Aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat di SLB B Yapenas kelas V dengan menggunakan alat peraga bola bermuatan.

(1)

AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SLB B YAPENAS KELAS V

DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA BOLA BERMUATAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun Oleh :

Paulina Lystianingsih Riardi 081414076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA


(2)

i

AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SLB B YAPENAS KELAS V

DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA BOLA BERMUATAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh :

Paulina Lystianingsih Riardi NIM : 081414076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sedikit pengetahuan yang dilaksanakan jauh lebih berharga

daripada banyak pengetahuan tapi tidak digunakan

(Kahlil Gibran)

“ Segala Sesuatu Indah Pada Waktunya”

(Pengkhotbah 3:11a)

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu memberkati dan melimpahkan

kasih-Nya untukku.

Bapak dan Ibu ku tercinta

Nenek ku tersayang

Mbak-mbak dan adik-adik ku tersayang

Semua orang yang aku sayangi

Terimakasih atas segala doa, dukungan dan kasih yang diberikan

.


(6)

(7)

(8)

vii ABSTRAK

Paulina Lystianingsih Riardi. 2013. Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Dalam

Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Bulat Di SLB B Yapenas Kelas V Dengan Menggunakan Alat Peraga Bola Bermuatan. Skripsi. Yogyakarta:

Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Tujuan dari penelitan ini adalah untuk (1) mengetahui aktivitas belajar siswa-siswi SLB B (tunarungu) dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga dan (2) mengetahui apakah pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar siswa-siswi di SLB.

Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SLB B Yapenas, tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 2 siswa. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif-kuantitatif. Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari: (1) lembar pengamatan aktivitas belajar siswa, (2) soal tes hasil belajar siswa berupa pre test dan post test, (3) wawancara dan (4) dokumentasi. Analisis data aktivitas siswa diperoleh berdasarkan lembar pengamatan, video rekaman dan hasil wawancara sedangkan analisis hasil belajar siswa dengan cara menghitung nilai pada saat pre test dan juga post test, kemudian dibandingkan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Dyah dan Ika melakukan aktivitas-aktivitas belajar meliputi visual activities seperti siswa memperhatikan guru ketika menjelaskan materi, listening activities seperti siswa mendengarkan guru saat menjelaskan dan siswa berdiskusi/bekerjasama, writing activities seperti siswa mencatat hal-hal penting, motor activities seperti siswa melakukan praktek menggunakan alat peraga bola bermuatan dan mental activities seperti siswa mengerjakan soal latihan yang diberikan. Aktivitas yang kurang menonjol adalah oral activities seperti bertanya dan menyatakan pendapat. (2) Hasil belajar siswa pada pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga terlihat ada peningkatan, nilai Dyah pada saat pre test 46,63 naik menjadi 67, 86 pada saat post test sedangkan nilai Ika pada saat pre test 53,57 naik menjadi 75 pada saat post test jadi nilai post test mereka memenuhi KKM yaitu 67.

Kata Kunci: Aktivitas, Hasil Belajar, Alat Peraga, Bilangan Bulat, SLB B (tunarungu)


(9)

viii ABSTRACT

Paulina Lystianingsih Riardi. 2013. Student Activities and Student Learning

Result in Learning Integer Count Operation in SLB B Yapenas Grade V with Using Contained Ball Props. Thesis. Yogyakarta: Mathematic Education,

Deaprtment of Mathematic and Science Education, Teacher Training and Education Faculty, Sanata Dharma University.

The purposes of this research were to (1) elaborate the learning activities of SLB B students (with hearing impairment) in Learning Integer Count Operation with using props and (2) know learning integer with using props can increase student’s SLB B learning result.

The subjects of this research is all of the SLB B Yapenas grade V students, school year 2012/2013 which were two students. This research was Qualitative-Quantitative Descriptive Research. The research instruments were as following (1) student activities observation sheet, (2) test material and student’s test result in form of pre test and post test, (3) interview and (4) documentation. Data analysis of student activities was obtained according to observation sheet, recorded videos, and interview result, while student learning result analysis was obtained by calculation the pre test and post test score, then both of them were compared.

The result of this research showed that (1) Dya and Ika did learning activities such as visual activities which is student’s paid attention of the teacher when describe of material, listening activities which is student’s listening when teacher explained and student’s did disscusion, writing activities which is student’s take a note the important things, motor activities which is student’s did practicing use contained ball props and mental activities which is student’s did exercises that giving. The less activity that showed is oral activities which is student’s asked and explained opinion. (2) student learning result in integer count operation using props increases. Dyah’s score increases from 46,63 in pre test to 67,86 in post test, while Ika’s score increases from 53,57 in pre test to 75 in post test. Therefore, their post test scores have passed KKM which is 67.

Keywords: Student activities, learning result, props, integer, SLB B (Students with hearing impairment)


(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Pengasih atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis diberi waktu dan kemampuan untuk dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa dalam

Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Bulat di SLB B Yapenas Kelas V dengan Menggunakan Alat Peraga”. Pembuatan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Program Studi Pendidikan Matematika. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bangtuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan FKIP.

2. Bapak Drs. Aufridus Atmadi, M. Si. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

3. Bapak Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S.Pd. selaku ketua Program Studi Pendidikan Matematika yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. St. Suwarsono selaku Dosen Pembimbing Akademik. 5. Bapak Drs. A. Sardjana, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang dengan

penuh kesabaran telah membimbing dan memberikan masukan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(11)

x

6. Bapak Drs. Th. Sugiarto, M.T dan Bapak Dominikus Arif Budi Prasetyo, S.Si., M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.

7. Segenap dosen JPMIPA yang telah membantu dan memberikan dukungan selama penulis menempuh kuliah, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktu.

8. Segenap Staf Sekretariat JPMIPA yang telah membatu dalam hal administrasi kampus selama penulis melakukan studi disini.

9. Bapak Marjani, M.Pd selaku kepala sekolah SLB Yapenas Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.

10.Ibu Sayekti Ningsih, S.Pd selaku guru kelas V SLB B Yapenas Yogyakarta dan Bapak Tri Rukmana, S.Pd selaku guru konsultan, yang dengan tulus dan sabar membantu dan membimbing penulis dalam melaksanakan penelitian.

11.Siswa-siswa SLB B Yapenas kelas V atas kesediaan terlibat dalam penelitian ini.

12.Orang tua terkasih, Bapak Clement Junardi dan Ibu Theresia Riami. Terimakasih atas doa dan dukungan yang diberikan untuk penulis.

13.Mbak Ana, Mbak Eko, Adik-Adikku Agung, Siska, Vendo dan Cicing. Terimakasih untuk doa dan dukungan yang telah diberikan.

14.Teman-temanku yang telah membantu selama penelitian Ana, Nesya, Ayu, Gustin, Dika, Maria, Evi dan seluruh teman seperjuangan dari program


(12)

xi

studi Pendidikan Matematika angkatan 2008 yang memberikan dukungan kepada penulis selama studi.

15.Teman-teman Mitra Perpustakaan Universitas Sanata Dharma atas dukungan yang diberikan kepada penulis.

16.Seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah turut serta membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penulis


(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah... 5

E. Batasan Istilah... 6

F. Tujuan Penelitian ... 7


(14)

xiii

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

A. Aktivitas Belajar ... 9

B. Hasil Belajar ... 13

C. Bilangan Bulat ... 14

D. Alat Peraga... 15

E. Bola Bermuatan ... 17

F. Klasifikasi Sekolah Luar Biasa... 25

G. Tunarungu... 29

1. Pengertian Anak Tunarungu... 29

2. Klasifikasi Anak Tunarungu... 29

3. Dampak Ketunarunguan... 34

4. Karakteristik Kecerdasan Anak Tunarungu... 35

5. Metode Komunikasi Anak Tunarungu... 37

H. Prinsip Pendidikan Anak Berkelainan... 39

I. Kerangka Berpikir... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

A. Jenis Penelitian ... 44

B. Variabel Penelitian ... 44

C. Waktu dan Tempat Penelitian... 45

D. Subyek Penelitian ... 45

E. Bentuk Data ... 45

F. Metode Pengumpulan Data ... 46


(15)

xiv

H. Analisis Data... 51

I. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 52

BAB IV DESKRIPSI PENELITIAN, ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

A. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 55

1. Observasi Sebelum Pelaksanaan Penelitian ... 56

2. Pelaksanaan Penelitian ... 58

a. Pertemuan Pertama ... 58

b. Pertemuan Kedua ... 64

c. Pertemuan Ketiga ... 68

d. Pertemuan Keempat ... 77

e. Pertemuan Kelima ... 83

f. Pertemuan Keenam ... 89

B. Data Hasil Penelitian ... 90

C. Analisis Data... 94

1. Analisis Lembar Pengamatan Aktivitas Belajar Siswa ... 94

2. Analisis Hasil Belajar Siswa... 101

BAB V PENUTUP ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian A ... 93

Tabel 4.2 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian B ... 93

Tabel 4.3 Hasil Belajar Siswa Soal Pre Test Bagian C ... 93

Tabel 4.4 Hasil Belajar Siswa Soal Post Test Bagian A ... 93

Tabel 4.5 Hasil Belajar Siswa Soal Post Test Bagian B ... 94

Tabel 4.6 Hasil Belajar Siswa Soal Post Test Bagian C ... 94

Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Pre Test dan Post Test Bagian A ... 103

Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Pre Test dan Post Test Bagian B... 103


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN A

Lampiran A.1 Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran ... 111

Lampiran A.2 Kisi-Kisi Soal Pre Test dan Post Test ... 117

Lampiran A.3 Soal Pre Test ... 118

Lampiran A.4 Soal Post Test ... 120

Lampiran A.5 Kunci Jawaban Soal Pre Test ... 122

Lampiran A.6 Kunci Jawaban Soal Post Test ... 124

Lampiran A.7 Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa ... 126

LAMPIRAN B Lampiran B.1 Hasil Rangkuman Pengamatan Aktivitas Siswa ... 127

Lampiran B.2 Hasil Lembar Pengamatan Aktivitas Siswa ... 131

Lampiran B.3 Hasil Pre Test ... 155

Lampiran B.4 Hasil Post Test ... 159

Lampiran B.5 Foto Penelitian ... 163

Lampiran B.6 Surat Ijin Penelitian ... 165


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan bidang studi yang diajarkan sejak siswa menginjak usia sekolah. Hal ini dimaksudkan agar siswa-siswi tidak merasa asing dengan pelajaran matematika dan mereka dapat berpikir logis sejak usia dini. Walaupun demikian, sebagian besar siswa-siswi kurang berminat dalam mata pelajaran matematika. Mereka memandang matematika sebagai sesuatu yang sulit dan membebani. Kesulitan yang mereka hadapi diantaranya adalah matematika merupakan mata pelajaran yang abstrak dan berisi perhitungan yang menggunakan banyak rumus. Hal seperti ini juga dirasakan oleh siswa-siswi di Sekolah Luar Biasa, bahkan mungkin kesulitan yang mereka alami lebih banyak daripada kesulitan yang dialami oleh siswa-siswi di sekolah umum karena kondisi mereka yang berbeda. Pengertian berbeda/berkelainan adalah suatu kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan tersebut secara eksplisit ditujukan kepada anak yang dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya (Mohammad Efendi, 2006: 2). Anak berkelainan adalah anak yang berbeda dari rata-rata umumnya, dikarenakan ada permasalahan dalam


(19)

2

kemampuan berpikir, penglihatan, pendengaran, sosialisasi, dan bergerak (Hallahan dan Kauffman dalam Mohammad Efendi, 2006: 2).

Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang ditujukan untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Pengklasifikasian anak-anak berkelainan di Indonesia jika dikaitkan dengan kepentingan pendidikannya dapat dibagi menjadi: bagian A adalah sebutan untuk kelompok anak tunanetra (anak berkelainan penglihatan), bagian B adalah sebutan untuk kelompok anak tunarungu (anak berkelainan pendengaran), bagian C adalah sebutan untuk kelompok anak tunagrahita (anak berkelainan mental subnormal), bagian D adalah sebutan untuk kelompok anak tunadaksa (anak berkelainan fungsi anggota tubuh), dan bagian E adalah sebutan untuk kelompok anak tunalaras (anak berkelainan perilaku) (Mohammad Efendi, 2006: 11). Tunarungu adalah anak yang berkekurangan pada indera pendengaran, anak-anak ini berkomunikasi dan berinteraksi dengan menggunakan bahasa isyarat dan membaca bibir.

Prinsip pendidikan anak berkelainan berbeda dengan prinsip pendidikan untuk anak di sekolah umum. Prinsip pendidikan bagi anak berkelainan antara lain kasih sayang, layanan individual, kesiapan, keperagaan, motivasi, belajar dan bekerja kelompok, keterampilan, penanaman dan penyempurnaan sikap (Mohammad Efendi, 2006: 24). Salah satu prinsip pendidikan bagi anak berkelainan adalah keperagaan yang maksudnya adalah penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran. Alat peraga dapat digunakan untuk mempermudah


(20)

pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan guru. Khususnya untuk mata pelajaran matematika, penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran diharapkan dapat membantu siswa-siswi agar dapat memahami konsep-konsep matematika yang abstrak dengan lebih mudah.

Matematika banyak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, setiap siswa-siswi di SLB pasti mengalami kejadian-kejadian yang berhubungan dengan matematika. Sehingga penggunaan media pembelajaran berupa alat peraga dalam pembelajaran kiranya dapat meningkatkan minat siswa-siswi untuk belajar yang tentunya dapat berdampak pada hasil belajar dan aktivitas belajar siswa di kelas. Alat peraga yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bola bermuatan. Alasan menggunakan alat peraga ini adalah untuk lebih menarik perhatian siswa-siswi SLB kelas V karena alat peraga ini menggunakan bola-bola dengan 2 macam warna. Pemanfaatan alat peraga dalam pelajaran matematika dapat membantu menyampaikan konsep matematika yang membutuhkana alat bantu seperti materi bilangan bulat. Materi ini tidak mudah dalam menanamkan konsepnya dan terbukti masih banyak siswa-siswi yang kesulitan untuk memahami konsep materi ini. Bilangan bulat terdiri dari semua bilangan asli, nol dan semua lawan bilangan asli. Materi yang akan diteliti pada penelitian ini adalah operasi hitung bilangan bulat khususnya pada operasi penjumlahan dan pengurangan pada siswa-siswi SLB B kelas V. Materi ini sudah didapat di kelas IV namun masih banyak kesulitan yang dihadapi oleh para siswa. Kesulitan yang ditemui adalah


(21)

4

kesulitan dalam menjumlahkan bilangan negatif dengan bilangan negatif dan juga mengurangkan bilangan negatif dengan bilangan negatif.

Berdasarkan observasi di SLB Yapennas, proses pembelajaran yang berlangsung disini lebih terfokus pada siswa-siswi, guru mengajar berdasarkan kemampuan dan kondisi siswa-siswi karena guru mengetahui bagaimana tingkat pemahaman siswa-siswi. Akan tetapi berdasarkan pengamatan yang dilakukan, siswa-siswi disini kurang aktif dalam proses pembelajaran. Mereka cenderung pasif dan melakukan apapun sesuai dengan petunjuk guru dan juga proses pembelajaran yang berlangsung, guru belum memanfaatkan penggunaan alat peraga. Berdasarkan wawancara dengan guru kelas, siswa-siswi disini kurang cepat dalam memahami materi sehingga guru akan sering mengulang materi yang sedang dipelajari.

Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana proses pembelajaran yang berlangsung di SLB. Dengan demikian peneliti

memilih judul “AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM

PEMBELAJARAN OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DI SLB B YAPENAS KELAS V DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA

BOLA BERMUATAN”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pengamataan peneliti, identifikasi masalah yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :


(22)

1. Masih kurangnya pemanfaatan media pembelajaran berupa alat peraga yang digunakan oleh guru

2. Banyaknya siswa-siswi yang kurang berminat dan kurang aktif dalam proses pembelajaran matematika di kelas.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian yang akan dilaksanakan dibatasi pada:

1. Pembelajaran hanya pada materi operasi hitung bilangan bulat terutama untuk penjumlahan dan pengurangan.

2. Kelompok sasaran yang akan dikenai tindakan adalah siswa-siswi di SLB B kelas V.

3. Alat peraga yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bola bermuatan.

4. Hasil belajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah sesuatu yang diperoleh setelah siswa-siswi melakukan proses pembelajaran yang dinyatakan dalam bentuk angka (skor).

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang akan peneliti teliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah aktivitas belajar siswa-siswi SLB dalam pembelajaran dengan menggunakan alat peraga pada materi operasi hitung bilangan bulat?


(23)

6

2. Apakah pembelajaran dengan menggunakan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar siswa-siswi di SLB?

E. Batasan Istilah 1. Aktivitas Belajar

Aktivitas belajar adalah kegiatan yang dilakukan siswa-siswi pada saat proses pembelajaran berlangsung dibatasi dengan adanya peran serta siswa dalam kegiatan pembelajaran yang berkaitan dengan keaktifan siswa.

2. Hasil Belajar

Hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh atau di dapat sebagai bentuk perubahan, dimana perubahan ini di dapat setelah seseorang melakukan proses belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai (skor). 3. Alat Peraga

Suatu alat/benda yang sengaja dibuat untuk membantu menanamkan konsep matematika kepada siswa-siswi sehingga siswa-siswi dapat lebih mudah memahami materi yang diajarkan.

4. Bilangan Bulat

Bilangan bulat adalah bilangan-bilangan yang terdiri atas semua bilangan asli, nol dan semua lawan bilangan asli. Bilangan asli dikenal dengan bilangan bulat positif dan lawan bilangan asli dikenal dengan bilangan bulat negatif. Himpunan bilangan bulat dapat dituliskan sebagai berikut :{... , -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, ...}


(24)

5. Siswa SLB B Yapennas kelas V adalah siswa-siswi kelas V SLB tunarungu di sekolah SLB Yapennas tahun ajaran 2012/2013. Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen.

Dari berbagai batasan istilah di atas, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa dalam Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Bulat di SLB B Yapenas Kelas V dengan Menggunakan Alat Peraga Bola Bermuatan adalah segala kegiatan yang dilakukan siswa-siswi kelas V SLB tunarungu selama proses pembelajaran berkaitan dengan keaktifan siswa dan hasil yang telah dicapai setelah siswa mengikuti pembelajaran matematika mengenai operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga bola bermuatan.

F. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Mengetahui aktivitas belajar siswa-siswi SLB B (tunarungu) dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga

3. Mengetahui apakah pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar siswa-siswi di SLB?


(25)

8

G. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Bagi peneliti

a. Peneliti mendapat pengalaman dan menjadi lebih mengerti bagaimana cara mengajarkan materi operasi hitung bilangan bulat pada siswa-siswi di SLB

b. Peneliti dapat mengetahui aktivitas dan hasil belajar yang dicapai siswa-siswi SLB dalam pembelajaran dengan menggunakan alat peraga pada materi operasi hitung bilangan bulat.

2. Bagi siswa

Siswa-siswi dapat tertarik untuk belajar matematika dengan pemanfaatan alat peraga yang menarik dan tepat sasaran.

3. Bagi guru

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai masukan dalam menemukan metode yang tepat untuk membuat pembelajaran matematika lebih menarik.

4. Bagi sekolah

Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melengkapi sarana dan prasarana belajar dalam menunjang peningkatan kualitas hasil belajar siswa khususnya penggunaan alat peraga.


(26)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Aktivitas Belajar

Aktivitas sangat penting dalam proses pembelajaran, pembelajaran di kelas tidak dapat berlangsung jika tidak ada aktivitas belajar siswa-siswi. Aktivitas belajar adalah kegiatan dan kesibukan yang dilakukan siswa dalam proses pembelajaran yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuannya dan dapat menimbulkan perbuatan belajar. Perbuatan belajar ini akan membawa perubahan pada diri seseorang untuk memperoleh suatu kecakapan/pengetahuan baru. Aktivitas belajar siswa adalah inti dari kegiatan belajar di sekolah. Dari beberapa uraian di atas, jelas bahwa dalam kegiatan belajar, subjek didik/siswa harus aktif berbuat. Dengan kata lain, bahwa dalam belajar sangat diperlukan adanya aktivitas. Tanpa aktivitas, proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik (Sardiman A. M, 2008: 97).

Menurut Sardiman A. M, aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Dalam kegiatan belajar, kedua aktivitas itu harus terkait. Sebagai contoh seseorang sedang belajar dengan membaca, secara fisik terlihat bahwa dia sedang membaca menghadapi suatu buku tetapi mungkin pikiran dan sikap mentalnya tidak tertuju pada buku yang dibaca. Begitu pula sebaliknya jika yang aktif hanya mentalnya. Misalnya ada seseorang yang yang berpikir tentang sesuatu/ide-ide yang perlu


(27)

10

diketahui oleh masyarakat tetapi jika tidak disertai dengan perbuatan/aktivitas fisik seperti dituangkan pada tulisan atau disampaikan kepada orang lain maka ide/pemikiran tersebut tidak berguna. Oleh karena itu, harus ada keserasian antara aktivitas fisik dengan aktivitas mental agar tercipta proses belajar yang optimal.

Prinsip-prinsip aktivitas belajar dari sudut pandangan ilmu jiwa secara garis besar dibagi menjadi dua pandangan yakni Ilmu Jiwa Lama dan Ilmu Jiwa Modern (Sardiman A.M, 2008: 97).

1. Menurut pandangan Ilmu Jiwa Lama

John Locke dengan konsepnya Tabularasa, mengibaratkan jiwa seseorang bagaikan kertas putih yang tidak bertulis kemudian kertas ini akan mendapatkan coretan atau tulisan dari luar. Konsep semacam ini kemudian di transfer ke dalam dunia pendidikan. Siswa diibaratkan kertas putih sedangkan unsur dari luar yang menulisi adalah guru sehingga aktivitas berpusat pada guru, siswa hanya pasif dan menerima begitu saja. Selanjutnya Herbert memberikan rumusan bahwa jiwa adalah keseluruhan tanggapan yang secara mekanis dikuasai oleh hukum-hukum asosiasi, hubungannya dengan konsep John Locke adalah bahwa guru pulalah yang aktif sedangkan siswa pasif, secara mekanis hanya menuruti alur dari hukum-hukum asosiasi tadi. Berdasarkan pendapat 2 ahli tersebut, yaitu John Locke dan Herbert, dalam proses pembelajaran di


(28)

kelas, guru lebih mendominasi kegiatan yang berlangsung sedangkan siswa-siswi pasif dan hanya menerima apa saja yang guru berikan. Aktivitas siswa-siswi terutama terbatas pada mendengarkan, mencatat, dan menjawab pertanyaan bila guru memberikan pertanyaan. Aktivitas yang dilakukan siswa-siswi didasarkan atas perintah guru, menurut cara yang ditentukan guru sehingga proses belajar mengajar seperti ini tidak mendorong siswa-siswi untuk berpikir dan beraktivitas. 2. Menurut pandangan ilmu Jiwa Modern

Aliran ilmu jiwa yang tergolong modern akan menerjemahkan jiwa manusia sebagai sesuatu yang dinamis. Oleh karena itu, secara alami siswa-siswi juga bisa menjadi aktif, karena adanya motivasi dan didorong oleh bermacam-macam kebutuhan, mereka dipandang sebagai manusia yang yang mempunyai potensi untuk berkembang. Guru bertugas menyediakan bahan pelajaran tetapi yang mengolah dan mencerna adalah para siswa sesuai dengan bakat, kemampuan dan latar belakang masing-masing siswa.

Menurut Paul B. Diedrich (Sardiman A. M, 2008: 101), aktivitas belajar dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi antara lain:

1. Visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya, membaca, memerhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.


(29)

12

2. Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.

3. Listening activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato.

4. Writing activities, seperti misalnya menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.

5. Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram.

6. Motor activities, yang termasuk di dalamnya antara lain: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, beternak.

7. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan.

8. Emotional activities, seperti misalnya: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan siswa-siswi pada saat proses pembelajaran berlangsung dibatasi dengan adanya peran serta siswa dalam kegiatan pembelajaran yang berkaitan dengan keaktifan siswa.


(30)

B. Hasil Belajar

Hasil perilaku belajar ditunjukkan dengan adanya perubahan perilaku dalam keseluruhan pribadi pelajar. Perilaku hasil belajar mencakup aspek-aspek kognitif (penguasaan intelektual), afektif (berhubungan dengan sikap dan nilai), dan psikomotorik (kemampuan keterampilan bertindak/berperilaku). Para pengajar sangat diharapkan mampu mengantisipasi aspek-aspek perubahan perilaku ini yang dimulai dengan perencanaan kegiatan belajar berakhir. Akan tetapi perlu diingat bahwa perilaku belajar sesungguhnya bersumber dari berbagai aspek perilaku lainnya, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Aspek-aspek internal peserta didik yang perlu dipahami antara lain Aspek-aspek potensi, prestasi, kebutuhan, minat, sikap, pengalaman, keadaan fisik, cita-cita, dsb. Sedangkan aspek eksternal adalah antara lain latar belakang keluarga, sosial budaya, ekonomi, lingkungan fisik, dan sebagainya (Mohammad Surya, 2004: 50).

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley (Nana Sudjana, 2010: 22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni: (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Sedangkan Gagne (Nana Sudjana, 2010: 22) membagi lima kategori hasil belajar, yakni: (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motoris.


(31)

14

Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sesuatu yang diperoleh atau di dapat sebagai bentuk perubahan, dimana perubahan ini di dapat setelah seseorang melakukan proses belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai (skor).

C. Bilangan Bulat

Menurut B. Harahap dan ST. Negoro (1979: 7), bilangan bulat adalah bilangan-bilangan yang terdiri atas semua bilangan asli, nol dan semua lawan bilangan asli. Dengan demikian bilangan bulat meliputi:

a. Bilangan asli atau bilangan bulat positif b. Bilangan nol dan

c. Lawan bilangan asli atau bilangan bulat negatif

Berdasarkan Ensiklopedia Matematika, bilangan bulat adalah bilangan yang terdiri dari bilangan bulat positif {1, 2, 3, ... }, bilangan bulat negatif {..., -3, -2, -1}, dan nol {0}. Jadi, himpunan bilangan bulat dapat dituliskan seperti berikut :{... , -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, ...}.

Dengan diagram digambarkan sebagai berikut :

Bilangan bulat negatif Bilangan 0 Bilangan bulat positif

Melalui garis bilangan di atas, anak dapat melihat dan memahami dimanakah letak bilangan bulat negatif, bilangan bulat positif, dan


(32)

bilangan nol. Nol dapat dianggap sebagai batas antara bilangan bulat positif dan bilangan bulat negatif. Pada umumnya, bilangan bulat negatif berada di sebelah kiri bilangan nol dan bilangan bulat positif berada di sebelah kanan bilangan nol. Semakin jauh ke kiri dari nol letak bilangan bulat negatif, maka nilainya akan semakin kecil. Sedangkan semakin jauh ke kanan dari nol letak bilangan bulat positif, maka nilainya akan semakin besar.

D. Alat Peraga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, alat peraga adalah alat bantu untuk mendidik/mengajar supaya apa yang diajarkan mudah dimengerti anak didik. Alat peraga merupakan alat bantu yang digunakan untuk menyampaikan pengetahuan dan pelajaran, yang tentunya alat ini mampu diserap oleh mata dan telinga agar proses belajar mengajar dapat bekerja secara efektif dan lebih efisien, intinya dengan menggunakan alat peraga dapat mempermudah penyampaian pesan yang akan disampaikan. Alat peraga pendidikan merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa.

Kelebihan penggunaan alat peraga menurut Ruseffendi (1990: 1), yaitu dengan alat peraga:


(33)

16

1. Proses belajar mengajar termotivasi. Baik murid maupun guru, dan terutama murid, minatnya akan timbul. Ia akan senang, terangsang, tertarik, dan karena itu akan bersikap positif terhadap pengajaran matematika.

2. Konsep abstrak matematika tersajikan dalam bentuk konkrit dan karena itu lebih dapat dipahami dan dimengerti.

3. Hubungan antara konsep abstrak matematika dengan benda-benda di alam sekitar akan lebih dapat dipahami.

4. Konsep-konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkrit yaitu dalam bentuk model matematika yang dapat dipakai sebagai obyek penelitian maupun sebagai alat untuk meneliti ide-ide baru dan relasi baru, menjadi bertambah banyak.

Menurut Ruseffendi (1990: 3), beberapa hal supaya diperhatikan dalam pembuatan alat peraga yang baik adalah, alat peraga itu:

1. Tahan lama (dibuat dari bahan-bahan yang cukup kuat). 2. Bentuk dan warnanya menarik.

3. Sederhana dan mudah dikelola (tidak rumit).

4. Ukurannya sesuai (seimbang) dengan ukuran fisik anak.

5. Dapat menyajikan (dalam bentuk real, gambar atau diagram) konsep matematika.

6. Sesuai dengan konsep pembelajaran matematika. 7. Dapat menunjukkan konsep matematika dengan jelas.


(34)

8. Peragaan itu supaya merupakan dasar bagi tumbuhnya konsep berpikir yang abstrak bagi siswa.

9. Menjadikan siswa belajar aktif dan mandiri dengan memanipulasi alat peraga, yaitu dapat diraba, dipegang, dipindahkan dan diutak-atik, atau dipasangkan dan dicopot, dan lain-lain.

10.Bila mungkin dapat berfaedah lipat (banyak).

Proses pembelajaran memerlukan media yang penggunaannya diintegrasikan dengan tujuan dan isi/materi pelajaran yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan pencapaian suatu tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Fungsi media pendidikan atau alat peraga pendidikan dimaksudkan agar komunikasi antara guru dan siswa dalam hal penyampaian pesan, siswa lebih memahami dan mengerti tentang konsep abstrak matematika. Siswa diajar lebih mudah memahami materi pelajaran jika ditunjang dengan alat peraga pendidikan.

E. Bola Bermuatan

Alat peraga yang digunakan dalam penelitian ini adalah bola bermuatan. Alat peraga ini terdiri dari bola-bola yang memiliki 2 warna yang berbeda dan dapat membantu siswa-siswi dalam menanamkan konsep matematika materi operasi hitung bilangan bulat khususnya untuk operasi penjumlahan dan pengurangan. Bilangan bulat mencakup bilangan bulat positif dan bilangan bulat negatif sehingga secara langsung siswa


(35)

18

akan belajar mengenai penjumlahan bilangan positif dengan bilangan positif, penjumlahan bilangan positif dengan bilangan negatif dan sebaliknya, penjumlahan bilangan negatif dengan bilangan negatif, pengurangan bilangan positif dengan bilangan positif, pengurangan bilangan positif dengan bilangan negatif dan sebaliknya, pengurangan bilangan negatif dengan bilangan negatif.

Asumsikan bahwa bola-bola tersebut bermuatan positif dan negatif. Kemudian dilakukan kesepakatan terlebih dahulu bahwa satu warna mewakili nilai +1, satu warna yang lain mewakili nilai -1 dan sepasang kedua bola tersebut (bernilai +1 dan -1) bernilai nol. Jumlah bola yang akan digunakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Buat kesepakatan bahwa: a. = +1

b. = -1

c. = 0

+

-

-

-

-

-

+

+

+

-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5

+

+

-

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

+

-

+

-


(36)

Penggunaan alat peraga:

a. Operasi Penjumlahan

1) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif Contoh: 3 + 2 =

Langkah-langkah:

a) Ambil 3 buah bola bermuatan positif dan masukkan ke dalam kotak

b) Karena penjumlahan maka terjadi proses penambahan atau penggabungan sehingga ambil lagi 2 buah bola bermuatan positif dan masukkan ke dalam kotak

c) Hitung semua bola yang ada dalam kotak, sehingga didapatkan 3 + 2 = 5.

2) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif Contoh: 6 + (-2) =

Langkah-langkah:

+

+

+

+

+

+

+

+


(37)

20

a) Ambil 6 buah bola bermuatan positif dan masukkan ke dalam kotak

b) Karena penjumlahan maka terjadi proses penambahan atau penggabungan. Sehingga ambil lagi 2 bola negatif dan masukkan kedalam kotak.

c) Sebelumnya telah disepakati bahwa sepasang bola positif dan negatif bernilai 0. Maka keluarkan semua pasangan bola yang bernilai 0, pada contoh ini ada dua pasang bola bernilai nol sehingga didapatkan 4 + 0 + 0 = 4. Hasil dari 6 + (-2) = 4. 3) Bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif

Contoh: (-4) + (-1) = Langkah-langkah:

a) Ambil 4 bola bermuatan negatif dan masukkan ke dalam kotak

+

+

+

+

+

+

-

+

+

+

+

+

+

-

Keluarkan pasangan

bola bernilai 0


(38)

b) Karena penjumlahan maka terjadi proses penambahan atau penggabungan. Sehingga, ambil satu lagi bola bermuatan negatif dan masukkan ke dalam kotak.

c) Terdapat 5 bola bermuatan negatif di dalam kotak sehingga hasilnya di dapat (-4) + (-1) = (-5)

b. Operasi Pengurangan

1) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat positif Contoh: 4 – 6 =

Langkah-langkah:

a) Ambil 4 buah bola bermuatan positif dan masukkan ke dalam kotak

-

-

-

-

-

-

-

-

-

+

+

+

+


(39)

22

b) Lakukan proses pengurangan dengan mengambil 6 buah bola bermuatan positif tetapi bola yang ada di dalam kotak masih kurang sehingga kita mengingat kembali sifat bilangan bulat yaitu suatu bilangan bila ditambah nol hasilnya tidak berubah.

c) Kita ambil 2 pasang bola bermuatan positif dan negatif ke dalam kotak sehingga di dalam kotak telah ada 6 buah bola bermuatan positif sehingga dapat dilakukan proses pengurangan.

d) Sekarang ambilah 6 buah bola bermuatan positif dan didapatkan 2 buah bola bermuatan negatif yang ada di dalam kotak. Sehingga 4 – 6 = -2

2) Bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif Contoh: 2 – (-3) =

Langkah-langkah:

+

+

+

+

+

+

-

-

Tambahkan pasangan bola bernilai

0

-

-


(40)

a) Ambil 2 buah bola bermuatan positif dan masukkan ke dalam kotak

b) Lakukan proses pengurangan dengan mengambil 3 buah bola bermuatan negatif tetapi ternyata di dalam kotak hanya terdapat 2 buah bola bermuatan positif sehingga kita mengingat kembali sifat bilangan bulat yaitu suatu bilangan bila ditambah nol hasilnya tidak berubah.

c) Kita ambil 3 pasang bola bermuatan positif dan negatif ke dalam kotak sehingga di dalam kotak telah ada 3 buah bola bermuatan negatif sehingga dapat dilakukan proses pengurangan.

d) Sekarang ambilah 3 buah bola bermuatan negatif dan didapatkan 5 buah bola bermuatan positif yang ada di dalam kotak. Sehingga 2 – (-3) = 5

+

+

+

+

+

+

+

-

-

-

Tambahkan pasangan

bola bernilai 0


(41)

24

3) Bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif Contoh: (-4) – (-3) =

Langkah-langkah:

a) Ambilah 4 buah bola bermuatan negatif dan masukkan ke dalam kotak

b) Lakukan proses pengurangan dengan mengambil 3 buah bola bermuatan negatif. Dari 4 buah bola bermuatan negatif diambil 3 buah bola bermuatan negatif lalu dihitung bola yang masih ada di dalam kotak adalah 1 bola bermuatan negatif. Sehingga didapat (-4) – (-3) = -1.

Dari beberapa penjabaran mengenai alat peraga di atas, alat peraga dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu alat/benda yang sengaja dibuat untuk membantu menanamkan konsep matematika kepada siswa-siswi sehingga siswa-siswi dapat lebih mudah memahami materi yang diajarkan.

-

-

-

-

-

+

+

+

+

+


(42)

F. Klasifikasi Sekolah Luar Biasa 1. Tunanetra (SLB A)

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Klasifikasi anak tunanetra ditinjau dari ketajaman untuk melihat bayangan benda dapat dikelompokkan sebagai berikut (Mohammad Efendi, 2006: 31): (a) anak yang mengalami ketunanetraan yang memungkinkan dikoreksi alat optik atau terapi medis, (b) anak yang mengalami ketunanetraan yang memungkinkan dikoreksi alat optik atau terapi medis, tetapi masih mengalami kesulitan menggunakan fasilitas awas/lemah penglihatan, (c) anak mengalami ketunanetraan yang tidak memungkinkan dikoreksi alat optik atau terapi medis serta tidak dapat sama sekali memanfaatkan penglihatan untuk kepentingan pendidikan.

2. Tunarungu (SLB B)

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran. Klasifikasi anak tunarungu ditinjau dari kepentingan tujuan pendidikannya dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut (Mohammad Efendi, 2006: 59): (a) anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20-30 dB (slight losses), (b) anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 dB (mild losses), (c) anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB (moderate losses), (d) anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75 dB (severe losses), (e) anak tunarungu yang kehilangan pendengaran


(43)

26

lebih dari 75 dB (profoundly losses). Sedangkan ditinjau dari lokasi terjadinya ketunarunguan (Mohammad Efendi, 2006: 63), klasifikasi anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: tunarungu konduktif, tunarungu perseptif, dan tunarungu campuran. 3. Tunagrahita (SLB C)

Tunagrahita adalah individu yang memiliki taraf kecerdasan yang sangat rendah sehingga untuk meniti tugas perkembangannya ia sangat membutuhkan layanan pendidikan dan bimbingan secara khusus. Klasifikasi anak tunagrahita dapat dilihat pada angka tes kecerdasan, seperti IQ 0-25 dikategorika idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbecil, dan IQ 50-75 dikategorikan debil/moron (Mohammad Efendi, 2006: 90). Sedangkan klasifikasi anak tunagrahita didasarkan pada penilaian program pendidikan dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut (Mohammad Efendi, 2006: 90): (a) anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti program sekolah biasa, tetapi masih memilki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal. Anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan. (b) anak tunagrahita mampu latih (imbecil) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tungrahita mampu didik. Anak tungrahita mampu latih hanya


(44)

dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari, serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya. (c) anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain. Dengan kata lain (menurut Patton dalam Mohammad Efendi, 2006: 91), anak tungrahita mampu rawat adalah anak tungrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain.

4. Tunadaksa (SLB D)

Tunadaksa adalah individu yang memiliki ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna. Klasifikasi anak tunadaksa (Mohammad Efendi, 2006: 115), dapat dikelompokkan menjadi: (a) anak tunadaksa ortopedi adalah anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian (Heward & Orlansky, 1998 dalam Mohammad Efendi, 2006: 115), baik yang dibawa sejak lahir maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan) sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. (b) anak tunadaksa saraf (Heward & Orlansky, 1991 dalam Mohammad Efendi, 2006: 116) adalah anak tunadaksa yang mengalami kelainan


(45)

28

akibat gangguan pada susunan saraf di otak. Otak sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi dan mental.

5. Tunalaras (SLB E)

Tunalaras adalah individu yang memiliki tingkah laku yang berkelainan, tidak memiliki sikap, suka melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, mudah terpengaruh suasana, sehingga dapat membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain. Klasifikasi anak tunalaras ditinjau dari sumber pemicu tumbuhnya perilaku menyimpang dapat dibedakan menjadi (Mohammad Efendi, 2006:144): (a) penyimpangan tingkah laku ekstrem sebagai bentuk kelainan emosi, anak yang dikategorikan memiliki penyimpangan ini adalah anak yang mengalami kesulitan menyesuaikan perilakunya dengan lingkungan sosial karena adanya tekanan dari dalam, adanya hal-hal yang bersifat neurotic atau psikotic. Indikasi anak berkelainan emosi dapat dipantau dari tekanan jiwa yang ditunjukkan dalam bentuk kecemasan yang mendalam. (b) penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan penyesuaian sosial, anak yang dikategorikan memiliki penyimpangan ini adalah anak yang mempunyai tingkah laku tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat lingkungannya.


(46)

G. Tunarungu

1. Pengertian Anak Tunarungu

Yang dimaksud dengan tunarungu atau berkelainan pendengaran adalah jika dalam proses mendengar terdapat satu atau lebih organ telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Anak yang berada dalam keadaan kelainan pendengaran seperti itu disebut anak berkelainan pendengaran atau anak tunarungu (Mohammad Efendi, 2006: 57).

2. Klasifikasi Anak Tunarungu

Ketajaman pendengaran seseorang diukur dan dinyatakan dalam satuan bunyi deci-Bell (disingkat dB). Penggunaan satuan tersebut untuk membantu dalam interpretasi hasil tes pendengaran dan mengelompokkan dalam jenjangnya. Berdasarkan kriteria International Standard Organization (ISO) klasifikasi anak kehilangan pendengaran atau tunarungu dapat dikelompokkan menjadi kelompok tuli dan kelompok lemah pendengaran. Menurut ISO, seseorang dikategorikan tuli (tunarungu berat) jika ia kehilangan kemampuan mendengar 70 dB atau lebih sehingga ia mengalami kesulitan untuk mengerti atau memahami pembicaraan orang lain walaupun menggunakan alat bantu dengar atau tanpa menggunakan alat bantu


(47)

30

dengar. Sedangkan seseorang dikategorikan lemah pendengaran jika ia kehilangan kemampuan mendengar antara 35-69 dB sehingga mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar, namun tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar.

Ditinjau dari kepentingan tujuan pendidikannya (Mohammad Efendi, 2006: 59), secara terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

a. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20 – 30 dB Ciri-ciri anak tunarungu kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut antara lain: (a) kemampuan mendengar masih baik karena berada di garis batas antara pendengaran normal dan kekurangan pendengaran taraf ringan, (b) tidak mengalami kesulitan memahami pembicaraan dan dapat mengikuti sekolah biasa dengan syarat tempat duduknya perlu diperhatikan, terutama harus dekat guru, (c) dapat belajar bicara secara efektif dengan melalui kemampuan pendengarannya, (d) perlu diperhatikan kekayaan perbendaharaan bahasanya supaya perkembangan bicara dan bahasanya tidak terhambat, dan (e) disarankan yang bersangkutan menggunakan alat bantu dengar untuk meningkatkan ketajaman daya pendengarannya. Untuk kepentingan pendidikannya pada anak tunarungu kelompok ini cukup hanya memerlukan latihan membaca bibir untuk pemahaman percakapan.


(48)

b. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 dB Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut antara lain: (a) dapat mengerti percakapan biasa pada jarak sangat dekat, (b) tidak mengalami kesulitan untuk mengekspresikan isi hatinya, (c) tidak dapat menangkap suatu percakapan yang lemah, (d) kesulitan menangkap isi pembicaraan dari lawan bicaranya jika berada pada posisi tidak searah dengan pandangannya (berhadapan), (e) untuk menghindari kesulitan bicara perlu mendapatkan bimbingan yang baik dan intensif, (f) ada kemungkinan dapat mengikuti sekolah biasa, namun untuk kelas-kelas permulaan sebaiknya dimasukkan dalam kelas-kelas khusus, dan (g) disarankan menggunakan alat bantu dengar untuk menambah ketajaman daya pendengarannya. Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu kelompok ini yaitu membaca bibir, latihan pendengaran, latihan bicara, artikulasi, serta latihan kosakata. c. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB

Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut antara lain: (a) dapat mengerti percakapan keras pada jarak dekat, kira-kira satu meter sebab ia kesulitan menangkap percakapan pada jarak normal, (b) sering terjadi mis-understanding terhadap lawan bicaranya jika ia diajak bicara, (c) penyandang tunarungu kelompok ini mengalami kelainan bicara terutama pada huruf


(49)

32

diucapkan menjadi “T” dan “D”, (d) kesulitan menggunakan

bahasa dengan benar dalam percakapan, (e) perbendaharaan kosakatanya sangat terbatas. Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu kelompok ini meliputi latihan artikulasi, latihan membaca bibir, latihan kosakata, serta perlu menggunakan alat bantu dengar untuk membantu ketajaman pendengarannya.

d. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75 dB Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut adalah (a) kesulitan membedakan suara, dan (b) tidak memiliki kesadaran bahwa benda-benda yang ada di sekitarnya memiliki getaran suara. Kebutuhan layanan pendidikannya, perlu layanan khusus dalam belajar bicara maupun bahasa, menggunakan alat bantu dengar sebab anak yang tergolong kategori ini tidak mampu berbicara spontan. Kebutuhan pendidikan anak tunarungu kelompok ini perlu latihan pendengaran intensif, membaca bibir, dan latihan pembentukan kosakata.

e. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas Ciri-ciri anak yang kehilangan pendengaran pada kelompok ini, ia hanya dapat mendengar suara keras sekali pada jarak kira-kira 1 inchi (± 2, 54 cm) atau sama sekali tidak mendengar. Biasanya ia tidak menyadari bunyi keras, mungkin juga ada reaksi jika dekat telinga. Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu dalam kelompok ini meliputi membaca bibir, latihan mendengar


(50)

untuk kesadaran bunyi, latihan membentuk dan membaca ujaran dengan menggunakan metode-metode pengajaran yang khusus, seperti tactile kinestetic, visualisasi yang dibantu dengan segenap kemampuan indranya yang tersisa.

Klasifikasi anak tunarungu ditinjau dari lokasi terjadinya ketunarunguan (Mohammad Efendi, 2006: 63), dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

a. Tunarungu Konduktif

Ketunarunguan tipe konduktif ini terjadi karena beberapa organ yang berfungsi sebagai penghantar suara di telinga bagian luar, seperti liang telinga, selaput gendang, serta ketiga tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes) yang terdapat di telinga bagian dalam dan dinding-dinding labirin mengalami gangguan. Ada beberapa kondisi yang menghalangi masuknya getaran suara atau bunyi ke organ yang berfungsi sebagai penghantar, yaitu tersumbatnya liang telinga oleh kotoran telinga (cerumen) atau kemasukan benda-benda asing lainnya; mengeras, pecah, berlubang pada selaput gendang telinga dan ketiga tulang pendengaran sehingga efeknya dapat menyebabkan hilangnya daya hantaran organ tersebut.

b. Tunarungu Perseptif

Ketunarunguan tipe perseptif disebabkan terganggunya organ-organ pendengaran yang terdapat di belahan telinga bagian dalam.


(51)

34

Ketunarunguan perseptif ini terjadi jika getaran suara yang diterima oleh telinga bagian dalam (terdiri dari rumah siput, serabut saraf pendengaran) yang bekerja mengubah rangsang mekanis menjadi rangsang elektris tidak dapat diteruskan ke pusat pendengaran otak. c. Tunarungu Campuran

Ketunarunguan tipe campuran ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa pada telinga yang sama rangkaian organ-organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan menerima rangsangan suara mengalami gangguan, sehingga yang tampak pada telinga tersebut telah terjadi campuran antara ketunarunguan konduktif dan ketunarunguan perseptif.

Kondisi ketunarunguan yang dialami anak, dapat dihubungkan dengan kurun waktu terjadinya, yaitu sebelum anak lahir (prenatal), saat anak lahir (neonatal), atau sesudah anak lahir (posnatal). Ketunarunguan yang terjadi sebelum anak lahir maupun saat anak lahir disebut tunarungu bawaan, sedangkan ketunarunguan yang terjadi ketika anak mulai meniti tugas perkembangannya disebut tunarungu perolehan.

3. Dampak Ketunarunguan

Anak tunarungu akan menanggung konsekuensi sangat kompleks berkaitan dengan masalah kejiwaannya. Pada diri mereka seringkali dihinggapi rasa keguncangan sebagai akibat tidak mampu mengontrol


(52)

lingkungannya dan mereka juga harus berjuang dalam meniti tugas perkembangannya.

Ada dua bagian penting dari dampak ketunarunguan berdasarkan uraian di atas yaitu: Pertama, konsekuensi akibat gangguan pendengaran tersebut bahwa penderitanya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat kesulitan menerima rangsang bunyi tersebut konsekuensinya penderita tunarungu akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat di sekitarnya.

4. Karakteristik Kecerdasan Anak Tunarungu

Kecerdasan yang dimiliki anak tunarungu sebenarnya tidak berbeda dengan anak normal umumnya karena anak tunarungu ada yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata (superior), rata-rata (average), maupun di bawah rata-rata (subnormal). Namun, untuk mengetahui kondisi kecerdasan anak tunarungu memerlukan cara yang agak berbeda dibandingkan dengan anak normal umumnya.

Cruickshank (Mohammad Efendi, 2006: 79) mengemukakan bahwa anak tunarungu seringkali memperlihatkan keterlambatan dalam belajar. Hal ini dapat disebabkan karena derajat gangguan pendengaran yang dialami oleh anak dan juga potensi kecerdasan yang dimiliki anak itu sendiri.


(53)

36

Jensema (Mohammad Efendi, 2006: 80) mencatat bahwa kemampuan membaca anak tunarungu usia 14 tahun setingkat dengan anak kelas III. Demikian juga dalam kemampuan berhitung, anak tunarungu usia 10 tahun setingkat dengan anak normal kelas III.

Trybus dan Kurchmer (Mohammad Efendi, 2006: 80) melaporkan bahwa hasil penelitiannya tentang kemajuan membaca dan berhitung pada 1.543 anak tunarungu usia 3 tahun. Ia menemukan bahwa pemahaman membaca anak tunarungu usia 9 tahun setingkat anak kelas II, dan pada usia 20 tahun setingkat dengan anak normal kelas V.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan secara berkelanjutan, Van Uden (Mohammad Efendi, 2006: 84) berhasil mencatat beberapa sifat kepribadian anak tunarungu yang berbeda dengan anak normal, antara lain:

a. Anak tunarungu lebih egosentris.

b. Anak tunarungu lebih tergantung pada orang lain dan yang sudah dikenal.

c. Perhatian anak tunarungu lebih sukar dialihkan. d. Anak tunarungu lebih memerhatikan yang konkret. e. Anak tunarungu kurang dalam berfantasi.

f. Anak tunarungu umumnya mempunyai sifat polos, sederhana, tanpa banyak masalah.

g. Perasaan anak tunarungu cenderung dalam keadaan ekstrem tanpa banyak nuansa.


(54)

h. Anak tunarungu lebih mudah marah dan lekas tersinggung. i. Anak tunarungu kurang mempunyai konsep tentang hubungan. j. Anak tunarungu mempunyai perasaan takut akan hidup yang lebih

besar.

5. Metode Komunikasi Anak Tunarungu

Terdapat berbagai cara komunikasi untuk anak-anak yang memiliki masalah pendengaran (Jamila K.A Muhammad, 2008: 70), yaitu sebagai berikut:

a. Metode auditory oral

- Menekankan pada proses mendengar serta bertutur kata dengan penggunaan alat bantu pendengaran, penglihatan, dan sentuhan - Menekankan pada metode pembacaan gerak bibir (lip reading) - Menggunakan bantuan bunyi sebagai latihan pendengaran agar

anak-anak berlatih untuk mendengar bunyi dan dapat mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang berbeda.

b. Metode membaca bibir

- Metode ini baik untuk anak-anak yang mampu berkonsentrasi tinggi dan mempunyai penglihatan yang baik.

c. Metode bahasa isyarat

- Bahasa isyarat digunakan dengan menggabungkan perkataan dengan makna dasar.


(55)

38

d. Metode komunikasi universal

- Metode yang menggabungkan gerakan jari, isyarat, pembacaan gerak bibir, penuturan, dan bahasa isyarat manual-visual

- Elemen penting dalam metode ini adalah penggunaan isyarat dan penuturan secara bersamaan.

e. Penuturan isyarat (cued speech)

- Menggunakan simbol-simbol tangan untuk membantu bunyi-bunyian. Simbol-simbol tangan yang dilambangkan ditentukan dengan bentuk-bentuk tangan yang menentukan maksud perkataan.

Pada penelitian ini, siswa-siswi tunarungu di SLB Yapenas berkomunikasi menggunakan metode membaca bibir dan bahasa isyarat. Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas hambatan anak tunarungu dalam aspek kebahasaannya, yaitu: pertama, konsekuensi akibat kelainan pendengaran (tunarungu) berdampak pada kesulitan dalam menerima segala macam rangsang bunyi atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi, penderita akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang ada di sekitarnya. Adanya dua kondisi ini pada anak tunarungu secara langsung dapat berpengaruh terhadap kelancaran perkembangan bahasa dan bicaranya (Mohammad Efendi, 2006: 75). Sehingga, terdapat kecenderungan bahwa seseorang


(56)

yang mengalami tunarungu seringkali diikuti pula dengan tunawicara (kesulitan dalam hal berbicara).

Di SLB Yapennas ini, siswa-siswi tunarungu sudah pada klasifikasi tuli, mereka juga kesulitan dalam hal berbicara (tunawicara), mereka berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat dan membaca bibir. Alasan menggunakan alat peraga bola bermuatan dalam penelitian ini adalah karena siswa-siswi tunarungu terbatas dalam hal mendengar dan berbicara tetapi penglihatan dan indera yang lain dapat berfungsi dengan baik. Sehingga, pemilihan alat peraga bola bermuatan ini sesuai dengan kondisi siswa-siswi tunarungu karena alat peraga ini dapat dilihat dan juga menggunakan bola-bola dengan dua warna yang berbeda yang diharapkan dapat menarik perhatian dan minat siswa-siswi tunarungu. Selain itu, alat peraga ini mudah digunakan. Penggunaannya hanya hanya dengan menjumlahkan (menggabungkan) dan mengurangkan (memisahkan/mengambil) bola-bola tersebut.

H. Prinsip Pendidikan Anak Berkelainan

Mendidik anak berkelainan tidak sama dengan mendidik anak normal karena memerlukan suatu pendekatan dan strategi yang khusus. Pengembangan prinsip-prinsip pendekatan secara khusus, yang dapat dijdikan dasar dalam upaya mendidik anak berkelainan (Mohammad Efendi, 2006: 24), antara lain sebagai berikut:


(57)

40

1. Prinsip kasih sayang

Pada dasarnya prinsip kasih sayang adalah menerima mereka sebagaimana adanya, dan mengupayakan agar mereka dapat menjalani hidup seperti anak normal lainnya. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan untuk mereka adalah tidak bersikap memanjakan, tidak bersikap acuh tak acuh terhadap kebutuhannya, dan memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan anak.

2. Prinsip Layanan Pendidikan

Prinsip ini sangat penting karena setiap anak berkelainan dalam jenis dan derajat yang sama seringkali memiliki keunikan masalah yang berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan untuk mereka selama pendidikannya adalah: jumlah siswa yang dilayani guru tidak lebih dari 4-6 anak dalam setiap kelasnya, pengaturan kurikulum dan jadwal pelajaran dapat bersifat fleksibel, penataan kelas harus dirancang sedemikian rupa sehingga guru dapat menjangkau semua siswanya dengan mudah, dan modifikasi alat bantu pengajaran.

3. Prinsip Kesiapan

Untuk menerima suatu pelajaran tertentu diperlukan kesiapan. Khususnya kesiapan anak untuk mendapatkan pelajaran yang akan diajarkan. Anak berkelainan secara umum mempunyai kecenderungan cepat bosan dan cepat lelah apabila menerima pelajaran. Oleh karena itu, guru dalam kondisi tidak perlu memberi pelajaran baru, melainkan


(58)

mereka diberikan kegiatan yang menyenangkan dan rileks, setelah segar kembali guru baru dapat melanjutkan memberikan pelajaran. 4. Prinsip Keperagaan

Kelancaran pembelajaran pada anak berkelainan sangat didukung oleh penggunaan alat peraga sebagai medianya. Fungsi dari penggunaan alat peraga adalah dapat mempermudah guru dalam mengajar dan juga dapat mempermudah pemahaman siswa terhadap materi yang disajikan guru.

5. Prinsip Motivasi

Prinsip ini lebih menitikberatkan pada cara mengajar dan pemberian evaluasi yang disesuaikan dengan kondisi anak berkelainan. Contoh, bagi anak tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas yang ditekankan pada pengenalan suara binatang akan lebih menarik dan mengesankan jika mereka diajak ke kebun binatang. Bagi anak tunagrahita, untuk menerangkan makanan empat sehat lima sempurna, barangkali akan lebih menarik jika diperagakan bahan aslinya kemudian diberikan kepada anak untuk dimakan, daripada hanya berupa gambar-gambar saja.

6. Prinsip Belajar dan Bekerja Kelompok

Arah penekanan prinsip ini adalah agar mereka sebagai anggota masyarakat dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya, tanpa harus merasa rendah diri atau minder dengan orang normal. Melalui


(59)

42

kegiatan ini diharapkan mereka dapat memahami bagaimana cara bergaul dengan orang lain secara wajar.

7. Prinsip Keterampilan

Pendidikan keterampilan yang diberikan kepada anak berkelainan dapat berfungsi: (a) selektif yang berarti untuk mengarahkan minat, bakat, keterampilan dan perasaan anak berkelainan secara tepat guna. (b) edukatif yang berarti membimbing anak berkelainan untuk berpikir logis, berperasaan halus, dan kemampuan untuk bekerja. (c) rekreatif yang berarti unsur kegiatan yang diperagakan sangat menyenangkan bagi anak berkelainan. (d) terapi yang berarti aktivitas keterampilan yang diberikan dapat menjadi salah satu sarana habilitasi (penyembuhan) akibat kelainan atau ketunaan yang disandangnya. Dan (e) dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupannya kelak.

8. Prinsip Penanaman dan Penyempurnaan Sikap

Secara fisik dan psikis sikap anak berkelainan memang kurang baik sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai sikap yang baik serta tidak selalu menjadi perhatian orang lain. Misalnya anak tunarungu memiliki kecenderungan rasa curiga pada orang lain akibat ketidakmampuannya menangkap percakapan orang lain.

I. Kerangka Berpikir

Ketepatan pemilihan dan penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika akan berpengaruh terhadap kelancaran proses


(60)

pembelajaran matematika. Untuk itu penggunaan alat peraga dalam pembelajaran akan membantu siswa dalam mencapai tujuan yang telah direncanakan dan membantu guru untuk menyampaikan materi pelajaran.

Proses pembelajaran yang direncanakan adalah pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bola bermuatan. Alat peraga bola bermuatan ini diberikan untuk anak-anak tunarungu di SLB B Yapenas kelas V. Alat peraga ini bertujuan agar anak-anak tunarungu dapat memanfaatkan indra yang lain karena satu indra tidak dapat digunakan. Anak-anak tunarungu adalah anak-anak yang berkekurangan dalam hal indra pendengaran tetapi indra yang lain seperti indra penglihatan, indra penciuman, indra perasa, dan indra peraba masih dapat digunakan. Oleh karena itu, pemilihan alat peraga bola bermuatan ini dimaksudkan untuk memanfaatkan indra yang lain tersebut.


(61)

44 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Menurut Best (Sukardi, 2003: 157), penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek penelitian sesuai dengan apa adanya. Penelitian kualitatif menurut Margono (2007: 39) merupakan data yang diperoleh (berupa kata-kata, gambar, perilaku) tidak dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka statistik, analisis data yang dilakukan dengan memberi pemaparan gambaran mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk uraian naratif. Sedangkan penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat pengumpulan data (Margono, 2007: 105).

Dikatakan kualitatif karena data yang diperoleh sesuai dengan apa adanya dan untuk menganalisa aktivitas siswa berdasarkan instrumen pengamatan aktivitas siswa. Sedangkan data mengenai hasil belajar siswa yang berupa angka-angka dideskripsikan secara kuantitatif.

B. Variabel Penelitian


(62)

1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran dengan menggunakan alat peraga dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga.

C. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu

Penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2012/2013. 2. Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di SLB B Yapennas.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa-siswi tunarungu di SLB B Yapenas kelas V yang berjumlah 2 orang dan menderita kehilangan pendengaran 75 dB ke atas.

E. Bentuk Data

Dalam penelitian ini terdapat dua macam data yang akan diambil oleh peneliti. Adapun data-dat tersebut adalah:


(63)

46

1. Data aktivitas siswa

Data ini diperoleh dari pengamatan saat proses pembelajaran berlangsung dan pengisian lembar pengamatan oleh observer yang telah disiapkan oleh peneliti.

2. Data hasil belajar siswa

Data ini didapat dengan menggunakan hasil pre-test dan post-test. Pre-test dan post-test berupa soal isian singkat yang sudah dikonsultasikan dengan dosen pembimbing dan guru yang mengajar kelas V di SLB Yapennas.

F. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan selama pelaksaan penelitian, peneliti menggunakan beberapa metode, yaitu sebagai berikut :

1. Pengamatan

Pengamatan/observasi meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra (Suharsimi Arikunto, 2002: 133). Pengamatan dilakukan untuk memperoleh data selama penelitian berlangsung berupa aktivitas dan keterlibatan siswa-siswi selama proses pembelajaran matematika untuk materi operasi hitung bilangan bulat. Melalui pengamatan dapat diketahui tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh subyek penelitian, dan membuat pencatatan-pencatatan secara objektif mengenai apa yang diamati, serta dapat juga dilakukan dengan


(64)

menggunakan teknik dan alat-alat khusus seperti blangko-blangko, checklist, atau daftar isian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pada penelitian ini, peneliti menyiapkan lembar observasi yang akan diisi oleh observer yang membantu untuk mencatat kejadian yang berlangsung selama penelitian.

2. Dokumentasi

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dokumentasi berupa foto dan video. Melalui dokumentasi ini, peneliti dapat melihat sejauh mana proses pembelajaran berlangsung. Dokumentasi ini dapat menjadi salah satu bukti peneliti dalam melaksanakan penelitian.

3. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Wawancara dilakukan oleh dua orang yaitu seorang sebagai pewawancara yang menanyakan pertanyaan dan seorang lagi sebagai terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Tujuan dilakukan wawancara adalah untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan proses pembelajaran.

4. Tes Hasil Belajar Siswa

Tes adalah cara yang dapat dipergunakan atau prosedur yang perlu ditempuh dalam rangka pengukuran dan penilaian di bidang pendidikan, yang berbentuk pemberian tugas atau serangkaian tugas baik berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab, atau perintah-perintah yang harus dikerjakan oleh testee (pihak yang diberi tes),


(65)

48

sehingga atas dasar data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut dapat dihasilkan nilai yang melambangkan tingkah laku atau prestasi testee; nilai tersebut dapat dibandingkan dengan nilai-nilai yang dicapai oleh testee lainnya, atau dibandingkan dengan nilai standar tertentu (Anas Sudijono, 2011: 67).

Ada 2 macam tes yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu pre-test dan post-test. Pre-test dilaksanakan sebelum peneliti melakukan pembelajaran dengan menggunakan alat peraga dan pada saat akan memulai materi baru, tujuannya adalah untuk mengidentifikasi taraf pengetahuan siswa mengenai materi yang akan disajikan (Muhibbin Syah, 2008: 201). Sedangkan, post-test dilaksanakan setelah dilakukan serangkaian pembelajaran dengan menggunakan alat peraga dan dilaksanakan pada saat akhir penyajian materi dengan alat peraga, tujuannya adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan (Muhibbin Syah, 2008: 201).

G. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan dalam penelitian dengan metode tertentu untuk pengumpulan data. Secara fungsional kegunaan instrumen penelitian adalah untuk memperoleh data yang diperlukan ketika peneliti sudah menginjak pada langkah pengumpulan informasi di lapangan (Sukardi, 2003: 75). Dalam penelitian


(66)

ini, ada dua macam instrumen yang digunakan yaitu instrumen pembelajaran dan instrumen penelitian.

1. Instrumen Pembelajaran

Instrumen pembelajaran dalam penelitian ini berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat untuk 4 kali pertemuan yang masing-masing pertemuan adalah 70 menit.

2. Instrumen Penelitian

a. Lembar Pengamatan Aktivitas Belajar Siswa

Pengamatan merupakan kegiatan pemusatan perhatian terhadap subyek penelitian. Lembar pengamatan ini berfungsi untuk mencatat hal-hal yang dilakukan siswa-siswi selama proses penelitian berlangsung. Lembar pengamatan ini berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai aktivitas siswa-siswi di kelas dan mengacu pada kriteria siswa yang termotivasi dalam belajar. Lembar pengamatan ini diisi oleh observer pada saat melakukan pengamatan aktivitas siswa saat proses pembelajaran berlangsung. b. Soal Tes Hasil Belajar Siswa

Untuk dapat mengetahui hasil belajar siswa sebelum mengikuti pembelajaran dengan menggunakan alat peraga, peneliti melakukan pre-test sedangkan setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan alat peraga, peneliti melakukan tes prestasi belajar siswa berupa post-test. Pre-test dan post-test ini disusun berdasarkan indikator dan kisi-kisi yang ditentukan oleh peneliti.


(67)

50

Soal-soal pre-test dan post-test dibuat setara dan terdapat 3 bagian yaitu mengenai membaca dan menuliskan bilangan bulat dalam bentuk angka dan kata, menentukan lawan dari sebuah bilangan, dan mengenai operasi hitung bilangan bulat. Hasil dari pre-test dan post-test ini nantinya akan dibandingkan dengan nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang digunakan di SLB B Yapenas untuk mata pelajaran matematika yaitu 67.

c. Wawancara

Wawancara akan dilakukan kepada siswa dan guru. Pertanyaan-pertanyaan akan berkembang sesuai dengan jawaban terwawancara. Inti pertanyaan yang diajukan saat wawancara adalah mengenai kegiatan atau kesulitan yang dialami siswa selama penelitian berlangsung.

d. Dokumentasi

Dokumentasi ini dilakukan untuk mendapatkan data aktivitas siswa saat proses pembelajaran berlangsung. Pada penelitian ini menggunakan rekaman video dan foto kegiatan pembelajaran untuk melengkapi data aktivitas siswa. Hal-hal yang akan direkam seperti: keadaan siswa-siswi ketika guru menerangkan materi, keadaan siswa-siswi saat mengerjakan soal-soal.


(68)

H. Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Data yang diperoleh diklasifikasikan menjadi dua kelompok data, yaitu data kuantitatif yang berbentuk angka-angka dan data kualitatif yang dinyatakan dalam kata-kata. Data kuantitatif berupa hasil test yang dilakukan selama penelitian sedangkan data kualitatif berupa hasil pengamatan aktivitas siswa-siswi di kelas selama proses pembelajaran berlangsung dan hasil wawancara.

Analisis data dilakukan dengan cara mentranskrip hasil pengamatan peneliti yang datanya berupa video rekaman, lembar observasi, hasil wawancara dan hasil belajar siswa yaitu tes awal dan tes akhir. Kedua tes ini nantinya hasilnya akan dibandingkan.

Untuk mengetahui validitas setiap instrumen dilakukan teknik penilaian pakar (expert judgment) yakni oleh guru kelas dan dosen pembimbing. Sedangkan untuk uji validitas butir soal menggunakan uji validitas konstruk (construct validity) yang mengandung arti bahwa suatu alat ukur dikatakan valid apabila telah cocok dengan konstruksi teoritik dimana tes itu dibuat. Dengan kata lain sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruksi apabila soal-soal tersebut mengukur setiap aspek berpikir seperti yang diuraikan dalam standar kompetensi, kompetensi dasar, maupun indikator yang terdapat dalam kurikulum (Sumarna Surapranata, 2006: 53).


(69)

52

I. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan

Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti melakukan persiapan, yaitu :

a. Menghubungi pihak Kepala Sekolah SLB untuk memberitahukan maksud dan tujuan serta meminta ijin untuk melaksanakan penelitian.

b. Bertemu dengan guru kelas yang bersangkutan, memberitahukan mengenai penelitian yang akan dilakukan dan merencanakan untuk melakukan observasi.

c. Melaksanakan observasi di kelas yang nantinya akan dilaksanakan penelitian dan mengetahui bagaimana kondisi kelas tersebut.

d. Menyiapkan alat peraga untuk proses pembelajaran yang akan digunakan dalam penelitian.

e. Mempersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). f. Menyiapkan kelengkapan surat-surat penelitian dan beberapa

instrumen pengumpulan data.

g. Mempelajari karakteristik siswa-siswi SLB dan mempelajari bahasa isyarat yang digunakan.

h. Menyiapkan alat elektronik untuk dokumentasi saat pelaksanaa penelitian


(70)

i. Menyiapkan soal-soal pre-test dan post-test yang nantinya akan digunakan dalam penelitian yang sudah disetujui oleh guru kelas dan dosen pembimbing.

2. Rencana Kegiatan

Peneliti dibantu guru kelas dalam melakukan proses pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan peneliti antara lain :

a. Berhubungan dengan kegiatan pembelajaran a) Membuat RPP

b) Mempraktekkan alat peraga

c) Melakukan evaluasi setelah pembelajaran

b. Berhubungan dengan aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran

a) Mengamati tingkah laku siswa selama kegiatan pembelajaran.

b) Mengamati respon dan reaksi siswa selam proses pembelajaran.

3. Evaluasi Pembelajaran

Untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa, peneliti bersama dengan guru kelas melakukan evaluasi hasil belajar siswa. Evaluasi ini berupa latihan soal dan dilakukan satu kali setelah seluruh proses pembelajaran yang dilakukan peneliti selesai. Peneliti juga mengamati aktivitas siswa pada setiap proses pembelajaran berlangsung.


(71)

54

4. Pengolahan Data

Dari data-data yang diperoleh selama penelitian berupa data lembar pengamatan aktivitas siswa, data hasil belajar siswa (pre-test dan post-test), penulis mengolah data dan menarik kesimpulan.


(1)

163

Lampiran B. 5

Gambar Aktivitas Siswa

Gb.1 Ika sedang menggunakan alat peraga Gb.2 Ika dan Dyah dibantu guru dalam menggunakan alat peraga bola bermuatan

Gb. 3 Dyah mengerjakan soal latihan Gb. 4 Ika sedang mencatat


(2)

164

Gb. 7 Ika menggunakan alat peraga Gb. 8 Dyah dan Ika bersama-sama menggunakan alat peraga

Gb. 9 dan 10 Dyah dan Ika memperhatikan saat guru menjelaskan

Gb. 11 Dyah maju mengerjakan soal Gb. 12 Dyah menggunakan alat peraga


(3)

165


(4)

166


(5)

vii ABSTRAK

Paulina Lystianingsih Riardi. 2013. Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran Operasi Hitung Bilangan Bulat Di SLB B Yapenas Kelas V Dengan Menggunakan Alat Peraga Bola Bermuatan. Skripsi. Yogyakarta: Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Tujuan dari penelitan ini adalah untuk (1) mengetahui aktivitas belajar siswa-siswi SLB B (tunarungu) dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga dan (2) mengetahui apakah pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga dapat meningkatkan hasil belajar siswa-siswi di SLB.

Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SLB B Yapenas, tahun ajaran 2012/2013 yang berjumlah 2 siswa. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif-kuantitatif. Instrumen penelitian yang digunakan terdiri dari: (1) lembar pengamatan aktivitas belajar siswa, (2) soal tes hasil belajar siswa berupa pre test dan post test, (3) wawancara dan (4) dokumentasi. Analisis data aktivitas siswa diperoleh berdasarkan lembar pengamatan, video rekaman dan hasil wawancara sedangkan analisis hasil belajar siswa dengan cara menghitung nilai pada saat pre test dan juga post test, kemudian dibandingkan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Dyah dan Ika melakukan aktivitas-aktivitas belajar meliputi visual activities seperti siswa memperhatikan guru ketika menjelaskan materi, listening activities seperti siswa mendengarkan guru saat menjelaskan dan siswa berdiskusi/bekerjasama, writing activities seperti siswa mencatat hal-hal penting, motor activities seperti siswa melakukan praktek menggunakan alat peraga bola bermuatan dan mental activities seperti siswa mengerjakan soal latihan yang diberikan. Aktivitas yang kurang menonjol adalah oral activities seperti bertanya dan menyatakan pendapat. (2) Hasil belajar siswa pada pembelajaran operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan alat peraga terlihat ada peningkatan, nilai Dyah pada saat pre test 46,63 naik menjadi 67, 86 pada saat post test sedangkan nilai Ika pada saat pre test 53,57 naik menjadi 75 pada saat post test jadi nilai post test mereka memenuhi KKM yaitu 67.

Kata Kunci: Aktivitas, Hasil Belajar, Alat Peraga, Bilangan Bulat, SLB B (tunarungu)


(6)

viii ABSTRACT

Paulina Lystianingsih Riardi. 2013. Student Activities and Student Learning Result in Learning Integer Count Operation in SLB B Yapenas Grade V with Using Contained Ball Props. Thesis. Yogyakarta: Mathematic Education, Deaprtment of Mathematic and Science Education, Teacher Training and Education Faculty, Sanata Dharma University.

The purposes of this research were to (1) elaborate the learning activities of SLB B students (with hearing impairment) in Learning Integer Count Operation with using props and (2) know learning integer with using props can

increase student’s SLB B learning result.

The subjects of this research is all of the SLB B Yapenas grade V students, school year 2012/2013 which were two students. This research was Qualitative-Quantitative Descriptive Research. The research instruments were as following (1) student activities observation sheet, (2) test material and student’s test result in form of pre test and post test, (3) interview and (4) documentation. Data analysis of student activities was obtained according to observation sheet, recorded videos, and interview result, while student learning result analysis was obtained by calculation the pre test and post test score, then both of them were compared.

The result of this research showed that (1) Dya and Ika did learning activities such as visual activities which is student’s paid attention of the teacher when describe of material, listening activities which is student’s listening when teacher explained and student’s did disscusion, writing activities which is student’s take a note the important things, motor activities which is student’s did practicing use contained ball props and mental activities which is student’s did exercises that giving. The less activity that showed is oral activities which is student’s asked and explained opinion. (2) student learning result in integer count operation using props increases. Dyah’s score increases from 46,63 in pre test to 67,86 in post test, while Ika’s score increases from 53,57 in pre test to 75 in post test. Therefore, their post test scores have passed KKM which is 67.

Keywords: Student activities, learning result, props, integer, SLB B (Students with hearing impairment)


Dokumen yang terkait

Upaya Meningkatkan Pemahaman Siswa Pada Operasi Penjumlahan Dan Pengurangan Bilangan Bulat Negatif Melalui Metode Demonstrasi Dengan Menggunakan Alat Peraga (Penelitian Tindakan Kelas Di Kelas Iv Mi Sirojul Athfal Bekasi)

2 56 145

Pengaruh Penggunaan Alat Peraga Block Dienes Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Pada Pokok Bahasan Perkalian Dan Pembagian (Penelitian Quasi Eksperimen Pada Kelas Ii Mi Al Hidayah Depok)

3 16 240

Pengaruh Penggunaan Alat Peraga Mobil Garis Bilangan Terhadap Hasil Belajar Operasi Hitung Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat Siswa Kelas IV Sekolah Dasar AL – Syukro Universal Tangerang Selatan

7 59 176

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGERJAAN HITUNG BILANGAN BULAT DENGAN ALAT PERAGA BOLA DUA WARNA PADA PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGERJAAN HITUNG BILANGAN BULAT DENGAN ALAT PERAGA BOLA DUA WARNA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS 4 SDN 1 KALIGAYAM, WEDI, KLATEN.

0 0 11

Hasil belajar dan keterlibatan serta motivasi siswa dalam penggunaan alat peraga kartu hitung pada pembelajaran materi operasi hitung bilangan bulat kelas VII B SMP BOPKRI 1 Yogyakarta tahun ajaran 2016/2017.

0 0 221

Efektivitas penggunaan alat peraga kartu bilangan pada materi operasi hitung penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat ditinjau dari hasil belajar siswa kelas VII B SMP N 5 Sleman.

0 0 166

Hasil belajar dan keterlibatan serta motivasi siswa dalam penggunaan alat peraga kartu hitung pada pembelajaran materi operasi hitung bilangan bulat kelas VII B SMP BOPKRI 1 Yogyakarta tahun ajara

0 0 219

Efektivitas penggunaan alat peraga bola bermuatan pada operasi hitung bilangan bulat untuk anak tuna rungu (SLB B) di SLB Yapenas kelas V SD.

1 6 257

Efektivitas penggunaan alat peraga bola bermuatan pada operasi hitung bilangan bulat untuk anak tuna rungu (SLB B) di SLB Yapenas kelas V SD - USD Repository

0 0 253

Aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat di SLB B Yapenas kelas V dengan menggunakan alat peraga bola bermuatan - USD Repository

0 0 183