteinnya meningkat pada jaringan kolon pasien yang menderita kanker kolon dan penggunaan inhibitor


(24)

COX-2 dapat mencegah terbentuknya polip baru pada kanker kolon. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan Koehne and Dubois (2004).

Pada umumnya, kanker kolon dapat ditangani dengan pembedahan, dan harus dilakukan terapi non invasif lainnya. Kemoterapi disertakan apabila penyakit tersebut telah menyebar ke nodus limfa dan jaringan lain (Yeatman, 2001). Terapi menggunakan sulindac yang merupakan obat golongan Non Steroid Anti Inflammatory Drug (NSAID) (Waddel and Loughry, 1989) atau inhibitor COX-2 lainnya menunjukan penurunan jumlah polip sebesar 30% dalam enam bulan pemakaian (Steinbach et al, 2000).

Kekurangan dalam terapi NSAID untuk pengobatan kanker antara lain pada penggunaan aspirin dengan dosis relatif yang kecil dapat mengakibatkan efek samping yang serius pada ginjal dan saluran pencernaan (Ranke et al., 1994). Efek samping tersebut meningkat pada pasien dengan usia lanjut. Efek samping yang biasa terjadi adalah dyspepsia, ulkus peptikus, dan perdarahan gastrointestinal (Scheiman, 1996). Pengobatan kanker merupakan pengobatan dalam jangka panjang dan oleh sebab itu, terapi dengan NSAID tidak disarankan dan perlu terus dikembangkan usaha pengembangan obat yang aman dan efektif, salah satunya melalui eksplorasi bahan alam.

Indonesia memiliki kekayaan bahan alam yang beragam, dan beberapa diantaranya telah diketahui memiliki aktivitas antikanker, salah satunya tanaman keladi tikus. Tanaman keladi tikus telah sejak lama digunakan di Malaysia secara oral dalam bentuk juice atau serbuk untuk mengatasi kanker usus, payudara dan hati (Chan, 2005). Kemampuan tanaman keladi tikus dalam menyembuhkan


(25)

beberapa kanker seperti kanker payudara dan kanker rahim telah banyak dibuktikan secara ilmiah, namun sampai saat ini pengujian yang memberikan bukti ilmiah mengenai kemampuan tanaman keladi tikus yang dapat menyembuhkan kanker kolon belum banyak dilakukan.

Farida, Wahyudi, Wahono, dan Hanafi (2012) berhasil mengisolasi glikosida flavonoid dari ekstrak etil asetat daun keladi tikus. Senyawa glikosida flavonoid yang didapatkan adalah 6-glucosyl apigenine. Wang et al (2011) dalam penelitiannya membuktikan bahwa apigenin memiliki aktivitas menginduksi apoptosis terhadap sel kanker kolon namun besarnya nilai inhibitory concentration (IC50)tidak disebutkan. Penelitian ini menguji aktivitas antikanker

ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr (Colorectal adenocarcinoma cell line).

Sel WiDr dipilih karena memiliki kelebihan yaitu mudah dikulturkan dan memiliki doubling time yang singkat bila dibandingkan dengan kultur sel kanker kolon lainnya. Sel ini juga memiliki platting efficiency yang tinggi (Noguchi et al., 1979) dan mengekspresikan COX-2 dengan jumlah yang tinggi (Palozza et al., 2005).

Uji thiazoyl blue tetrazolium bromide atau uji MTT yang merupakan uji sitotoksisitas yang dilakukan secara in vitro dilakukan dalam penelitian ini untuk mengetahui kemampuan antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr. Uji ini dipilih karena memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi dari uji sitotoksik lainnya yaitu lactate dehydrogenase (LDH) assay,


(26)

berupa data absorbansi yang menggambarkan viabilitas dari sel yang diuji dan kemudian digunakan untuk menentukan inhibitory concentration 50 (IC50), yang

merupakan konsentrasi minimal ekstrak daun keladi tikus yang dapat menghambat 50% sel kanker kolon.

Kriteria yang perlu diperhatikan dalam eksplorasi bahan alam tidak hanya potensinya namun juga selektifitasnya. Suatu agen antikanker dikatakan selektif apabila dapat menginduksi apoptosis pada sel target (Cui, Wang, Wang, Zhao, and Peng, 2013) sehingga penelusuran jalur kematian sel perlu dilakukan. Metode yang dilakukan dalam uji apoptosis dalam penelitian ini adalah double staining, yaitu dengan menggunakan dua buah reagen pewarna sel yang memiliki karakteristik pewarnaan yang berbeda (Helberstadt and Emerich, 2007).

Apoptosis dalam suatu sel dapat dihambat oleh beberapa faktor antara lain mutasi yang berakibat ketidaknormalan jalur pengaturan apoptosis dan keberadaan protein tertentu yang juga menghambat terjadinya apoptosis, menyebabkan sel berproliferasi secara terus-menerus. Penghambatan apoptosis yang terjadi pada kanker kolon diperantarai oleh COX-2 yang banyak terkandung pada kanker kolon. COX-2 yang berlebih meningkatkan prostaglandin (PGE -2) yang dapat memicu ekspresi BCl -2 antiapoptosis (Damstrup et al., 1999). COX-2 dalam kanker kolon dapat dijadikan sebagai target terapi antikanker. Jika COX-2 dihambat, maka sel kanker kehilangan kemampuannya untuk terhindar dari apoptosis dan mengalami kematian. Uji imunositokimia dilakukan untuk mengetahui kemampuan ekstrak etil asetat daun keladi tikus dalam menghambat ekspresi protein COX-2.


(27)

Doksorubisin merupakan agen kemoterapi yang telah banyak dipakai dalam pengobatan berbagai jenis kanker. Bersifat sitostatik dan menginduksi apoptosis pada sel kanker kolon melalui fosoforilasi p53, induksi p21, penghambatan siklus sel pada fase Gap-2 (G2) dan meningkatkan ekspresi protein proapoptosis yaitu BCl -2 associated X Protein (BAX) (Lupertz, Watjen, Kahl, and Chovolou, 2010). Hal tersebut mendasari pemilihan doksorubisin sebagai kontrol positif dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan untuk menguji ekstrak etil asetat daun keladi tikus secara in vitro menggunakan metode uji sitotoksik MTT assay, yang diperkuat oleh uji apoptosis double staining dan uji

immunocytochemistry (ICC) serta membandingkan kemampuannya dengan doksorubisin.

1. Perumusan masalah

a. Berapa IC50 ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon

WiDr?

b. Apakah ekstrak etil asetat daun keladi tikus menginduksi apoptosis pada sel kanker kolon WiDr?

c. Apakah aktivitas antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus diperantarai oleh penghambatan ekspresi COX-2?

2. Keaslian penelitian

Penelitian terkait daun keladi tikus :

1.Muhammad Da’i (2007) melaporkan bahwa terdapat aktivitas sitotoksik pada ekstrak etanolik, etil asetat dan kloroform tanaman keladi tikus terhadap sel kanker HeLa.


(28)

2.Penelitian yang dilakukan Choo, Chan, Sam, Hitotsunayagi, dan Takeya (2001) melaporkan bahwa ekstrak kloroform batang dan daun tanaman keladi tikus menunjukan adanya daya sitotoksisitas dengan IC50 sebesar

15g/mL pada sel kanker leukemia P388.

3.Aksi farmakologis dari keladi tikus telah diteliti oleh Zhong et al (2001). Semua ekstrak air, alkohol dan ekstrak ester keladi tikus memiliki efek meredakan batuk, menghilangkan dahak, anti asma, analgesia, anti peradangan dan obat penenang. Toleransi maksimum untuk toksisitas akut adalah 720 g/kg (ekstrak etil asetat), 900 g/kg (ekstrak alkohol), dan 3.240 g/kg (ekstrak ester).

Sejauh pengamatan penulis, penelitian mengenai uji aktivitas sitotoksik ekstrak etil asetat dari tanaman ini terhadap sel kanker kolon WiDr belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para peneliti khususnya dalam bidang penemuan dan pengembangan obat kanker tentang potensi daun keladi tikus sebagai salah satu bahan alam yang berpotensi sebagai pengobatan alternatif kanker kolon.

b. Manfaat praktis

Memberikan bukti ilmiah mengenai kemampuan antikanker daun keladi tikus berupa nilai IC50, kemampuan menginduksi apoptosis dan kemampuan


(29)

B. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui nilai IC50, kemampuan induksi apoptosis dan

penghambatan enzim siklooksigenase-2 (COX-2) ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kanker Kolon 1. Definisi dan karsinogenesis kanker kolon

Kanker kolon adalah suatu kanker yang timbul pada sel epitel usus besar dan rektum dan disebabkan oleh terjadinya mutasi genetik kumulatif yang merubah proses dalam sel yang secara normal membatasi pembelahan yang berlebihan, migrasi, dan diferensiasi yang berakibat terjadinya proliferasi, invasi dan metastatis suatu sel. Ketidakstabilan genetis terus terjadi dan menyebabkan perubahan yang lebih lanjut, dan mempengaruhi sensitivitas terhadap terapi pada tumor yang ganas (Steinberg, 2012).

Perkembangan suatu sel menjadi sel tumor yang ganas merupakan proses yang memilliki tahapan dari mukosa normal menjadi adenoma dan pada akhirnya menjadi adenoma invasif. Perkembangan malignan pada kolon dapat diketahui dengan mempelajari sekuen adenoma-karsinoma. Sebagian besar karsinoma berkembang dari suatu lesi polip pre-neoplastik adenomatous, kemudian terakumulasi dan terjadi perubahan di dalam sel epitel usus (Brown, 2007).

Perubahan genetik yang paling sering terjadi dalam karsinogenesis kanker kolon adalah mutasi Adenomatous Polyposis Coli (APC), Kirsten rat sarcoma (K-Ras), small ‘mothers against’ decapentaplegic4 (SMAD4), tumor protein p53 (TP53) dan gen mismatch repair (MMR) yaitu Mutl Homolog 1


(31)

2. Jalur Adenomatus Polyposis Coli (APC)/-catenin

APC adalah suatu komponen pembentuk sinyal jalur Drosophila melanogaster wingless gene (WNT). Sinyal ini memiliki fungsi untuk mengkode sebuah protein yang mengikat berkas mikrotubulus, meningkatkan migrasi dan perlekatan sel, dan mengatur kadar β-katenin, suatu mediator penting pada jalur sinyal Drosophila melanogaster wingless gene (WNT)/β-katenin. Pembentukan sinyal WNT diperlukan bagi sel-sel induk hematopoietik untuk memperbarui diri.

WNT memberi sinyal melalui suatu famili reseptor permukaan sel yang disebut

frizzled (FRZ), dan merangsang beberapa jalur dengan salah satu jalur sentral yang melibatkan β-katenin dan APC (Markowitz and Bertagnolii, 2009).

Mutasi APC ditemukan pada 80% adenoma dan karsinoma dan terjadi di awal rantai urutan karsinogenesis. Mutasi pada protein APC mengakibatkan terjadinya pemotongan protein APC sehingga kemampuannya berubah dan tidak lagi dapat mendegradasi β-catenin, sehingga terjadi penumpukan β-catenin

didalam sitoplasma dan nukleus yang mengakibatkan terjadinya WNT signaling pathway secara terus menerus. Inaktifasi APC merupakan jalur utama terbentuknya adenoma (Arends, 2013).

β-katenin membentuk suatu kompleks dengan T cell transcription factor

(TCF), yang merupakan faktor transkripsi di dalam nukleus yang mengakibatkan peningkatkan proliferasi sel dengan meningkatkan transkripsi cellular myc ( c-MYC), SIKLIN D1, dan gen lain yang menyebabkan proliferasi pada sel (Markowitz and Bertagnolli, 2009).


(32)

3. Mutasi Kirtsten rat sarcoma (K-RAS)

Mutasi yang mengaktivasi kirtsten rat sarcoma (K-Ras) ditemukan pada 40% sampai 45% adenoma dan karsinoma kanker kolon dan diduga muncul pada tahapan awal pembentukan adenoma. Mutasi biasanya terjadi pada protein kirtsten rat sarcoma (K-Ras) pada posisi kodon nomor 12, 13 dan 61 dan beberapa bagian lain. Protein kirtsten rat sarcoma (K-Ras) yang mengalami mutasi memiliki substitusi asam amino yang asli dengan asam amino yang lain yang berpengaruh pada fungsi enzimatik protein kirtsten rat sarcoma (K-Ras), yaitu mengurangi atau mencegah pemotongan enzimatik pada ujung gugus fosfat pada guanosin trifosfat (GTP), yang secara normal dapat dikonversikan menjadi guanosin difosfat (GDP) yang merupakan bentuk inaktif.

Gen kirtsten rat sarcoma (K-Ras) mengalami mutasi akan membentuk protein K-Ras mutan yang teraktivasi secara permanen meskipun tanpa adanya ikatan antara faktor pertumbuhan dengan reseptor di permukaan membran.

Kirtsten rat sarcoma (K-Ras) mutan menimbulkan pertumbuhan dan penyebaran tumor yang terus menerus dan tak terkontrol (Sriwidyani, 2013).

4. Gen Small ‘mothers against’ decapentaplegic4 (Smad4) dan Tumor Supressor Gene 53 (TP 53)

Gen Small ‘mothers against’ decapentaplegic4 (Smad4) mengalami inaktivasi pada 60% sel kanker oleh adanya mutasi atau delesi dalam jumlah banyak pada kromosom 18q tempat gen SMAD4 berada. Smad4 berperan dalam transduksi sinyal pada jalur penghambatan beta-tumor necrosis factor (TNF-),


(33)

sehingga dengan adanya ketidakmampuan SMAD4 dalam jalur penghambatan tersebut, sel tumor dapat terus tumbuh (Arends, 2013).

Tumor suppressor gene TP53 mengode protein p53 yang merespon pada kerusakan DNA dengan upregulation inhibitor Cyclin-Dependent Kinase Inhibitor (CDK) p21 yang memperbaiki kerusakan DNA atau dengan

upregulation BCl -2 associated X Protein (BAX) dan juga protein apoptosis lain yang menginduksi kematian sel melalui jalur apoptosis. Mutasi yang menginaktivasi fungsi protein p53 ditemukan pada lebih dari 60% kanker kolon dan mutasi ini sering mengakibatkan terjadinya fase akhir yaitu terbentuknya karsinoma (Arends, 2013). Tahapan karsinogenesis pada kanker kolon secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1.Tahapan Karsinogenesis pada Kanker Kolon (Arends, 2013).

B. COX-2 dan Kanker Kolon

Prostaglandin merupakan metabolit dari asam arakidonat yang memainkan peran penting dalam perkembangan kanker kolon. Beberapa penelitian menunjukan bahwa adanya peningkatan kadar prostaglandin yang ditemukan dalam kanker kolon. COX-2 merupakan salah satu bentuk enzim yang


(34)

bertanggung jawab dalam metabolisme asam arakidonat yang ditemukan dalam inflamasi dan ditemukan dalam sel kanker. Jumlahnya yang meningkat dipengaruhi oleh adanya paparan dengan mitogen dan faktor pertumbuhan. Potensi NSAID spesifik COX-2 dalam pencegahan kanker kolon disarankan dengan adanya distribusi COX-2 pada polip adenomatus dan keefektifan agen tersebut dalam uji pada hewan model kanker kolon yang diinduksi karsinogen (Fournier and Gordon, 2000).

Beberapa sitokin yang diproduksi saat inflamasi (TNFα, IL1β, IL6, dan IL8) dapat juga mengaktifkan beberapa jalur pertahanan sel, yang mengakibatkan terhindarnya sel dari kematian sel. Sebagai contoh, TNFα yang diproduksi oleh tumor dan sel imun, dapat membuat suatu sel bertahan dengan upregulation

protein anti-apoptosis yaitu BCl -2 melalui aktivasi Nuclear Factor kappa B

(NFkB) (Cristofanon, et al., 2009; Chen, et al., 2007; D’Alessio, 2004).

Adanya modulasi protein anti apoptosis menyebabkan ekspresi/aktivasi mediator inflamasi yang merupakan faktor yang menentukan dalam

chemoresistance. Aktivasi yang berkelanjutan dari faktor inflamasi tersebut telah berhasil ditemukan pada banyak kanker, contohnya kanker hati, kanker prostat, dan juga leukemia akut. Pada kasus tersebut, peningkatan BCl -2 anti apoptosis banyak ditemui (Tricot, 2000).

Peningkatan produksi PGE2 yang berfungsi untuk mengatur proliferasi sel, kematian sel dan invasi tumor pada banyak kanker seperti kanker kolon, kanker payudara dan kanker paru diinduksi oleh adanya peningkatan COX-2 (Breyer, Bagdassarian and Breyer, 2001). Pembentukan kanker diartikan sebagai


(35)

ketidakseimbangan antara proliferasi dan kematian sel. PGE2 dapat menghambat apoptosis pada sel kanker kolon manusia. Telah dibuktikan bahwa PGE2 dapat meningkatkan kadar protein anti apoptosis BCl -2 pada sel HCA-7, yang memproduksi PGE2 dalam jumlah yang banyak dalam penelitian yang dilakukan Sheng, Shao, Morrow, Beauchamp, and DuBois (1998). PGE2 dapat memperantarai efek ini melalui reseptor Epidermal Growth Factor (EGF), yang mengaktivasi Mitogen-Activated Protein Kinases (MAPK). PGE2 mengaktivasi

EGFR dengan merangsang ekspresi amphiregulin, suatu substrat Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR). Aktivasi MAPK meningkatkan jumlah BCl -2. Ekspresi amphiregulin berkorelasi dengan banyaknya COX-2 dalam sel (Damstrup et al.,1999). Efek COX-2 terhadap proliferasi sel dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Pengaruh ekspresi COX-2 pada kanker kolorektal (Ghosh, Chaki, Mandal, and Mandal, 2011)

Asam arakidonat

COX-2

PGH

PGE2 MMP

Invasi

P-Akt Pro- TGFα TGFα Sinyal EGFR Penghambatan Apoptosis K-Ras Adhesi Angiogenesis Migrasi


(36)

Prostaglandin juga mengaktivasi phosphatidyl-inositol-3-kinase (PI3K) melalui jalur RAS/MAPK (mitogen- activated protein kinase) dan pengaktifan NF -кB (Nuclear Factor Kappa B). Aktivasi RAS/MAPK meningkatkan proliferasi sel, sedangkan aktivasi NF-кB akan menghambat apoptosis dan dapat memicu ekspresi sitokin inflamasi atau stress oksidatif pada sel inflamatori yang menyebabkan peningkatan ekspresi COX-2 pada sel epitel. Prostaglandin juga menginduksi ekspresi matriks metalloproteinase (MMP) yang berperan dalam proses metastasis. Enzim COX-2 diketahui menstimulasi faktor angiogenik seperti

vascular endothelial growth factor (VEGF) dan basic Fibroblast Growth Factor

(bFGF) yang berperan dalam angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru). Peningkatan ekspresi COX-2 dapat meningkatkan ekspresi dan aktivasi protein antiapoptosis serta inaktivasi tumor suppressor factors dan protein proapoptosis. (Hanahan and Weinberg, 2011; Tenggara and Kurniawati, 2011).

C. WiDr

Colorectal adenocarcinoma cell line (WiDr) merupakan lini sel yang diderivatisasi dari sel kanker kolon manusia (Chen et al., 1987). Sel ini mengekspresikan antigen karsinoembrionik dalam kulturnya. Sel ini memiliki

doubling time selama 15 jam dan memiliki efisiensi platting 51% (Noguchi, et al.,

1979) dan berbentuk polygonal (Gander, Gotzos, Fellay and Schwaller, 2013) WiDr mengekspresikan COX-2 dengan jumlah yang sangat tinggi (Palozza et al.,

2005).

Sel WiDr memiliki sifat resisten terhadap 5-fluorourasil. Usaha peningkatan sensitivitas dilakukan dengan transfeksi p53 sel normal namun tidak


(37)

menunjukan adanya peningkatan (Giovanneti, et al., 2007) dengan IC50 sebesar

422 µM (Gilang, Hermawan, Fitriasari, and Jenie, 2012). Hal ini mungkin disebabkan karena adanya peningkatan thymidyl sinthase dalam sel WiDr (Sigmond, Backus, Wouters, Temmink, Jansen, Peters, 2003) yang memiliki efek berkebalikan terhadap efektivitas obat penghambat thymidylate synthase

(Giovanneti et al., 2007).

Sel WiDr memiliki kelebihan yaitu dapat membentuk tumor histologis mendekati 100% setelah diinokulasikan selama 1-4 minggu pada empat host yang berbeda. Sel WiDr juga mudah dikulturkan dan memiliki doubling time yang singkat bila dibandingkan dengan kultur sel kanker kolon lainnya. Sel ini juga memiliki platting efficiency yang tinggi dan mengekspresikan biomarker yang berguna yaitu CEA (Noguchi et al., 1979).

D. Tanaman Keladi Tikus 1. Deskripsi tanaman

Gambar 3. Tanaman Keladi Tikus

Tanaman keladi tikus (Gambar 3) tergolong dalam famili Araceae, Bagian tanaman yang digunakan untuk obat adalah semua bagian tanaman.


(38)

Termasuk tanaman yang tumbuh menahun, tingginya bisa mencapai 10 – 45 cm, hidup diatas permukaan tanah. Tumbuh di tempat terbuka yang terdapat sinar matahari, tetapi memiliki kelembapan. Tumbuh dalam jumlah banyak dan biasanya sebagai gulma. Tanaman ini berumbi bulat pepat, berwarna putih dan beracun (Mangan, 2003).

2. Klasifikasi tanaman Kingdom : Plantae

Filum : Magnoliophyta Kelas : Magnoliae Ordo : Arales Famili : Araceae Genus : Typhonium

Species : Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume

(India Biodiversity Portal, 2013).

3. Nama daerah

Tanaman keladi tikus dikenal dengan nama daerah bira kecil, daun panta susu, kalamoyang, ileus, ki babi, dan trenggiling mentik (Mangan, 2003).

4. Kandungan fitokimia

Kandungan kimia keladi tikus yang telah teridentifikasi adalah ester metil asam heksa dekanoat, asam oktadekanoat, asam 9-oktadekanoat dan asam 9,12 oktadekadinoat. Selain itu, beberapa senyawa alifatik yang teridentifikasi adalah dodekan, tridekan tetradekan, pentadekan, heksadekana, heptadekana, oktadekan, nonadekan dan eikosan. Tidak satu pun dari senyawa yang


(39)

teridentifikasi menunjukkan atau diketahui memiliki perilaku sitotoksik (Choo et al., 2001).

Senyawa feoforbid a, feoforbid a’ dan metal feoforbid teridentifikasi sebagai fraksi dari keladi tikus yang paling aktif. Konstituen ini menunjukan aktivitas anitiproliferatif yang tinggi terhadap sel kanker dan aktivitasnya meningkat seiring dengan perlakuan fotoaktivasi. Beberapa senyawa lain yang teridentifikasi adalah asam heksadekanoat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, kampesterol, stigmasterol, dan beta-sitosterol (Lai, Mas, Nair, Mansor,

and Navaratnam, 2010). Senyawa glikosida flavonoid dari daun tanaman ini telah berhasil dilakukan oleh Farida, Wahyudi, Wahono dan Hanafi (2012) dan memiliki aktivitas antioksidan yang poten, serta agak toksik dengan nilai lethal concentration (LC50)sebesar 15.84 g/mL terhadap brine shrimp.

E. Doksorubisin

Doksorubisin (Gambar 4) merupakan antibiotik golongan antrasiklin yang diisolasi dari kultur Streptomyces peucetius var.caesius (Drugbank, 2005) dan merupakan agen kemoterapi yang secara luas dipakai untuk berbagai macam kanker. Doksorubisin menginduksi apoptosis dengan fosforilasi p53 pada asam amino serin 392, menginduksi p21, penghambatan fase Gap-2 (G2) dan peningkatan protein proapoptosis, BAX (Lupertz, et al., 2010).

Doksorubisin dapat berikatan dengan DNA-associated enzymes, menyisip pada pasangan basa DNA. Doksorubisin juga mengaktivasi berbagai sinyal molekular yaitu AMP-activated protein kinase including apoptosis (AMPK) dan juga terlibat dalam jalur apoptosis 2/Bax. Doksorubisin mengubah rasio


(40)

BCl-2/Bax didalam sel yang menyebabkan berlangsungnya jalur kaspase yang mengakibatkan apoptosis. Doksorubisin memiliki kekurangan yaitu menginduksi apoptosis dan nekrosis pada sel sehat dan menimbulkan toksisitas pada otak, hati, ginjal dan jantung (Tacar, Sriamornsak, and Dass, 2013).

Gambar 4. Struktur kimia doksorubisin (Drugbank, 2005) F. Apoptosis dan Nekrosis

Apoptosis yang juga disebut kematian sel tipe satu, didefinisikan sebagai perubahan karakteristik pada morfologi nukleus, termasuk kondensasi dan fragmentasi kromatin, penyusutan sel secara keseluruhan, pembengkakan membran plasma dan pembentukan badan apoptosis yang mengandung nukleus atau material sitoplasmik (Osthoff, 2008).

Apoptosis dikendalikan oleh rangsangan internal dan eksternal. Beberapa macam faktor eksternal untuk aktivasi apoptosis, misalnya oleh TNF (tumor necrosis factor) melalui reseptornya yang akan memicu apoptosis melalui aktivasi jalur cascade caspase. Jalur ini menyebabkan dikenalnya reseptor TNF sebagai reseptor kematian. Faktor eksternal lainnya adalah Transforming Growth Factor β


(41)

Faktor internal antara lain adalah supresor tumor (p53) dan antimetabolit penghambat nutrien (Subowo, 2011).

Apoptosis dapat dihambat oleh sinyal dari sel lain atau lingkungan sekitarnya melalui jalur yang disebut survival factors. Hal ini melibatkan faktor pertumbuhan, hormon seperti estrogen dan androgen, asam amino netral, zink, dan interaksi dengan matrik protein ekstraseluler. Beberapa sel dan protein virus dapat beraksi sebagai inhibitor kaspase. Regulator terpenting dalam apoptosis adalah sinyal internal dari protein BCl -2. Anggota dari keluarga protein ini memiliki aktivitas antiapoptosis dan proapoptosis yang menentukan kehidupan dan kematian sebuah sel. Protein-protein ini berinteraksi satu sama lain untuk menekan atau mempropagasi aktivitasnya sendiri dengan melakukan berbagai aksi langkah apoptosis. Mereka juga dapat berinteraksi secara independen terhadap mitokondria untuk mengeluarkan sitokrom c, yang merupakan agen apoptosis yang paling poten (Ross and Pawlina, 2006).

Nekrosis pada umumnya dianggap sebagai kematian sel yang tidak terkontrol dan biasanya terjadi karena kecelakaan. Secara biokimiawi, penyebab yang paling dominan adalah adanya deplesi energi, pembentukan spesies oksigen reaktif dan aktivasi protease non-apoptosis. Hal-hal tersebut menyebabkan hilangnya fungsi homeostatis pada pompa ion dan kerusakan pada membrane lipid serta pembengkakan membran sel dan selanjutnya sel mengalami ruptur (Osthoff, 2008).

Nekrosis merupakan proses kematian sel secara patologik yang dapat menimbulkan peradangan. Nekrosis dapat disebabkan oleh mikroorganisme,


(42)

virus, bahan kimia dan agen-agen lain yang dapat merusak jaringan (hipotermia, hipoksia, radiasi, pH rendah, dan trauma). Terjadi influx air dan ion-ion dari celah ekstraselular, sebagai akibat kerusakan membran sel. Kejadian ini berlanjut dengan pelepasan kandungan sitoplasma, termasuk enzim-enzim dalam lisosom ke dalam celah ekstraselular (Subowo, 2011).

Dalam kondisi fisiologis, kerusakan membran plasma dapat juga disebabkan oleh virus, substansi seperti komplemen, atau protein yang disebut perforin. Pembengkakan sel yang cepat dan lisis adalah dua karakteristik dalam proses ini (Ross, 2006).

G. Uji sitotoksik dengan metode MTT

Uji MTT (3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5 difenil tertazolium bromide) didasarkan pada konversi MTT menjadi kristal formazan oleh sel hidup, yang menggambarkan aktivitas mitokondrial. Karena pada umumnya aktivitas mitokondrial total dalam suatu populasi sel berhubungan dengan jumlah sel yang hidup, uji ini dipakai secara luas untuk mengukur efek sitotoksik obat secara in vitro terhadap suatu sel (Meerlo, Kaspers, and Closs, 2011).

Uji MTT dilakukan untuk melihat kemampuan sel hidup untuk mengonversi garam tetrazolium yang larut dalam air. [3– (4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide] (MTT) diubah menjadi formazan yang tidak larut dalam air (Gambar 4). Garam tetrazolium menerima elektron dari substrat yang teroksidasi atau enzim yang sesuai, seperti NADH dan NADPH. MTT tereduksi pada bagian ubikuinon, sitoktom b dan c pada bagian transpor elektron


(43)

mitokondria dan merupakan hasil dari aktivitas enzim suksinat dehidrogenase (Supino, 1995).

Uji sitotoksik selain uji MTT adalah lactate dehydrogenase (LDH) assay. Uji ini memiliki didasarkan atas deteksi kebocoran lactate dehydrogenase pada sel yang mati. Uji yang lain adalah neutral red (NR) dengan prinsip pewarnaan lisosom pada sel hidup, serta uji kandungan protein (protein assay) pada sel hidup. Diantara keempat uji sitotoksik tersebut, MTT memiliki sensitivitas yang paling baik (Fotakis and Timbrell, 2006).

Keuntungan penggunaan uji MTT adalah kemampuannya untuk mengukur dalam waktu yang relatif pendek, bahkan dalam doubling period suatu sel, dan perbedaan dalam aktivitas metaboliknya (Sieuwerts, Klijin, Peters, and

Foekens, 1995). MTT adalah garam larut dalam air, bermuatan positif bersifat permeabel terhadap membran sel (Riss et al., 2013) yang dapat diubah menjadi formazan berwarna ungu yang tidak dapat larut dengan pemotongan cincin tetrazolium dengan enzim suksinat dehidrogenase didalam mitokondria. Produk formazan tersebut bersifat impermeabel terhadap membran sel dan juga terakumulasi dalam sel sehat. Uji MTT telah diuji validitasnya dalam banyak lini / galur sel (Mossmann, 1983). Beberapa bukti terakhir menyimpulkan bahwa reduksi MTT juga dapat diperantarai oleh NADH atau NADPH didalam sel dan diluar mitokondria (Berridge and Tan, 1992).


(44)

Gambar 5. Reaksi MTT menjadi Formazan

H. Uji apoptosis double staining

Sejak awal kemunculannya, metode uji flow cytometric propidum iodide (PI) telah digunakan secara luas sebagai uji apoptosis pada banyak model eksperimental. Metode ini didasarkan pada karakteristik sel yang mengalami apoptosis yaitu adanya fragmentasi DNA dan hilangnya DNA pada inti sel. Metode ini menggunakan agen fluorochrome, contohnya PI, yang dapat berikatan dan melabeli DNA. Metode ini mampu mendapatkan hasil uji DNA sel yang cepat (selesai dalam 2 jam). Sejak publikasinya uji PI telah digunakan secara luas pada banyak laboratorium (Riccardi and Niccoleti, 2006).

Agen fluorochrome yang lain adalah Acridine orange (AO), yang dapat berikatan dengan semua asam nukleat dan dapat menembus membran, bersama dengan propidium iodide (PI) yang merupakan pewarna yang tidak dapat menembus membran yang juga mengikat semua asam nukleat merupakan kombinasi pewarna untuk mengetahui integritas sel. PI berflouresensi merah apabila berikatan dengan asam nukleat dan AO berflouresensi hijau apabila berikatan dengan DNA untai ganda dan berflouresensi merah apabila berikatan dengan RNA atau DNA untai tunggal (Helberstadt and Emerich, 2007).


(45)

Uji viabilitas sel double-staining dengan komponen yang dapat menyisip DNA yaitu acridine orange dan ethidium bromide (AO/EB) atau propidium iodide (PI) didasarkan pada prinsip bahwa acridine orange (AO) dapat masuk ke dalam sel hidup ataupun sel mati, sedangkan EB dan PI hanya dapat menembus membran sel yang mengalami disintegrasi. Sel hidup berwarna hijau jika dibaca dibawah mikrokop floresens dan sel mati berwarna merah (Kavanagh, 2007).

I. Uji Imunositokimia

Imunositokimia merupakan cabang dari penelitian mikroskopik dimana antibodi digunakan untuk mendeteksi keberadaan suatu molekul pada level mikroskop cahaya maupun elektron. Imunositokimia adalah perbaikan dari metode sebelumnya yaitu histokimia dan sitokimia enzim dimana molekul reaktif atau aktivitas enzim dideteksi sebagai reaksi warna (Vaughn, 2013).

Imunositokimia merupakan identifikasi komponen jaringan secara in situ

dengan interaksi antigen-antibodi spesifik dimana antibodi tersebut telah dilabeli.

Cell staining merupakan metode yang kuat untuk mendemonstrasikan keberadaan suatu molekul spesifik didalam sel. Dalam metode ini, antibodi spesifik yang berikatan dengan antigen dideteksi dengan reagen sekunder, biasanya berupa antibodi lain yang sudah dilabeli fluophore atau enzim (Javois, 1999).

Terdapat beberapa jenis imunositokimia, yaitu langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Imunositokimia langsung menggunakan antibodi primer berlabel. Sebagai contoh, untuk mendeteksi suatu antigen didalam sel, antibody primer yang digunakan adalah adalah rabbit anti-antigen yang dilabeli dengan


(46)

menggunakan antibodi tambahan. Imunositokimia langsung merupakan metode yang paling sederhana dan merupakan metode imunositokimia pertama yang ada. Imunositokimia tidak langsung menggunakan antibodi sekunder berlabel yang berikatan dengan antibodi primer. Antibodi sekunder dibuat dengan cara menginjeksikan IgG yang dimurnikan dari suatu spesies sebagai antigen (Burry, 2011).

J. LANDASAN TEORI

Kanker kolon merupakan kanker yang terjadi di daerah usus besar dan daerah rektum. Target karsinogensis pada kolon dan rektum adalah kripta sel epitel kolon dan 98% adenokarsinoma ada di kolon dan rektum. Penyakit ini marak terjadi pada negara maju dan berkembang. Pengobatan yang sudah ada memiliki efek samping yang berat sehingga perlu dilakukan eksplorasi bahan alam yang poten dan lebih aman.

Tanaman keladi tikus yang tergolong dalam famili Araceace, memiliki kandungan flavonoid yang tinggi pada daunnya dan senyawa glikosida flavonoid apigenin, yang memiliki aktivitas antikanker terhadap sel kanker kolon SW480, telah berhasil diidentifikasi dan diisolasi dari ekstrak etil asetatnya. Hal tersebut mendasari pemilihan ekstrak etil asetat untuk diuji terhadap sel kanker kolon WiDr.

Uji sitotoksik dilakukan untuk mengetahui kemampuan antikanker dari ekstrak uji dengan prinsip kolorimetri. Sel yang masih hidup berkemampuan untuk mereduksi reagen MTT menjadi kristal formazan berwarna biru karena masih memiliki enzim suksinat dehidrogenase yang terdapat dalam mitokondria


(47)

sel hidup, sedangkan enzimnya tidak aktif lagi pada sel yang mati. Hasil yang diperoleh dari uji ini merupakan absorbansi yang dapat di konversikan menjadi nilai IC50 yang dapat menggambarkan potensi suatu senyawa antikanker. Hasil

dipertegas dengan uji double staining untuk mengetahui jenis kematian sel secara apoptosis, atau nekrosis terkait dengan sifat selektifitas ekstrak. COX-2 ditemukan pada sel kanker kolon dan dapat menginduksi apoptosis bila dihambat. Penghambatan COX-2 ekstrak etil asetat daun keladi tikus pada sel kanker kolon WiDr dilakukan dengan uji imunositokimia.

HIPOTESIS

Ekstrak etil asetat daun keladi tikus mempunyai aktivitas sitotoksik yang menginduksi apoptosis diperantarai oleh penekanan ekspresi COX-2 pada sel kanker kolon WiDr.


(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang uji aktivitas antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr melalui penekanan ekspresi protein COX-2 ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel Utama

a. Variabel bebas

Variabel bebas dari penelitian ini adalah besarnya konsentrasi ekstrak etil asetat daun keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume pada sel kanker kolon WiDr.

b. Variabel tergantung

Variabel tergantung dari penelitian ini adalah viabilitas sel WiDr ditandai dengan nilai IC50 ekstrak etil asetat daun keladi tikus, jumlah sel yang

mengalami apoptosis, dan penekanan ekspresi COX-2. 2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali :

1) Waktu dan tempat pengambilan tanaman yaitu di Malang, Jawa Timur pada bulan Agustus 2014

2) Tempat dilakukan percobaan yaitu di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.


(49)

3) Kondisi sel yang digunakan yaitu sel kanker kolon WiDr dalam keadaan konfluen, tercukupi nutrisinya dan bebas dari kontaminasi. b. Variabel pengacau tidak terkendali :

Dalam penelitian ini, variable pengacau tak terkendali adalah umur tanaman yang diambil serta kandungan kimia yang ada di dalam daun tanaman keladi tikus.

3. Definisi operasional

a. Sitotoksisitas didefinisikan sifat toksik dari ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker WiDr yang dinyatakan dalam nilai IC50

b. Ekstrak daun keladi tikus didefinisikan ekstrak kental daun keladi tikus yang diperoleh dengan cara maserasi selama 48 jam menggunakan pelarut etil asetat.

c. Sel WiDr adalah sel model kanker kolon yang termutasi pada gen p53 dan mengekspresikan COX-2 dalam jumlah tinggi.

d. IC50 (Inhibition Concentration 50) didefinisikan besarnya konsentrasi

ekstrak daun keladi tikus yang dapat menghambat sejumlah 50% pertumbuhan sel kanker WiDr.

C. Bahan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan daun keladi tikus (diperoleh dari Malang, Jawa Timur) sel kanker WiDr (diperoleh dari koleksi Laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada), Pelarut DMSO (Merck), etil asetat (CV. General Labora) media tumbuh sel kanker WiDr yang terdiri atas


(50)

Serum (FBS) 10% (v/v) (Gibco), dan antibiotik penisilin-streptomisin 1 %(v/v) (Gibco), medium pencuci sel WiDr yang terdiri atas RPMI 1640, natrium bikarbonat, dan hepes. Reagen MTT (3-[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5 difenil tertazolium bromide) (50 mg MTT dan 10mL PBS), pelarut phoshat buffer saline

(PBS) 1X pH 7,4 (dibuat dengan melarutkan 8 g NaCl; 0,2 g KCl; 0,2 g KH2PO4;

dan 1,15 g Na2HPO4 dalam 1 liter akuades), reagen stopper yang mengandung

sodium deodesil sulfat (SDS) 10% dalam 0,01 N HCl dan tripsin 0,5 %, tryptan blue, dan aquabidest, antibodi anti-human COX-2 (Thermo Scientific Lab Vision), biotinylated universal secondary antibody (Lab Vision), xylol, etilen dan

hematoxylin (Dako).

D. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : alat-alat gelas, blender, timbangan analitik, ayakan, waterbath, aluminium foil, magnetic stirrer, tabung conical, autoklaf, tangki nitrogen cair, tissue culture flask, swing rotor sentrifuge, inkubator, mikropipet, lemari pandingin, cell counter, 96-well plate, 24-well plate, ELISA reader, laminar air flow, mikroskop, mikroskop fluoresensi

haemocytometer, oven, yellow tips, blue tips, effendorf, tabung conical 15 mL,

tissue, glove, masker, kamera DSLR.

E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tanaman keladi tikus

Determinasi tanaman keladi tikus yang didapatkan di Malang, Jawa Timur dengan buku acuan menurut Backer, 1963 dilakukan di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.


(51)

2. Strerilisasi alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini harus disterilisasikan terlebih dahulu. Alat-alat dicuci bersih dibawah air mengalir dengan menggunakan deterjen. Setelah dikeringkan, alat-alat tersebut dibungkus menggunakan aluminium foil dan disterilisasikan dalam autoclave selama 20 menit pada suhu 121°C.

3. Pembuatan simplisia

Daun keladi tikus yang telah dikumpulkan kemudian dicuci bersih dibawah air mengalir. Setelah dicuci daun dikeringkan dibawah terik matahari dan dilanjutkan dengan menggunakan oven pada suhu 50° C. Daun kemudian diserbukkan di Merapi Farma, Kaliurang, Yogyakarta.

4. Ekstraksi daun keladi tikus dengan metode maserasi

Sebanyak 25 gram serbuk simplisia daun keladi tikus direndam dalam 250 mL etil asetat dalam erlenmeyer bertutup dan dibiarkan selama 24 jam terlindung dari cahaya matahari sambil diaduk menggunakan shaker. Setelah 24 jam maserat diambil dan disaring kemudian ditampung dalam tabung erlenmeyer tertutup dan disimpan terlindung dari cahaya matahari. Kemudian ditambahkan pelarut baru dan dilakukan remaserasi selama 24 jam. Setelah 24 jam ekstrak disaring dan ditampung. Ekstrak kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator.

5. Pembuatan media kultur

Disiapkan botol Duran volume 100 mL. Sebelum digunakan, FBS dan penisilin-streptomisin dicairkan terlebih dahulu pada suhu kamar.


(52)

Setelah itu 10 mL FBS diambil dan dituangkan kedalam botol duran lalu ditambahkan 1 mL campuran antibiotik-antifungal penisilin-streptomisin. Kemudian, media RPMI ditambahkan sampai 100 mL (sekitar leher botol). Diberi penandaan pada botol dengan nama media dan tanggal pembuatan media kultur.

6. Uji sitotoksisitas ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr dengan metode MTT

a. Kultur sel WiDr

Sel WiDr diambil dari tangki nitrogen dan segera dicairkan dalam penangas air 37° C. Ampul disemprot dengan etanol 70% dan dimasukkan dalam LAF. Ampul dibuka dan sel WiDr dipindahkan ke dalam conical tube

steril yang telah berisi medium RPMI 1640. Suspensi sel kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 650 rpm selama 3 menit dan supernatan yang terbentuk dibuang. Medium RPMI 1640 yang baru ditambahkan kedalam suspensi sel dan disentrifugasi kembali selama 5 menit hingga homogen dan dicuci ulang sekali lagi. Setelah suspensi sel WiDr didapatkan, ditambahkan 1 mL media kultur yang mengandung 10% FBS. Resuspensikan kembali secara perlahan hingga homogen. Sel WiDr kemudian ditumbuhkan dalam tissue culture flask kecil dan diinkubasikan dalam inkubator CO2

dengan suhu 37° C. Setelah 24 jam, medium kultur WiDr diganti dan sel WiDr ditumbuhkan hingga konfluen dan jumlahnya cukup untuk penelitian. b. Panen Sel WiDr


(53)

Setelah sel WiDr konfluen, medium kultur dibuang kemudian sel WiDr dicuci dengan 3,5 mL PBS sebanyak 2 kali. Tripsin-EDTA sebanyak 300L ditambahkan dalam sel WiDr dan dilakukan inkubasi selama 3 menit dalam inkubator CO2. Sebanyak ± 5 mL media kultur ditambahkan kembali

dan sel WiDr diresuspensikan hingga terlepas seluruhnya dari dinding flask. Suspensi sel dipindahkan ke dalam conical tube steril baru. Sel WiDr dihitung dengan haemocytometer dan cell counter dan dibuat konsentrasi suspensi sel yang digunakan untuk penelitian yaitu sebesar 2x104/100 µL. c. Preparasi larutan uji ekstrak daun keladi tikus

Ekstrak daun keladi tikus ditimbang ± 1 mg dan dimasukkan dalam tabung effendorf kemudian dilarutkan dalam 1 mL DMSO dan divortex sampai homogen untuk mendapatkan larutan ekstrak induk dengan konsentrasi 1 mg/mL. Larutan induk diencerkan dengan media kultur hingga diperoleh seri konsentrasi 1; 10; 100; 400; 1000; 1200; dan 1500 g/mL. d. Preparasi larutan kontrol positif doksorubisin

Doksorubisin dengan konsentrasi stok 2000 M dibuat seri konsentrasi 1; 10; 25; 50; 100; dan 250 M dalam media kultur.

e. Uji sitotoksik dengan MTT assay

Orientasi dilakukan untuk menentukan rentang konsentrasi yang akan dilakukan dalam uji. Sebanyak 100 µL ekstrak daun keladi tikus dengan kadar 1; 10; 100; 400; 1000; 1200; dan 1500 g/mL diteteskan pada suspensi sel WiDr dengan kepadatan 2x104/100 L dalam sumuran yang berbeda pada well plate. Sebagai kontrol, tiga buah


(54)

well berisi 100 µ L suspensi sel ditambahkan 100 µL media kultur. Doksorubisin sebagai kontrol positif dengan konsentrasi 1; 10; 25; 50; 100; 250 ditambahkan ke dalam sumuran.

Sel yang telah diberi perlakuan kemudian diinkubasi selama semalam didalam inkubator dengan suhu 37C, kemudian seluruh larutan uji dan media dibuang seluruhnya dan ditambahkan 100 L reagen MTT ke dalam masing-masing sumuran, diinkubasikan selama 2-4 jam. Reagen stopper ditambahkan dan kemudian sel didiamkan selama semalam. Absorbansi setiap sumuran dibaca menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 595 nm.

7. Uji induksi apoptosis dengan metode Double Staining a. Penanaman sel kanker WiDr

Sel kanker WiDr diambil dari inkubator CO2 kemudian dipanen.

Sel yang digunakan adalah sel yang sudah dalam kondisi 80% konfluen. Dilakukan perhitungan sel dan dibuat suspensi sel sebanyak 5x104 sel tiap 200 L untuk tiap sumuran. Coverslip dimasukkan kedalam 24-well plate

menggunakan pinset dengan hati-hati. Dua ratus µL suspensi sel dimasukkan tepat diatas coverslip secara merata dan perlahan, kemudian didiamkan selama 3-30 menit dalam inkubator agar sel menempel pada

coverslip. Sebanyak 800 µL media kultur sel WiDr ditambahkan kedalam sumuran secara perlahan. Keadaan sel diamati di mikroskop untuk melihat distribusi sel. Dilakukan inkubasi sel dalam inkubator selama semalam. Sebanyak satu konsentrasi sampel pada IC50 terhadap sel kanker kolon


(55)

WiDr dibuat untuk sampel perlakuan dan media kultur untuk kontrol sel, masing-masing sebanyak 1000 µL.

b. Perlakuan Double Staining Sampel pada Sel

Sel WiDr dalam 24-well plate diambil dari inkubator. seluruh media kultur dari tiap-tiap sumuran dibuang dengan mikropipet secara perlahan. Kemudian, kedalam tiap sumuran diteteskan 500 L PBS untuk mencuci sel WiDr. Kemudian PBS dibuang dari sumuran dan ditambahkan sebanyak 1000 µ L larutan uji ekstrak etil asetat daun keladi tikus atau doksorubisin dengan konsentrasi sesuai IC50 terhadap sel kanker kolon

WiDr kedalam sumuran. Media kultur dimasukkan diatas kontrol sel dan kemudian diinkubasikan didalam inkubator selama 24 jam. Setelah diinkubasi, semua media dari sumuran dibuang dan masing-masing dicuci dengan 500 µL PBS. PBS kemudian dibuang dan coverslip diambil menggunakan pinset dengan bantuan ujung jarum dengan hati-hati. Letakkan coverslip di atas object glass (kaca obyek) dan diberi label. Teteskan 10 µ L reagen campuran ethidium bromide-akridin oranye di atas

coverslip dan ratakan dengan cara digoyangkan secara perlahan. Preparat tersebut kemudian diamati di bawah mikroskop fluoresens dan didokumentasikan.

8. Pengamatan ekpresi protein dengan metode imunositokimia

Sel kanker WiDr diambil dari inkubator CO2 kemudian dipanen.

Sel yang digunakan adalah sel yang sudah dalam kondisi 80% konfluen. Dilakukan perhitungan sel dan dibuat suspensi sel sebanyak 5x104 sel tiap


(56)

200 L untuk tiap sumuran. Coverslip dimasukkan kedalam 24-well plate

menggunakan pinset dengan hati-hati. Dua ratus µL suspensi sel dimasukkan tepat diatas coverslip secara merata dan perlahan, kemudian didiamkan selama 3-30 menit dalam inkubator agar sel menempel pada

coverslip. Sebanyak 800 µL media kultur sel WiDr ditambahkan kedalam sumuran secara perlahan. Keadaan sel diamati di mikroskop untuk melihat distribusi sel. Inkubasi sel dilakukan di dalam inkubator selama semalam. Sebanyak satu konsentrasi sampel pada IC50 dibuat untuk sampel

perlakuan dan media kultur untuk kontrol sel, masing-masing sebanyak 1000 µL.

Sebuah 24 well plate yang telah berisi sel diambil dari inkubator. Semua media kultur dari sumuran dibuang dengan mikropipet secara perlahan. Sel dicuci dengan PBS 500 L kemudian PBS dibuang. Sampel berupa ekstrak etil asetat daun keladi tikus atau doksorubisin sebanyak 1000 µL dimasukkan kedalam sumuran. Kemudian sebanyak 1000 µL media kultur sel dimasukkan kedalam sumuran sebagai kontrol sel. Kemudian diinkubasikan didalam inkubator selama 15 menit. Kondisi sel WiDr diamati sebelum difiksasi. Media kultur dibuang seluruhnya dari sumuran dan masing-masing dicuci dengan 500 µL PBS. PBS dibuang dan coverslip diambil menggunakan pinset dengan bantuan ujung jarum dengan hati-hati. Coverslip diletakkan di dalam 24-well plate dan diberi label pada masing-masing perlakuan. Sebanyak 300 µL methanol dingin ditambahkan dan diinkubasi selama 10 menit dalam freezer. Methanol


(57)

dibuang secara perlahan dan coverslip dijaga agar tidak terbalik. Sebanyak 500 µL PBS kemudian ditambahkan pada coverslip dan didiamkan selama 5 menit. PBS kemudian diambil dengan mikropipet 1000 µL kemudian ditambahkan 500 µL akuades. Akuades dibuang setelah 5 menit dan dilakukan pencucian dengan akudest selama 2 kali. Larutan hidrogen peroksida (blocking solution) ditambahkan pada

coverslip, lalu diinkubasikan selama 10 menit. Larutan dibuang dengan mikropipet dan diteteskan predilute blocking serum kemudian diinkubasikan selama 10 menit. Larutan dibuang dan ditetesi antibodi monoklonal primer mouse anti-human COX-2. 500 µL PBS ditambahkan kedalam sumuran dan diinkubasi selama 5 menit. PBS dibuang dan ditetesi antibodi sekunder rabbit anti-mouse COX-2 yang dilabeli oleh biotin (biotinylated universal secondary antibody) serta diinkubasi selama 10 menit. 500 µ L PBS ditambahkan dan diinkubasi selama 5 menit. PBS dibuang dan diteteskan dengan reagen yang berisi kompleks streptavidin-enzim peroksidase lalu diinkubasi selama 10 menit. Kemudian 500 µ L PBS ditambahkan dan diinkubasi selama 5 menit. PBS dibuang dan diteteskan larutan substrat kromogen DAB lalu diinkubasi selama 10 menit. Sebanyak 500 µ L akuades ditambahkan kemudian buang kembali. Larutan haemotoxylin diteteskan dan diinkubasi selama 3 menit. 500 µL akuades ditambahkan lalu di buang kembali. Coverslip

diangkat dengan pinset secara hati-hati kemudian dicelupkan dalam larutan xylol. Coverslip kemudian dicelupkan dalam alkohol dan


(58)

dikeringkan. Coverslip kemudian diletakkan di atas object glass dan ditetesi dengan mounting media. Tutup coverslip dengan coverslip kontak dan ekspresi protein diamati dengan mikroskop.

F. Tata Cara Analisis Hasil 1. Uji MTT

Dari data yang diperoleh pada uji MTT, dihitung % viabilitas selnya dengan menggunakan rumus :

� � −� � �

� � −� � � x 100%

Setelah data % viabilitas di plot pada tabel, IC50 dihitung dengan

menggunakan program R-2.14.0, suatu aplikasi statistika open source yang dikembangkan oleh Dr. Enade Perdana Istyastono, PhD, Apt.

2. Uji Double Staining

Sel yang berwarna hijau menunjukkan sel yang hidup, sedangkan sel yang berwarna merah menunjukkan sel yang mati. Sel utuh berwarna merah menunjukkan sel nekrosis sedangkan sel yang terfragmentasi menunjukkan sel yang mengalami apoptosis karena pada sel yang mengalami apoptosis terbentuk badan-badan apoptosis.

Pembacaan data dilakukan dengan bantuan blind reader. Sebanyak tiga orang responden menghitung jumlah sel yang mengalami apoptosis, nekrosis atau sel hidup pada preparat yang terdiri dari tiga bagian tiap preparatnya. Hasil yang didapatkan berupa % rata-rata ± SD. 3. Uji Immunositokimia


(59)

Ekspresi protein tertentu (misal COX-2) ditunjukkan dengan warna coklat pada sitoplasma (bukan inti sel). Pembacaan data dilakukan dengan bantuan blind reader. Sebanyak tiga orang responden menghitung jumlah sel yang mengekspresikan COX-2 pada preparat yang terdiri dari tiga bagian tiap preparatnya. Hasil yang didapatkan berupa % rata-rata ± SD.

Skoring dilakukan dengan cara menghitung persentase sel yang mengekspresikan COX-2 dalam satu preparat. Hasil negatif didapatkan apabila sel yang mengekspresikan COX-2 ≤5% dan positif apabila sel yang mengekspresikan COX-2 >5%. Nilai skor diberikan sesuai dengan persentase sel yang mengekspresikan COX-2; Skor 0 : 5%; Skor 1 : 6– 25%; Skor 2 : 26–50%; Skor 3: 51–75%; dan Skor 4 : 76–100%. (Vang, Gown, Barry, Wheeler, and Ronnet, 2006)


(60)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penyiapan Ekstrak Keladi Tikus

Dilakukan determinasi tanaman sebagai langkah pertama yang bertujuan untuk memastikan kebenaran suatu tanaman yang diuji. Berdasarkan determinasi yang telah dilakukan di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan menggunakan buku acuan Flora of Java (Backer, 1963) daun yang dipakai dalam penelitian ini adalah benar daun keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume (lampiran 10). Daun yang diambil sebaiknya memiliki umur yang relatif sama agar kadar senyawa aktifnya tidak berbeda. Daun yang sudah dipetik dicuci dengan air mengalir agar pengotor seperti debu, organisme kecil atau tanah pada daun dapat dihilangkan. Setelah itu daun ditiriskan dan dikeringkan. Daun yang diperoleh seberat 950,57 gram.

Pengeringan daun dilakukan dibawah sinar matahari dibawah kain hitam agar tidak terpapar sinar matahari langsung yang mungkin merusak zat aktif didalam daun. Pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air didalam simplisia agar terhindar dari penjamuran, menjamin kualitas agar tetap baik, dapat disimpan dalam waktu lama dan terhindar dari kerusakan zat aktif karena keberadaan air dapat mengaktifkan enzim yang dapat merusak zat aktif dalam simplisia. Daun dikeringkan didalam oven agar benar-benar kering dan ditandai dapat hancur ketika digenggam. Daun yang telah kering kemudian diserbukan di


(61)

Merapi Farma, Yogyakarta. Jumlah serbuk yang didapatkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 25 gram.

Maserasi dilakukan untuk mendapatkan zat-zat aktif yang terdapat dalam daun keladi tikus. Maserasi merupakan salah satu cara penyarian yang sederhana yaitu simplisia direndam dengan cairan penyari yang akan menarik senyawa aktif yang terkandung di dalam daun. Prinsip maserasi yaitu adanya perpindahan massa dari sel simplisia ke dalam cairan penyari mengikuti derajat konsentrasi. Maserasi merupakan ekstraksi tanpa pemanasan, sehingga cocok digunakan untuk ekstraksi senyawa-senyawa yang sensitif pada suhu tinggi.

Maserasi dapat dilakukan dengan atau tanpa adanya penggojogan. Apabila maserasi yang dilakukan berupa tanpa penggojogan, maserasi berlangsung selama seminggu. Pada penelitian ini metode maserasi yang dipilih adalah maserasi dengan penggojogan selama 48 jam. Setelah 24 jam, cairan penyari diganti dengan yang baru dan ditampung, hal ini dilakukan untuk menghindari kejenuhan senyawa di dalam cairan penyari. Kecepatan maserasi yang digunakan adalah 150 rpm, karena pada kecepatan tersebut semua serbuk dalam wadah sudah dapat teraduk dan terjadi kontak yang terus menerus dengan cairan penyari.

Hasil maserasi kemudian disaring agar terpisah dari serbuk, kemudian ditampung dan dipekatkan dengan rotary evaporator dengan suhu 77,1C yang

merupakan titik didih etil asetat. Ekstrak kental yang didapatkan dimasukkan kedalam cawan porselen dan dipanaskan diatas water bath dan diuji bobot tetapnya. Bila tidak ada perubahan bobot dalam jangka waktu tertentu,


(62)

diperkirakan bahwa cairan penyari yaitu etil asetat sudah tidak terdapat di dalam ekstrak kental. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya bias, karena kemungkinan yang menyebabkan kematian sel bukanlah ekstraknya tetapi pelarut yang tertinggal.

B. Uji Sitotoksik Ekstrak Etil Asetat Daun Keladi Tikus terhadap Sel Kanker WiDr

Daya antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap sel kanker kolon WiDr dalam penelitian ini diketahui melalui pengujian efek ekstrak terhadap sel kanker kolon WiDr dengan melihat korelasi antara log konsentrasi ekstrak dan viabilitas sel. DMSO dipilih sebagai pelarut ekstrak karena telah digunakan secara luas dan tidak mempengaruhi pertumbuhan sel ataupun bersifat sitotoksik. Hal ini telah diteliti oleh Violante, Zerrouk, Richard, Provot, Chaumeil,

and Arnaud (2005) yang meneliti tentang daya sitotoksik DMSO terhadap sel tumor kolon CaCo2 dan hasilnya tidak ditemukan efek sitotoksik terhadap sel

dengan kadar DMSO 10%. Menurut Sarir (2005), kematian sel yang terjadi setelah penambahan DMSO diakibatkan karena nutrisi dalam media telah habis atau kepadatan sel yang terlalu rapat.

Biakan sel kanker kolon WiDr ditumbuhkan dalam media kultur yang mengandung antibiotik (penisilin-streptomisin), dan antifungal (Fungizone) untuk mencegah terjadinya kontaminasi akibat bakteri dan jamur, FBS yang mengandung hormone yang mampu memacu pertumbuhan sel dan juga berperan dalam transport protein, mineral, dan lemak, dan RPMI yang berfungsi untuk menyediakan nutrient untuk pertumbuhan sel yaitu asam amino, vitamin,


(63)

garam-garam anorganik dan glukosa agar sel dapat tumbuh dengan baik (Freshney, 2011).

Orientasi dalam uji MTT dilakukan untuk menentukan rentang konsentrasi sampel yang akan digunakan. Orientasi dilakukan dengan empat rentang konsentrasi yang berbeda. Rentang konsentrasi yang pertama adalah 10.000; 1000; 100; 10; 10; 1; 0,1; 0,01. Ekstrak yang terlalu pekat pada konsentrasi tertinggi pada rentang ini menyebabkan terbacanya absorbansi ekstrak oleh ELISA reader. sehingga hasilnya tidak valid dan kemudian dilakukan orientasi dengan rentang konsentrasi kedua yang lebih rendah yaitu 5000; 1000; 100; 10; 1; 0,1; 0,01. Hasil yang didapatkan pada rentang konsentrasi ini masih tidak valid karena ekstrak masih terlalu pekat sehingga absorbansinya terbaca oleh

ELISA reader.

Rentang konsentrasi ketiga dalam penelitian ini dari yang terkecil sampai terbesar adalah 1; 10; 400; 100; 1000; 1200; dan 1500 g/mL. Pada rentang ini masih terdapat ekstrak yang terbaca absorbansinya, tetapi tidak sebesar konsentrasi sebelumnya. Konsentrasi ini dipilih agar kurva antara viabilitas sel dan log konsentrasi ekstrak yang terbentuk berupa kurva sigmoid, yang menggambarkan aktivitas enzim suksinat dehidrogenase (Gambar 6). Metode MTT dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etil asetat daun keladi tikus terhadap viabilitas sel kanker kolon. Metode ini dipilih karena sensitif, relatif cepat dan mudah dilakukan (Sieuwerts et al, 1995). Pencucian suspensi sel dengan PBS dilakukan setelah perlakuan sampel uji terhadap suspensi sel dan telah diinkubasikan selama 24 jam. Proses metabolisme oleh enzim suksinat


(64)

dehidrogenase dilakukan sel hidup terhadap MTT yang ditambahkan dan setelah dilakukan inkubasi menghasilkan warna ungu yang berbanding lurus dengan jumlah sel yang masih hidup. Warna ungu ini menandakan adanya perubahan MTT menjadi kristal formazan yang berwarna ungu.

Pembacaan hasil dilakukan dengan menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 595 nm, yaitu pada panjang gelombang maksimal kristal formazan. Terdapat nilai minus yaitu pada konsentrasi 1000 g/mL replikasi I dan II yang kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh adanya kontaminasi yang terjadi pada kontrol media, perbedaan kepadatan sel antar sumuran, dan adanya sampel yang ikut terbawa masuk ke kontrol media sehingga kontrol media menunjukan absorbansi yang lebih besar daripada perlakuan, sehingga hasil perhitungan viabilitas sel bernilai minus.

Nilai IC50 dihitung dengan menggunakan program R, dan didapatkan nilai

IC50 sebesar 102 g/mL. Menurut Ueda et al (2002) nilai IC50 dibawah 100

g/mL menunjukan bahwa ekstrak tersebut memiliki potensi sebagai anti kanker. Potensi ekstrak sebagai antikanker digolongkan dalam tiga tingkat, yaitu kuat (IC50<20), sedang (IC50<50) dan lemah (IC50>50) (Ellithey, Lall, Hussein, and

Meyer, 2013). Ekstrak etil asetat daun keladi tikus berpotensi sebagai antikanker namun memiliki kekuatan yang lemah terhadap sel kanker kolon WIDr.


(65)

Gambar 6. Kurva hubungan viabilitas sel vs log konsentrasi ekstrak keladi tikus Dilihat dari morfologi selnya, sel yang mati terlihat lebih gelap, terlihat dekat dengan lensa karena mengambang (tidak menempel pada dasar plate), tidak saling menempel dan batas antar sel tidak jelas. Sel yang masih hidup memiliki ciri berwarna lebih cerah karena sitoplasmanya masih mengandung cairan sitoplasma yang dapat meneruskan cahaya dari mikroskop inverted, menempel satu dengan yang lain, berbentuk bulat dan terlihat menempel di dasar plate. Sel yang mengalami perubahan morfologi ditunjukkan oleh anak panah berwarna merah, sedangkan sel normal ditunjukan oleh anak panah berwarna oranye pada gambar 7. Aktivitas antikanker ekstrak etil asetat daun keladi tikus memiliki pola

dose dependent, yaitu viabilitas sel akan menurun seiring kenaikan konsentrasi sampel, kecuali pada seri konsentrasi yang paling tinggi, yaitu didapatkan viabilitas sel yang justru meningkat. Hal ini disebabkan karena sampel yang terlalu pekat, sehingga meskipun telah dicuci oleh PBS tetap meninggalkan bekas di dalam well plate dan menyebabkan absorbansi yang lebih tinggi.

-10 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

viab il it as s el ( % ) log konsentrasi


(66)

Setelah pemberian MTT, perbedaan morfologi sel dapat semakin terlihat. Sel-sel yang masih hidup dapat mengubah MTT menjadi kristal formazan berwarna biru keunguan sedangkan pada sel yang mati tidak ditemukan adanya perubahan yang menimbulkan warna. Reagen stopper ditambahkan untuk melarutkan kristal formazan. Kontrol sel memiliki intensitas warna yang paling tinggi dan jika dibandingkan dengan perlakuan, intensitas warnanya semakin menurun seiring kenaikan konsentrasi ekstrak yang diberikan. Intensitas warna ini akan terbaca oleh ELISA reader, dan hasilnya akan berbanding lurus dengan viabilitas sel.

(A) (B) (C)

(D)

Gambar 7. Efek sitotoksik ekstrak daun keladi tikus terhadap sel WiDr.

Pada konsentrasi ekstrak 1500 g/mL (A), dan 1200 g/mL, (B), tidak teramati bentuk sel karena tertutup oleh sampel yang pekat. Pada konsentrasi 200 g/mL (C), terlihat beberapa sel mengalami

perubahan morfologi dan pada konsentrasi 1 g/mL (D), tidak ditemukan perubahan morfologi. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop inverted perbesaran 400x.


(67)

Aktivitas antikanker dari tanaman keladi tikus juga dilaporkan oleh beberapa penelitian sebelumnya, yaitu terhadap sel kanker rahim HeLa (Da’i et al, 2007), dan terhadap sel kanker leukemia P338 (Choo et al., 2001).

C. Uji Apoptosis Ekstrak Etil Asetat Daun Keladi Tikus dengan Metode Double Staining

Apoptosis adalah kematian sel terprogram yang menghasilkan perubahan karakteristik morfologi dan biokimia sel. Apoptosis dirangsang oleh kerusakan DNA, adanya TNF (Tumor Necrosis Factor) atau tidak adanya faktor pertumbuhan. Peristiwa apoptosis ditandai dengan adanya membran blebbing

tanpa hilangnya integritas membran, kondensasi dan fragmentasi kromatin, pemadatan organela sitoplasma, dilatasi dari retikulum endoplasma, penurunan volume sel dan pembentukan badan apoptosis (Subowo, 2011).

Peristiwa apoptosis dapat dideteksi dengan pengecatan akridin oranye – etidium bromida. Metode ini didasarkan pada perbedaan profil fluoresensi DNA pada sel mati dan sel hidup yang berikatan dengan akridin oranye atau etidium bromida. Akridin oranye dapat menembus masuk ke dalam sel yang hidup atau yang mati. Akridin oranye bila berikatan dengan DNA untai ganda menghasilkan warna fluorosensi hijau, dan menghasilkan warna merah bila berikatan dengan DNA untai tunggal. Etidium bromida hanya bisa masuk kedalam sel yang membran plasmanya sudah rusak. Sel yang mengalami nekrosis mengalami kerusakan membran sel sehingga etidium bromida dapat masuk kedalam sel kemudian akan berikatan dengan RNA atau DNA untai tunggal dan menghasilkan floresensi merah bila dilihat dari mikroskop fluoresens. Warna yang ditimbulkan


(68)

oleh etidium bromida lebih dominan daripada yang ditimbulkan akridin oranye, sehingga pada sel yang mengalami nekrosis berwarna merah sedangkan sel yang mengalami apoptosis berwarna oranye kemerahan. Sel yang masih hidup berwarna hijau merata, sedangkan sel yang mengalami apoptosis memiliki warna oranye terfragmentasi yang menandakan bahwa sel mengalami fase late apoptosis atau berwarna hijau seperti sel hidup namun terdapat warna kekuningan di bagian tengah sel yang berarti terdapat kondensasi kromatin yang menandakan sel mengalami fase early apoptosis. Sel yang berwarna merah merata adalah sel yang mengalami nekrosis (Gambar 8).

(A) (B) (C) Gambar 8. Hasil Uji Double Staining Ekstrak Keladi Tikus. Kontrol sel (A), Perlakuan

dengan ekstrak keladi tikus 102 µg/mL (B), Perlakuan dengan Doksorubisin 21 µg/mL (C) Apoptosis Nekrosis Sel Hidup

Konsentrasi yang digunakan dalam uji ini adalah sesuai dengan nilai IC50

yang didapatkan pada uji MTT yaitu 102 µg/mL untuk ekstrak etil asetat daun keladi tikus dan 21 µM untuk doksorubisin. Uji double staining merupakan uji kualitatif, namun dapat dijadikan sebuah uji semi-kuantitatif, dengan pengambilan beberapa layang pandang yaitu tiga buah foto gambaran keadaan sel tiap satu preparat, yang dianggap mewakili seluruh keadaan sel dalam preparat tersebut.


(69)

Pembacaan hasil dilakukan dengan bantuan blind reader. Sebanyak tiga orang pengamat diminta untuk menghitung jumlah sel yang mengalami apoptosis, nekrosis dan sel yang masih hidup pada foto sel, tanpa mengetahui perlakuan yang diberikan terhadap sel yang diamati. Tabel I menunjukan bahwa sebanyak 65.275±1.27 % sel mengalami apoptosis. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak etil asetat daun keladi tikus pada IC50 102 g/mL menginduksi terjadinya apoptosis,

meskipun tidak sebesar Doksorubisin yaitu sebesar 92.916±2.204 %

Menurut Mohan, et al. (2010) ekstrak keladi tikus menginduksi apoptosis sel melalui peningkatan sitokrom c, suatu protein heme yang berperan sebagai pembawa elektron yang larut dalam air dalam fosforilasi oksidatif mitokondria. Sitokrom c dapat berinteraksi dengan Apaf-1 membentuk CARD (Caspase Recruitment Domain). Beberapa CARD kemudian bergabung membentuk kompleks apoptosome kemudian mengikat pro-caspase 9 dan mengaktivasinya menjadi caspase 9 (inisiator kaspase). Caspase 9 mengaktivasi procaspase-3 menjadi caspase 3. Caspase 3 membelah gelsolin, suatu protein yang berfungsi untuk memelihara morfologi sel. Jika gelsolin dibelah, timbul pembelahan filament aktin didalam sel sehingga sel kehilangan integritasnya. Caspase 3 juga memotong Poly ADP (Adenosine Diphosphate)-Ribose Polymerase (PARP), sebuah enzim yang berperan dalam perbaikan dan pemeliharaan DNA. Caspase 3


(1)

Nilai p-value > 0,05 berarti data memiliki kesamaan varian.

Rata-rata ekstrak VS rata-rata Doksorubisin

Nilai p-value > 0,05 berarti data memiliki kesamaan varian c. Uji t-berpasangan

Kontrol Sel vs Pemberian Ekstrak keladi tikus

Nilai p-value < 0,05 berarti data berbeda signifikan


(2)

Nilai p-value < 0,05 berarti data berbeda signifikan

Ekstrak VS doksorubisin


(3)

(4)

(5)

(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul “UJI AKTIVITAS

ANTIKANKER EKSTRAK ETIL ASETAT DAUN

KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme (Lodd.)

Blume) TERHADAP SEL KANKER KOLON WiDr

MELALUI PENEKANAN EKSPRESI PROTEIN

COX-2” dengan nama lengkap Handika Immanuel merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Nanang Handoko dan Ibu Hanny Buntoro. Penulis dilahirkan di Cirebon, pada tanggal 11 Pebruari 1993. Penulis menempuh pendidikan formal di TK Kristen BPK Penabur Cirebon (1997-1999), SD Kristen BPK Penabur Cirebon (1999-2005), SMP Kristen 1 BPK Penabur Cirebon (2005-2008), dan SMA Kristen 1 BPK Penabur Cirebon (2008-2011). Penulis melanjutkan studi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2011. Semasa perkuliahan, penulis memiliki pengalaman sebagai Asisten Dosen Praktikum Kimia Dasar (2012). Penulis aktif dalam mengikuti kegiatan kepanitiaan seperti anggota dari seksi P3K dalam acara

Pharmacy Performance (2011), dan sebagai seksi perlengkapan dalam acara Latihan


Dokumen yang terkait

Efek Imunostimulator Ekstrak Etanol Umbi Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd) Blume.) terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe Lambat Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

3 29 82

Aktivitas Protein Umbi Sebagai Antiproliferasi Sel Kanker Mcf 7 Dan Karakterisasi Lektin Umbi Dari Keladi Tikus (Typhonium Flagelliforme

0 11 68

UJI SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme L), KEMANGI (Ocimum Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Keladi Tikus (Typhonium Flagelliforme L), Kemangi (Ocimum Sanctum L) Dan Pepaya (Carica Papaya L) Terhadap Sel Hela.

0 2 13

Daun keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) sebagai agen kemopreventif terhadap sel kanker serviks (HeLa) melalui regulasi Bcl-2.

0 1 49

Daun keladi tikus (Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume) sebagai agen kemopreventif terhadap sel kanker serviks (HeLa) melalui regulasi Bcl 2

0 2 47

Efek Ekstrak Etanol Daun Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme Lodd.) pada Invasi Sel Kanker Lidah Manusia (SP-C1) in vitro | Zakiyana | Jurnal Mutiara Medika 1579 4347 1 PB

0 0 7

Daya Hambat Ekstrak Etanol Daun Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme Lodd.) terhadap Proliferasi Sel Kanker Lidah Manusia (Sp-c1) secara In Vitro | Harhari | Jurnal Mutiara Medika 922 2656 2 PB

0 6 5

Efek Ekstrak Tanaman Keladi Tikus [Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume] Terhadap Eritema pada Tikus Putih Betina oleh Radiasi Alat Modifikasi UV 04-08 - Ubaya Repository

0 0 2

UJI AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL 50°/o UMBI KELADI TIKUS (TYPHONIUM FLAGELLIFORME (LOOD) Bl) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA MCF-7 IN VITRO

0 0 6

Aktivitas sitotoksik fraksi etil asetat daun mulwo (Annona reticulata L.) terhadap sel kanker kolon WiDr - USD Repository

0 1 86