Hubungan antara leader member exchange dan job satisfaction dengan employee engagement sebagai variabel mediator pada perawat

(1)

HUBUNGAN ANTARA

LEADER-MEMBER EXCHANGE

DAN

JOB SATISFACTION

DENGAN

EMPLOYEE ENGAGEMENT

SEBAGAI VARIABEL MEDIATOR PADA PERAWAT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Ignasius Bhagas Pawitra Adhisakti NIM: 129114130

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iv

“All you can ever believe in is now, this

moment. Because in a blink, everything

can change.”

FIND WHAT YOU LOVE AN LET IT KILL YOU.

The only person with whom you have to

compare yourself is you in the past.


(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:

Tuhan Yang Maha Transenden,

yang telah memberikan semesta dan kehidupan.

Orang tua dan kedua kakak saya,

yang selalu mendoakan, menguatkan, dan memberikan cinta dan kasih sayang kepada saya.

Sahabat dan teman-teman saya,

yang meluangkan waktunya untuk saling berbagi dan memberikan dukungan kepada saya.


(6)

(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA LEADER-MEMBER EXCHANGE DAN JOB SATISFACTION DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT SEBAGAI

VARIABEL MEDIATOR PADA PERAWAT

Ignasius Bhagas Pawitra Adhisakti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Leader-Member Exchange (LMX) dan job satisfaction dengan employee engagement sebagai variabel mediator pada perawat. Penelitian ini memiliki empat hipotesis. Hipotesis yang pertama, LMX memiliki hubungan positif signifikan dengan job satisfaction. Kedua, LMX memiliki hubungan positif signifikan dengan employee engagement. Ketiga, employee engagement memiliki hubungan positif signifikan dengan job satisfaction. Kemudian, hipotesis keempat pada penelitian ini yaitu employee engagement

memediasi hubungan antara LMX dan job satisfaction. Subjek dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 159 karyawan yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit negeri dan swasta di Sragen, Jawa Tengah. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari Liden dan Maslyn (1998) untuk LMX, Hackman dan Oldham (1975) untuk job satisfaction, dan Saks (2006) untuk employee engagement. Reliabilitas skala dalam penelitian ini adalah skala LMXsebesar α = 0.800, reliabilitas skala job satisfaction sebesar α = 0.852, dan skala

engagement adalah sebesar α = 0.758. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis korelasional dengan bantuan program IBM statistik 22. Hasil analisis menunjukkan bahwa hipotesis pertama dan kedua diterima, sedangkan hipotesis keempat gugur. Diketahui nilai korelasi sebesar 0.539 dengan nilai siginifikansi sebesar p = 0.000 (p < 0.05) untuk hubungan antara LMX dan job satisfaction, serta nilai korelasi sebesar 0.184 dengan nilai siginifikansi sebesar p = 0.020 (p < 0.05) untuk hubungan antara LMX dan employee engagement.


(8)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN LEADER-MEMBER EXCHANGE AND JOB SATISFACTION WITH EMPLOYEE ENGAGEMENT AS A

MEDIATING ROLE IN NURSES

Ignasius Bhagas Pawitra Adhisakti

ABSTRACT

This research aimed to find the relationship between Leader-Member Exchange (LMX) and job satisfaction with employee engagement as the mediator variable. This research has four hypotheses. The first hypotheses is LMX has a significant positive relationship with job satisfaction. Second, LMX has a significant positive relationship with employee engagement. Third, employee engagement has a significant positive relationship with job satisfaction. Then, the fourth hypotheses in this research is employee engagement mediated the relationship between LMX and job satisfaction. The amount of subjects for this research is 159 nurses who work in a public hospital in Sragen, Central Java. The measurement tools that is used for this research is the scale that has been adapted from Liden and Maslyn (1998) for LMX, Hackman and Oldham (1975) for job satisfaction, and Saks (2006) for employee engagement. The measurement reliability in this research is α = 0.800 for LMX, α = 0.852 for job satisfaction, and α = 0.758 for employee engagement. Hypotheses trial is done using correlational analysis with IBM statistic version 22. The analysis result shows that the first and second hypotheses in this research are accepted, whereas the fourth hypotheses is not supported. It is known that the value of correlation is 0.539 with signification p = 0.000 (p < 0.05) for the relationship between LMX and job satisfaction, and 0.184 with signification p = 0.020 (p < 0.05) for the relationship between LMX and employee engagement.


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia yang diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Penulisan skripsi ini tidak selesai hanya dengan usaha sendiri, namun karena dukungan serta bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu P. Henrietta P. D. A. D. S., S.Psi, M.A., selaku Wakil Ketua Program Studi Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

4. Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas saran dan dukungan untuk menyelesaikan studi S1 saya selama di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

5. Bapak Minta Istono, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih sudah senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing, mengingatkan, memberi kritik dan saran, juga selalu memberi semangat selama saya menemui kesulitan dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi. Terima kasih juga Pak Minto selalu sabar dan mau direpotkan untuk membimbing saya.


(11)

xi

kasih juga Pak Minto selalu sabar dan mau direpotkan untuk membimbing saya.

6. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik, memberikan banyak ilmu pengetahuan dan pengalaman selama saya menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

7. Seluruh Staff dan Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah selalu dengan sabar dan ramah dalam melayani serta memberikan informasi selama saya berkuliah di Fakultas Psikologi.

8. Aloysius Aridito Prihananto dan Maria Regina Dwi Ediputranti, kedua orang tua yang saya kasihi. Terima kasih untuk selalu menjadi Tuhan Realita yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang, mendukung dan mengingatkan saya untuk selalu sadar dan bertanggungjawab menyelesaikan apa yang sudah saya pilih dan mulai.

9. Paula Soekodarwendah Raedt dan Fransiskus Asisi Djoko Soekartarto. Terima kasih atas dukungan dan kasih sayang yang telah diberikan, sehingga saya dapat menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar sarjana S1. 10. Yogha Prasiddhamukti dan Mikael Pradipta, kedua kakak saya. Terima

kasih untuk selalu menjadi inspirasi saya dalam berkarya.

11. Vera Veronica, kekasih saya. Terima kasih atas seluruh cinta dan kasih sayang serta kemurahan hati yang diberikan kepada saya.

12. Keluarga Salak Pondoh. Terima kasih telah senantiasa memberikan waktu, tenaga, kesempatan untuk saling berbagi dan mendukung satu sama lain.


(12)

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...I

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……….ii

HALAMAN PENGESAHAN………...iii

HALAMAN MOTTO………...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..vi

ABSTRAK……….vii

ABSTRACT………viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………..ix

KATA PENGANTAR………...x

DAFTAR ISI………...xiii

DAFTAR TABEL……….xvii

DAFTAR GAMBAR……….xix

DAFTAR LAMPIRAN………...xx

BAB I: PENDAHULUAN……….………...1

A. Latar Belakang……….1

B. Rumusan Masalah………11

C. Tujuan Penelitian……….11

D. Manfaat Penelitian………...11

1. Manfaat Teoritis………..11


(14)

xiv

BAB II: LANDASAN TEORI……….……….13

A. Job Satisfaction ………. 13

1. Definisi Job Satisfaction………..13

2. Aspek-aspek Job Satisfaction………..………... 16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Satisfaction………… 17

B. Leader-Member Exchange………. 20

1. Definisi Leader-Member Exchange……….. 20

2. Dimensi Leader-Member Exchange…..………...23

3. Dampak Leader-Member Exchange...………...25

C. Employee Engagement……………….………...27

1. Definisi Employee Engagement………...27

2. Aspek-aspek Employee Engagement………..……….. 3. Faktor yang Memmpengaruhi Employee Engagement..………. 4. Dampak dari Employee Engagement... D. Dinamika Keterlibatan Hubungan Leader-Member Exchange dan Job Satisfaction... 31 32 34 37 E. Kerangka Penelitian………. F. Hipotesis Penelitian ………... 39 40 BAB III: METODOLOGI PENELITIAN……….………41

A. Jenis Penelitian……….41

B. Variabel Penelitian………...42

C. Definisi Operasional……….42


(15)

xv

2. Leader-Member Exchange………. 43

3. Employee Engagement)………... 43

D. Subjek Penelitian………..44

E. Instrumen Penelitian……….45

1. Metode Pengumpulan Data……….45

2. Alat Pengumpulan Data………...45

a. Skala Job Satisfaction……….. 45

b. Skala Leader-Member Exchange……….. 47

c. Skala Employee Engagement………..…………49

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………50

1. Validitas Alat Ukur………..50

2. Seleksi Item……….51

3. Reliabilitas Alat Ukur………..53

a. Skala Job Satisfaction……….. 54

b. Skala Leader-Member Exchange………. 55

c. Skala Employee Engagement……….……… 55

G. Metode Analisis Data………..……….56

1. Uji Asumsi………...56

a. Uji Normalitas………56

b. Uji Linearitas ……….………56

c. Uji Homoskedastisitas………57


(16)

xvi

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…….…………59

A. Pelaksanaan Penelitian……….59

B. Deskripsi Penelitian……….60

1. Deskripsi Subjek Penelitian……….60

2. Deskripsi Data Penelitian………64

C. Analisis Data Penelitian………...66

1. Uji Asumsi………...66

a. Uji Normalitas………66

b. Uji Linearitas ………... 67

2. Uji Hipotesis………69

D. Pembahasan………..73

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN…….………..81

A. Kesimpulan………..81

B. Keterbatasan Penelitian………81

C. Saran……….83

1. Bagi Perawat Rumah Sakit………...………... 2. Bagi Organisasi atau Perusahaan... 83 84 3. Bagi Peneliti Selanjutnya………85

DAFTAR PUSTAKA………86


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pemberian Skor pada Skala Job Satisfaction ….………446 Tabel 3.2

Tabel 3.3

Sebaran item skala Job Satisfaction………

Pemberian Skor pada Skala Leader-Member Exchange…….

47 48 Tabel 3.4 Sebaran item skala Leader-Member Exchange……….. 49 Tabel 3.5 Pemberian Skor pada Skala Employee Engagement…... 49 Tabel 3.6 Sebaran item skala Employee Engagement………….………50 Tabel 3.7 Reliabilitas skala Job Satisfaction…….……….. 55 Tabel 3.8 Reliabilitas skala Leader-Member Exchange……...………. 55 Tabel 3.9

Tabel 4.1 Tabel 4.2

Reliabilitas skala Employee Engagement………... Deskripsi data subjek berdasarkan jenis kelamin…………... Deskripsi data subjek berdasarkan usia ……….

56 61 61 Tabel 4.3 Deskripsi data subjek berdasarkan lama bekerja di rumah

sakit……….62

Tabel 4.4 Deskripsi data subjek berdasarkan lama bekerja dengan

kepala ruangan saat ini………... 63 Tabel 4.5 Deskripsi Statistik Data Penelitian………..……… 65 Tabel 4.6

Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9

Uji Normalitas Residu ……….………...

Uji Linearitas………... Hasil Uji Korelasional antara LMX dengan job satisfaction

Hasil Uji Korelasional antara LMX dengan employee

engagement….……….……. 67 68 70


(18)

xviii

Tabel 4.10 Hasil Uji Korelasional antara employee engagement dengan


(19)

xix

DAFTAR GAMBAR


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2

Reliabilitas Item dan Skala Penelitian ………..

Hasil Uji-T………..

94 96 Lampiran 3 Hasil Uji Normalitas Residu………...97 Lampiran 4 Hasil Uji Linearitas ……….……... 99 Lampiran 5 Skala Try out dan Penelitian………..101


(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Pleasure in the job puts perfection in the work.” –Aristotle-

Perawat merupakan salah satu profesi di rumah sakit, yang memiliki tanggung jawab dan peran penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Sebagai salah satu ujung tombak dalam memberikan pelayanan kepada pasien, penting bagi perawat memiliki kondisi emosi atau perasaan yang positif, salah satunya kepuasan kerja (job satisfaction). Job satisfaction menjadi penting karena ketika individu merasa puas dengan pekerjaan, mereka cenderung akan lebih produktif dan meningkatkan kualitas institusi atau perusahaan (Kusku, 2003). Semakin tinggi job satisfaction yang dimiliki perawat akan berpengaruh pada meningkatnya kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien (Ratnamiasih, Govindaraju, Prihartono, dan Sudirman, 2012).

Meningkatnya kualitas pelayanan tidak lepas dari kinerja perawat dalam melayani pasien. Seperti yang dikatakan Yanidrawati (2012) bahwa tingginya kinerja perawat dikarenakan tingginya tingkat job satisfaction pada perawat. Begitu juga sebaliknya, rendahnya kinerja perawat karena rendahnya tingkat job satisfaction pada perawat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yanidrawati (2012) pada perawat di salah satu rumah sakit di Bekasi, terdapat fakta bahwa tingkat job satisfaction pada perawat rendah yaitu sebesar 7,04%


(22)

yang berarti mempengaruhi kinerja perawat yang menjadi rendah. Dalam penelitian ini, perawat yang tidak puas atau mengalami job dissatisfaction

sebesar 92,96%. Fakta lain menunjukkan bahwa terdapat perawat yang mengalami job dissatisfaction sebesar 60,7% di salah satu rumah sakit di Medan (Aryanti & Arruum, 2012).

Kinerja perawat yang rendah karena mengalami job dissatisfaction

dapat berdampak buruk pada pelayanan di rumah sakit. Contoh kasus seperti perawat di RS Siloam Tangerang pada sekitar awal tahun 2015, di mana perawat salah menyuntikkan obat yang akhirnya berujung dengan kematian pasien (www.suarajakarta.co, diakses pada 17 Maret 2017). Kondisi tersebut sangat berdampak buruk bagi pasien maupun pihak rumah sakit, di mana kinerja perawat yang rendah. Hal ini dapat dikarenakan perawat tidak merasa puas dan nyaman dengan pekerjaannya. Selain itu, kepuasan perawat pada pekerjaannya perlu diperhatikan karena job dissatisfaction yang dialami perawat akan berdampak pada komitmen mereka dalam bekerja dan mempengaruhi mereka untuk melakukan turnover (Pathak, 2012). Huffman, Casper, dan Payne (2013) menambahkan ketika para karyawan merasa tidak puas pada pekerjaannya, mereka mungkin lebih mencari jalan keluar dengan tindakan negatif. Jika hasil job satisfaction pada aspek pekerjaan atau organisasi tidak menjadi lebih baik, meninggalkan organisasi akan menjadi pilihan agar mereka merasa lebih puas.

Locke (1976, dalam Huffman, et al., 2013) mendefinisikan job satisfaction sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang


(23)

dihasilkan dari penilaian seseorang pada pekerjaan atau pengalaman kerjanya. Menurut Hulin dan Judge (2003), job satisfaction merupakan respon psikologis seseorang terhadap pekerjaannya. Respon ini ditunjukkan oleh beberapa faktor seperti kognitif (evaluasi terhadap kerja), afektif (kondisi emosional), dan perilaku. Pada penelitiannya, Christen, Iyer, dan Soberman (2006) menemukan bahwa job satisfaction memiliki pengaruh khususnya pada performansi kerja, usaha, dan kepuasan pada struktur kerja.

Job satisfaction penting untuk diteliti, karena job satisfaction

merupakan dampak positif dari organisasi berupa sikap dan perilaku positif yang dilakukan karyawan, dalam hal ini perawat. Menjadi suatu keharusan bagi organisasi dalam mengelola pentingnya job satisfaction agar dapat memajukan organisasi (Nikolic, Vukonjanski, Nedeljkovic, Hadzic & Terek, 2013). Melakukan komunikasi internal yang informal merupakan salah satu cara meningkatkan job satisfaction. Pentingnya job satisfaction pada karyawan salah satunya adalah terciptanya efektivitas yang terjadi di dalam organisasi (Robbins & Judge, 2013). Karyawan dengan tingkat job satisfaction yang tinggi akan berusaha melakukan pekerjaannya dengan baik demi kemajuan organisasi dan bersedia untuk bekerja sama tim, daripada karyawan yang memiliki tingkat job satisfaction yang rendah.

Job satisfaction merupakan fenomena yang kompleks dengan banyak komponen yang mempengaruhi. Bormann dan Abrahamson (2014) menjelaskan faktor yang mempengaruhi job satisfaction pada perawat adalah bekerja pada pekerjaannya saat ini, bayaran atau gaji, kesempatan untuk


(24)

promosi, supervisi atau atasan, dan rekan kerja. Adanya job satisfaction juga dipengaruhi ketika individu lebih terlibat (engage) dengan pekerjaannya dalam organisasi. Hal ini didukung oleh Saks (2006) yang mengatakan bahwa

employee engagement akan mempengaruhi individu mengalami adanya job satisfaction.

Kemudian Cullen, Edwards, Casper, dan Gue (2014) mengatakan bahwa ketika merasakan dukungan yang kuat dari organisasi, kebutuhan sosial-emosi individu terpenuhi dan mereka cenderung menunjukkan perilaku kerja yang lebih positif, termasuk job satisfaction. Adanya relasi dengan

supervisor atau atasan serta dukungan yang kuat dari organisasi mempengaruhi karyawan untuk merasakan job satisfaction. Ketika karyawan merasa puas dengan pekerjaannya, mereka akan cenderung menunjukkan performansi yang tinggi kepada supervisor dan juga organisasi. Relasi antara

supervisor kepada karyawannya dapat dikatakan unik, di mana adanya timbal balik antara supervisor dan karyawannya akan meningkatkan kualitas relasi yang tinggi yang didasarkan pada kepercayaan, saling menghargai, dan saling menguntungkan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Leader-Member Exchange (LMX) secara eksplisit merupakan perspektif adanya

social exchange theory antara supervisor dan karyawannya.

Leader-Member Exchange (LMX) didefinisikan sebagai kualitas hubungan leaders, supervisor atau atasan dengan bawahan mereka dalam lingkungan kerja dan bagaimana mereka dapat saling mempengaruhi (Erdogan & Enders, 2007). Kemudian Gerstner dan Day (1997) juga menyebutkan


(25)

bahwa tingginya tingkat job satisfaction juga dipengaruhi oleh kualitas

Leader-Member Exchange (LMX) yang tinggi. Tingginya kualitas relasi

supervisor dan karyawannya ini menjadi penting untuk menciptakan kondisi emosional yang positif dan performansi kerja karyawan. Sebagai contoh, dalam review literaturnya, Erdogan dan Enders (2007) menyebutkan bahwa tingginya LMX memberikan keuntungan kepada karyawan dalam bentuk konkrit atau nyata seperti pemberdayaan, peningkatan produktivitas, improvisasi, dan peningkatan gaji, juga keuntungan dalam bentuk tidak konkrit atau nyata seperti komunikasi dengan atasan, dan memiliki hubungan atas dasar percaya. Hal ini membentuk lingkungan yang positif di organisasi, yang menyebabkan job satisfaction pada karyawan menjadi lebih tinggi (Erdogan & Enders, 2007). Sebaliknya, rendahnya tingkat LMX justru akan diikuti juga dengan tingkat job satisfaction yang rendah pada karyawan.

Ozdevecioglu, Demirtas, dan Kurt (2015), mengatakan bahwa sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas LMX yang tinggi mempengaruhi munculnya outcomes positif, seperti performansi pada tingkat yang lebih tinggi (dalam bentuk tugas dan konteks performansi), job satisfaction, komitmen organisasi, organizational trust, loyalitas,

organizational citizenship behavior (OCB), dan menurunnya tingkat employee turnover pada karyawan (e.g., Harris et al., 2009; Sparrowe & Liden, 1997; Gerstner & Day, 1997; Morrow et al., 2005). Hal ini yang kemudian diinginkan oleh organisasi karena akan memberikan dampak positif seperti memajukan organisasi. Kemudian, Nicolic, et al. (2013) menyimpulkan bahwa


(26)

tingkat LMX yang tinggi mengarah pada penguatan hubungan antara internal communication satisfaction dan job satisfaction. Tingginya tingkat LMX yang tinggi dapat berupa bentuk komunikasi internal yang baik, di mana komunikasi tidak terjadi pada kondisi formal saja melainkan pada kondisi informal juga. Kondisi ini yang berdampak pada perasaan positif pada karyawan seperti job satisfaction.

Dalam review literaturnya, Rockstuhl, Dulebohn, Ang, dan Shore (2012) mengatakan bahwa sebagian besar penelitian mengenai LMX dilakukan berdasarkan konteks budaya barat seperti individualisme dan low power distance. Namun, sebagaimana Anand, Hu, Liden, dan Vidyarthi telah meninjau, LMX yang terjadi di Asia dan bagian lainnya juga dapat dilakukan pada budaya kolektif dan higher power distance (dalam Rockstuhl et al., 2012). Rockstuhl et al. memberikan contoh penelitian bahwa LMX sangat terkait dengan job satisfaction dan mengurangi intensitas turnover di Amerika Serikat (e.g., Pillai, Scandura, & Williams, 1999; Francis, 2010) tetapi, keterkaitan antara LMX dengan job satisfaction lebih rendah di China dan tidak ada kaitannya dengan intensitas turnover di India (e.g., Yi, 2002; Mehta, 2009). Oleh karena itu, menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai keterkaitan antara LMX dengan job satisfaction.

Meskipun telah ditemukan bahwa LMX dapat mempengaruhi job satisfaction secara positif pada karyawan (Gerstner & Day, 1997; Dulebohn, Bommer, Liden, Brouer, & Ferris, 2012), namun Loi, Chan, dan Lam (2014) menjelaskan bahwa hubungan antar variabel ini masih belum ditemukan


(27)

dalam beberapa literatur yang ada. Selain itu, pada meta-analisis yang dilakukan Gerstner dan Day (1997) ditemukan bahwa job satisfaction dan performansi merupakan dua variabel yang paling sering diteliti sebagai hasil dari LMX. Dalam meta-analisisnya ini, Gerstner dan Day menyimpulkan bahwa masing-masing hubungan antara LMX dengan job satisfaction dan LMX dengan performansi kerja berbeda-beda, sehingga diperlukan adanya mediator ataupun moderator dalam hubungan tersebut. Maka dari itu, peneliti membutuhkan adanya mediator dalam hubungan LMX dengan job satisfaction.

Berdasarkan perspektif social exchange theory, kualitas LMX yang tinggi dapat menambah motivasi intrinsik karyawan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik, sehingga memungkinkan bahwa karyawan pada kualitas LMX yang tinggi akan menjadi lebih terlibat (engage) dalam organisasi dan pekerjaannya (Breevaart, Bakker, Demerouti, & Heuvel, 2015). Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, dan Bakker (2002) mendefinisikan

engagement merupakan sikap yang positif, di mana engagement mengacu kepada kondisi kognitif dan afektif yang kuat dan meluas, yang tidak hanya berfokus pada hal-hal tertentu, seperti objek atau perilaku. Engagement

ditandai dengan adanya aspek-aspek seperti semangat (vigour), dedikasi, dan

absorption. Beberapa penelitian mengatakan bahwa karyawan yang terlibat (engage) lebih mungkin akan menjadi produktif (Saks, 2006) dan tetap setia bekerja pada atasan maupun organisasi (Saks, 2006; Shuck, Reio, & Rocco, 2011).


(28)

Saks (2006) mengatakan alasan teoritis yang kuat untuk menjelaskan mengenai employee engagement dapat ditemukan pada social exchange theory. Ketika karyawan memiliki kualitas hubungan yang baik dengan atasan, mereka akan lebih terlibat (engage) serta memiliki sikap, tujuan, dan perilaku yang lebih positif. Individu yang lebih terlibat (engage) dianggap memiliki kualitas hubungan dengan atasan yang baik dan dapat dipercaya, maka cenderung akan menunjukkan sikap dan tujuan yang positif terhadap organisasi (Saks, 2006).

Penelitian yang dilakukan Dhivya dan Sripirabaa (2015) dan Breevaart et al. (2015) membuktikan bahwa adanya korelasi yang positif dan signifikan antara LMX dengan employee engagement. Karyawan yang memiliki kualitas LMX yang tinggi, akan terlibat (engage) dalam melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugas mereka atau di luar dari job description mereka, seperti menolong rekan-rekan kerja yang memiliki beban kerja lebih, atau membantu mengerjakan tugas karyawan yang sedang tidak hadir. Perilaku ini akan menciptakan lingkungan kerja yang saling membantu dan mendukung satu sama lain (Breevaart, et al., 2015). Anitha (2014) menambahkan bahwa

employee engagement dipengaruhi oleh kepemimpinan, team, hubungan antar rekan kerja, training, pengembangan karir, dan kompensasi.

Employee engagement merupakan hal penting yang menjadi perhatian utama para atasan dan manajer di organisasi seluruh dunia (Welch, 2011). Mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan elemen penting yang berpengaruh pada efektivitas, inovasi, dan persaingan pada organisasi. Selain


(29)

itu, Welch (2011) juga menyebutkan bahwa engagement dipengaruhi oleh komunikasi internal, yang merupakan penerapan dalam organisasi yang secara efektif menyampaikan nilai-nilai organisasi dan melibatkan karyawan dalam mencapai tujuan organisasi. Engagement juga merupakan salah satu indikator utama kesejahteraan pada karyawan dan organisasi (Bakker & Demerouti, 2008).

Karyawan yang engage seringkali memiliki emosi yang positif, seperti bahagia dan antusias, bekerja secara baik, lebih produktif, dan ikut terlibat dengan karyawan lain sehingga meningkatkan performansi kerja tim (Bakker & Demerouti, 2008). Menurut Breevaart, et al. (2015), karyawan yang engage

juga memiliki semangat dan antusias yang tinggi, merasa bangga, dan menikmati pekerjaannya.

Karakteristik kualitas LMX yang tinggi adalah adanya timbal balik yang saling menguntungkan antara atasan dan karyawan (Breevaart, et al., 2015). Di sisi lain, Breevaart, et al. (2015) mengatakan bahwa adanya dampak buruk ketika kualitas LMX meningkat dalam konteks performansi kerja. Karyawan memang akan merasa lebih engage ketika mereka memiliki tingkat LMX yang tinggi, karena para atasan membantu mempermudah pekerjaan mereka. Hal ini menyebabkan karyawan merasa dituntut untuk membalas kebaikan atas mereka dengan performansi yang sangat baik pada pekerjaannya. Adanya tuntutan pekerjaan tersebut juga mempengaruhi karyawan untuk lebih engage. Namun di sisi lain, karyawan akan merasa


(30)

tuntutan tersebut menjadi beban kerja yang dapat memberatkan dan menjadi sumber stress pada tersebut (Breevaart, et al., 2015).

Meskipun demikian, pada penelitian ini keterkaitan LMX dan

employee engagement merupakan hal yang penting. Laschinger dan Leiter (2006) mengatakan bahwa pada konteks perawat, peran atasan merupakan hal yang penting dalam menciptakan kondisi karyawan menjadi lebih engage dan memberi pelayanan yang berkualitas pada pasien. Selain itu, karyawan yang

engage akan merasa yakin dan puas dengan pekerjaannya sehingga dapat bekerja secara efektif dan memberikan pelayanan yang layak dan berkualitas pada pasien (Laschinger & Leiter, 2006). Oleh karena itu, penelitian ini menarik perhatian untuk menggunakan employee engagement sebagai mediator.

Karyawan yang engage juga menunjukkan optimisme, sikap positif, dan perilaku proaktif kepada rekan-rekan kerja, serta menciptakan suasana positif dalam tim (Bakker dan Demerouti, 2008). Hal ini menyebabkan adanya

job satisfaction karyawan pada organisasi dan lingkungan kerjanya. Penelitian lain yang dilakukan Giallonardo, Wong, dan Iwasiw (2010), ditemukan bahwa

engagement, sebagai variabel mediator, secara positif mempengaruhi job satisfaction pada perawat. Pada penelitian ini, salah satu dimensi dari

engagement yaitu dedikasi yang kaitannya kuat dengan job satisfaction

(Giallonardo et al., 2010). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karyawan yang terlibat (engage) dengan organisasi dan pekerjaannya, cenderung akan mengalami job satisfaction. Hal ini juga didukung oleh hasil


(31)

penelitian yang dilakukan Saks (2006), dimana dijelaskan pengukuran

engagement signifikan terhadap job satisfaction. Bahkan employee engagement dapat mempengaruhi job satisfaction.

Maka dari itu, peneliti mengambil employee engagement sebagai variabel yang dapat menjadi mediator dalam hubungan antara Leader-Member Exchange (LMX) dan job satisfaction.

B. Rumusan masalah

Apakah hubungan antara Leader-Member Exchange dan job satisfaction

dapat dimediasi oleh employee engagement?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Leader-Member Exchange dan Job satisfaction dengan Employee engagement sebagai variabel mediator.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang hubungan atau korelasi antara Leader-Member Exchange

(LMX) dengan job satisfaction pada karyawan dan dapat menjadi salah satu referensi bagi para akademisi dan bagi penelitian lebih lanjut yang memiliki topik yang sama.


(32)

2. Manfaat praktis

1. Bagi Subjek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi subjek mengenai sejauh mana job satisfaction pada pekerjaannya dan keterlibatan yang telah mereka terapkan selama ini bagi organisasi. Bagi supervisor, dapat menjadi evaluasi mengenai kualitas hubungan mereka dengan bawahan.

2. Bagi organisasi

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat berguna dan menjadi referensi bagi organisasi dalam merumuskan strategi yang tepat untuk meningkatkan job satisfaction pada karyawan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi organisasi mengenai kualitas relasi atasan dan bawahan yang sedang terjadi dan memberikan gambaran bagi organisasi mengenai sejauh mana karyawan mereka terlibat dalam organisasi.


(33)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Job Satisfaction

1. Definisi Job Satisfaction

Saat ini banyak sekali penelitian yang menjelaskan konsep mengenai job satisfaction. Salah satu teori yang paling sering digunakan dalam mendefinisikan job satisfaction adalah teori dari Locke (1976) yang mengatakan bahwa job satisfaction merupakan kondisi emosi yang positif atau menyenangkan sebagai hasil dari evaluasi pada pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang (dalam Huffman et al., 2013). Demikian, Cranny et al. (1992, dalam Weiss, 2002) menyimpulkan definisi job satisfaction sebagai respon afeksi atau emosional yang merepresentasikan sikap seseorang terhadap pekerjaannya secara umum.

Macdonald dan MacIntrye (1997) mengatakan bahwa job satisfaction dibedakan menjadi dua berdasarkan moril pada karyawan. Yang pertama, job satisfaction mengarah pada individu dan situasi pekerjaannya, dimana fokus pada bagaimana karyawan memiliki rasa kebersamaan sebagai tujuan dalam organisasi. Kemudian yang kedua, job satisfaction sewajarnya mengarah pada kondisi masa lalu dan masa sekarang, ketika moril karyawan mengarah pada perasaan akan masa mendatang.


(34)

Hulin dan Judge (2003) mengatakan bahwa job satisfaction merupakan respon psikologis seseorang terhadap pekerjaannya. Respon ini ditunjukkan oleh beberapa faktor seperti kognitif (evaluasi terhadap kerja), afektif (kondisi emosional), dan perilaku. Eagley & Chaiken menyebutkan tiga faktor yang berhubungan pada konsep job satisfaction tersebut sesuai dengan konsep social attitudes (dalam Hulin & Judge, 2003). Namun ada kesulitan mengenai sudut pandang ini mengenai adanya inkonsistensi bahwa social attitudes pada umumnya memiliki pengaruh yang lemah terhadap perilaku tertentu, namun job attitudes pada umumnya memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku kerja, termasuk job satisfaction.

Dalam studi empiris, job satisfaction dianggap sebagai perasaan yang menyeluruh mengenai pekerjaan, atau bagian yang terkait dengan berbagai aspek pekerjaan (Spector, 1997). Job satisfaction juga dianggap sebagai komponen utama yang positif terhadap perilaku bekerja dalam lingkungan pekerjaan (Cicolini, Comparcini, & Simonetti, 2013). Coomber dan Barriball (2007) mengatakan ada beberapa segi dalam job satisfaction juga memiliki keterlibatan aspek-aspek pekerjaan seperti gaji, rekan kerja, supervisor, dan lingkungan kerja. Salah satu variabel dalam studi mengenai perawat adalah intensitas turnover, dimana job satisfaction yang tinggi akan mengurangi turnover pada perawat (Cavanagh, 1992; dalam Coomber & Barriball, 2007).


(35)

Hackman dan Oldham (1975) melihat job satisfaction berdasarkan lima dimensi pekerjaan. Yang pertama skill variety, yang melihat sejauh mana karyawan melibatkan keterampilan dan bakatnya dalam berbagai kegiatan dalam pekerjaannya. Kemudian task identity, yang melihat sejauh mana karyawan mengidentifikasi dan menyelesaikan pekerjaan dari awal hingga akhir. Selanjutnya task significance, yang melihat sejauh mana pekerjaan dapat berpengaruh pada kehidupan atau orang lain, entah itu dalam organisasi atau dalam lingkungan eksternal. Kemudian ada autonomy, yang melihat sejauh mana pekerjaan memberikan kebebasan, kemandirian, dan kebijaksanaan kepada karyawan dalam menentukan prosedur dan melaksanakan pekerjaannya. Yang terakhir adanya feedback, yang melihat sejauh mana timbal balik pekerjaan karyawan dan evaluasi bagaimana efektivitas karyawan dalam bekerja.

Dari berbagai definisi mengenai konsep job satisfaction, peneliti menyimpulkan bahwa job satisfaction merupakan respon psikologis individu yang positif terhadap pekerjaannya, yang ditunjukkan oleh beberapa faktor seperti kognitif (evaluasi terhadap kerja), afektif (kondisi emosional), dan perilaku dalam bekerja.


(36)

2. Aspek-aspek Job Satisfaction

Hackman dan Oldham (1975), dalam teorinya mengenai job dimensions pada Job Diagnostic Survey (JDS), menjelaskan bahwa job satisfaction merupakan reaksi afeksi atau perasaan pada pekerjaan. Reaksi afeksi atau perasaan merupakan outcome pada karyawan yang mempengaruhi performansinya dalam melakukan pekerjaannya. Job satisfaction, sebagai outcome pada karyawan, memiliki beberapa aspek yang dapat mempengaruhi job satisfaction itu sendiri, seperti job security, yang merupakan dimana karyawan merasa ada jaminan untuk pekerjaannya di masa yang akan mendatang. Pay and other compensation, merupakan upah atau gaji yang diterima karyawan berdasarkan apa yang dilakukannya dalam pekerjaannya. Peers and co-workers, merupakan rekan kerja atau lingkungan sosial yang berada dalam lingkup pekerjaan pada karyawan. Supervision, yang merupakan pemimpin atau atasan yang memberi aturan dan perintah atau membimbing dan membantu karyawan dalam bekerja, dan Opportunity for personal growth and Development on the job, dimana adanya kesempatan pada karyawan untuk mengembangkan dirinya dalam bekerja dan memperoleh pengembangan pada pekerjaannya.

Selain itu, Spector (1985) dalam teorinya mengenai Job Satisfaction Survey (JSS) mengatakan ada sembilan aspek yang mewakili adanya job satisfaction. Aspek-aspek dalam JSS dipilih dan digunakan untuk mengukur job satisfaction pada karyawan di bidang


(37)

pelayanan. Sembilan aspek tersebut antara lain gaji, kesempatan untuk promosi, tunjangan pekerjaan, dukungan organisasi, supervisor, rekan kerja, komunikasi, kondisi pekerjaan, dan lingkungan dimana tempat untuk bekerja. Sembilan aspek ini dapat mewakili job satisfaction yang terjadi para karyawan (Spector, 1985).

Job Diagnostic Survey juga mengukur tiga bagian atau aspek psikologis pada karyawan, seperti experienced meaningfulness of the work dimana karyawan melihat sejauh mana pengalaman dalam bekerja merupakan hal yang bermakna dan berharga. Kemudian experienced responsibility for work outcomes dimana karyawan merasa bertanggungjawab atas hasil kerjanya, dan knowledge of results dimana karyawan mengerti seberapa efektif mereka menunjukkan performansi kerja (Hackman & Oldham, 1975). Aspek psikologis ini yang kemudian mendukung munculnya reaksi afeksi, termasuk job satisfaction pada karyawan. Peneliti kemudian lebih memilih menggunakan Job Diagnostic Survey karena melihat job satisfaction berdasarkan faktor psikologis karyawan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Satisfaction

Coomber dan Barriball (2007) mengatakan bahwa banyaknya komponen atau variabel yang dapat mempengaruhi job satisfaction. Salah satunya teori mengenai job characteristics (Hackman & Oldham, 1975), dimana mengatakan bahwa skill variety, task identity,


(38)

task significance, autonomy, dan job feedback berkontribusi pada munculnya job satisfaction pada pekerja. Adapula faktor yang termasuk mempengaruhi job satisfaction pada perawat adalah bekerja pada pekerjaannya saat ini, bayaran atau gaji, kesempatan untuk promosi, supervisi atau atasan, dan rekan kerja (Bormann & Abrahamson, 2014).

Penelitian mengenai job satisfaction pada perawat (AbuAlRub, Omari, & Al-Zaru, 2009), mengatakan bahwa dukungan sosial dari supervisor dan rekan kerja merupakan faktor utama yang menentukan ada job satisfaction. Dikatakan bahwa perawat yang memiliki dukungan yang lebih dari supervisor atau rekan kerjanya akan menghasilkan tingkat job satisfaction yang tinggi. AbuAlRub, et al. (2009) juga mengatakan bahwa komunikasi dengan supervisor dan rekan kerja merupakan faktor yang berkorelasi positif dengan job satisfaction. Social exchange merupakan teori yang tepat untuk melihat hubungan interpersonal dalam pekerjaan (Edwards, Bell, Arthur, Jr., & Decuir, 2008), termasuk adanya komunikasi dan dukungan dari supervisor dan rekan kerja.

Leader-member exchange (LMX) merupakan salah satu teori mengenai social exchange. Pada penelitianya, Vecchio et al. (dalam Volmer, Niessen, Spurk, Linz & Abele, 2011) menemukan bahwa LMX secara positif mempengaruhi munculnya job satisfaction pada karyawan di rumah sakit. Gerstner dan Day (1997) juga menyebutkan


(39)

bahwa anggota akan memiliki job satisfaction yang tinggi ketika dia memiliki kualitas Leader-member exchange (LMX) yang tinggi. Podsakoff dan MacKenie menemukan bahwa bertambahnya job satisfaction pada karyawan karena adanya kualitas LMX yang tinggi (dalam Lapierre & Hackett, 2007).

Loi et al. (2014) mengatakan bahwa karyawan yang merasa puas akan pekerjaannya dikarenakan memiliki tingkat LMX yang tinggi dengan adanya support dari supervisor. Tingginya kualitas LMX merupakan faktor keberhasilan untuk memperkuat organizational identification dan perasaan yang positif pada karyawan, termasuk job satisfaction. Tingginya LMX pada karyawan akan menunjukkan tingginya job satisfaction pada karyawan karena adanya organizational identification pada karyawan yang menghasilkan kepuasan secara kognitif dan perasaan mengenai pekerjaan mereka.

Job satisfaction juga dapat dipengaruhi oleh employee engagement. Seorang karyawan yang memiliki engagement yang tinggi akan menunjukkan optimisme dan perilaku proaktif sebagai bentuk keterlibatannya dalam organisasi sehingga akan menciptakan perasaan dan suasana yang positif pada lingkungan kerja, termasuk munculnya job satisfaction (Bakker dan Demerouti, 2008).

Salah satu bentuk employee engagement, yaitu dedikasi, dikatakan memiliki pengaruh yang kuat akan munculnya job satisfaction. Karyawan yang engage akan melakukan pekerjaannya


(40)

dengan semangat dan merasa tertantang oleh pekerjaannya tersebut. Sikap tersebut membantu mereka menemukan makna dalam pekerjaannya, yang mana akan membuat mereka memiliki job satisfaction yang tinggi (Giallonardo et al., 2010).

B. Leader-Member Exchange (LMX)

1. Definisi Leader-Member Exchange (LMX)

Pada umumnya, LMX seringkali dihubungkan pada faktor sikap dan performansi, khususnya pada karyawan (Gerstner & Day, 1997). Teori LMX secara khusus juga membahas mengenai hubungan timbal balik yang terjadi antara pemimpin dan anggotanya (Gerstner & Day, 1997). Erdogan & Enders (2007) menjelaskan bahwa kualitas hubungan leaders, supervisor atau atasan dengan bawahan mereka dalam lingkungan kerja dan bagaimana mereka dapat saling mempengaruhi disebut juga sebagai LMX itu sendiri.

Konsep mengenai LMX pertama kali dikemukakan oleh Graen dan teman-temannya sejak 1973 (Gerstner & Day, 1997). Meski demikian, Gerstner dan Day menjelaskan bahwa LMX dibedakan dari teori kepemimpinan lainnya dengan berfokus pada hubungan timbal balik antara pemimpin dengan anggotanya. Berbeda dengan teorinya sebelumnya, yang mencoba menjelaskan kepemimpinan yang dilihat dari fungsi dan karakteristik pada pemimpinnya, fokus penelitian LMX dilihat dari hubungan timbal balik ini. Berdasarkan teori LMX


(41)

tersebut, perkembangan kualitas hubungan antara pemimpin dan anggotanya dapat mempengaruhi outcomes dari individu, kelompok dan organisasi itu sendiri (Gerstner & Day, 1997).

Rockstuhl et al. (2012) mengatakan bahwa pada prinsip LMX, sikap dan perilaku anggota atau bawahan terkait pekerjaan bergantung pada bagaimana pemimpin memberikan perlakuan kepada anggotanya. Meski demikian, hal mendasar pada teori LMX adalah seorang pemimpin akan memberi perlakuan yang berbeda dalam membangun relasi dengan setiap anggotanya (Graen & Uhl-Bhien, 1995), sehingga setiap anggota pun memiliki kualitas relasi yang berbeda-beda dengan pemimpinnya. Hal ini yang kemudian dapat dilihat tinggi atau rendahnya kualitas LMX pada pemimpin dan anggotanya.

Kualitas LMX yang tinggi melebihi relasi yang hanya berlandaskan kontrak kerja semata, tetapi relasi yang sudah menyangkut aspek-aspek afektif seperti kepercayaan, saling menghormati dan rasa tanggung jawab bersama dalam perusahaan. Namun sebaliknya, kualitas LMX yang rendah hanya didasarkan pada tuntutan formal kontrak kerja dimana karyawan melakukan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab dalam job desk mereka dan dibayar sesuai dengan ketentuan yang ada (Breevaart et al., 2015).

Tingginya kualitas LMX akan memberikan dampak positif bagi organisasi, karena performansi karyawan yang semakin tinggi. Dalam hal ini, karyawan akan menjadi lebih terlibat ketika kualitas LMX yang


(42)

tinggi karena mereka merasa didukung oleh pemimpinnya dalam melakukan pekerjaan sehingga menunjukkan performansi yang tinggi (Breevaart, et al., 2015). Selain itu, Gerstner dan Day (1997) mengatakan bahwa tingginya kualitas LMX akan menghasilkan kepuasan dan efektifitas bekerja yang tinggi, komunikasi yang terbuka, dan adanya extrarole behavior yang tinggi.

Di sisi lain, kualitas LMX yang rendah akan berpotensi memberikan dampak negatif bagi organisasi. Dalam hal ini karyawan memiliki intensitas bertemu yang rendah dengan pemimpinnya (Dulebohn et al., 2012) sehingga menyebabkan adanya komunikasi yang terbatas antara karyawan dan pemimpinnya (Gerstner dan Day, 1997). Karyawan pun akan menerima infomasi yang terbatas dan bekerja secara monoton. Hal ini yang akan berpotensi pada performansi karyawan yang menurun karena adanya ketidakpuasan karyawan dalam bekerja, komitmen pada organisasi yang rendah, dan tingkat employee turnover yang tinggi (Gerstner dan Day, 1997).

Pada teorinya, adanya perbedaan kualitas relasi LMX ini membuat pemimpin secara tidak langsung membagi anggotanya menjadi dalam dua kelompok, yaitu in group dan out group (Robbins & Judge, 2013). Pada in group, anggota atau karyawan cenderung memiliki LMX yang tinggi dengan pemimpinnya. Pemimpin memiliki kepercayaan lebih pada anggotanya dan juga memberikan perhatian yang lebih banyak terhadap kelompok in group. Karyawan pada


(43)

kelompok in group juga memiliki komunikasi dengan lebih intens dengan pimpinan. Kondisi ini membuat karyawan in group bersedia untuk melakukan pekerjaan yang melampaui job description mereka. Sebaliknya pada out group, karyawan cenderung memiliki kualitas LMX yang rendah. Karyawan pada kelompok out group hanya mendapat sedikit waktu yang diberikan oleh pemimpinnya, termasuk komunikasi yang kurang dengan pemimpin. Kondisi ini membuat karyawan cenderung tidak tertarik menerima tanggung jawab dan tugas lebih yang diberikan. Hubungan karyawan pada kelompok out group cenderung memiliki hubungan yang formal dengan pemimpin sehingga melakukan pekerjaan sesuai dengan job description.

Berdasarkan pada beberapa konsep mengenai LMX tersebut, dapat disimpulkan bahwa Leader-Member Exchange (LMX) merupakan kualitas interaksi dan hubungan yang diciptakan antara pemimpin atau supervisor dengan anggotanya dalam lingkungan pekerjaan atau organisasi, di mana hubungan terbentuk tidak hanya satu arah dari pemimpin ke karyawan melainkan terbentuk dua arah dan memiliki kualitas yang berbeda-beda.

2. Dimensi Leader-Member Exchange (LMX)

Banyaknya variasi interaksi dan hubungan LMX menunjukkan tinggi rendahnya kualitas LMX itu sendiri. Hal ini merupakan implikasi penting dari adanya konsep multidimensional pada LMX.


(44)

Konsep multidimensional ini dapat membantu mengembangkan dan menjaga kualitas LMX (Liden & Maslyn, 1998). Demikian pula yang dikemukakan oleh Dienesch dan Liden (1986) bahwa kualitas LMX dapat dilihat berdasarkan beberapa dimensi seperti perilaku yang terkait oleh pekerjaan (contribution), loyal dan setia dengan anggota lain (loyalty), dan adanya kesukaan antara satu dengan yang lain (affect).

Pada dasarnya LMX dapat diidentifikasi satu, dua atau ketiga dari bentuk exchange tersebut. Dalam perkembangannya, LMX diketahui memiliki multidimensional konsep. Konsep yang multidimensional inilah yang kemudian menyebabkan LMX menjadi tidak hanya memiliki tiga bentuk exchange saja. Beberapa literatur, secara garis besar, mengatakan bahwa terdapat empat dimensi pada LMX. Empat dimensi tersebut meliputi Contribution, Loyalty, Affection, dan Professional Respect (Dienesch & Liden, 1986; Liden & Masylin, 1998; Masylin & Uhl-Bien, 2001). Contribution (Kontribusi) merupakan persepsi tentang seluruh kegiatan yang berorientasi pada tugas dan kualitas pekerjaan yang dilakukan anggota untuk mencapai tujuan organisasi baik secara eksplisit atau implisit. Kemudian Loyalty (Loyalitas) yang melihat sejauh mana pemimpin dan anggotanya menunjukkan dukungan terhadap perilaku dan karakter satu dengan yang lainnya. Affect (Afeksi) merupakan perasaan timbal balik yang dimiliki satu sama lain yang didasari adanya daya tarik interpersonal


(45)

yang bukan karena nilai-nilai profesionalisme kerja saja. Professional Respect, dimana persepsi mengenai sejauh mana setiap anggota dari sebuah tim kerja telah membangun reputasi pribadi baik di dalam maupun di luar organisasi.

3. Dampak dari Leader-Member Exchange (LMX)

Sebelumnya diketahui bahwa kualitas LMX yang tinggi dapat memberikan dampak positif pada organisasi, termasuk outcomes yang positif pada karyawan seperti kepuasan kerja, organizational citizenship behavior dan komitmen terhadap pekerjaan pada karyawan (Breevaart et al., 2015). Gerstner dan Day (1997) mengatakan bahwa karyawan akan merasa puas dalam bekerja, komunikasi yang terbuka, bekerja dengan efektif dan adanya extrarole behavior yang tinggi ketika kualitas LMX tinggi. Selain itu, kualitas LMX yang tinggi memberikan hasil yang diinginkan pada karyawan seperti performansi pada tingkat yang lebih tinggi, job satisfaction, komitmen organisasi, organizational trust, loyalitas, organizational citizenship behavior, dan menurunnya tingkat employee turnover (Ozdevecioglu et al., 2015).

Tingginya kualitas LMX tidak hanya memberikan dampak positif, namun juga dapat berpotensi menimbulkan dampak negatif. Handoyo dan Sandjadja (2012) mengatakan bahwa ada fenomena social loafing, dimana karyawan akan memandang dan merasa bahwa posisi atau kedudukannya aman di dalam perusahaan sehingga hanya


(46)

melakukan apa yang menjadi tugasnya saja. Hal ini dikarenakan dengan mendapat dukungan dan memiliki relasi yang baik dari atasan membuat karyawan merasa cukup dengan pekerjaannya yang sesuai job description, tanpa menujukkan keterlibatan dan keterikatannya pada organisasi (Handoyo & Sandjadja, 2012).

Selain itu, rendahnya kualitas LMX dapat pula memberikan dampak yang negatif bagi organisasi, dimana adanya ketidakpuasan karyawan dalam bekerja, komitmen pada organisasi yang rendah, dan tingkat employee turnover yang tinggi (Gerstner dan Day, 1997). Hal ini dikarenakan dengan rendahnya kualitas LMX, komunikasi antara karyawan dan pemimpinnya menjadi terbatas (Gerstner dan Day, 1997) sehingga karyawan merasa tidak didukung oleh atasan dan performansinya menurun.

Meskipun demikian, banyak sekali outcomes positif pada karyawan ketika kualitas LMX tinggi. Employee engagement menjadi salah satu outcomes yang dipengaruhi oleh LMX. Karyawan akan menjadi lebih terlibat (engage) dalam organisasi dan pekerjaannya ketika memiliki kualitas LMX yang tinggi (Breevaart et al. 2015). Hal ini dapat dilihat bahwa ketika karyawan memiliki kualitas LMX dengan atasannya akan menimbulkan motivasi intrinsik, termasuk engagement pada karyawan untuk melakukan tugas dan pekerjaan mereka sebaik mungkin untuk memajukan organisasi, termasuk


(47)

melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugas mereka atau di luar dari job description mereka.

C. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Konsep mengenai employee engagement sudah menjadi topik yang sangat menarik dalam dunia organisasi dan literatur pada sumber daya manusia dalam beberapa tahun terakhir (Rana, Ardichvili & Oleksandr, 2014). Konsep mengenai engagement mulai muncul dan diperbincangkan dalam penelitian dan literatur bisnis dan organisasi sekitar dua dekade yang lalu (Simpson, 2009). Analisis literatur mengidentifikasi adannya tahapan-tahapan evolusi dalam konsep employee engagement, dan dibagi menjadi serangkaian gelombang, seperti Pre-Wave, Wave 1, Wave 2, dan Wave 3 (Welch, 2011).

Pada era Pre-Wave, para peneliti tidak menggunakan istilah employee engagement, namun engagement lebih melihat bahwa adanya kebutuhan bagi para karyawan untuk terlibat (engage) dengan pekerjaan dan organisasi mereka (Welch, 2011). Katz and Kahn mendiskusikan bahwa perilaku karyawan (employee behaviours) diperlukan untuk mencapai efektivitas perusahaan, termasuk terlibat dalam perilaku inovatif dan kooperatif, melebihi perannya dalam mencapai tujuan organisasi (dalam Welch, 2011).


(48)

Era Wave 1 pada tahun 1990an, dimulai dengan adanya karya akademik mengenai personal engagement. Kahn (1990) yang berpengaruh pada konsep ini mendefinisikan bahwa personal engagement merupakan usaha memanfaatkan diri setiap anggota organisasi terhadap peran mereka, berupa keterlibatan mereka secara penuh terhadap organisasi, serta mempekerjakan dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama mereka bekerja dalam organisasi atau perusahaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, employee engagement merupakan aspek psikologis dari seorang individu atau anggota organisasi mengenai kehadiran dan keterlibatan mereka selama bekerja dalam sebuah organisasi atau perusahaan.

Kahn (1990) juga menjelaskan bahwa terdapat komponen penting yang dapat meningkatkan engagement di tempat kerja, seperti kebermaknaan (meaningfulness), keamanan (safety), dan ketersediaan (availability). Meaningfulness didefinisikan rasa positif sebagai investasi diri dalam peran kerja. Kemudian, safety didefinisikan sebagai kemampuan untuk menampilkan diri sendiri tanpa rasa takut akan konsekuensi negatif mengenai citra diri, status, atau karier. Sedangkan availability merupakan rasa ingin memiliki secara fisik, emosional, dan psikologis dari sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan.

Pada era Wave 2 (tahun 2000-2005), sudah mulai banyak peneliti yang mulai mendefinisikan employee engagement dan


(49)

merumuskan skala yang dapat mengukur tinggi-rendahnya engagament karyawan (Welch, 2011). Rothbard (2001, dalam Saks, 2006) mendefinisikan employee engagement sebagai kehadiran psikologis yang melibatkan dua komponen penting, yaitu attention dan absorption. Attention merupakan keterlibatan kognitif dan jumlah waktu yang dihabiskan anggota karyawan untuk berfikir mengenai pekerjaan dan peran mereka. Sedangkan absorption merupakan perasaan tertarik dan terpikat terhadap peran dan pekerjaannya, dan mengarah kepada intensitas anggota karyawan untuk fokus terhadap pekerjaan tersebut.

Engagement juga didefinisikan sebagai sebuah aspek psikologis yang dipicu oleh beberapa hal yakni energi (energy), pengaruh (involvement) dan kemampuan (efficacy) dan merupakan kebalikan dari tiga dimensi burnout yaitu exhaustion, cynicism, dan inefficacy (Maslach, Schaufeli & Leiter, 2001). Schaufeli dan Bakker (2004) mendefinisikan engagement sebagai keadaan pikiran positif dan memenuhi yang berkaitan dengan pekerjaan, yang ditandai dengan semangat (vigour), dedikasi (dedication), dan penyerapan (absorption). Definisi ini menjadi cukup berpengaruh terhadap perkembangan konsep engagement karena dipandang memiliki kemiripan konsep dan fokus yang sama seperti yang dikemukan oleh Kahn (Welch, 2011).


(50)

Periode tahun 2006-2010 yang merupakan era Wave 3, diawali dengan munculnya catatan mengenai konsep engagement pada penelitian mengenai burnout (Saks, 2006). Pada penelitian tersebut engagement dianggap sebagai perilaku yang berkebalikan atau positive antithesis dengan perilaku burnout. Tidak seperti halnya burnout, engagement melihat bagaimana karyawan terlibat dalam pekerjaan maupun organisasi mereka dan merasa mampu mengerjakan tugas-tugas mereka dengan baik (Rana et al. 2014). Kemudian Macey dan Schneider (2008) mendefinisikan employee engagement sebagai sebuah keadaan kompleks yang meliputi sifat, keadaan dan konstruk perilaku, serta pekerjaan dan kondisi organisasi yang mungkin memfasilitasi keadaan dan perilaku keterlibatan.

Karyawan yang memiliki hubungan mendalam dan meluas dengan perusahaan akan bersedia untuk melakukan beberapa hal untuk membuat perusahaan sukses, diatas atau bahkan melampaui apa yang di harapkan. Mereka juga akan menawarkan kerangka kerja untuk membangun keterlibatan yang didasari oleh karyawan yang mengetahui, menumbuhkan, menginspirasi, melibatkan, dan menguntungkan para pemimpin senior, manajer, sumber daya manusia profesional, dan karyawan itu sendiri (Gebauer & Lowman, 2008). Banyak item-item yang ada pada survei mengenai engagement menunjukkan bahwa aspek-aspek engagement secara postif berkaitan dengan perilaku karyawan dan mencakup konsep psikologis,


(51)

seperti organizational citizenship serta komitmen dan keterikatan organisasi (Robertson & Cooper, 2010).

Berdasarkan penjelasan konsep dan definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa employee engagement merupakan keadaan psikologis mengenai sejauh mana karyawan terlibat secara fisik, kognitif dan emosi terhadap performansi dan menjalankan perannya dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Dengan kata lain employee engagement merupakan tingkat sejauh mana perasaan individu berada dan terlibat dalam organisasi mereka.

2. Aspek-aspek Employee Engagement

Kahn (1990) sebagai yang berpengaruh pada konsep engagement, menjelaskan bahwa engagement merupakan konsep multidimensi yang bergerak bersama membentuk sebuah keterlibatan dalam organisasi. Para peneliti pun juga memiliki pemahaman yang sama mengenai gagasan multidimensi, seperti halnya Schaufeli, et al. (2002) yang mendefinisikan engagement sebagai hal yang positif, pemenuhan, hubungan kondisi pikiran dan pekerjaan yang ditandai dengan tiga aspek yaitu semangat (vigour), dedikasi, dan absorption.

Aspek vigour (semangat) dilihat dari tingginya tingkat energi dan ketahanan mental seorang karyawan saat bekerja. Karyawan juga memiliki ketekunan dan kemauan untuk berinvestasi, meskipun dalam kondisi atau saat menghadapi kesulitan. Aspek ini dapat


(52)

meningkatkan usaha karyawan dalam mencapai tujuan organisasi. Kemudian aspek dedication (dedikasi) dilihat dari adaya perasaan antusias, terinspirasi, rasa bangga, dan senang dalam menghadapi tantangan dalam pekerjaan. Aspek ini ditunjukkan karyawan dengan menginvestasikan diri mereka lewat kebanggaan, kepercayaan, dan pengetahuan terhadap organisasi. Pada aspek absorption (penyerapan) dilihat ketika karyawan sepenuhnya terkontraksi dan menikmati pekerjaannya, dan merasa waktu berlalu dengan cepat dan sulit terpisahkan dari pekerjaannya. Aspek ini berasal dari penilaian karyawan mengenai seberapa bermakna dan aman pekerjaan mereka (secara fisik, emosional, dan psikologis), serta seberapa tinggi tingkat kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaannya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement

Saks (2006) mengatakan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi employee engagement yang telah diidentifikasi dari penelitian yang dilakukan Kahn (1990) dan Maslach et al. (2001). Salah satunya adalah job characteristic (Kahn, 1990; Saks, 2006; Rana et al. 2014). Dalam hal ini dijelaskan bahwa sebuah pekerjaan yang memiliki karakteristik inti yang jelas akan lebih memungkinkan bagi seorang individu untuk membawa diri mereka ke dalam pekerjaan tersebut, sehingga mereka akan lebih engage.


(53)

Kemudian faktor lain yang mempengaruhi employee engagement adalah perceived organizational and supervisor support (Saks, 2006; Rana et al. 2014). Kahn (1990) menemukan bahwa dukungan dan kepercayaan dalam hubungan interpersonal yang terjalin pada atasan dan karyawannya akan menimbulkan psychological safety. Dalam kondisi ini, karyawan akan cenderung lebih engage pada pekerjaannya, karena merasakan dukungan dari organisasi. Sebaliknya, kurangnya dukungan dari organisasi akan menyebabkan burnout pada karyawan. Salah satu bentuk dari perceived organizational and supervisor support ialah LMX. Terbukti bahwa karyawan yang memiliki kualitas LMX yang tinggi, akan terlibat (engage) dalam melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugas mereka atau di luar dari job description mereka (Dhivya & Sripirabaa, 2015; Breevaart et al., 2015).

Selain itu, Kahn (1990) mengatakan bahwa setiap individu memiliki tingkat engagement yang bervariasi, tergantung seberapa besar manfaat atau keuntungan yang mereka peroleh dari pekerjan mereka. Hal tersebut dapat berupa external rewards (bonus) dan penghargaan atau pengakuan bermakna yang mereka terima dari atasan atau rekan kerja (Saks, 2006), dimana tingginya rewards dan penghargaan akan membuat karyawan lebih engage. Kurangnya external rewards dan penghargaan atau pengakuan akan berdampak pada burnout yang dialami oleh karyawan.


(54)

4. Dampak dari Employee Engagement

Beberapa penelitian sepakat bahwa employee engagement menghasilkan dampak yang positif bagi perusahaan atau organisasi (Saks, 2006; Guest, 2014). Hal ini dikarenakan karyawan yang lebih engage seringkali memiliki emosi yang positif, seperti bahagia dan antusias, bekerja secara baik, lebih produktif, dan ikut terlibat dengan karyawan lain sehingga meningkatkan performansi kerja tim (Bakker & Demerouti, 2008). Adapun dampak dari employee engagement antara lain adalah:

a. Performansi Kerja

May et al. (2004, dalam Saks, 2006) berpendapat bahwa psychological mindfulness merupakan kunci utama dari terjadinya employee engagement pada perusahaan. Psychological mindfulness tidak hanya menyebabkan attitudinal outcomes karyawan yang positif (kepuasan kerja, motivasi, dll) saja, tetapi juga menghasilkan behavioural outcomes seperti performansi kerja. Ketika individu engage, mereka akan merasa puas, berkomitmen dan produktif dalam bekerja serta akan mencurahkan seluruh energi dan performansinya (Saks, 2006; Fleck & Inceoglu, dalam Rana et al. 2014).


(55)

b. Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

Dalam review literaturnya, Soane et al. (2012) menjelaskan OCB merupakan suatu perilaku kooperatif karyawan yang dapat menguntungkan serta membawa dampak positif bagi organisasi. Salah satu bentuk OCB adalah extra role, yang dapat didefinisikan sebagai perilaku yang didasari oleh inisiatif pribadi individu, bersifat positif, sukarela, dan tidak terdaftar dalam reward formal yang dilakukan yang memberikan keuntungan bagi organisasi. OCB merupakan salah satu outcomes yang ditimbulkan oleh adanya karyawan yang engage. Hal ini dikarenakan karyawan yang engage akan cenderung menunjukkan perilaku positif dan termotivasi untuk melakukan perilaku yang menguntungkan, salah satunya adalah OCB (Soane et al., 2012).

c. Job Satisfaction

Karyawan yang engage juga menunjukkan optimisme, sikap positif, dan perilaku proaktif kepada rekan-rekan kerja, serta menciptakan suasana positif dalam tim (Bakker dan Demerouti, 2008). Hal ini menyebabkan adanya job satisfaction karyawan pada organisasi dan lingkungan kerjanya. Penelitian lain yang dilakukan Giallonardo et al. (2010), ditemukan bahwa engagement secara positif berdampak pada adanya job satisfaction. Selain itu, penelitian Giallonardo et al. (2010) menemukan bahwa


(56)

engagement digunakan sebagai mediator hubungan antara authentic leadership dan job satisfaction. Saks (2006), juga menjelaskan bahwa engagement berdampak pada job satisfaction. Bahkan employee engagement dapat mempengaruhi job satisfaction.

d. Mengurangi turnover

Turnover merupakan pertimbangan subyektif dari seorang individu mengenai kemungkinan mereka untuk berhenti bekerja atau keluar dari sebuah organisasi. Intensitas turnover merupakan jumlah dari karyawan yang pergi meninggalkan pekerjaan ataupun tidak lagi bekerja pada organisasinya (Carmeli & Weisberg, 2006 dalam Rana et al., 2014; Yuan, Yu, Li & Ning, 2014). Penelitian menunjukan bahwa jika employee engagement tinggi, maka secara langsung akan mengurangi intensitas turnover pada sebuah organisasi (Shuck, Rocco & Albornoz, 2010; Shankar & Bhatnagar, 2010).


(57)

D. Dinamika Hubungan Leader-Member Exchange (LMX) dan Job Satisfaction

Karyawan akan cenderung menunjukkan job satisfaction yang tinggi ketika merasakan dukungan yang kuat dari organisasi, termasuk supervisor sehingga kebutuhan sosial-emosi mereka terpenuhi (Edwards et al., 2014; AbuAlRub et al., 2009). Giallonardo et al. (2010) mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara leadership behaviours pada atasan dan job satisfaction pada perawat.

Leader-member exchange merupakan salah satu bentuk dari leadership behaviours pemimpin dan supervisor. Pentingnya kualitas hubungan antara pemimpin dan karyawannya akan menciptakan job satisfaction pada karyawan (Loi et al., 2014). Relasi antara pemimpin atau supervisor dengan karyawannya yang ditunjukkan dengan tingkat LMX yang tinggi ditandai dengan tingginya kepercayaan, menghormati, menghargai, dan saling memiliki tanggungjawab satu sama lain. Tingginya LMX berupa komunikasi dan dukungan dari atasan akan memberikan keuntungan kepada karyawan dalam bentuk konkrit atau nyata seperti pemberdayaan, peningkatan produktivitas, dan improvisasi. Hal ini kemudian akan menciptakan job satisfaction yang tinggi pada karyawan (Nicolic et al., 2013; Sparrowe, & Liden, 1997; Graen & Uhl-Bien, 1995).

Kualitas yang tinggi LMX terbukti dapat mempengaruhi job satisfaction pada karyawan menjadi lebih tinggi pula. Meskipun demikian, Loi et al. (2014) mengatakan bahwa hubungan antar variabel ini masih


(58)

belum ditemukan dalam beberapa literatur yang ada. Selain itu, Gerstner dan Day (1997) mengatakan adanya inkonsistesi pada hubungan LMX dan job satisfaction, sehingga perlu adanya mediator ataupun moderator.

Kualitas LMX yang tinggi dapat menambah motivasi intrinsik karyawan untuk berusaha melakukan pekerjaan mereka dengan baik untuk memajukan organisasi (Breevaart et al., 2015). Employee engagement merupakan salah satu bentuk dari motivasi intrinsik individu tersebut (Guest, 2014). Dengan demikian, karyawan dengan kualitas LMX yang tinggi akan lebih terlibat (engage) dalam organisasi atau perusahaan mereka. Karyawan yang merasa bahwa diperlakukan secara adil dan baik oleh supervisor dan rekan kerjanya akan cenderung melakukan perilaku engage dengan menolong orang lain yang sesuai konteks dengan pekerjaannya (Edwards et al., 2008).

Beberapa penelitian menemukan bahwa adanya hubungan positif antara LMX dengan employee engagement. Karyawan yang memiliki kualitas LMX yang tinggi, akan terlibat (engage) dalam melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugas mereka dan menolong rekan-rekan kerjanya dalam melakukan pekerjaan. Perilaku ini akan menciptakan lingkungan kerja yang saling membantu dan mendukung satu sama lain (Dhivya dan Sripirabaa, 2015; Breevaart et al., 2015). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas LMX, maka karyawan akan semakin engage terhadap pekerjaan dan organisasinya.


(59)

Engagement juga merupakan salah satu indikator utama kesejahteraan pada karyawan dan organisasi. Karyawan yang engage juga menunjukkan optimisme, sikap positif, dan perilaku proaktif kepada rekan-rekan kerja, serta menciptakan suasana positif dalam tim (Bakker dan Demerouti, 2008). Hal ini menyebabkan adanya job satisfaction karyawan pada organisasi dan lingkungan kerjanya. Penelitian lain mengatakan bahwa adanya engagement pada karyawan secara positif mempengaruhi munculnya job satisfaction (Giallonardo et al., 2010).

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang karyawan yang engage tentunya menunjukkan optimisme dan perilaku proaktif sebagai bentuk keterlibatannya dalam organisasi sehingga akan menciptakan perasaan dan suasana yang positif, termasuk job satisfaction. Oleh karena itu, hubungan antara LMX dan job satisfaction akan lebih kuat jika dimediatori oleh employee engagement.

E. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian hubungan antara kualitas Leader-Member Exchange dengan job satisfaction pada karyawan dimediatori oleh employee engagement adalah sebagai berikut:


(60)

Gambar 2.1 Model Penelitian

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah :

1. LMX memiliki hubungan positif signifikan dengan job satisfaction.

2. LMX memiliki hubungan positif signifikan dengan employee engagement.

3. Employee engagement memiliki hubungan positif signifikan dengan job satisfaction.

4. Employee Engagement memediasi hubungan antara Leader-Member Exchange dan Job Satisfaction.

Leader-Member Exchange

Employee Engagement

Job Satisfaction H1

H2

H3


(61)

41 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan jenis penelitian yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian dan analisis data yang bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan dan dibentuk berdasarkan tujuan penelitian (Supratiknya, 2014). Metode kuantitatif juga dinamakan sebagai metode ilmiah karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional, dan sistematis (Sugiyono, 2008).

Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian survei karena data atau informasi yang dikumpulkan merupakan representasi data yang diambil secara langsung dari populasi. Desain survei yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional, yang mana mengukur variabel yang sama hanya satu kali pada sejumlah kelompok partisipan dengan satu atau lebih karakteristik pokok yang berbeda (Supratiknya, 2014). Selain itu, penelitian ini juga termasuk penelitian dasar karena hasil dari penelitian akan digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dengan menguji hipotesis dan prinsip dasar sebuah teori yang ada.


(62)

B. Variabel Penelitian

Variabel Tergantung : Job Satisfaction

Variabel Bebas : Leader-Member Exchange

Variabel Mediator : Employee Engagement

C. Definisi Operasional 1. Job Satisfaction

Job Satisfaction didefinisikan sebagai respon psikologis yang positif dari seorang perawat terhadap pekerjaannya, yang ditunjukkan oleh beberapa faktor seperti kognitif pada evaluasi terhadap kerja, afektif pada kondisi emosional, dan perilaku dalam bekerja. Pada penelitian ini job satisfaction diukur menggunakan skala Job Diagnostic Survey (Hackman & Oldham, 1975) yang spesifik melihat skala kepuasan kerja. Job satisfaction terdiri dari lima aspek seperti job security, pay and compensation, personal growth and development, peers and co-workers, dan supervision. Semakin tinggi skor pada skala

job satisfaction yang diperoleh subjek, menandakan bahwa semakin tinggi pula kepuasan kerja pada subjek tersebut. Sebaliknya, semakin rendah skor pada skala job satisfcation yang diperoleh subjek, berarti menandakan bahwa semakin rendah pula kepuasan kerja yang dimiliki subjek tersebut.


(63)

2. Leader-Member Exchange

Leader-Member Exchange (LMX) didefinisikan sebagai kualitas interaksi dan hubungan yang diciptakan antara pemimpin atau

supervisor dengan anggotanya dalam lingkungan pekerjaan atau organisasi. LMX diukur menggunakan skala LMX yang telah diadaptasi dari Liden dan Maslyn (1998). LMX memiliki empat aspek yaitu kontribusi, loyalitas, afek, dan professional respect. Semakin tinggi skor pada skala LMX yang diperoleh subjek, menandakan bahwa semakin tinggi pula kualitas LMX antara pemimpin dengan subjek tersebut. Sebaliknya, semakin rendah skor pada skala LMX yang diperoleh subjek, berarti menandakan bahwa semakin rendah pula kualitas LMX antara pemimpin dengan subjek tersebut.

3. Employee Engagement

Employee Engagement didefinisikan sebagai keadaan psikologis mengenai sejauh mana karyawan terlibat secara fisik, kognitif dan emosi terhadap performansi dan menjalankan perannya dalam sebuah organisasi atau perusahaan tempat mereka bekerja. Dengan kata lain employee engagement merupakan tingkat sejauh mana perasaan individu berada dan terlibat dalam organisasi mereka. Besarnya engagement pada karyawan, dapat dilihat melalui tiga aspek yaitu semangat (vigour), dedikasi (dedication) dan penyerapan (absorption). Employee engagement diukur menggunakan skala yang


(64)

telah diadaptasi dari Saks (2006). Semakin tinggi skor pada skala

engagement yang diperoleh subjek, menandakan bahwa semakin tinggi pula tingkat engagement pada karyawan. Sebaliknya, semakin rendah skor pada skala engagement yang diperoleh subjek, maka semakin rendah pula tingkat engagement pada karyawan.

D. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah perawat rumah sakit di daerah Sragen, Jawa Tengah. Rumah sakit ini dipilih karena memudahkan peneliti secara administrasi perijinan dalam mengambil data dan menyebarkan kuesioner. Penelitian menggunakan variabel job satisfaction pada karyawan yang bekerja di bidang jasa seperti perawat di rumah sakit sangat penting karena job satisfaction berkaitan dengan perasaan dan emosi karyawan sehingga dapat memunculkan hal yang positif bagi perawat maupun pasien (Sellgren, Ekvall, & Tomson, 2008). Selain itu,

job satisfaction menjadi penting bagi karyawan karena job satisfaction

memberikan hasil yang positif bagi organisasi (Nikolic et al., 2013). Proses penentuan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Metode purposive sampling merupakan metode penetapan responden untuk dijadikan sampel berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu (Siregar, 2013). Subjek yang dipilih dalam penelitian ini merupakan perawat yang telah memiliki pengalaman kerja pada organisasi tersebut minimal satu tahun. Alasan pemilihan kriteria tersebut adalah


(65)

perawat yang sudah bekerja dalam beberapa periode waktu dan dalam keadaan atau posisi yang baik dipercaya dapat menunjukkan keterlibatan subjek terhadap organisasi (Rasheed, Khan & Ramzan, 2013).

E. Instrumen Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah dengan cara menyebarkan skala kuesioner kepada perawat yang bekerja di rumah sakit di Sragen, Jawa Tengah. Skala yang digunakan untuk mengumpulkan data berbentuk skala likert. Subjek diminta untuk memberikan respon mengenai kesesuaian atau ketidaksesuaian diri mereka terhadap setiap item-item dalam sebuah kontinum yang terdiri dari beberapa pilihan respon (Supratiknya, 2014). Jenis skala likert

digunakan pada setiap item yang mengukur ketiga variabel dalam penelitian ini.

2. Alat Pengumpulan Data a. Skala Job Satisfaction

Jenis skala yang digunakan pada skala job satisfaction

adalah skala likert, di mana subjek diminta untuk memilih salah satu dari enam jenis respon yang tersedia. Variasi pilihan respon yang disediakan peneliti adalah Sangat Tidak Memuaskan (STM) diberi nilai 1, Tidak Memuaskan (TM) diberi nilai 2, Agak Tidak


(66)

Memuaskan (ATM) diberi nilai 3, Agak Memuaskan (AM) diberi nilai 4, Memuaskan (M) diberi nilai 5 dan Sangat Memuaskan (SM) diberi nilai 6.

Tabel 3.1

Pemberian skor pada skala Job Satisfaction

Respon Item Skor

Sangat Memuaskan (SM) 6 Memuaskan (M) 5 Agak Memuaskan (AM) 4 Agak Tidak Memuaskan (ATM) 3 Tidak Memuaskan (TM) 2 Sangat Tidak Memuaskan (STM) 1

Skala job satosfaction diukur menggunakan adaptasi dari alat ukur Job Diagnostic Survey yang telah dikembangkan oleh Hackman dan Oldham (1975) dengan spesifik melihat skala kepuasan kerja yang berisi empat belas item yang melihat sejauh mana karyawan merasa puas dengan pekerjaan mereka di dalam organisasi. Skala ini dibuat berdasarkan lima aspek seperti job security, pay and compensation, personal growth and development, peers and co-workers, dan supervision. Salah satu contoh item dari skala job satisfaction yang digunakan adalah “Banyaknya dukungan dan bimbingan yang saya terima dari supervisor saya”.


(67)

Tabel 3.2

Sebaran item skala Job Satisfaction

Aspek Nomor aitem Jumlah

Job Security 1, 11 2

Pay and Compensation 2, 9 2

Personal Growth and Development

3, 6, 10, 13 4

Peers and Co-workers Supervision

4, 7, 12 5, 8, 14

3 3

Jumlah 14

b. Skala Leader-Member Exchange

Jenis skala yang digunakan pada skala Leader-Member Exchange adalah skala likert, di mana subjek diminta untuk memilih salah satu dari enam jenis respon yang tersedia. Variasi pilihan respon yang disediakan peneliti adalah Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi nilai 1, Tidak Sesuai (TS) diberi nilai 2, Agak Tidak Sesuai (ATS) diberi nilai 3, Agak Sesuai (AS) diberi nilai 4, Sesuai (S) diberi nilai 5 dan Sangat Sesuai (SS) diberi nilai 6.


(68)

Tabel 3.3

Pemberian skor pada skala Leader-Member Exchange

Respon Item Skor

Sangat Sesuai (SS) 6 Sesuai (S) 5 Agak Sesuai (AS) 4 Agak Tidak Sesuai (ATS) 3 Tidak Sesuai (TS) 2 Sangat Tidak Sesuai (STS) 1

Skala Leader-Member Exchange diukur menggunakan adaptasi dari alat ukur yang telah dikembangkan oleh Liden dan Maslyn (1998), yang berisi sebelas item yang dibuat berdasarkan empat aspek LMX, yaitu afektif, loyalitas, kontribusi, dan

professional respect. Peneliti menggunakan skala Liden dan Maslyn (1998) karena skala ini telah banyak digunakan pada beberapa penelitian mengenai LMX sebelumnya (Liden & Masyln, 1998; Dhivya & Sripirabaa, 2015; Wang et al. 2016). Dalam skala ini, peneliti menggunakan istilah “kepala ruangan” yang biasa digunakan dan dikenal oleh subjek pada organisasi atau perusahaan tempat peneliti mengambil data sebagai pengganti istilah “supervisor”. Salah satu contoh item dari skala LMX yang digunakan adalah “Saya sangat menyukai kepala ruangan saya sebagai sosok pribadi yang baik”.


(69)

Tabel 3.4

Sebaran item skala Leader-Member Exchange

Aspek Nomor aitem Jumlah

Afek (Affect) 1,5,9 3 item

Loyalitas (Loyality) 2,6,10 3 item

Kontribusi (Contribution) 3,7 2 item

Penghormatan professional (Professional respect)

4,8,11 3 item

Jumlah 11 item

c. Skala Employee Engagement

Skala Employee Engagement menggunakan jenis skala

likert, di mana subjek diminta untuk memilih salah satu dari lima jenis respon yang tersedia. Variasi pilihan respon yang disediakan peneliti adalah Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai 1, Tidak Setuju (TS) diberi nilai 2, Netral (N) diberi nilai 3, Setuju (S) diberi nilai 4 dan Sangat Setuju (SS) diberi nilai 5.

Tabel 3.5

Pemberian skor pada skala Employee Engagement

Respon Item Skor

Sangat Setuju (SS) 5 Setuju (S) 4 Netral (N) 3 Tidak Setuju (TS) 2 Sangat Tidak Setuju (STS) 1


(70)

Variabel employee engagement diukur menggunakan skala yang dikembangkan oleh Saks (2006). Skala ini berisi enam buah item pernyataan mengenai sejauh mana karyawan terlibat di dalam organisasi tempat mereka bekerja. Skala ini dibuat berdasarkan aspek-aspek dari employee engagement yaitu semangat (vigour), dedikasi (dedication), dan penyerapan (absorption). Salah satu contoh item dari skala employee engagement yang digunakan adalah “Menjadi anggota dari organisasi ini adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi saya”.

Tabel 3.6

Sebaran item skala Employee Engagement

Aspek Nomor aitem Jumlah

Dedikasi (dedication) 1,3 2

Semangat (vigor) 4,6 2

Penyerapan (absorption) 2,5 2

Jumlah 6

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur

Untuk memastikan alat tes yang digunakan memiliki kesesuaian dengan variabel psikologis yang diukur, perlu dilakukan uji validitas (Supraktinya, 2014). Ada beberapa jenis validitas, seperti

content validity, face validity, predictive validity, discriminant validity, concurrent validity, dan convergent validity. Pada penelitian ini,


(71)

peneliti menggunakan content validity atau validitas isi. Validitas isi merupakan tahap untuk melihat kesesuaian isi alat ukur dan konstruk yang diukur dengan melakukan analisis logis atau empiris terhadap seberapa memadainya isi tes mewakili ranah isi dari konstuk (Supatiknya, 2014).

Pada proses validasi ini, dibutuhkan penilaian pakar atau ahli (expert judgement) terhadap kesesuaian antara bagian-bagian isi alat ukur dan konstruk yang diukur. Dalam hal ini, peneliti meminta dosen pembimbing skripsi untuk memberikan penilaian pada keseluruhan item agar uji validitas terpenuhi. Peneliti juga menggunakan skala yang diadaptasi dalam bahasa asing. Oleh karena itu, peneliti melakukan proses penerjemahan skala ke Bahasa Indonesia yang kemudian mendiskusikannya dengan dosen pembimbing skripsi untuk memperoleh kesan (sense) yang sama dari setiap item alat ukur.

2. Seleksi Item

Sebelum mengambil data, peneliti terlebih dahulu melakukan

try out. Try out dilaksanakan pada tanggal 5 September 2016 hingga 8 September 2016. Subjek try out berjumlah 50 perawat yang bekerja di salah satu Rumah Sakit Negeri di Sragen. Try out ini dilakukan untuk melihat apakah peneliti perlu melakukan seleksi item. Seleksi item bertujuan untuk mendapatkan item-item yang layak digunakan untuk penelitian. Azwar (2012) menjelaskan bahwa seleksi item dilakukan


(1)

SKALA II

No. Pernyataan STM TM ATM AM M SM

1. Kenaikan / promosi jabatan.

2. Jumlah gaji atau upah dan bonus yang saya terima dalam pekerjaan.

3. Kesempatan pengembangan diri yang saya dapatkan dari pekerjaan.

4. Orang-orang yang berinteraksi dan bekerja bersama saya di dalam organisasi.

5. Tingkat penghargaan dan perlakuan adil yang saya terima dari atasan saya.

6. Perasaan akan manfaat dari prestasi yang saya dapat dalam pekerjaan.

7. Kesempatan untuk mengenal orang lain dalam bekerja.


(2)

No. Pernyataan STM TM ATM AM M SM 8. Dukungan dan bimbingan yang saya

terima dari atasan saya.

9. Jumlah gaji yang saya terima sesuai dengan apa yang saya lakukan untuk organisasi ini.

10. Adanya kesempatan untuk berlatih berpikir dan melakukan pekerjaan secara mandiri.

11. Adanya jenjang karier yang saya peroleh untuk masa depan saya dalam organisasi ini.

12. Adanya kesempatan untuk membantu orang lain ketika bekerja.

13. Adanya tantangan yang saya peroleh dalam pekerjaan saya.

14. Kualitas atasan secara keseluruhan yang saya terima dalam pekerjaan.


(3)

BAGIAN III

PETUNJUK PENGERJAAN

Berikut ini terdapat beberapa buah pernyataan. Anda diminta untuk memberikan tanda (X) pada kolom jawaban yang paling sesuai dengan diri anda saat ini. Tidak ada jawaban benar dan salah dalam skala ini. Pada setiap pernyataan, terdapat enam pilihan jawaban yang tersedia sebagai berikut :

STS : Sangat Tidak Sesuai

TS : Tidak Sesuai

ATS : Agak Tidak Sesuai

AS : Agak Sesuai

S : Sesuai

SS : Sangat Sesuai

Contoh:

No. Pernyataan STS TS ATS AS S SS

1. Saya menyukai pekerjaan yang saya lakukan dalam perusahaan ini.

Apabila saudara ingin mengganti jawaban, silahkan beri tanda sama dengan (=) pada jawaban yang salah dan memberi tanda silang (X) pada jawaban yang benar Contoh:

No. Pernyataan STS TS ATS AS S SS

1. Saya menyukai pekerjaan yang saya lakukan dalam perusahaan ini.


(4)

SKALA III

No. Pernyataan STS TS ATS AS S SS

1. Saya sangat menyukai kepala ruangan saya sebagai sosok pribadi yang baik.

2. Kepala ruangan saya akan melindungi saya dari atasan yang lebih tinggi, meski tanpa mengetahui dengan jelas mengenai masalah yang sedang saya hadapi.

3. Saya mau bekerja untuk kepala ruangan saya melebihi apa yang telah ditentukan dalam job desk pekerjaan saya.

4. Saya terkesan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh kepala ruangan saya tentang pekerjannya.

5. Kepala ruangan saya adalah tipe orang yang ingin saya jadikan teman.

6. Kepala ruangan saya akan datang membantu saya ketika saya menemui kesulitan.


(5)

Mohon periksa kembali jawaban anda. Jangan sampai ada yang terlewat!

No. Pernyataan STS TS ATS AS S SS

7. Saya bersedia untuk bekerja ekstra, melebihi dari apa yang biasanya dilakukan, demi kemajuan dan kepentingan kelompok kerja saya.

8. Saya respek terhadap pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki oleh kepala ruangan saya.

9. Atasan saya adalah partner kerja yang sangat menyenangkan.

10. Atasan saya akan membela saya di depan orang lain jika saya mengakui kesalahan saya.

11. Saya mengagumi keterampilan professional (professional skills) yang dimiliki oleh kepala ruangan saya.


(6)

TERIMA KASIH ATAS KERJA