Psychological ownership to organization sebagai mediator dalam hubungan antara Leader-Member Exchange(LMX) dan prosocialvoice pada perawat.

(1)

PSYCHOLOGICAL OWNERSHIP TO ORGANIZATION SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN ANTARA LEADER-MEMBER

EXCHANGE DAN PROSOCIAL VOICE PADA PERAWAT

Leonardo Simanjuntak

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui peran variabel mediator dalam hubungan antara Leader-Member

Exchange (LMX) dan prosocial voice. Peneliti menguji psychological ownership sebagai variabel

yang mediasi pada hubungan tersebut. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1) terdapat hubungan positif yang signifikan antara LMX dan psychological ownership, 2) terdapat hubungan positif yang signifikan antara psychological ownership dan prosocial voice, 3) terdapat hubungan positif yang signifikan antara LMX dan prosocial voice, 4) variabel psychological ownership memediasi hubungan antara LMX dan prosocial voice. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian survey dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Subjek penelitian adalah 143 perawat dari sebuah rumah sakit swasta di Pekanbaru. Alat tes yang digunakan untuk pengumpulan data berupa skala LMX, psychological ownership, dan prosocial voice yang di isi secara

self-report. Skala LMX diadaptasi dari Liden dan Maslyn (1998) dengan koefisien reliabilitas alpha cronbach setelah diujicobakan sebesar 0,914. Skala psychological ownership to organization

diadaptasi dari Pierce, Kostova, dan Dirks (2001) dengan nilai koefisien reliabilitas alpha cronbach setelah diujicobakan sebesar 0,746. Skala prosocial voice diadaptasi dari Van Dyne, Ang, dan Botero (2003) dengan nilai koefisien reliabilitas alpha cronbach setelah diujicobakan sebesar 0,825. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi sederhana dan regresi berganda dengan bantuan IBM SPSS 21.00. Hasil analisis menunjukkan psychological ownership memediasi secara sempurna

(full mediation) hubungan antara LMX dan voice Y= 8,782 + 0,277 X1 + 0,016 X2, sig( 0,776 > 0,05).

Hal tersebut menunjukkan LMX yang tinggi akan mempengaruhi psychological ownership. Subjek yang memiliki psychological ownership akan mendorong kecenderungan individu untuk melakukan

voice.

Kata kunci : Prosocial voice, Leader Member Exchange (LMX), Psychological ownership,Mediator


(2)

PSYCHOLOGICAL OWNERSHIP TO ORGANIZATION AS MEDIATOR IN THE RELATIONSHIP BETWEEN LEADER-MEMBER EXCHANGE AND

PROSOCIAL VOICE IN NURSE

Leonardo Simanjuntak

ABSTRACT

This study aimed to investigate the role of mediator variable in the relationship between Leader-Member Exchange (LMX) dan prosocial voice. This study tested psychological ownership as mediator variable in the relationship LMX and prosocial voice. Using 143 nurses from a hospital in Pekanbaru, the study conducted regression analyses to examine its hypotheses. The hypothesis of this study were 1) there was a significant positive relationship between LMX and psychological ownership, 2) there was a significant positive relationship between psychological ownership and prosocial voice, 3) there was a significant positive relationship between LMX and prosocial voice, 4) variable psychological ownership mediates the positive relationship between LMX and prosocial voice. This research used survey method and purposive sampling technique. Data collected by LMX scale, psychological ownership scale, and prosocial voice scale that filled by self-report. We adapted Liden & Maslyn (1998) scale to measured LMX with 0,914 aplha cronbach’s. We adapted Pierce, Kostova, dan Dirks (2001) scale to measured psychological ownership to organization with 0,746 aplha cronbach’s. We adapted Van Dyne, Ang, dan Botero (2003) scale to measured prosocial voice with 0,825 aplha cronbach’s. We used simple regression and multiple regression to analyze data with the help of IBM SPSS 21.00. The analysis showed perfect mediate that psychological ownership mediating the relationship between LMX and prosocial voice. It shows that high LMX will affect the psychological ownership. Subjects who have psychological ownership will have a tendency to do the voice. Theoritical implications of the findings were discussed in the end.

Keywords: Prosocial voice, Leader Member Exchange (LMX), Psychological ownership, Mediator Variable, Nurses


(3)

i

PSYCHOLOGICAL OWNERSHIP TO ORGANIZATION

SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN ANTARA

LEADER-MEMBER EXCHANGE(LMX) DAN PROSOCIALVOICE

PADA PERAWAT

INTISARI SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Leonardo Simanjuntak

129114129

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv


(7)

v

PSYCHOLOGICAL OWNERSHIP TO ORGANIZATION SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN ANTARA LEADER-MEMBER

EXCHANGE DAN PROSOCIAL VOICE PADA PERAWAT

Leonardo Simanjuntak

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui peran variabel mediator dalam hubungan antara Leader-Member

Exchange (LMX) dan prosocial voice. Peneliti menguji psychological ownership sebagai variabel

yang mediasi pada hubungan tersebut. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah 1) terdapat hubungan positif yang signifikan antara LMX dan psychological ownership, 2) terdapat hubungan positif yang signifikan antara psychological ownership dan prosocial voice, 3) terdapat hubungan positif yang signifikan antara LMX dan prosocial voice, 4) variabel psychological ownership memediasi hubungan antara LMX dan prosocial voice. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian survey dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Subjek penelitian adalah 143 perawat dari sebuah rumah sakit swasta di Pekanbaru. Alat tes yang digunakan untuk pengumpulan data berupa skala LMX, psychological ownership, dan prosocial voice yang di isi secara

self-report. Skala LMX diadaptasi dari Liden dan Maslyn (1998) dengan koefisien reliabilitas alpha cronbach setelah diujicobakan sebesar 0,914. Skala psychological ownership to organization

diadaptasi dari Pierce, Kostova, dan Dirks (2001) dengan nilai koefisien reliabilitas alpha cronbach setelah diujicobakan sebesar 0,746. Skala prosocial voice diadaptasi dari Van Dyne, Ang, dan Botero (2003) dengan nilai koefisien reliabilitas alpha cronbach setelah diujicobakan sebesar 0,825. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi sederhana dan regresi berganda dengan bantuan IBM SPSS 21.00. Hasil analisis menunjukkan psychological ownership memediasi secara sempurna

(full mediation) hubungan antara LMX dan voice Y= 8,782 + 0,277 X1 + 0,016 X2, sig( 0,776 > 0,05).

Hal tersebut menunjukkan LMX yang tinggi akan mempengaruhi psychological ownership. Subjek yang memiliki psychological ownership akan mendorong kecenderungan individu untuk melakukan

voice.

Kata kunci : Prosocial voice, Leader Member Exchange (LMX), Psychological ownership,Mediator


(8)

vi

PSYCHOLOGICAL OWNERSHIP TO ORGANIZATION AS MEDIATOR IN THE RELATIONSHIP BETWEEN LEADER-MEMBER EXCHANGE AND

PROSOCIAL VOICE IN NURSE

Leonardo Simanjuntak

ABSTRACT

This study aimed to investigate the role of mediator variable in the relationship between Leader-Member Exchange (LMX) dan prosocial voice. This study tested psychological ownership as mediator variable in the relationship LMX and prosocial voice. Using 143 nurses from a hospital in Pekanbaru, the study conducted regression analyses to examine its hypotheses. The hypothesis of this study were 1) there was a significant positive relationship between LMX and psychological ownership, 2) there was a significant positive relationship between psychological ownership and prosocial voice, 3) there was a significant positive relationship between LMX and prosocial voice, 4) variable psychological ownership mediates the positive relationship between LMX and prosocial voice. This research used survey method and purposive sampling technique. Data collected by LMX scale, psychological ownership scale, and prosocial voice scale that filled by self-report. We adapted Liden & Maslyn (1998) scale to measured LMX with 0,914 aplha cronbach’s. We adapted Pierce, Kostova, dan Dirks (2001) scale to measured psychological ownership to organization with 0,746 aplha cronbach’s. We adapted Van Dyne, Ang, dan Botero (2003) scale to measured prosocial voice with 0,825 aplha cronbach’s. We used simple regression and multiple regression to analyze data with the help of IBM SPSS 21.00. The analysis showed perfect mediate that psychological ownership mediating the relationship between LMX and prosocial voice. It shows that high LMX will affect the psychological ownership. Subjects who have psychological ownership will have a tendency to do the voice. Theoritical implications of the findings were discussed in the end.

Keywords: Prosocial voice, Leader Member Exchange (LMX), Psychological ownership, Mediator Variable, Nurses


(9)

(10)

viii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan proses penulisan skripsi dengan judul “Psychological Ownership To Organization Sebagai Mediator dalam Hubungan antara

Leader-Member Exchange dan Voice Pada Perawat” dengan baik dan lancar.

Selama penulisan skripsi, peneliti menyadari banyak pihak yang berkontribusi membantu peneliti melakukan penelitian ini. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

3. Bapak Minta Istono, M. Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi, atas kesedian memberikan waktu, kesabaran, saran dalam proses penulisan skripsi. Terimakasih atas peran Bapak sebagai teman yang selalu memotivasi untuk terus semangat mengerjakan skripsi.

4. Segenap Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik, memberikan ilmu pengetahuan, dan inspirasi untuk menerapkan ilmu psikologi kepada masyarakat.

5. Ibu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji selaku karyawan Fakultas Psikologi, yang selalu memberikan semangat dan senyum ditengah suasana tekanan penulisan skripsi.

6. Kepada Ibu dan Adek saya tercinta yang selalu memberikan semangat, doa, dan pengertian untuk menciptakan kondisi rumah yang produktif untuk mengerjakan skripsi.

7. Natasha Sibarani, pasangan yang kukasihi. Terimakasih atas kesediaan menemani, mendukung, dan mendoakan mulai dari proses awal penulisan hingga selesai penulisan skripsi.


(11)

ix

8. Seluruh teman ku di grup “Nusantara” , Rikjan, Mas Kris, Clara, Maureen, Ochi, Yesi, Esthi, Eni, yang selalu mendengar keluh kesah dalam setiap proses penulisan skripsi lalu memberikan semangat.

9. Kepada Pimpinan Rumah Sakit Santa Maria Pekanbaru, atas ijin dan bantuan untuk peneliti boleh mengambil data dan melakukan penelitian.

10. Teman-teman bimbingan skripsi pak Minto, Pras, Nata,Gue, Silvy,Olga, Sakti yang saling memberikan semangat, canda dan tawa meskipun sama-sama saling berjuang.

11. Semua teman-teman angkatan 2012 yang selalu saling menyemangati dan mau berbagi pengalaman dalam proses penulisan skripsi.

Akhir kata, tidak ada gading yang tak retak. Peneliti menyadari usaha penulisan skripsi tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, peneliti tetap terbuka menerima masukan dan kritik untuk membangun perkembangan penelitian selanjutnya. Terimakasih.

Yogyakarta, 22 Juli 2016 Penulis,


(12)

x DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iii

ABSTRAK ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritiis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 11

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Voice ... 12

1. Definisi voice ... 12

2. Jenis-jenis voice ... 19

3. Faktor yang memengaruhi voice ... 20

B. Leader Member Exchange (LMX) ... 23

1. Definisi LMX ... 23

2. Dimensi Leader Member Exchange ... 27

3. Dampak Leader Member Exchange (LMX) ... 29

C. Psychological Ownership... 30


(13)

xi

2. Dimensi Psychological Ownership ... 34

3. Dampak Psychological Ownership ... 35

D. Dinamika Hubungan Antar Variabel Penelitian ... 37

E. Kerangka Penelitian ... 41

F. Hipotesis ... 42

BAB III METODE PENELITIAN... 43

A. Jenis Penelitian ... 43

B. Variabel Penelitian ... 43

C. Definisi Operasional... 44

1. Voice ... 44

2. Leader Member Exchange(LMX) ... 45

3. Psychological Ownership... 46

D. Subjek Penelitian ... 47

E. Metode Dan Alat Pengambilan Data ... 48

F. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ... 49

1. Validitas ... 49

2. Kesahihan item ... 51

3. Reliabilitas ... 53

G. Metode Analisis Data ... 55

H. Teknik Analisis Data ... 56

1. Uji Asumsi ... 56

2. Uji Hipotesis ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Pelaksanaan Penelitian ... 58

B. Deskripsi Penelitian ... 59

1. Deskripsi subjek penelitian ... 59

2. Deskripsi data penelitian ... 64

C. Analisis Data Penelitian ... 66


(14)

xii

2. Uji Hipotesis ... 69

D. Pembahasan ... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84

1. Bagi Karyawan Perusahaan... 84

2. Bagi Supervisor/Pemimpin Umum Organisasi ... 85

3. Bagi Orgnanisasi Rumah Sakit ... 85

4. Keterbatasan Penelitian dan Saran Penelitian Berikutnya ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(15)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distibusi Item Skala LMX Sebelum Uji Coba ... 49

Tabel 2 Hasil Uji Kesahihan Item ... 52

Tabel 3 Hasil Koefisien Alpha Cronbach Alat Ukur ... 54

Tabel 4 Deskripsi Data Subjek Penelitian ... 59

Tabel 5 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 60

Tabel 6 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Kerja di RS ... 62

Tabel 7 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Kerja dengan Kepala Ruangan ... 62

Tabel 8 Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Ide Voice ... 64

Tabel 9 Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 64

Tabel 10 Hasil Uji Asumsi Normalitas ... 66

Tabel 11 Hasil Uji Asumsi Linearitas ... 68

Tabel 12 Hasil Uji Asumsi Homogenitas... 69

Tabel 13 Hasil Regresi Sederhana LMX dan Psychological Ownership ... 71

Tabel 14 Hasil Regresi Sederhana Psychological Ownership dan Voice ... 72

Tabel 15 Hasil Regresi Sederhana LMX dan Voice... 73


(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Skala Penelitian LMX, Voice, dan Psychological Ownership ... 95

Lampiran B Tabel Perhitungan Korelasi Item Total ... 96

Lampiran C Reliabilitas ... 98

Lampiran D Tabel Kolmogorov-Smirnov ... 99

Lampiran E Tabel Anova Test for Linearity ………..101

Lampiran F Scatter Plot………..103

Lampiran G Uji Glejser...106

Lampiran H Uji Signifikansi Nilai Mean ...107


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“If you have the feeling that something is wrong, don’t be afraid to speak”

-Fred Koremastu-

Quote inilah yang mungkin menjadi dasar Cynthia Cooper dan Colen Rowely melakukan tindakan yang menjadi sorotan publik. Majalah terkemuka “Time Magazine” memberikan gelar “People of the Year 2002”

kepada Cynthia Cooper dari perusahaan WorldCom dan Colen Rowely seorang Agen FBI atas keberaniannya mengutarakan gagasan pribadi untuk menyelesaikan masalah di dalam organisasi. Tindakan Cynthia Cooper dan Colen Rowely merupakan contoh konkret yang menunjukkan perilaku menyampaikan ide dapat membantu organisasi menyelesaikan masalah (Miliken, Morisson, Hewlin 2003).

Peristiwa lain, yang terjadi pada perusahaan Enron juga menarik perhatian dunia. Enron yang bergerak di sektor energi, komoditas dan jasa mengalami collapse pada tahun 2001. Pada tahun sebelumnya, Enron meraih keuntungan $111 miliar dan memperoleh istilah “perusahaan Amerika yang paling inovatif” dari majalah Fortune selama enam tahun berturut-turut. Berita mengungkapkan banyak karyawan yang memiliki perhatian, dan memprediksi akan kejatuhan ekonomi Enron namun cenderung takut untuk menyampaikan ke pemimpin (Miliken et al, 2003).


(18)

Presiden Enron, Sheron Watkins mengatakan budaya intimidasi dalam perusahaan, serta tidak ada satupun karyawan yang berani untuk mengangkat isu kemungkinan kejatuhan ekonomi Enron menjadi penyebab terjadinya

collapse (Oppel, 2002). Kedua fenomena yang peneliti paparkan bertujuan

memberikan fakta di dalam konteks perusahan, karyawan dihadapkan pada pilihan melakukan voice atau silent.

Dalam konteks perusahaan, fenomena perilaku menyampaikan pendapat dikenal dengan istilah voice. Perilaku voice secara lebih spesifik didefinisikan sebagai perilaku informal dan kebebasan berkomunikasi karyawan untuk mengutarakan ide, masukan, keprihatinan, informasi tentang masalah, dan isu tentang pekerjaan kepada orang yang memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan dengan tujuan untuk meningkatkan atau mengubah organisasi menjadi lebih baik (Morrison, 2014; Van Dyne & Botero, 2003; Van Dyne & LePine, 1998). Perilaku voice dapat dilakukan oleh siapapun dengan target yang bermacam-macam. Pendapat dapat ditujukan kepada organisasi, atasan atau supervisor, teman sekerja atau seseorang yang berada di luar organisasi (Morrison, 2014).

Voice merupakan perilaku yang masuk ke dalam kategori extra-role behaviour (Morisson, 2014). Extra-role behavior adalah perilaku yang secara

sukarela dilakukan demi keuntungan organisasi meskipun perilaku tersebut tidak termasuk dalam job description yang ditentukan organisasi, tidak diatur oleh sistem pemberian reward yang formal, dan tidak memiliki konsekuensi hukuman jika tidak dilakukan (Van Dyne & LePine, 1998).


(19)

Berbeda dengan voice, perilaku silent merujuk pada tindakan karyawan secara sadar untuk menahan atau tidak menyampaikan ide, masukan, keprihatinan, infomasi tentang masalah atau perbedaan sudut pandang yang berguna untuk perusahaan (Morisson & Milliken, 2000; Van Dyne, Ang & Botero, 2003). Individu yang melakukan silent ataupun voice keduanya mempunyai kesamaan yaitu memiliki ide atau pendapat. Meskipun demikian, individu memiliki pilihan untuk menyampaikan (voice) atau tidak menyampaikan (silent). Keberadaan ide penting diperhatikan karena individu yang tidak voice bukan berarti silent. Hal tersebut mungkin terjadi karena individu tidak voice karena tidak memiliki ide untuk disampaikan. Oleh karena itu voice dan silent adalah konsep yang berbeda dan tidak berada dalam sebuah garis kontinum.

Hasil penelitian hingga saat ini menunjukkan masih banyak karyawan yang cenderung melakukan silent dibandingkan voice. Ryan dan Oestrich (dalam Morrison, See, & Pan, 2015) melakukan wawancara terhadap 220 karyawan yang berasal dari 22 organisasi di seluruh negara Amerika Serikat. Ryan dan Ostrich melaporkan 70 % dari subjek yang diwawancari mengaku takut untuk menyampaikan pendapat (voice) mengenai isu dan masalah yang terjadi di tempat kerja. Selain itu, 85% dari karyawan profesional di kota New York yang bergerak dibidang konsultasi industri, jasa keuangan, media, industri farmasi dan percetakan dapat mengingat secara tepat peristiwa terakhir karyawan tidak menyampaikan pendapat atas keprihatinan terhadap organisasi (Miliken et al, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan pemimpin


(20)

sekolah medis di Amerika, menunjukkan 69% responden mengakui sedang terjadi dan berkembang luasnya perilaku individu tidak menyampaikan saran terkait masalah penting yang terjadi dalam sekolah medis tersebut (Souba,Way, Lucey, Sedmak, & Notestine, 2011).

Hasil wawancara peneliti dengan dua orang perawat memberikan gambaran kondisi prosocial voice di Yogyakarta. Kedua orang perawat berasal dari ruangan yang melayani penderita cancer di salah satu rumah sakit umum Yogyakarta. Berdasarkan wawancara diketahui pada departemen tersebut terdapat 9 perawat senior (telah bekerja lebih dari 15 tahun) dan 14 perawat yang belum bekerja lebih dari 15 tahun. Narasumber menyatakan, perawat yang masa bekerja di bawah 15 tahun cenderung tidak berani menyampaikan pendapat kepada pemimpin. (contoh: perawat segan menyampaikan kepada pemimpin untuk membagi tugas yang seimbang, jadwal pembagian masuk pagi dan siang dengan komposisi senior dan junior yang seimbang).

Perilaku karyawan menahan informasi (employee silent) mengakibatkan pengaruh yang serius bagi orang lain, maupun performansi dan keberlangsungan organisasi (Morisson, See & Pan, 2015). Berdasarkan

review literatur yang dilakukan Wang dan Hsieh (2013), silent menyebabkan

inovasi dalam lingkungan kerja yang rendah, menurunnya komitmen dan sikap kepuasan kerja, bahkan dampak terburuk adalah korupsi.

Sebaliknya, perilaku voice memberi pengaruh positif pada organisasi karena membantu pengambilan keputusan yang tepat dan membantu


(21)

mengindentifikasi masalah dengan baik (Morrison & Miliken, 2002). Dutton dan Ashord (dalam Greenberg & Edwards, 2009) menemukan, voice membantu pemimpin untuk memperoleh informasi secara cepat dan tepat mengenai isu yang baru muncul, atau sedang berkembang di pasar perdagangan. Bagi karyawan, voice memberi pengaruh positif pada performansi karyawan yang semakin meningkat (Whiting, Podsakoff & Pierce, 2008), mengurangi stress (Morrison & Miliken, 2000) dan keinginan untuk turnover yang rendah (Hirschamn, dalam Greenberg & Edwards, 2009). Dengan mempertimbangkan fakta karyawan yang lebih banyak melakukan silent, serta manfaat dan pentingnya voice bagi organisasi dan karyawan yang telah terbukti, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan variabel lain yang memengaruhi munculnya perilaku voice.

Morrison (2014) merangkum bahwa voice dipengaruhi oleh persepsi terhadap pemimpin, kecenderungan sifat individu, ilkim tempat kerja, komitmen organisasi. Bentuk persepsi terhadap pemimpin yang telah diteliti antara lain : persepsi diperlakukan secara adil (procedural justice) oleh pemimpin (Whiteside & Barclay, 2013), persepsi memiliki kekuasaan (sense

of power) dan persepsi bahwa pemimpin terbuka terhadap masukan (target openness) (Morrison, See, & Pan, 2015), persepsi memiliki hubungan yang

supportif dengan supervisor (Botero & Van Dyne, 2001), persepsi pemimpin yang transformational (Avey et al, 2012) dan persepsi karyawan terhadap interaksi dan pertukaran informasi (leader-member exchange) yang membentuk kualitas hubungan pemimpin dan karyawan (Detert & Burris,


(22)

2007; Van Dyne,Kamdar, Joireman, 2008).

Penelitian yang membuktikan kecenderungan sifat individu sebagai prediktor voice dilakukan pada individu dengan kepribadian extrovert (Crant

et al, 2010), proactive, assertiveness, conscientiousness (Tangirala Kamdar,

Venkatamarani, 2013). Faktor lingkungan ditempat kerja juga telah diteliti berpengaruh terhadap kemunculan voice (Morrison, Wheeler-Smith, & Kamdar, 2011).

Selain hasil penelitian yang telah dirangkum Morrison (2014), penelitian lain menemukan voice dipengaruhi variabel lain seperti komitmen afektif organisasi (Jaccobsen, 2000) dan psychological ownership atau rasa memiliki terhadap organisasi (Van Dyne & Pierce, 2000; Vandewalle, 1995).

Kualitas hubungan pemimpin dan karyawan dibangun oleh komunikasi dan interaksi yang intens antara karyawan dengan pemimpin (Morrison, 2014). Hubungan yang terbentuk atas interaksi timbal balik pemimpin dan karyawan dikenal dengan teori Leader Member Exchange sering disingkat dengan istilah “LMX” (Liden & Maslyn, 1998; Robbin & Judge, 2008). Riset sebelumnya menunjukkan LMX merupakan variabel yang memengaruhi karyawan untuk melakukan voice (Burris, Detert, & Chiaburu 2008).

Menanggapi penelitian yang telah menguji hubungan LMX dan voice (Burris, Detert, & Chiaburu 2008; Botero & Van Dyne, 2009), Duanxu Wang, Chenjing Gan, dan Chaoyan Wu (2016) menyatakan, mekanisme bagaimana hubungan antara LMX dan voice masih belum jelas apakah secara langsung berhubungan atau terdapat pengaruh variabel lain. Oleh karena itu, Duanxu


(23)

et al (2016) menyarankan penelitian menggunakan variabel lain yang dapat

memediasi ataupun memoderasi hubungan LMX dan voice. Duanxu et al (2016) menuliskan, sejauh ini baru terdapat dua penelitian yang dilakukan untuk melihat mekanisme hubungan LMX dan voice. Pertama, penelitian yang dilakukan Burris, Detert dan Chiaburu (2008) menguji psychological

attachment (affective commitment) sebagai mediator antara LMX dengan voice. Selain itu penelitian Botero dan Van Dyne (2009) menguji persepsi

karyawan akan kekuasaan pemimpin (power distance) sebagai moderator yang memengaruhi kuat rendahnya hubungan LMX dan voice. Berdasarkan saran Duanxu et al (2016), peneliti merasa perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai variabel lain yang memediasi hubungan LMX dan voice.

Menurut teori LMX, pemimpin akan menjalin relasi dengan sikap yang berbeda-beda dengan masing-masing karyawannya (Dulebohn, 2012). Mahyew, Askhanasy dan Bramble (2007) berpendapat, sikap dari manajemen atau pemimpin akan memengaruhi psychological ownership. Avey, Wernsing dan Palanski (2012) menambahkan, etika pemimpin (ethical

leaders) yang baik memunculkan lingkungan yang mendorong munculnya psychological ownership karyawan. Berdasarkan kedua literatur, diketahui

perilaku pemimpin dalam menjalin hubungan dengan karyawan akan mengembangkan variabel psychological ownership. Konsep psychological

ownership didefinisikan sebagai fenomena psikologis ketika karyawan

mengembangkan rasa memiliki terhadap suatu objek (material atau immaterial) dalam organisasi. Psychological ownership yang dikembangkan


(24)

karyawan dapat diarahkan secara spesifik akan pekerjaannya atau kepada keseluruhan organisasi (Van Dyne & Pierce, 2004).

Berdasarkan review literatur peneliti, ditemukan hasil penelitian yang kontradiktif mengenai psychological ownership, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih jauh. Hasil penelitian yang lakukan oleh Pierce (dalam Van Dyne & Pierce, 2004) dan Vandewalle, Van Dyne, dan Kostova (1995) membuktikan psychological ownership berhubungan dengan voice. Karyawan yang mempunyai psychological ownership yang tinggi akan cenderung melakukan voice. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan Mahyew, Ashkanasy, Bramble, dan Garner (2007) menunjukkan hasil yang berlawanan.

Perbedaan hasil penelitian tersebut, dapat terjadi karena perbedaan konteks penelitian. Vandewalle, Van Dyne, dan Kostova (1995) melakukan penelitian pada 797 subjek yang berada di university housing cooperatives atau koperasi di Midwestern, Amerika. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan Mahyew et al. (2007) dilakukan terhadap 15 supervisor dan 70 karyawan dari perusahaan akuntansi yang letak geografisnya tidak disampaikan.

Berdasarkan review literatur yang telah dipaparkan, peneliti merasa memiliki peluang untuk melakukan penelitian. Peneliti merasa penting untuk melakukan pengujian psychological ownership sebagai variabel yang memediasi pada hubungan antara LMX dan perilaku voice pada karyawan. Peluang melakukan penelitian ini didasari oleh 3 alasan. Pertama, berdasarkan saran Duanxu et al (2016) untuk menguji variabel mediator pada


(25)

hubungan LMX dan voice. Mediator adalah variabel diantara variabel bebas dan variabel terikat yang bertanggung jawab terhadap terjadinya hubungan antara prediktor dan kriterion (Supratiknya, 2015). Kedua, review literatur menunjukkan secara teori terdapat kemungkinan hubungan antara LMX dengan psychological ownership. Ketiga, hasil penelitian yang kontradiktif mengenai hubungan psychological ownership dan voice memberikan kesempatan peneliti melakukan penelitian kembali dengan konteks geografis dan subjek yang berbeda yaitu dibidang kesehatan (rumah sakit). Hal ini dikarenakan dalam bidang kesehatan mengomunikasikan ide terkait permasalahan akan membantu mengurangi error yang dapat merugikan baik pelanggan atau organisasi (Morrison et al, 2015).

Berdasarkan celah untuk melakukan penelitian, peneliti menduga rasa memiliki terhadap organisasi (psychological ownership to organization) sebagai variabel yang memediasi hubungan kualitas hubungan antara pemimpin dengan karyawan (LMX) dan voice. Hal ini didasarkan review penelitian yang menemukan sikap pemimpin terhadap karyawannya membentuk kualitas hubungan antara pemimpin dan karyawannya (Dulebohn, 2012). Sikap pemimpin terhadap karyawannya dapat memengaruhi psychological ownership (Avey, Wernsing & Palanski, 2012). Di sisi lain, penelitian telah membuktikan psychological ownership berhubungan dengan voice (Pierce, dalam Van Dyne & Pierce, 2004; Vandewalle et al, 1995).


(26)

B. Rumusan Masalah

1. Apakah ada hubungan positif yang signifikan antara LMX dan

psychological ownership ?

2. Apakah ada hubungan positif yang signifikan antara psychological

ownership dan prosocial voice?

3. Apakah ada hubungan positif yang signifikan antara LMX dan prosocial

voice ?

4. Apakah variabel psychological ownership memediasi hubungan LMX dan

prosocial voice?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah psychological

ownership merupakan variabel yang memediasi hubungan antara Leader Member Exchange (LMX) dan prosocial voice.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan di bidang Psikologi Indusri dan Organisasi (PIO) mengenai hubungan antara

LMX dan prosocial voice yang dimediasi oleh variabel lain.

2. Manfaat Praktis .

Hasil penelitian dapat menjadi acuan organisasi dan pemimpin untuk mengevaluasi sejauh mana kualitas hubungan antara pemimpin dan karyawan, serta sejauh mana rasa memiliki karyawan dan keinginan karyawan untuk terlibat memberikan ide terhadap organisasi.


(27)

12 BAB II

LANDASAN TEORI A. Voice

1. Definisi Voice

Voice merupakan perilaku karyawan untuk mengomunikasikan

ide, masukan, keprihatinan, informasi tentang masalah, atau isu tentang pekerjaan yang disampaikan kepada orang yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan dengan tujuan untuk meningkatkan atau mengubah kondisi yang lebih baik pada organisasi (Morrison, 2014; Detert & Burris, 2007). Isi dari ide yang sampaikan mencakup hal sederhana seperti ide untuk melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda hingga informasi serius tentang sebuah permasalahan (Morrison, 2014). Perilaku voice bisa ditujukan kepada atasan atau

supervisor, teman sekerja atau pihak yang berada diluar organisasi yang

memiliki kerjasama (Morrison, 2011).

Berkembangnya istilah voice dimulai sekitar tahun 1970-1980an. Penelitan yang dilakukan Hirscman pada tahun 1970 (dalam Ashord, Sutcliffe, Christianson, 2009) mengemukakan konsep exit, voice,

loyalty, neglect sebagai respon atas ketidakpuasan karyawan akan

pekerjaan. Exit merupakan respon tindakan karyawan untuk meninggalkan organisasi. Voice adalah respon untuk memilih tetap berada dalam organisasi lalu menyampaikan ketidakpuasanya. Konsep


(28)

loyalty ditunjukkan dengan tetap tinggal dalam organisasi tetapi secara

pasif tidak melakukan apapun, sehingga hanya patuh dengan situasi yang terjadi. Neglect adalah respon karyawan tetap tinggal dalam organisasi dan mengabaikan tindakan untuk melakukan perbaikan.

Pada tahun 1990-hingga awal 2000, perilaku voice tidak lagi diarahkan sebagai ungkapan ketidakpuasan kerja melainkan tindakan dengan tujuan untuk memperbaiki organisasi dibandingkan hanya mengkritik ketidakpuasan kerja (Van Dyne & LePine, 1998). Voice dipahami sebagai usaha membenahi sistem kerja dalam perusahaan (Zhao & Geogre, 2001), dan usaha menunjukkan sebuah kesalahan yang terjadi dalam organisasi lalu menyampaikan alternatif solusi dari situasi yang terjadi (Pardo, Delval, & Fuentes, dalam Morrison et al,

2015). Hingga saat ini banyak penelitian (Detert & Burris, 2007;

Ashord, Sutcliffe, Christianson 2009; Ng & Felman, 2011; Burris, Detert & Romney, 2013) yang mengacu pada konsep voice yang disampaikan oleh Van Dyne dan LePine (1998).

Van Dyne dan LePine (1998) mendefinisikan voice sebagai tindakan promotif yaitu tindakan yang bersifat proaktif, individu mendorong atau menyebabkan sesuatu terjadi. Tindakan ini bersifat konstruktif dalam bentuk tindakan menyampaikan ide dengan tujuan untuk memperbaiki organisasi dibandingkan hanya mengkritisinya. Penelitian Liang, Farh, dan Farh (2012) menambahkan voice juga


(29)

tindakan prohibitif yaitu tindakan yang bersifat melindungi dan mencegah sesuatu yang buruk terjadi.

Van Dyne dan LePine (1998) mengategorikan perilaku voice ke dalam perilaku extrarole. Definisi extrarole behavior adalah perilaku yang bersifat positif dan sukarela dilakukan yang memberikan keuntungan bagi organisasi (Van Dyne & LePine, 1998). Van Dyne dan Le Pine (1998) menjelaskan, perilaku extrarole memiliki 3 ciri yaitu perilaku ini diluar job description yang diatur organisasi, tidak diatur oleh sistem pemberian reward, dan tidak memiliki konsekuensi hukuman jika tidak dilakukan. Perilaku extra-role memiliki empat tipologi yaitu prohibitive, promotive, affiliative, dan challenging. Van Dyne dan LePine (1998) mengategorikan perilaku voice ke dalam perilaku extra-role dikarenakan voice memenuhi 2 tipologi extra-role

behavior yaitu challenging dan promotive. Secara lebih spesifik Van

Dyne dan Le Pine (1998) menjelaskan promotive adalah tindakan yang bersifat proaktif individu untuk mendorong atau menyebabkan sesuatu terjadi. Challenging diartikan sebagai tindakan yang menekankan tantangan menyampaikan ide terhadap permasalahan.

Tindakan karyawan untuk menyampaikan atau tidak menyampaikan ide didasari oleh pertimbangan konsekuensi apa yang akan terjadi dari perilaku voice. Pertimbangan yang dilakukan oleh karyawan ini dikenal dengan istilah “two key outcome-related considerations”(Liu, Zhu, & Yang, 2010). Di satu sisi karyawan


(30)

menilai menyampaikan ide adalah tindakan yang efektif untuk memperbaiki organisasi sehingga mereka memiliki efikasi diri untuk melakukan voice. Namun di sisi lain, terdapat karyawan yang menilai menyampaikan ide berkaitan dengan hasil yang negatif dan beresiko bagi dirinya, sehingga cenderung mencari kondisi aman dan melakukan

employee silent.

Konsep yang mirip dengan voice adalah perilaku employee silent. Ketika karyawan melakukan tindakan secara sadar untuk tidak menyampaikan ide, masukan, keprihatinan, informasi tentang masalah atau perbedaan sudut pandang yang berguna untuk perusahaan maka karyawan melakukan perilaku silent (Morisson & Milliken, 2000; Van Dyne, Ang, & Botero, 2003).

Secara umum orang dapat mengatakan bahwa perilaku menahan informasi (silent) akan memiliki lawan kata yaitu mengekspresikan ide atau informasi (voice). Akan tetapi sudut pandang penelitian akan voice dan silent tidaklah demikian. Morrison (2014) mengatakan individu yang tidak voice belum tentu sama dengan perilaku silent. Hal ini terjadi karena individu yang tidak voice mungkin sedang tidak memiliki ide atau pesan yang ingin disampaikan (Morrison, 2014). Peneliti lain menjelaskan, perbedaan voice dan silent bukan terletak pada ada atau tidaknya penyampaian ide, tetapi karena motivasi yang dimiliki oleh individu untuk memilih voice atau silent (Van Dyne, Ang, & Botero, 2003).


(31)

Selain silent, konsep yang memiliki kemiripan dengan voice adalah issue selling dan whistle-blowing. Dutton & Ashford (1993) mendefinisikan issue selling sebagai usaha individu mengarahkan perhatian pemimpin terhadap suatu masalah atau isu yang sedang marak terjadi. Perilaku issue-selling dilakukan oleh karyawan yang biasanya ditujukan kepada pemimpin organisasi (Morrison, 2014). Perilaku

issue-selling membuat individu merasa memiliki nilai plus di mata

pemimpin atas informasi penting yang telah diberikan. Pemimpin dengan latar belakang budaya individualis lebih mengharapkan

issue-selling di depan publik sedangkan pemimpin dengan latar belakang

budaya kolektifis lebih memperhatikan issue-selling yang disampaikan secara personal (Ling, Floyd, & Baldrigde, 2005). Perilaku issue selling dapat dibedakan dengan voice. Perilaku issue selling adalah tindakan yang berfokus mengarahkan perhatian pemimpin pada masalah yang disampaikan. Issue selling disertai dengan perilaku mencari teman untuk menjadi sekutu, membangun koalisi, dan melakukan presentasi formal dengan pemimpin (Morrison, 2014).

Whistle-blowing adalah pengungkapan perilaku tidak bermoral,

melanggar aturan (illegal) dalam organisasi, dengan tujuan agar pelaku tindakan diberi sanksi yang setimpal (Miceli, Near, & Dworkin, 2008). Individu yang melakukan tindakan whistle-blowing dikenal dengan istilah whistleblowers. Barrnett, Cochran, dan Taylor (1993) menyatakan whistleblowers sering dikucilkan oleh kelompok tempat


(32)

individu bekerja. Hal ini dikarenakan whistleblowers mengungkapkan tindakan ilegal yang menguntungkan dan sengaja ditutupi oleh kelompok tertentu. Dalam konteks kesehatan, perawat melakukan

whistle-blowing untuk melindungi pasien dari tindakan medis yang

merugikan (Ahern & Mc Donals, 2002).

Whistle-blowing berbeda dengan voice. Fokus perilaku whistle-blowing adalah menyampaikan terjadinya tindakan tidak bermoral dan

melanggar aturan, sedangkan voice lebih menekankan pada ide atau masukan untuk memperbaiki organisasi (Morrison, 2014). Selain itu Van Dyne dan Le Pine (1998) berpendapat bahwa perbedaan kedua konsep ini didasarkan oleh tipologi dalam extrarole behavior.

Whistle-blowing adalah tindakan yang bersifat challenging dan prohibitif

sedangkan perilaku voice adalah tindakan yang bersifat challenging dan

promotif.

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, peneliti merangkum definisi voice adalah tindakan individu untuk menyuarakan ide, gagasan, informasi, gagasan atau saran mengenai permasalahan yang individu temukan dalam lingkungan kerja kepada orang lain yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Tujuan voice adalah meningkatkan organisasi atau perusahaan ke arah yang lebih baik.


(33)

2. Jenis-jenis voice

Van Dyne, Ang, dan Botero (2003) menjelaskan ada 3 motivasi yang mendorong individu melakukan voice. Pertama, individu merasa tidak mampu melakukan perubahan sehingga terlibat pada perilaku yang didasari oleh rasa pasrah (disengaged behaviour based on resignation). Kedua, individu merasa takut dalam bahaya sehingga memunculkan perilaku untuk melindungi diri sendiri (self-protective behaviour based

on fear). Ketiga, individu memiliki dorongan perilaku yang didasari

oleh kerjasama dan sikap altruistic sehingga lebih mengutamakan kepentingan organisasi diatas kepentingan pribadi (other-oriented

behaviour based on cooperation). Berdasarkan motivasi tersebut, Van

Dyne, Ang dan Botero (2003) mengkategorikan 3 jenis perilaku voice yaitu Acquiescent Voice, Defensive Voice, dan Pro Social Voice yang akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Acquiescent Voice

Acquiescent voice adalah perilaku mengekspresikan ide,

informasi, dan pendapat yang didasari oleh penarikan diri

(resignation). Jenis voice ini memiliki ciri bersifat pasif serta efikasi

diri terhadap perubahan rendah. Acquiescent voice merupakan

disengaged behavior, artinya tindakan tersebut tidak terlibat

langsung melakukan perubahan karena perasaan ketidakmampuan. Hal ini membuat perilaku acquiescent voice lebih bersifat


(34)

persetujuan dan dukungan terhadap ide kelompok (Detert & Trevino, 2010).

b. Defensive Voice

Defensive voice adalah perilaku mengekspresikan ide, informasi,

dan pendapat yang terkait pekerjaan yang didasari oleh motif perlindungan diri (self-protective) atas rasa takut (Van Dyne, Ang, & Botero, 2003). Detert dan Trevino (2010) menyampaikan, pemimpin yang bersifat tegas akan cenderung membatasi karyawan bersuara. Hal ini membuat pendapat atau ide yang disampaikan karyawan adalah ide yang disaring atau tidak asli karena pendapat yang disampaikan demi mempertahankan dirinya aman (Detert & Trevino, 2010). Dettert dan Burris (2007) memberikan contoh konkret seperti rasa takut kehilangan dukungan dari supervisor dan rekan kerja, serta berhentinya jenjang karir sebagai dampak dari voice.

Perilaku defensive voice memiliki ciri sebagai perilaku mengambil sedikit tanggung jawab, adanya rasa takut dari sebuah konsekuensi yang tidak diinginkan dan mengatribusikan sesuatu hasil terhadap hal eksternal (Van Dyne, Ang & Botero, 2003). Karyawan mengemukaan pendapat yang mengalihkan topik pembicaraan atau menyalahkan orang lain atas sebuah masalah.


(35)

c. Pro Social Voice

Pro social voice adalah perilaku mengekspresikan ide, informasi,

dan pendapat terkait pekerjaan yang didasari oleh motif bekerja sama atau kooperatif (Morrison, 2011). Perilaku pro social memiliki ciri perilaku yang bersifat proaktif dan memiliki orientasi yang berbeda dibandingkan self-protective dan disengagement behavior. Pro social

voice mendorong karyawan yang memberikan solusi terhadap

permasalahan demi keuntungan kelompok atau organisasi serta memberikan alternatif tindakan ketika menghadapi hambatan (Detert & Trevino, 2010). Dengan demikian prosocial voice tidak difokuskan pada kepentingan individual tetapi lebih diorientasikan pada tindakan kooperatif yang menguntungkan organisasi (Van Dyne, Ang, & Botero, 2003).

3. Faktor yang memengaruhi voice

Dalam review literatur yang dilakukan Morisson (2014), terdapat 5 faktor yang memengaruhi voice yaitu kecenderungan sifat individu

(individual dispositions), sikap dan persepsi terhadap pekerjaan dan

organisasi (Job and organizational attitudes and perceptions), konsep emosi (emotions), perilaku supervisor dan pemimpin (supervisor and

leader behavior) dan faktor kontekstual (contextual factors).

Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan sifat (individual


(36)

dengan lingkungan. Crant, Kim, & Wang (2010) membuktikan individu yang ekstovert akan cenderung melakukan tindakan voice. Selain itu, individu yang memiliki kepribadian proactive, assertiveness,

conscientiousness akan mendorong individu untuk menyampaikan

masukan yang dimiliki (Tangirala et al, 2013).

Selain kecenderungan sifat, penelitian lain berfokus pada persepsi karyawan dan sikap karyawan terhadap organisasi sebagai variabel yang memengaruhi voice. Fuller, Marler, dan Hester (2006) menunjukkan karyawan yang memiliki sikap bertanggung jawab atas perubahan yang lebih tinggi akan lebih voice dibandingkan karyawan dengan sikap bertanggung jawab yang rendah. Selain itu persepsi karyawan akan rasa memiliki terhadap organisasi (Psychological

Ownership) akan memengaruhi kemunculan voice. Hal ini dikarenakan

karyawan dengan rasa memiliki akan organisasi akan berusaha menjaga keberadaan organisasi berjalan baik (Vandewalle, Van Dyne, & Kostova (1995). Selain itu, karyawan dengan rasa memiliki bersedia mengerjakan tugas yang lebih besar dari pemimpin serta akan mengomunikasikan kesulitan dalam situasi kerja kepada pemimpin (Van Dyne & Pierce, 2004). Hasil penelitian lain menemukan emosi mudah marah dapat memengaruhi kemunculan voice. Individu yang memiliki kecenderungan mudah emosi lebih cenderung melakukan

voice dibandingkan yang tidak (Edwards, Ashkanasy, & Gardner,


(37)

Publikasi jurnal telah membuktikan perilaku pemimpin sebagai prediktor perilaku voice. Tindakan pemimpin memperlakuan karyawan secara adil (procedural justice) membuat karyawan merasa diperhatikan sehingga muncul keinginan untuk menyampaikan ide untuk memperbaiki organisasi (Whiteside & Barclay, 2013). Karyawan yang memperoleh kepercayaan pemimpin untuk melakukan sesuatu

(sense of power) dan menilai pemimpin terbuka akan masukan (target openness) membuat karyawan lebih berani menyampaikan masukan

(Morrison, See, & Pan, 2015). Selain itu karyawan yang mempersepsikan memiliki hubungan yang supportif dengan supervisor (Botero & Van Dyne, 2001) dan memiliki kualitas hubungan dengan atasan yang baik (Detert & Burris, 2007; Van Dyne et al, 2008) akan membuat karyawan merasa dekat dan memiliki kesempatan lebih banyak bertukar ide atau masukan kepada pemimpin mereka. Hasil penelitian Avey, Wersing, dan Palanski (2012) menunjukkan pemimpin yang dipersepsikan sebagai penggerak perubahan (transformational leadership) akan mendorong karyawan melakukan

voice untuk mengubah situasi lama yang kurang mendukung organisasi.

Penelitian terhadap faktor iklim ditempat kerja yang memerngaruhi employee voice dilakukan oleh Morrison, Wheeler-Smith, dan Kamdar (2011). Hasil penelitian menunjukkan dinamika kelompok dapat menjadi iklim yang memberi kebebasan atau tidak untuk mengemukakan pendapat. Kelompok dengan iklim yang


(38)

memberi kebebasan setiap orang mengutarakan pendapat akan mendorong individu lain untuk melakukan voice. Hasil penelitian Wang dan Hsieh (2013) mengemukakan bahwa voice dipengaruhi oleh iklim etika dalam kelompok (group ethical climate).

B. LEADER MEMBER EXCHANGE (LMX)

1. Definisi LMX

Teori Leader Member Exchange (LMX) awalnya dikenalkan oleh Danserau, Graen dan Haga pada tahun 1975 (Ilies, Nahrgang & Morgeson, 2007) dengan nama vertical dyad linkange. Dyad vertical dipahami sebagai dua bagian pada tingkatan yang berbeda yang saling berinteraksi. Penjelasan tersebut merujuk pada hubungan timbal balik antara pemimpin dan karyawan. Kini teori vertical dyad linkange lebih dikenal dengan Leader Member Exchange.

Liden, Sparrowe, dan Wayne (1997) menjelaskan LMX sebagai teori yang berfokus pada sejauh mana kualitas hubungan yang berkembang antara pemimpin atau supervisor dengan karyawannya. Menurut Dulebohn, Bommer, Liden, Brouer, dan Ferris (2012) kualitas hubungan yang terjadi tidak hanya didasarkan oleh pemimpin tetapi juga oleh karyawan. Menurut Dulebohn et al (2012), hubungan terjadi karena perilaku dan karakteristik leader dalam memimpin akan dipersepsikan dan direspon oleh karyawannya. Dengan kata lain


(39)

karyawan juga memiliki peran dalam membentuk kualitas hubungan dengan pemimpin.

Menurut Liden et al (1997), teori LMX meyakini setiap pemimpin mengembangkan interaksi hubungan dengan masing-masing karyawannya. Dulebohn (2012) menjelaskan bahwa pada dasarnya, pemimpin akan memperlakukan karyawan dengan cara yang berbeda-beda sehingga kualitas hubungan pemimpin dengan tiap-tiap karyawan bisa berbeda. Hal ini dikarenakan seiring berjalannya waktu, pemimpin melakukan identifikasi terhadap siapa dirinya akan saling berbagi sosioemosi, mengembangkan rasa percaya, suka dan respek dengan karyawannya (Eisenberger, Karagnolar, Stinglhamber, Neves, Becker, & Morales, 2010).

Perbedaan cara pemimpin berinteraksi dan memperlakukan karyawannya akan membuat tingkat kualitas hubungan antara pemimpin dan karyawan juga berbeda. Situasi tersebut memungkinkan terjadinya situasi LMX yang rendah dan LMX yang tinggi. Deluga (1994) menjelaskan pada kualitas hubungan LMX yang rendah pemimpin cenderung memiliki karakteristik yang otoriter, sehingga karyawan akan melakukan pekerjaan dengan standar yang biasa. LMX yang rendah membuat organisasi tidak memeroleh keuntungan. Blau (dalam Dulebohn, 2012) menambahkan hubungan LMX yang rendah hanya didasarakan pada pertukaran secara ekonomi (economic


(40)

berdasarkan kontrak kerja yang formal. Karyawan akan melakukan tugas yang sudah tertulis dalam kontrak kerja dan akan dibayar sesuai kesepakatan yang tertulis di dalamnya (Bakker, Demerouti & Heuvel, 2013).

Pada sisi yang lain, kualitas hubungan LMX yang tinggi ditandai dengan adanya suasana keramahan antara pemimpin dan karyawan. Sikap saling percaya, saling mendukung, ketertarikan interpersonal, dan loyalitas juga terjadi antara karyawan dengan pemimpin (Deluga, 1994). Hubungan LMX yang tinggi akan menguntungkan leader yang merupakan representasi organisasi dan juga bagi karyawan (Dulebohn, 2012). Ketika organisasi memiliki karyawan dengan LMX yang tinggi, maka karyawan akan menerima tanggung jawab lebih besar dengan sukarela sehingga melakukan hal yang melampaui tugas dan kewajiban dalam kontrak kerja. Organisasi diuntungkan dengan adanya komitmen dan performansi kerja yang baik. Di sisi lain, karyawan juga mendapat keunntungan selain gaji. Karyawan memperoleh support personal dari pemimpin, reward tertentu, dan kesempatan berinteraksi lebih banyak (Henderson, Wayne, Shore, Bommer, & Tetrick, 2007).

Perbedaan tingkat LMX, membuat pemimpin secara tidak langsung melakukan pengkategorian kepada karyawan. Robins (2006) menjelaskan pemimpin akan mengkategorikan karyawannya dalam 2 kelompok yaitu in group dan out group. Kelompok In group terdiri dari karyawan yang memiliki kecenderungan LMX yang tinggi dengan


(41)

pemimpin. Karyawan memiliki ketertarikan yang besar untuk banyak mendiskusikan tindakan dengan pimpina. Kelompok in group bersedia untuk melakukan hal yang melampaui deskripsi pekerjaan mereka. Kondisi tersebut membuat pemimpin juga memberikan perhatian dan perilaku positif yang lebih banyak terhadap kelompok in group.

Out group adalah kelompok karyawan yang kurang memiliki

kedekatan dengan pemimpin mereka atau kecenderungan LMX yang rendah. Karyawan dalam kelompok ini cenderung tidak tertarik menerima tanggung jawab dan tugas yang lebih. Individu dalam kelompok ini cenderung melakukan hal yang sesuai dengan deskripsi pekerjaan dalam perusahaan.

Berdasarkan teori yang telah dikaji, peneliti merangkum definisi

Leader-Member Exchange (LMX) adalah kualitas hubungan yang

terjalin antara pemimpin dengan karyawan. Kualitas hubungan terbentuk tidak hanya satu arah dari pemimpin ke karyawan, tetapi secara dua arah. Setiap pemimpin dan karyawan memiliki kualitas LMX yang berbeda-beda sehingga kualitas hubungan berada pada kontinum LMX yang rendah hingga LMX yang tinggi.

2. Dimensi Leader Member Exchange (LMX)

Menurut Liden & Maslyn (1998), kualitas hubungan antara pemimpin dan karyawan dapat diukur berdasarkan empat dimensi

Leader-Member Exchange, yaitu Afeksi, Kontribusi, Loyalitas dan


(42)

a. Afeksi

Dimensi afeksi adalah dimensi yang menekankan pada hubungan perasaan timbal balik antara pemimpin dan karyawan (Liden & Maslyn, 1998). Dimensi afeksi yang tinggi menunjukkan hubungan pemimpin dan karyawan disertai rasa nyaman, terjalinnya keakraban

(friendship) dan saling menyukai secara interpersonal (Masylin &

Uhl-Bien, 2001). Kondisi tersebut terjadi ketika pemimpin dan karyawan saling merasa menjadi bagian dari organisasi lalu mengembangkan komitmen dan hubungan kerja yang baik (Liden & Masylin, 1998).

b. Kontribusi

Merupakan persepsi pemimpin dan karyawan terhadap arah, jumlah, dan kualitas tindakan yang berorientasi pada perkejaaan, yang telah pemimpin dan karyawan upayakan dalam mencapai tujuan bersama (Sin, Nahrgang, & Morgenson, 2009). Dimensi kontribusi menjelaskan sejauh mana pemimpin memberikan peluang pada karyawan untuk terlibat dalam kegiatan, dan kemauan karyawan menerima tanggung jawab dan menyelesaikan tugasnya. Karyawan yang memiliki dimensi ini akan mengerjakan tugas yang melebihi tugas yang diatur dalam job deskripsi (Masylin & Uhl-Bien, 2001).


(43)

Dimensi loyalitas menggambarkan sejauh mana pemimpin dan karyawan saling memiliki rasa loyal (Liden & Maslyn, 1998; Sin, Nahrgang & Morgenson, 2009). Dimensi loyalitas ditunjukan dengan memberikan ekspresi saling memberikan dukungan yang menguntungkan kedua belah pihak (Masylin & Uhl-Bien, 2001). Salah satu itemnya akan menunjukkan sikap pemimpin yang akan melindungi karyawannya dari cercaan orang lain ketika karyawan tersebut jujur telah melakukan sebuah kesalahan (Wuang, Law, Hackett, Wang & Chen, 2005).

d. Penghargaan Profesional

Persespi antar individu yang saling berhubungan untuk membangun reputasi yang baik di dalam maupun di luar organisasi (Liden & Maslyn, 1998). Kualitas hubungan yang baik akan memunculkan sikap menghormati karyawan terhadap profesionalitas pemimpin (Wuang, Law, Hackett, Wang & Chen, 2005).


(44)

3. Dampak Leader Member Exchange (LMX)

Penelitian yang dilakukan oleh Demeroti, Breevaart, dan Van Den Heuvel (2015) membuktikan LMX memengaruhi keterlibatan kerja

(work engangement) dan kinerja (job performance) karyawan. Hasil

penelitian menjelaskan karyawan yang memiliki hubungan yang tinggi dalam konteks lingkungan yang baik (saling mendukung dan adanya kesempatan mengembangkan diri) akan mendorong karyawan terlibat lebih dan memiliki kinerja yang lebih baik.

Selain itu, hasil penelitian Ilies, Nahrgang, dan Morgenson (2007) menunjukkan bahwa LMX memengaruhi perilaku Organizational

Citizenship Behavior (OCB). Dalam teori Organizational Citizenship Behaviour perilaku karyawan dibedakan dalam 2 hal yaitu behavior

perilaku yang sesuai dengan job desk dan tuntutan kerja (in-role) dan tindakan yang karyawan lakukan meskipun tidak diatur dalam job

description (extra-role). Teirney dan Bauer (1996) telah melakukan

penelitian terhadap kedua jenis OCB tersebut. Penelitian menunjukkan kualitas hubungan yang baik antara atasan dan karyawan mengarah pada tingginya intensitas perilaku extra-role pada karyawan.

Secara spesifik perilaku extra-role terdiri dari perilaku helping dan

voice (Van Dyne & Le Pine, 1998). Sejauh ini telah dilakukan penelitian

yang menguji LMX terhadap kedua bentuk perilaku extra-role. Penelitan Van Dyne, Kamdar, dan Joireman (2008) mengungkap bahwa tingkat LMX yang rendah akan berhubungan dengan perilaku helping karyawan


(45)

yang akan semakin menurun. Di sisi lain LMX yang tinggi akan memengaruhi perilaku voice karyawan (Botero & Van Dyne, 2009). Semakin tinggi kualitas hubungan atasan dan karyawan, maka karyawan akan cenderung melakukan perilaku voice kepada pemimpin. Mahyew, Askhanasy dan Bramble (2007) mengemukan dalam jurnal penelitiannya sikap dari pemimpin terhadap karyawan dapat memengaruhi

psychological ownership.

Meskipun demikian LMX terbukti behubungan denga voice, penelitian yang dilakukan oleh Duanxu Wang, Chenjing Gan dan Choyan Wu (2016) menyatakan belum ada kejelasan mekanisme hubungan antara LMX dengan voice apakah secara langsung atau tidak langsung, sehingga diperlukan penelitian berikutnya yang menyertakan variabel mediator atau moderator.

C. PSYCHOLOGICAL OWNERSHIP 1. Definisi Psychological Ownership

Psychological ownership adalah pengalaman psikologis individu

ketika mengembangkan rasa possesif (memiliki) akan suatu target (Van Dyne, & Pierce, 2004). Menurut Pierce, Kostova, dan Dirks (2001) target atau objek dari psychological ownership dapat bersifat material (benda, fasilitas) tetapi juga non material (ide, seni artistik, suara). Menurut Furby (dalam Van Dyne, & Pierce, 2004) hal yang mendasari


(46)

kemunculan psychological ownership adalah sense of possesion (rasa memiliki).

Pierce, Kostova, dan Dirks (2001) menyimpulkan psychological

ownership memiliki 3 poin penting. Pertama, “perasaan kepemilikan” (feeling of ownership) adalah kondisi bawaan yang ada dalam setiap kehidupan manusia. Setiap individu memiliki kesempatan mengembangkan feeling of ownership dalam konteks kehidupan sehari-hari. Individu dapat mengembangkan psychological ownership dalam konteks keluarga, konteks pendidikan, maupun konteks pekerjaan (Van Dyne, & Pierce, 2004). Kedua, individu mengembangkan “perasaan

kepemilikan” terhadap berbagai objek target (material dan non

material). Ketiga “perasaan kepemilikan” memunyai konsekuensi penting akan perilaku, emosi, dan psikologis.

Dalam konteks pekerjaan, keberadaan pemilik resmi (legal owner) ataupun tidak ada pemilik legal (absense of legal owner) tidak akan memengaruhi kemunculan psychological ownership. Hal ini dikarenakan seiring berjalannya waktu karyawan yang telah mengenal dan menyesuaikan dirinya dengan situasi lingkungan kerja akan mendorong munculnya psychological ownership (Van Dyne, & Pierce, 2004). Karyawan dapat mengembangkan psychological ownership terhadap hal spesifik yang merupakan bagian dari organisasi. Misalnya : kelompok kerja, pekerjaan, alat pekerjaan (komputer, mesin) atau terhadap keseluruhan organisasi (Van Dyne, & Pierce, 2004).


(47)

Persepsi atas suatu kepemilikan terdiri dari elemen afeksi dan kognisi. Ketika individu mengakui kepemilikan atas sesuatu (misal : ini rumah saya”) maka secara kognisi individu memiliki informasi untuk membedakan tentang mana yang rumahnya dan yang bukan rumahnya. Secara afeksi individu juga dapat menggunakan perasaannya untuk mengenali kondisi mana yang merupakan rumahnya atau bukan (Pierce, Kostova, & Dirks, 2003).

Avey, Avolio, Crossley dan Luthan (2009) menilai psychological

ownership memiliki dua pendekatan yaitu promotive-oriented dan preventive-oriented. Promotive-oriented adalah pendekatan yang

menjelaskan psychological ownership sebagai sikap yang konstruktif. Pendekatan promotive-oriented didorong oleh motivasi untuk mengembangkan dan melakukan peningkatan yang efektif bagi organisasi. Karyawan dengan pendekatan promotif melihat perubahan atau perbaikan adalah tindakan yang sesuai aspirasi. Di sisi lain,

preventive-oriented adalah sikap yang cenderung defensif dan kaku.

Pendekatan preventive-oriented didorong oleh motivasi ketakutan sehingga cenderung berperilaku sesuai dengan aturan untuk menghindari hukuman. Karyawan dengan pendekatan promotif cenderung memilih kondisi yang kaku, statis dan tidak banyak terjadi perubahan.

Avey, Avolio, Crossley dan Luthan (2009) memberikan contoh yang membantu memahami kedua pandangan yang telah jelaskan


(48)

sebelumnya. Pada sebuah skenario apakah berbagi informasi akan mendorong perubahan dan perbaikan dalam organisasi. Karyawan yang mengaplikasikan pendekatan promotive-oriented akan memilih mengutarakan pendapat yang dimiliki kepada tim sendiri bahkan tim dari divisi lain ketika menemukan suatu cara yang dirasa mampu menyelesaikan maslah. Hal ini dikarenakan karyawan melihat bahwa perbaikan secara keseluruhan adalah kebutuhan organisasi. Di sisi lain, karyawan yang lebih preventif ia akan cenderung hati-hati untuk menahan informasi terhadap orang lain karena mereka menolak adanya perubahan.

Berdasarkan teori yang sudah peneliti paparkan, peneliti mendefinisikan psychological ownership sebagai perasaan yang menjelaskan sejauh mana karyawan memunyai “rasa memiliki secara

psikologis” terhadap organisasi tempat dia bekerja. Rasa memiliki tidak

dikhususkan pada benda atau fasilitas tertentu, melainkan kepada organisasi secara keseluruhan. Variabel psychological ownership mengukur persepsi setiap karyawan sejauh mana individu tersebut memiliki efikasi diri dalam menyelesaikan setiap tugas dan tanggung jawabnya, mampu mengidentifikasi dirinya untuk beradaptasi dengan baik di organisasi, dan mau menerima perubahan.


(49)

2. Aspek-Aspek Psychological Ownership

Menurut Pierce , dkk (2001) ada 3 aspek psychological ownership yaitu self-efficacy, self-identity, dan having a place (home).

a. Self-Efficacy

Self-efficacy merupakan keyakinan bahwa individu akan

berhasil dalam melakukan tugas tertentu (Bandura, 1997). Individu yang mampu mengontrol sebuah tindakan akan membuat dirinya memiliki keyakinan untuk menyelesaika tugasnya. Pada aspek ini, ketika karyawan memiliki efikasi yang bagus dalam suatu tugas tertentu maka individu akan mengembangkan psychological

ownership pada bidang tersebut (Van Dyne, & Pierce, 2004).

b. Self-identity

Pierce et al (2001) mengutarakan, individu dapat memahami dan menjelaskan identitas dirinya dengan menujukkan feeling

ownership individu akan suatu benda. Dimitar (dalam Avey et al,

2009) menjelaskan, sebuah objek yang dipersepsikan dengan rasa memiliki akan membantu individu mengidentifikasi siapa dirinya. Contoh: individu mengidentifikasi diri sebagai pembalap atas kepemilikannya terhadap mobil sport. Albert, Ashforth, & Dutton (dalam Pierce et al, 2001) menjelaskan karyawan yang mengidentifikasi tujuan dan visi dan setting kerja lalu menginternalisasi nilai tersebut sebagai identitas karyawan maka karyawan mengembangkan psychological ownership. Hal tersebut


(50)

dapat membuat individu mampu menjelaskan siapa diri mereka kepada karyawan perusahaan lain.

c. Having a place

Pierce et al (2001) menjelaskan individu memiliki kebutuhan sebuah wilayah yang akan disebut dengan “rumah”. Istilah “rumah” bukan diartikan secara fisik, melainkan sebuah suasana wilayah secara psikologis (Duncan, dalam Pierce, 2001). Aspek having a

plave menjelaskan, karyawan memiliki kebutuhan suasana tempat

kerja yang menyediakan kenyamanan, kesenangan dan keamanan bagi jiwa manusia layaknya sebuah rumah (Van Dyne & Pierce, 2004). Weil (dalam Van Dyne & Pierce, 2004) berpendapat

kebutuhan akan suatu tempat atau “rumah” adalah hal penting bagi

manusia, karena individu akan merasa terisolasi dan merasa dirinya hilang jika tidak berada dekat dengan objek yang dirasa memberikan perlindungan dan penerimaan akan dirinya.


(51)

2. Dampak Psychological Ownership

Sejauh review literatur yang peneliti baca, masih minim hasil penelitian yang menguji hubungan psychological ownership dengan variabel yang lain. Penelitian Van Dyne dan Pierce (2004) membuktikan keberadaan psychological ownership merupakan prediktor dari kemunculan sikap komitmen organisasi dan perilaku (OCB) Organizational Citizenship Behavior. Selain itu, penelitian lain Vandewalle, Van Dyne, dan Kostova (1995) terlebih dahulu telah menguji pengaruh psychological ownership dengan perilaku yang termasuk OCB yaitu voice. Hasilnya menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki psychological ownership akan mendorong individu

voice. Penelitian Mahyew, Askhanasy dan Bramble (2007) menemukan psychological ownership berpengaruh pada job satisfaction. Karyawan

dengan rasa memiliki akan organisasi memunyai kepuasan akan hasil pekerjaannya dengan baik.


(52)

D. Dinamika Hubungan Antar Variabel Penelitian

Interaksi timbal balik antara pemimpin terhadap karyawan akan membentuk kualitas hubungan yang dikenal dengan istilah leader member exchange (LMX) (Liden & Maslyn, 1998). Pada kualitas hubungan LMX yang tinggi, terjadi suasana keramahan dan sikap saling percaya, saling mendukung, ketertarikan interpersonal, dan loyalitas antara karyawan dengan pemimpin (Deluga, 1994). Robins (2006) menjelaskan karyawan dengan LMX yang tinggi akan dikategorikan kelompok in group. Pemimpin akan memberikan perhatian, kesempatan berinteraksi, dan dukungan secara personal yang lebih besar terhadap kelompok in group (Robins, 2006; Dulebhon et al, 2012). Keberadaan karyawan dalam situasi diperhatikan, mendapat dukungan dan kesempatan berinteraksi sangat memungkinkan karyawan melakukan voice kepada pemimpin.

Hasil penelitian Botero dan Van Dyne (2009) membuktikan LMX yang tinggi mendorong individu melakukan voice. Hal ini dikarenakan pemimpin memberikan kepercayaan kepada karyawan untuk mengambil tindakan tertentu dalam organisasi. Selain itu, LMX yang tinggi dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi masa depan (transformational), terbuka akan masukan dan inisiatif terbukti mendorong karyawan melakukan voice (Detert & Burris, 2007). Berdasarkan teori reciprocity yang diungkapkan oleh Cropanzano dan Mitchell (dalam Zhao, 2014) karyawan yang memiliki kualitas LMX yang tinggi dengan pemimpin akan memiliki tanggung jawab untuk membalas perlakuan dan memenuhi kewajban timbal balik tersebut dengan terlibat dalam melakukan kinerja extra role. Voice merupakan salah satu perilaku yang termasuk extra role (Van Dyne & LePine,1998).


(53)

memengaruhi psychological ownership (Mahyew et al, 2007). Ketika dimensi afeksi LMX tinggi, maka sikap pemimpin terhadap karyawan adalah menjalin keakraban (friendship) dan saling menyukai secara interpersonal sehingga muncul perasaan yang nyaman (Masylin & Uhl-Bien, 2001). Situasi hubungan yang nyaman memiliki kaitan dengan aspek psychological ownership yaitu

have a place. Aspek have a place merupakan rasa nyaman berada di organisasi

serta merasa diterima oleh lingkungan kerja. Individu yang merasa nyaman berada diorganisasi akan mengembangkan rasa memiliki terhadap organisasi (Pierce et al, 2001).

Selain itu, LMX yang tinggi akan membuat pemimpin memberikan tanggung jawab yang lebih besar serta memberikan feedback atas hasil kerja setiap karyawan (Brouer & Harris, 2007). Kondisi LMX tersebut, akan mengembangkan aspek psychological ownership karyawan yaitu; self-efficacy. Pemimpin akan memberikan tugas baru kepada karyawan yang telah berhasil melakukan tugas sebelumnya. Keberhasilan melakukan tanggung jawab yang lama membuat individu memiliki efikasi diri untuk menyelesaikan tugas baru dengan baik (Pierce et al, 2001). Individu yang memiliki efikasi yang bagus pada suatu tugas di organisasi akan mengembangkan psychological ownership pada organisasi tersebut (Van Dyne & Pierce, 2004).

Penelitian yang dilakukan Pierce (dalam Van Dyne & Pierce, 2004 ) menunjukkan, rasa memiliki karyawan terhadap organisasi (psychological

ownership) akan memengaruhi kemunculan voice. Hal ini dikarenakan

karyawan dengan rasa memiliki akan organisasi akan berusaha menjaga keberadaan organisasi berjalan baik (Vandewalle, Van Dyne, & Kostova (1995). Avey, Avolio, Crossley dan Luthan (2009) menambahkan, pendekatan


(54)

yang didasari motivasi untuk mengembangkan dan melakukan peningkatan yang efektif bagi organisasi. Hal tersebut selaras dengan motif yang mendasari individu melakukan prosocial voice. Individu secara sukarela menyampaikan ide, masukan, keprihatinan akan masalah organisasi dengan tujuan memperbaiki organisasi kearah yang lebih baik (Morrison, 2014; Van Dyne & Botero, 2003). Dengan demikian peneliti memiliki sebuah logika berfikir yang menjadi argumen untuk membangun sebuah hipotesis bahwa psychological

ownership merupakan variabel yang memediasi hubungan Leader Member Exchange (LMX) dan prosocial voice pada karyawan.


(55)

E. Model Penelitian

Gambar 1. Hubungan LMX dan voice dengan psychological ownership sebagai mediator.

LMX

Psy. Ownership

Prosocial voice H3 / Jalur c

H1 / jalur a H2 / Jalur b


(56)

F. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian mengenai keterkaitan varibel

psychological ownership sebagai mediator pada hubungan antara LMX dan voice maka diajukan hipotesis penelitian berikut :

1. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara LMX dan

psychological ownership.

2. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara psychological

ownership dan prosocial voice.

3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara LMX dan prosocial

voice.

4. Psychological ownership memediasi hubungan antara LMX dan prosocial voice.


(57)

42 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Tujuan jenis penelitian kuantitatif adalah mengkaji teori secara objektif dengan cara menguji hubungan antar variabel-variabel yang diteliti (Supratiknya, 2015). Hal tersebut selaras dengan tujuan penelitian yaitu menguji psychological ownership sebagai variabel yang memediasi LMX dan prosocial voice. Berdasarkan fungsinya penelitian yang akan dilakukan termasuk penelitian dasar, karena hasil penelitian digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahun dan pengujian teori-teori, sehingga hasil penelitian tidak langsung diterapkan demi kepentingan praktik menyelesaikan masalah (Sukmadinata, 2005). Selain itu berdasarkan bentuknya, penelitian yang akan dilakukan termasuk survei, karena data penelitian diperoleh dari sampel yang representatif yang diambil secara langsung dari populasi.

B. Variabel Penelitian

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Tergantung : Prosocial voice

2. Variabel Bebas : Leader Member Exchange (LMX)


(58)

C. Definisi Operasional

1. Prosocial voice

Prosocial voice didefinisikan sebagai perilaku perawat menyampaikan pendapat, ide, gagasan, dan solusi terhadap permasalahan atau isu-isu mengenai organisasi yang dimiliki oleh perawat, untuk disampaikan kepada kepala perawat dengan motivasi memperbaiki atau meningkatkan organisasi. Variabel voice diukur dengan skala yang dibuat oleh Van Dyne, Ang dan Botero (2003). Skala ini berisi 5 item yang mengukur jenis prosocial voice. Semakin tinggi skor voice yang diperoleh perawat menunjukkan semakin tinggi kecenderungan perawat mengemukakan ide di perusahaan.

2. Leader Member Exchange (LMX)

Leader Member Exchange (LMX) adalah hubungan timbal balik

perawat dengan kepala perawat yang mencakup pertukaran informasi, afeksi, sikap loyalitas, rasa menghormati, dan keterlibatan saling mendukung yang membentuk kualitas hubungan antara perawat dan kepala perawat. Variabel ini akan diukur dengan skala yang diadaptasi dari skala LMX yang dibuat oleh Liden dan Maslyn (1998). Skala ini berisi 11 item yang mencakup empat dimensi LMX, yaitu affect,

contribution, loyalty dan professional respect. LMX yang tinggi

menunjukkan semakin tinggi pula kualitas LMX yang terjalin antara perawat dan kepala perawat.


(59)

3. Psychological Ownership

Psychological ownership didefinisikan sebagai perasaan yang

menjelaskan sejauh mana perawat memunyai “rasa memiliki secara

psikologis” terhadap organisasi tempat bekerja. Variabel psychological

ownership mengukur efikasi diri setiap perawat dalam menyelesaikan

setiap tugas dan tanggung jawabnya, kemampuan mengidentifikasi dirinya dengan visi dan misi organisasi, serta rasa nyaman perawat berada di organisasi. Variabel akan diukur dengan skala psychological

ownership yang berisi 6 item yang dibuat oleh Pierce, Kostova dan

Dirks (2001). Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek dari setiap item pada skala psychological ownership, semakin tinggi pula rasa memiliki subjek terhadap organisasi.


(60)

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah perawat dari rumah sakit swasta X yang berada kota Pekanbaru, Riau. Pemilihan perawat sebagai subjek penelitian karena dalam konteks bidang kesehatan, mengomunikasikan ide atau informasi dengan atasan dan rekan kerja sangat dibutuhkan untuk mengurangi pengambilan tindakan yang salah terhadap pasien (Tangirala & Ramanujam, 2008). Kriteria perawat yang menjadi subjek penelitian adalah perawat yang minimal telah 1 tahun bekerja di Rumah Sakit, telah 1 tahun bekerjasama dengan pemimpin ruangan yang saat ini menjabat. Karyawan yang memenuhi kriteria, diasumsikan telah mengenal suasana di lingkungan kerja dan menjalin hubungan dengan pemimpin.

Kriteria berikutnya adalah subjek harus memiliki ide atau pendapat yang ingin disampaikan kepada atasannya. Kepemilikan ide sebagai kriteria untuk mengantisipasi subjek yang memiliki skor prosocial voice rendah karena tidak memiliki ide yang ingin disampaikan. Proses penentuan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Metode posive sampling merupakan teknik penentuan subjek untuk dijadikan sampel penelitian berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu (Siregar, 2013).


(61)

E. Metode Dan Alat Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan metode survey menggunakan skala. Keseluruhan skala dalam alat tes ini disusun ke bentuk skala likert. Dalam aplikasinya, subjek diminta memberikan respon kesesuaian-ketidaksesuaian terhadap setiap item dalam sebuah kontinum yang terdiri dari beberapa pilihan respon (Supratiknya, 2014). Pada penelitian ini, alat tes yang

digunakan terdiri dari 6 respon : “Sangat Sesuai”, “Sesuai”, “Agak Sesuai”, “Agak Tidak Sesuai”, “Tidak Sesuai”, dan “Sangat Tidak Sesuai”. Setiap

respon subjek akan diberi skor dari rentang 1 (Sangat Tidak Sesuai) hingga 6 (Sangat Sesuai). Pilihan respon jawaban netral atau nilai tengah tidak diberikan oleh peneliti. Hal ini dilakukan guna mengurangi central tendency

effect atau kecenderungan subjek lebih banyak memberikan respon netral

pada setiap item (Azwar, 2012).

Variabel voice akan diukur dengan mengadaptasi alat ukur Van Dyne, Ang dan Botero (2003). Skala terdiri dari 5 item yang mengukur prosocial

voice. Skala yang dibuat Van Dyne, Ang dan Botero (2003) bersifat self-report, sehingga tidak memadukan penilaian skala dengan teman kerja dan

pemimpin seperti skala yang dikembangkan oleh LePine dan Van Dyne (1998). Aturan penskoringan yang berlaku aturan adalah sebagai berikut:

skor 1 diberikan pada respon jawaban “sangat tidak sesuai” dan skor 6 diberikan pada respon jawaban “sangat sesuai”.

Variabel Leader Member Exchange (LMX) diukur dengan mengadaptasi skala yang dibuat oleh Liden dan Maslyn (1998). Skala ini terdiri dari 11 item


(62)

yang mencakup 4 dimensi Leader Member Exchange, yaitu afeksi (affect), kontribusi (contribution), loyalitas (loyalty) dan rasa hormat (professional

respect). Distribusi item pada skala LMX dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut :

Tabel 3.1

Distribusi Item Skala LMX Sebelum Uji Coba

Dimensi Sebaran Item Jumlah Item

Afeksi 1, 5, 9 3 Item

Kontribusi 3, 7 2 Item

Loyalitas 2, 6,10 2 Item

Rasa Hormat 4, 8, 11 3 Item

Jumlah 11 item

Skala yang dibuat Pierce, Kostova, dan Dirks (2001) merupakan skala yang peneliti adaptasi untuk mengukur psychological ownership. Skala terdiri dari 7 item yang mencakup 3 dimensi psychological ownership yaitu “

Self-efficacy”,“Need Having a Place” dan “Self-Identity”. Pierce, Kostova, dan

Dirks (2001) tidak memberi keterangan spesifik mengenai item mana yang mengukur dimensi tertentu dari psychological ownership. Meskipun demikian peneliti mencoba untuk mengategorikan item sesuai aspek-aspek

psychological ownership.

Tabel 3.3

Distribusi Item Skala Psychological Ownership Sebelum Uji Coba

Dimensi Sebaran Item Jumlah Item

Self-efficacy 1, 4, 2 Item

Self-Identity 3, 6, 7 3 Item

Need Having a Place 2, 5 2 Item


(63)

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Validitas

Uji validitas adalah upaya yang peneliti lakukan untuk memastikan alat tes yang digunakan memiliki kesesuaian dengan variabel psikologis yang akan diukur (Supratiknya, 2014). Alat ukur yang memiliki kesesuaian antara konsep teoritis, definisi operasional dan item yang dibuat akan membuat alat ukur tersebut semakin valid.

Oleh sebab ketiga skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dalam bahasa asing, maka peneliti terlebih dahulu melakukan adaptasi skala dalam bahasa Indonesia. Pada prosesnya peneliti mencoba untuk menerjemahkan skala tersebut ke bahasa Indonesia, lalu mendiskusikan hasil terjemahan dengan dosen pembimbing skripsi yang peneliti rasa memiliki kompetensi dalam berbahasa Inggris. Diskusi dilakukan untuk memperoleh kesan (sense) yang sama dari setiap item.

Setelah selesai proses penerjemahan, dilakukan pengujian validitas isi. Supatiknya (2014) menjelaskan validitas isi merupakan tahap untuk melihat kesesuaian isi alat ukur dengan konstruk yang diukur, hal ini dilakukan dengan cara melakukan analisis logis atau empiris terhadap seberapa memadainya isi tes mewakili ranah isi dari konstuk yang diukur. Pada prosesnya peneliti tidak dapat melakukannya sendiri, melainkan perlu orang yang lebih ahli atau kompeten (expert


(1)

LAMPIRAN H

Uji Signifikansi Nilai Mean

T-Test

[DataSet2] D:\LEONARDO'S\download\143 subjek leo.docx.sav

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

LMX 143 55,0280 5,59167 ,46760 PSY_OWN 143 29,0629 4,14392 ,34653 Voice 143 24,5035 2,95953 ,24749

One-Sample Test

Test Value = 0

T df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

LMX 117,682 142 ,000 55,02797 54,1036 55,9523 PSY_OWN 83,868 142 ,000 29,06294 28,3779 29,7480 Voice 99,009 142 ,000 24,50350 24,0143 24,9927


(2)

LAMPIRAN I

Hasil Regresi Sederhana LMX dan Psychological Ownership

Variables Entered/Removeda

Model Variables Entered

Variables Removed

Method

1 LMXb . Enter

a. Dependent Variable: PSY_OWN b. All requested variables entered.

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,374a ,140 ,134 3,85722 a. Predictors: (Constant), LMX

ANOVAa

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1

Regression 340,612 1 340,612 22,893 ,000b Residual 2097,821 141 14,878

Total 2438,434 142

a. Dependent Variable: PSY_OWN b. Predictors: (Constant), LMX

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 13,821 3,202 4,317 ,000

LMX ,277 ,058 ,374 4,785 ,000


(3)

Hasil Regresi Sederhana Psychological Ownership dan Voice

Variables Entered/Removeda

Model Variables Entered

Variables Removed

Method

1 PSY_OWNb . Enter a. Dependent Variable: Voice

b. All requested variables entered.

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,218a ,047 ,041 2,89864 a. Predictors: (Constant), PSY_OWN

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 59,053 1 59,053 7,028 ,009b Residual 1184,695 141 8,402

Total 1243,748 142

a. Dependent Variable: Voice b. Predictors: (Constant), PSY_OWN

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 19,981 1,723 11,596 ,000 PSY_OWN ,156 ,059 ,218 2,651 ,009


(4)

Hasil Regresi Sederhana LMX dan Voice

Variables Entered/Removeda

Model Variables Entered

Variables Removed

Method

1 LMXb . Enter

a. Dependent Variable: Voice b. All requested variables entered.

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,532a ,283 ,278 2,51417 a. Predictors: (Constant), LMX

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 352,479 1 352,479 55,763 ,000b Residual 891,270 141 6,321

Total 1243,748 142

a. Dependent Variable: Voice b. Predictors: (Constant), LMX

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 8,999 2,087 4,312 ,000 LMX ,282 ,038 ,532 7,467 ,000


(5)

Hasil Regresi Sederhana LMX, Psychological Ownership dan Voice

Variables Entered/Removeda

Model Variables Entered

Variables Removed

Method

1 PSY_OWN, LMXb

. Enter

a. Dependent Variable: Voice b. All requested variables entered.

Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,533a ,284 ,274 2,52240 a. Predictors: (Constant), PSY_OWN, LMX

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1

Regression 352,997 2 176,498 27,740 ,000b Residual 890,751 140 6,363

Total 1243,748 142

a. Dependent Variable: Voice

b. Predictors: (Constant), PSY_OWN, LMX

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 8,782 2,228 3,942 ,000

LMX ,277 ,041 ,524 6,797 ,000

PSY_OWN ,016 ,055 ,022 ,285 ,776


(6)