Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perilaku Pencegahan Rehipertensi: Studi pada Warga Desa Poleganyara Sulawesi Tengah T1 462008027 BAB IV

(1)

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Seting Penelitian

4.1.1. Gambaran Desa Poleganyara

Secara topografis desa Poleganyara adalah desa yang terletak di kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, propinsi Sulawesi Tengah. Desa ini berada kurang lebih 3 km dari kecamatan Pamona Timur.

Administrasi berpusat di kecamatan Pamona Timur. Adapun batas wilayahdesa Poleganyara sebelah utara berbatasan dengan desa Taripa, sebelah timur berbatasan dengan desa Tiu dengan luas wilayah 4.600 ha, di sebelah barat berbatasan dengan desa Didiri dan di sebelah selatan berbatasan dengan desa Kancu’u. Desa Poleganyara hanya memiliki satu wilayah yang dikepalai oleh kepala desa. Total penduduk desa Poleganyara berjumlah 1334 jiwa.

Berdasarkan tingkat pendidikan, warga desa Poleganyara kebanyakan adalah tamatan SMP (24,28%), disusul SD (23,83%). Dilihat dari perkembangan tingkat pendidikan,penduduk desa Poleganyara memiliki keinginan


(2)

34

untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan adanya lulusan S1 sebanyak 14 orang (1,04%).

Table 1. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Penduduk

Satuan (orang) %

1. Belum Sekolah 165 12,36%

2. Tidak Tamat SD 232 17,39%

3. SD 318 23,83%

4. SMP 324 24,28%

5. SMA 276 20,68%

6. D1/D2 10 0,74%

7. D3 5 0,37%

8. S1 14 1,04%

Total 1334 100%

Sumber : Kantor kepala Desa Poleganyara, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso (2012)

4.1.2. Fasilitas kesehatan di Desa Poleganyara

Desa Poleganyara memiliki satu Puskesmas Pembantu yang berada ditepi jalan utama,tepatnya ditengah desa Poleganyara. Tenaga kesehatan di Puskesmas Pembantu desa Poleganyara berjumlah satu orang yakni perawat. Puskesmas pembantu di desa Poleganyara merupakan cabang dari Puskesmas di kecamatan Pamona Timur yang berjarak 4 km dari desa Poleganyara.


(3)

35

4.1.3. Profil Riset Partisipan Penelitian

Untuk mengetahui perilaku pencegahan rehipertensi maka dilakukan wawancara atas pengalaman 30 orang partisipan. Dalam penelitian ini, peneliti tidak menggunakan batasan umur karena fokus penelitian adalah untuk mendeskripsikan perilaku pencegahan rehipertensi yang dilakukan warga desa Poleganyara pada umumnya. Dari hasil penelitian, pada dasarnya umur tidak mempengaruhi perilaku pencegahan rehipertensi dilihat dari perilaku pencegahan yang dilakukan setiap partisipan tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lain. Selain itu, jenis pekerjaan dari 30 riset partisipan bebeda-beda namun kebanyakan memiliki rutinitas yang sama dalam keseharian, yakni pekerjaan yang melibatkan aktivitas fisik.

Pendidikan partisipan penelitian yaitu berpendidikan S1 ada 1 orang, SMA/SPG berjumlah 10 orang, SMP berjumlah 7 orang, SD berjumlah 12 orang. Berdsarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan terakhir yang dimiliki oleh 30 riset partisipan tidak terlalu mempengaruhi secara signifikan perilaku mereka dalam mencegah rehipertensi.

Pada bagian ini peneliti melakukan analisis data berdasarkan hasil wawancara dan observasi,dengan


(4)

36

menentukan tema-tema dari setiap jawaban riset partisipan. Setiap tema ini mendeskripsikan perilaku pencegahan terhadap rehipertensi. Rehipertensi adalah pengulangan hipertensi atau kambuhnya hipertensi. Tema perilaku pencegahan rehipertensi ini yaitu upaya pengecekan tekanan darah, pola konsumsi, pengendalian stres, pola tidur, penggunaan ramuan tradisional dan obat medis, merokok dan konsumsi minuman beralkohol.


(5)

37 Tabel 2. Profil Riset Partisipan Penelitian

N

o. Identitas umur L/P Alamat

Status Pernikahan

Pendidikan

Terakhir Pekerjaan

Lama menderita hipertensi Tekanan Darah Tinggi Terakhir (data Puskesmas dan Pustu (mmHg) Tekanan darah (mmHg) saat wawancara

1 Ibu EG 49 tahun

P Poleganyara Menikah SPG Petani Sejak 2004 170/100 120/90

2 Ibu R 48

tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2005 150/90 140/90

3 Bapak RT 50 tahun

L Poleganyara Menikah S1 Wiraswasta Sejak 1987 160/90 135/90 4 Ibu AG 46

tahun

P Poleganyara Menikah SPG PNS Sejak 2007 160/90 130/90

5 Ibu PT 54 tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2006 180/90 120/80

6 Ibu AL 76 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2005 170/80 130/90

7 Ibu BT 51 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2007 150/90 140/80

8 Ibu RM 52 tahun


(6)

38

9 Ibu S 43

tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2006 150/90 130/80 10 Ibu IT 41

tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2008 160/100 130/80

11 Bapak BK 44 tahun

L Poleganyara Menikah SD Wiraswasta Sejak 2011 140/90 130/90 12 Bapak IM 37

tahun

L Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2004 180/90 110/90

13 Bapak YT 66 tahun

L Poleganyara Menikah SMP Wiraswasta Sejak 2009 150/90 140/90 14 Ibu IG 56

tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2005 180/90 120/90

15 Ibu JN 65 tahun

P Poleganyara Menikah SMA Pensiunan Sejak 1980 150/80 150/90 16 Ibu UB 53

tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2005 140/80 120/90

17 Ibu YP 57 tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2005 160/80 130/80

18 Ibu HR 54 tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2005 170/90 120/80

19 Ibu HB 41 tahun

P Poleganyara Menikah SMA Wiraswasta Sejak 2000 140/100 135/90 20 Bapak WP 72

tahun

L Poleganyara Menikah SMA Pensiunan Sejak 1998 150/90 145/90 21 Ibu MH 54

tahun

P Poleganyara Menikah SPG PNS Sejak 1994 140/100 130/90

22 Ibu TE 52 tahun


(7)

39 23 Ibu W 56

tahun

P Poleganyara Menikah SMP Petani Sejak 2010 160/80 140/90

24 Ibu O 37 tahun

P Poleganyara Menikah SMA Petani Sejak 2011 130/90 130/90

25 Ibu BM 55 tahun

P Poleganyara Menikah SMA Wiraswasta Sejak 2011 150/100 135/90 26 Ibu SD 69

tahun

P Poleganyara Menikah SPG Petani Sejak 2004 150/90 120/90

27 Ibu TT 46 tahun

P Poleganyara Menikah SPG PNS Sejak 2012 140/90 140/90

28 Ibu NT 54 tahun

P Poleganyara Menikah SD Petani Sejak 2006 150/80 120/90

29 Bapak NY 78 tahun

L Poleganyara Menikah SMA Pensiunan Sejak 1967 150/90 150/90 30 Ibu RT 62

tahun


(8)

40

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Upaya PengecekanTekanan Darah

Upaya pengecekan tekanan darah merupakan usaha yang dilakukan melalui pengukuran tekanan darah dengan tensimeter untuk mengetahui nilai tekanan darah pada satu waktu.

a. Frekuensi dan Alasan

Berdasarkan hasil wawancara terhadap 30 riset partisipan, 13 riset partisipan melakukan cek tekanan darah 2 atau 3 bulan sekali atau hanya pada saat sakit. 1 riset partisipan hanya melakukan cek tekanan darah saat sakit, setelah sakit meskipun gejala hipertensi muncul, tidak dilakukan cek tekanan darah. 14 riset partisipan melakukan cek tekanan darah 1 sampai 3 kali dalam 1 bulan,dan 2 partisipan lainnya rutin yaitu dengan frekuensi yang lebih seringdimana partisipan pertama melakukan cek tekanan darah setiap pagi sedangkan partisipan kedua melakukan cek tekanan darah setiap dua hari sekali.

Beberapa alasan yang dikemukakan oleh riset partisipan yakni mereka hanya melakukan pengukuran tekanan darah jika muncul gejala hipertensi, dan sebaliknya jika tidak muncul gejala tersebut maka tidak dilakukan pengukuran tekanan darah. Hal ini dikemukakan oleh 13 riset partisipan, misalnya dalam


(9)

41

wawancara dengan ibu BT yang mengatakan: “Saya tensi nanti sakit saja, kalau tidak, tidak ditensi. Bulan ini tidak ada pergi tensi, 2 bulan yang lalu ada, mungkin setiap dua bulan”” (P7,8). Pendapat yang sama juga disampaikan oleh 14 riset partisipan yang lain, dimana mereka melakukan pengukuran tekanan darah jika sakit. Hanya saja 14 riset partisipan ini lebih sering melakukan pengukuran tekanan darah karena gejala hipertensi yang sering muncul dan tekanan darah yang tidak turun meskipun merasakan gejala hipertensi yang tidak terlalu parah.

Ada 2 riset partisipan yang rutin melakukan pengukuran tekanan darah karena, partisipan pertama sedang dalam pengobatan paska stroke ringan, sedangkan partisipan kedua memiliki alat tensimeter digital sendiri dirumah.

b. Tempat Pengukuran Tekanan darah

Pengukuran tekanan darah dilakukan oleh riset partisipan dibeberapa tempat berbeda yakni, Puskesmas Taripa, Puskesmas Pembantu, Rumah Bidan dan dirumah bagi yang memiliki alat pengukuran tekanan darah sendiri.

Puskesmas pembantu terletak ditengah desa Poleganyara yang memiliki 1 orang tenaga kesehatan yakni seorang perawat. Karena letak tempat yang dekat dengan rumah warga, Puskesmas Pembantu adalah tempat yang sering


(10)

42

dikunjungi oleh partisipan dalam melakukan pengukuran tekanan darah. Puskesmas Taripa berada di Kecamatan yang berjarak kurang lebih 4 km dari desa Polegayara, sehingga jarang dikunjungi oleh riset partisipan karena letaknya yang jauh. Puskesmas Taripa dikunjungi oleh partisipan jika akan bertemu dokter. Selain itu, yang sering dikunjungi juga adalah Bidan desa Kancu’u, berjarak agak jauh dari desa poleganyara kurang lebih 7 km. Secara keseluruhan, 30 riset partisipan pernah mengunjungi tempat-tempat layanan kesehatan tersebut untuk memeriksakan diri atau melakukan cek kesehatan.

c. Nilai Tekanan Darah

Berdasarkan pengakuan dari 30 riset partisipan, mereka memiliki tekanan darah diatas 150/90 mmHg saat pertama kali mendapat hipertensi, seperti pengakuan dari ibu BM misalnya yang mengatakan: “Eh karna makan daging.

Biasanyakan cuma 90/80, pe tensi kamari 150/100. Kan banyak dia naik itu to, dari yang biasa cuma 90 jadi 150, jadi tua pusing, kaget to. Jadi sudah, dikase obat sama bidan Kancu. Ini lagi belum tau lagi ini

berapa, ada tensi itu, tunggu.”(P25,2). Nilai tekanan darah dari 30 riset partisipan saat mendapatkan hipertensi menurut JNC VII yaitu 13 partisipan berada pada hipertensi derajat I yaitu 140-159


(11)

43

atau 90-99 (mmHg) dan 17 partisipan pada hipertensi derajat II yaitu >160 atau >100 (mmHg).

Selain nilai tekanan darah yang disampaikan oleh riset partisipan berdasarkan kejadian hipertensi yang sudah dialami, peneliti melakukan pengukuran tekanan darah sebelum memulai wawancara, dimana hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi riset partisipan (RP) saat berlangsungnya wawancara. Berapa beberapa kali juga peneliti melakukan pengukuran tekanan darah sebanyak tiga kali dengan rentang waktu 1 bulan. Hal ini dilakukan untuk memastikan nilai tekanan darah partisipan setelah melalui proses perilaku pencegahan rehipertensi yang telah dilakukan dan didapatkan kesimpulan sebagai berikut nilai tekanan darah 30 RP adalah sebagai berikut: Normal yaitu<120 atau <80 (mmHg) dengan 1 partisipan dengan umur 37 tahun; Prehipertensi yaitu 120-139 atau 80-89 (mmHg) 19 partisipan kisaran umur 41-76 tahun dan hipertensi derajat 1 yaitu 140-159 atau 90-99 (mmHg) 9 partisipan kisaran umur 46-78 tahun. Dari hasil pengukuran ini terlihat adanya perbedaan nilai tekanan darah dari 30 partisipan dimana terjadi penurunan tingkat tekanan darah dibandingkan dengan nilai tekanan darah saat mendapatkan hipertensi.


(12)

44 4.2.2. Pola Konsumsi

Berdasarkan hasil penelitian, setiap riset partisipan paham tentang pencegahan rehipertensi dalam hal membatasi pola konsumsi beberapa bahan maupun jenis makanan yang paling sering dapat memicu munculnya hipertensi. Setiap riset partisipan memiliki pola konsumsi yang hampir sama dalam menjaga kestabilan tekanan darah, hal ini berdasarkan informasi yang diterima oleh riset partisipan baik melalui tenaga kesehatan maupun dari orang lain yaitu saling berbagi informasi dengan sesama yang juga memiliki riwayat hipertensi.

a. Konsumsi Garam

Penggunaan garam berlebih dapat memicu meningkatnya tekanan darah. Setiap riset partisipan paham bahwa dengan mengurangi jumlah garam yang dikonsumsi dapat mencegah hipertensi. Ini terlihat dalam hasil wawancara dimana 29 dari 30 riset partisipan mengurangi jumlah garam yang dikonsumsi. Dari 29 riset partisipan tersebut, 3 riset partisipan diantaranya terkadang tidak mengkonsumsi garam sama sekali, khususnya ketika gejala hipertensi muncul, garam tidak digunakan dalam makanan yang dikonsumsi. Setelah tekanan darah kembali normal mereka kembali mengkonsumsi garam.


(13)

45

Berdasarkan hasil wawancara dari 29 riset partisipan yang mengurangi konsumsi garam, beberapa cara mengukur garam dalam campuran makanan bergantung pada banyaknya masakan yang dimasak. Dari 29 riset partisipan, 13 diantaranya mengukur penggunaan garam dalam campuran masakan dengan menggunakan ujung sendok makan. Ada 4 partisipan mengukur konsumsi garam dengan menggunakan jari tangan. 5 riset partisipan lainnya mengatakan mengkonsumsi garam dalam jumlah yang sedikit sejak mendapat hipertensi, tidak memiliki takaran tetapi hanya membatasi dengan mengurangi jumlah garam yang dikonsumsi. 7 riset partisipan yang terdiri dari laki-laki mengatakan bahwa makanan yang dikonsumsi sudah diatur jumlah garamnya karena biasanya mereka juga mengingatkan kepada anggota keluarga yang memasak makanan untuk mengurangi garam bahkan kadang diminta untuk tidak menggunakan garam dalam masakan. hal yang sama disampaikan juga oleh 7 anggota keluarga dari 7 riset partisipan yang mengatakan bahwa selalu mengurangi takaran garam dalam masakan rumah khususnya bagi anggota keluarga yang memiliki hipertensi.

Ada 1 riset partisipan yang tidak mengurangi jumlah konsumsi garam meskipun mempunyai hipertensi. Dalam


(14)

46

wawancara dengan riset partisipan ini yakni ibu O, mengatakan:“Garam itu, masih ba garam hahaha, tidak bisa ma ade tidak ba garam hahaha”(P24,18). Ibu O menyukai rasa asin, namun ketika ditanya apakah itu mempengaruhi munculnya hipertensi ibu O menjawab bahwa tekanan darah naik karena makanan asin, tetapi menurut ibu O seperti dalam wawancara berikut: “Ada juga, kalo berapa hari itu saya makan ba garam, ada biasa dia muncul, pi tensi lagi so nae lagi. Tapi abis itu kalau diistirahat akan tidak oh, turun pasti depe rasa sakit. Kan saya minum akan ramuan juga to, bae saya rasa, tidak apa-apa, belum apa-apa yau. Cumakan tidak diminta-minta sakit to.” (P24,20). Meskipun konsumsi garam ini berpengaruh terhadap hipertensi, ibu O mampu mengantisipasi setiap gejala hipertensi yang muncul yang disebabkan konsumsi garam berlebih sehingga meskipun memiliki hipertensi, tidak merubah pola konsumsi garam, dimana masih tetap sama seperti sebelumnya.

b. Konsumsi MSG

MSG merupakan salah satu bahan makanan yang menyebabkan hipertensi jika digunakan dalam jumlah berlebih.Setiap riset partisipan memahami bahwa pentingnya membatasi penggunaan MSG dalam campuran makanan demi menjaga kestabilan tekanan darah.Penggunaan MSG oleh riset


(15)

47

partisipan berkurang bahkan ada riset partisipan yang tidak menggunakan MSG sama sekali dalam campuran makanan, hal ini dilakukan setelah riset partisipan memiliki riwayat tekanan darah tinggi.

Jenis MSG yang sering digunakan adalah vitsin dan masako. Bagi riset partisipan yang menggunakan vitsin dalam masakan, takarannya sebanyak 1 bungkus kecil dan jika menggunakan masako, untuk 1 bungkus dapat digunakan 4-6 kali pemakaian dalam memasak. Seperti dalam wawancara dengan ibu T misalnya yang mengatakan: “1 bungkus masako itu banyak to, saya biasa 1 bungkus itu 5-6 kali pake, jangan juga banyak dipake tidak enak.” (P22,19).

Dari 30 riset partisipan, riset partisipan (46,67%) tidak menggunakan MSG sama sekali dalam campuran makanan yang diolah sendiri. sedangkan 16partisipan yang lain (53,33%) menggunakan MSG.

Beberapa alasan riset partisipan tidak menggunakan MSG karena tidak terbiasa menggunakannya dan tidak menyukai rasa dari makanan jika menggunakan MSG sebagai bahan campurannya, seperti dalam wawancara dengan ibu BT yang mengatakan: “Ane penyedap rasa bere’e ku pa pake ungkari


(16)

48

tidak. Saya rasa tidak enak juga, jadi tidak usah saya taruh)”, hal serupa juga disampaikan oleh 14 riset partisipan yang tidak menyukai bumbu penyedap rasa untuk digunakan dalam masakan karena tidak terbiasa maupun tidak menyukai rasa masakan jika ditambahkan MSG.Ada 16 riset partisipan yang masih menggunakan MSG sebagai penambah cita rasa dalam masakan.

c. Konsumsi Daging

Mengurangi konsumsi daging sangat penting dalam menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Berdasarkan hasil wawancara, jenis daging yang sering dikonsumsi oleh riset partisipan adalah daging babi, daging sapi dan daging ayam. Jenis daging ini yang umumnya sering dikonsumsi penduduk desa Poleganyara.

Dari hasil penelitian yang dilakukan tentang frekuensi mengkonsumsi daging, 28 dari 30 riset partisipan mengatakan jarang mengkonsumsi daging karena untuk mengkonsumsi daging hanya didapatkan pada waktu tertentu, misalnya pada acara pesta pernikahan, ibadah kolom (ibadah kelompok gereja) atau padungku (acara pengucapan syukur desa atas hasil panen yang diselenggarakan satu tahun sekali), seperti dalam wawancara dengan ibu HB: “Mana daging mo di makan tidak ada.


(17)

49

Jarang-jarang kalo makan daging. Paling kalo ada acara, pesta bagitu, padungku atau biasa ba evang baru makan daging babi atau sapi, daging ayam juga.” (P18,13). Hal serupa juga disampaikan oleh 27 riset partisipan bahwa untuk mengkonsumsi daging jika ada acara yang dilaksanakan baik itu acara kerohanian, pesta pernikahan maupun acara syukuran desa. Sedangkan 2 riset partisipan tidak memiliki frekuensi konsumsi daging karena sejak mendapat hipertensi sudah berhenti mengkonsumsi daging.

Sebanyak 28 riset partisipan masih mengkonsumsi daging dalam jumlah yang sedikit dalam artian membatasi jumlah potongan daging yang dikonsumsi. Rata-rata mereka mengkonsumsi daging sebanyak 4-5 potongan kecil setiap kali makan, hal ini untuk mencegah rehipertensi.

Dari 28 riset partisipan yang masih mengkonsumsi daging, beberapa riset partisipan yang mengkonsumsi 1 jenis daging yaitu 5 riset partisipan hanya mengkonsumsi daging babi, 5 partisipan lainnya hanya mengkonsumsi daging ayam. Beberapa partisipan yang mengkonsumsi 2 jenis daging yaituada 9 riset partisipan yang mengkonsumsi daging babi dan daging ayam dan 2 riset partisipan yang mengkonsumsi daging babi dan daging sapi serta 1 riset partisipan yang mengkonsumsi daging babi dan daging anjing. Untuk beberapa partisipan yang


(18)

50

mengkonsumsi 3 jenis daging yaitu 3 riset partisipan mengkonsumsi daging babi, daging sapi dan daging ayam, dan 2 partisipan yang mengkonsumsi daging babi, daging sapi dan daging anjing. Untuk partisipan yang mengkonsumsi 4 jenis daging yaitu 1 partisipan masih mengkonsumsi daging ayam, daging kelelawar daging anjing dan daging babi.

Alasan riset partisipan tidak mengkonsumsi daging maupun mengurangi jumlah konsumsi daging karena pentingnya untuk tetap menjaga tekanan darah agar tetap normal serta untuk menghindari penyakit karena beberapa partisipan merasa sakit yang sangat mengganggu dan tidak ingin merasakan lagi gejala penyakit tersebut, seperti yang disampaikan oleh ibu NK dalam wawancara: “saya tidak makan daging. Daging sapi, daging babi, ikan lele saya tidak makan, paniki saya tidak makan, cuma daging ayam, ikan mujair dan ikan laut saja yang saya makan. Sudah lama dari kena penyakit itu bukan karena pantangan atau dokter larang makan itu, tapi saya rasa sendiri lama saya pantangan makan tidak pernah lagi kena kembali penyakit itu oh berarti betul. Karena bukan orang lain yang rasa, saya yang rasa. Kesembuhannya saya yang rasakan. Kalau paksa makan daging nanti kena lagi itu penyakit.” (P8,26).


(19)

51

Dari 28 riset partisipan, terdapat2riset partisipan yang masih mengkonsumsi daging namun melakukan tindakan pencegahandengan membuat ramuan untuk diminum setelah mengkonsumsi daging. Hal ini dilakukan oleh ibu MH yang dalam wawancara mengatakan “Biasa daun balacai. Tapi biasa juga kalo saya makan daging, tapi tidak juga kalo makan daging karena so jarang. Tapi kalo saya makan, sebelum itu sa so bikin akan ramuan.” (P21,6). Hal serupa juga dismpaikan oleh ibu S dengan membuat ramuan dari daun balakama. Menurut mereka, cara ini sangat membantu untuk mencegah rehipertensi yang disebabkan konsumsi daging.

d. Konsumsi Sayuran

Perbanyak mengkonsumsi sayuran dapat mengurangi risiko hipertensi serta menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.

Sayur merupakan jenis makanan yang sering dikonsumsi oleh seluruh riset partisipan dan dikonsumsi setiap hari. Setiap kali makan, sayuran menjadi pelengkap menu makanan sedangkan lauk tidak didapat setiap hari dalam menu makanan, dikarenakan letak desa yang jauh dari pasar. Namun biasanya juga penduduk desa memanfaatkan sungai atau aliran air disawah untuk memancing ikan, seperti dalam kutipan


(20)

52

wawancara dengan ibu UB yang mengatakan: “Kalo makan tiap hari biasa saja, biasa makan sayur, ya sayur paku, katedo, labu siam, sayur kacang, yang begitu-begitu. Ikan jarang-jarang, kecuali saya punya anak itu biasa pulang bawa pancingan baru makan ikan, ikan laut juga jarang-jarang, paling sering sayur itu tiap hari pasti

ada.”(P16,45). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset partisipan yang memanfaatkan tumbuh-tumbuhan disekitar desa serta memanfaatkan sungai untuk mendapatkan ikan dikarenakan keterbatasan sumber pemenuhan kebutuhan makanan sehingga seluruh partisipan memiliki cara yang sama dalam memenuhi kebutuhan konsumsi makanan.

Dari 30 riset partisipan kebanyakan mengkonsumsi sayuran yang ditanam sendiri seperti kacang panjang, daun kacang, terong, labu kuning, labu siam, selain itu juga jenis sayur yang tumbuh didaerah sekitar desa seperti daun ubi (daun singkong) atau sayur paku (pakis). Jenis sayuran daun singkong dan pakis merupakan sayuran yang paling sering dikonsumsi karena banyak tumbuh disekitar desa, maka setiap kali beberapa partisipan yang kembali dari kebun atau sawah, mampir memetik sayuran ini untuk dibawa pulang, seperti dalam wawancara dengan ibu JN yang mengatakan: “Iyo hari-hari, eh daun ubi, sayur paku, kangkung, itu saja. Biasa papa tua minta daun papaya atau


(21)

53

bunga papaya dicampur dengan sayur paku. Pa tua biasa kalo pulang dari sawah so bawa pulang deng sayur dia pete dipinggir-pinggir kuala itu.” (P15,14). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset partisipan dimana mereka memanfaatkan tumbuhan seperti daun singkong dan sayur paku yang banyak tumbuh disekitar desa untuk memenuhi kebutuhan makanan setiap hari.

e. Konsumsi Buah-buahan

Mengkonsumsi buah-buahan yang banyak mengandung vitamin dapat mengurangi risiko hipertensi. Di desa Poleganyara, buah-buahan jarang ditemui untuk menjadi bahan konsumsi setiap hari, terkecuali pada musim buah seperti durian, rambutan, langsat dan manggis dapat dikonsumsi setiap hari selama musim buah tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 riset partisipan, buah-buahan termasuk yang jarang dikonsumsi. Dari 30 riset patisipan hanya 1 riset partisipan yang sering mengkonsumsi buah seperti papaya dan pisang, bapak R.T mengatakan bahwa setiap pulang dari sekolah, istri bapak R.T membeli pisang atau papaya untuk dikonsumsi dirumah. 29 riset partisipan yang lain jarang mengkonsumsi buah karena biasanya menunggu buah matang dari pohonnya seperti papaya dan pisang, sehingga konsumsi buah biasanya


(22)

54

seminggu sekali. Hal ini juga dikarenakan letak pasar yang jauh, sehingga kebanyakan warga memilih menanam pohon buah sendiri. Pohon pisang dan papaya banyak ditanam dihalaman rumah atau kebun, sehigga untuk mendapatkannya cukup mudah.

Dalam hubungannya dengan pencegahan rehipertensi, 1 riset partisipan bapak IM sering mengkonsumsi buah ketimun jika gejala hipertensi muncul. Meskipun tidak tiap hari memiliki persediaan ketimun, namun mengkonsumsi buah ini menjadi kebiasaan untuk mencegah rehipertensi, seperti dalam kutipan wawancara dengan bapak IM mengatakan: “Cuma waktu sakit itu saja saya minum obat. So sembuh, saya tidak pake lagi. Ketimun saja. Terakhir saya pake itu obat di Palu. Itu saja. Sekarang cuma makan-makan ketimun. Kalo minum ramuan belum pernah, belum coba juga. Tapi kalo saya makan ketimun enak saya rasa biar tekanan karena abis itu saya istirahat.”

4.2.3. Pola Tidur

Sebanyak 24 riset partisipan memiliki jam tidur antara pukul 20.00 sampai 22.00. Keadaan desa yang sudah sepi jika malam sehingga banyak warga yang memilih untuk cepat tidur. 4 riset partisipan tidur pukul 23.00 atau diatas pukul 23.00, karena kebiasaan


(23)

55

menonton malam dan susah tidur. 2 riset partisipan lain berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki gangguan tidur. Yang pertama bapak WP tidur pukul 21.00, terbangun pukul 00.00 kemudian tidur lagi dan terbangun pukul 03.00. Sering terbangun ini disebabkan karena kaget meskipun sudah tertidur pulas. Yang kedua bapak RT, memiliki gangguan tidur karena memiliki penyakit maag, sehingga sering terbangun pukul 01.00 atau 02.00. setelah itu bisa tidur kembali dan bangun pukul 04.00. karena memiliki gangguan tidur, riset partisipan ini sering tidur siang sebanyak 2 kali yaitu pukul 09.00 dan pukul 15.00.

Semua riset partisipan memiliki jam bangun tidur paling terlambat pukul 06.00 pagi, hal ini merupakan kebiasaan sejak dulu. Pekerjaan yang dimulai setiap pagi mengharuskan mereka untuk bangun lebih awal untuk melakukan aktivitas dirumah terlebih dulu sebelum melakukan pekerjaan harian. Dari 30 riset partisipan, 23 riset partisipan bangun pagi pukul 05.00 dan 06.00, 6 riset partisipan bangun pukul 03.00 dan 04.00 dan 1 riset partisipan terbangun pukul 01.00 atau 02.00 pagi karena memiliki penyakit maag.

Kualitas tidur merupakan rentang waktu antara tidur sampai bangun tidur. Dari 30 partisipan, 21 patisipan memiliki jumlah waktu tidur 7 sampai 8 jam, 6 partisipan memiliki jumlah waktu tidur 8,5 sampai 9 jam dan 3 partisipan memiliki jumlah tidur 5-6 jam.


(24)

56

Untuk tidur siang, 28 riset partisipan jarang tidur siang karena pekerjaan yang dilakukan juga pada siang hari sehingga untuk melepas lelah hanya dengan duduk-duduk atau berbaring ditempat kerja untuk sekedar beristirahat. Seluruh riset partisipan hanya tidur siang jika sedang sakit. Berbeda halnya dengan 2 riset partisipan yang telah berumur lebih dari 60 tahun, mereka sering tidur siang setiap harinya karena memiliki gangguan tidur saat malam. Bapak W.P misalnya, tidur kembali pukul 11.00 dan biasanya tidur selama 1-2 jam setelah melakukan kegiatan harian. Sedangkan bapak R.T tidur siang sebanyak 2 kali yakni pukul 11.00 dan 15.00 namun lamanya tidur tidak lebih dari 1 jam.

Adapun 28 riset partisipan lainnya memiliki gangguan tidur jika sedang sakit sehingga tidur tidak nyenyak atau sering terbangun. Hal lainnya disebabkan pula jika banyak pikiran sehingga pola tidur terganggu seperti jam tidur akan terlambat dari biasanya.


(25)

57

Table 3. Pola Tidur

No. Responden Jam tidur malam Bangun Lama waktu tidur

(jam) Tidur siang

1 EG 21.00 05.30 8,5 Tidak tidur siang

2 R 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

3 R T Pukul 00.00 atau 01.00

06.00 5-6 Tidak tidur siang

4 AG Pukul 21.00 atau 22.00

05.30 7-8 Jarang tidur siang, kecuali sangat capek

5 PT 20.00 05.00 9 Tidak tidur siang

6 AL 20.00 3.30 7,5 Jarang tidur siang kecuali lelah. 7 BT 20.00 04.00 atau 05.00 7-8 Tidak tidur siang kecuali sakit

8 NK 23.00 05.00 6 Tidak tidur siang

9 S 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

10 IT 21.00 05.00 8 Tidur siang kecuali kelelahan 11 BK 22.00 05.00 atau 06.00 7-8 Tidak tidur siang karena kerja. 12 IM 22.00 05.00 atau 06.00 7-8 Tidak tidur siang

13 YT 21.00 06.00 9 Tidak tidur siang kecuali sakit. 14 IG 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang kecuali sakit 15 JN 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang hanya istirahat.

16 UB 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

17 Y 21.00 06.00 9 Tidak tidur siang

18 HR 23.00 06.00 7 Tidak tidur siang


(26)

58

20 WP 22.00 05.00 7 Tidak tidur siang kecuali sedang sakit. 21 MH 20.00 05.00 9 Tidak tidur siang, hanya istirahat

dengan duduk.

22 TE 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

23 W 21.00 05.00 8 Tidur siang kecuali sedang capek.

24 RO 22.00 06.00 8 Tidak tidur siang.

25 BM 22.00 06.00 8 Tidak tidur siang, hanya

mengistirahatkan diri. 26 SD 21.00 03.00 atau 04.00 6-7 Tidak tidur siang

27 TT 21.00 05.00 8 Tidak tidur siang

28 NT 22.00 atau 23.00 06.00 7-8 Tidak tidur siang

29 NY 21.00 06.00 9 Tidur siang sehari 2 kali


(27)

59 4.2.4. Aktivitas Fisik

Setiap riset pastisipan memiliki aktivitas fisik yang berbeda, hal ini dikarenakan jenis pekerjaan yang dimiliki setiap riset partisipan berbeda juga. Bagi yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri kebanyakan hanya melakukan aktivitas ditempat kerja yakni di sekolah dan dirumah sebagai ibu rumah tangga, sedangkan yang lainnya memiliki aktivitas dirumah dan dikebun atau sawah.

Ada 27 riset partisipan bekerja sebagai petani. mereka sering melakukan aktivitas dikebun dan disawah. Aktivitas ini dilakukan setiap hari karena menjadi sumber pendapatan dan selain itu juga aktivitas fisik ini menurut partisipan sudah merupakan bagian dari olahraga yaitu menggerakan anggota tubuh. 3 partisipan lainnya memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil yang melakukan aktivitas di sekolah dan dirumah sebagai ibu rumah tangga.

Aktivitas yang dilakukan bermacam-macam, ketika disawah atau dikebun mereka bekerja membersihkan rumput-rumput, jalan air yang mengairi sawah. Letak kebun dan sawah yang jauh dari rumah ditempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 2-3 km. Bagi 2 riset partisipan yang tidak lagi melakukan aktivitas dikebun atau sawah, setelah melakukan aktivitas di sekolah, mereka memilih beraktivitas dirumah dengan menanam dan merawat berbagai jenis tanaman


(28)

60

seperti rempah-rempah dan sayuran, dan melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, membersihkan dalam rumah dan halaman rumah, seperti dalam wawancara dengan ibu AG yang mengatakan: “Hoi, so jarang, sudah tidak lagi karena sudah banyak pekerjaan lagi yang mo diselesaikan di sekolah to. Kalau dulu saya rajin mamancing, pulang sekolah abis ba masak, sudah mo pi kebun kalo dulu. Sekarang banyak pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan dirumah. Biasa orang datang dirumah mo ba ambe data kong tidak ada kita, sedangkan itu bapak so datang ambe dan so musti secepatnya mo diurus. Makanya so jarang lagi saya keluar. Paling kalo libur sekolah saja, itupun cuma satu atau dua kali saja. Pokoknya ma ade ini kalo mo pi kebun jarang. Pekerjaan saja yang dipake ba olahraga, rupa ba kasi bersih rumah, pokoknya samua pekerjaan rumah, halaman, itu saja so rasa capek so berat, lumayan pake olahraga, makanya so tidak pigi di kebun.” (P4,27). Kegiatan inipun menurut mereka sangat membantu dalam menggerakan anggota tubuh.

Untuk melihat jenis aktivitas fisik yang menjadi rutinitas dari setiap riset partisipan melalui jenis pekerjaannya, dapat dilihat dalam table 4.


(29)

61

Table 4. Jenis Aktivitas Fisik.

No. Responden Pekerjaan Rumah Bekerja disawah Bekerja dikebun Bekerja di lahan sawit

1 EG √ √ √

2 R √ √ √

3 R T √ √

4 AG √

5 PT √ √ √

6 AL √

7 BT √ √

8 NK √ √

9 S √ √ √

10 IT √ √ √

11 BK √

12 IM √ √

13 YT √

14 IG √ √ √

15 JN √

16 UB √ √

17 Y √ √ √

18 HR √ √ √

19 HB √ √

20 WP √

21 MH √

22 TE √ √ √

23 W √ √

24 RO √ √ √

25 BM √ √

26 SD √

27 TT √

28 NT √ √

29 NY √


(30)

62

Table 4.memperlihatkan bahwa seluruh riset partisipan memiliki pekerjaan yang melibatkan aktivitas fisik cukup besar yang dapat mempengaruhi kondisi tubuh. Dari hasil wawancara, aktivitas fisik yang dilakukan oleh seluruh riset partisipan berpengaruh positif pada kondisi kesehatan tubuh. Sebaliknya, jika tidak melakukan aktivitas fisik yaitu hanya berdiam diri atau melakukan aktivitas yang tidak mengeluarkan keringat, mereka akan merasa sakit seperti pegal-pegal karena kurangnya gerakan tubuh seperti hasil wawancara dengan ibu HB yang mengatakan: “Tidak. Kalo istrahat ini kan tidak kerja, tapi saya tidak bisa tidak kerja. Tetap ada saja mo dibuat. Kalo so waktunya makan, pigi makan, ba kase bersih rumah. Semua dibuat. Tidak mo saki bagitu. Biasa so dilupa itu sakit. Wancetu yau se’i to bere’e,

be bisa ku be’e molengko. Malahan kalo tidak buat apa-apa, itu saya rasa

tambah sakit.” (P18,11). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset partisipan yang mengatakan bahwa aktivitas fisik memiliki pengaruh yang baik bagi kesehatan tubuh. Sebaliknya jika hanya berdiam diri tidak melakukan kegiatan fisik maka akan merasa seperti mau sakit.

4.2.5. Pengendalian Stres

Pengendalian stress merupakan cara yang dilakukan untuk mengurangi beban pikiran atau mengontrol emosi yang bertujuan untuk


(31)

63

menenangkan pikiran jika terjadi suatu masalah. Melalui hasil wawancara terhadap 30 riset partisipan, ditemukan cara mengendalikan stress, yakni dengan menyibukan diri. Hal ini dilakukan oleh semua riset partisipan untuk dapat mengalihkan dan merilekskan pikiran selama beberapa waktu.

Dari hasil penelitian menurut 30 riset partisipan, pikiran sangat berpengaruh terhadap munculnya suatu penyakit, khususnya terhadap hipertensi, jika terlalu banyak beban pikiran dapat menimbulkan gejala-gejala seperti pusing, sakit kepala, tegang batang leher yang dapat mengakibatkan meningkatnya tekanan darah. Mengutip wawancara dengan ibu YP misalnya, yang mengatakan: “Iyo, itu pokoknya saya, kalo banyak dipikir pokoknya nae tekanan. Buat pantangan saya patangan memang, kuat pantangan saya, cuma saya dari dokter, memang dibilang dokter saya sampai bagini tekanan-tekanan cuma karna pikiran saja bukan karna salah makan. Saya tidak makan daging, cuma sayur rebus saja.” (P17,30). Hal serupa juga disampaikan oleh bapak RT yang mengatakan: “Iyo bagitu, sampe sekarang. Soalnya to biasa juga kalo tidak ada mama Ardi dirumah ada keluar begitu jadi biasa saya makan saja apa yang ada to, biasa kalo ada yang ba acara lagi saya makan lagi. Bukan tidak dimakan itu daging, kalo macam daging dicampur deng daun ubi bagitu to, dimakan itu tapi sedikit-sedikit to. Hah, kemudian pikiran, biasa itu kalo terlalu banyak dipikir to misalnya pekerjaan ini, ada beban pikiran pasti nae, hmm di tensi kasana nae lagi itu, saya pernah itu karena memang berat betul yang


(32)

64

dipikir ini masalah, dulukan mengendalikan yang dipikir itu belum seperti sekarang. lari sama mama mpado atau tidak ke Taripa.” (P3,9). Ini menunjukan bahwa pikiran juga berpengaruh terhadap tekanan darah, khususnya dengan orang yang memiliki hipertensi, pikiran yang berat dapat dengan mudah langsung meningkatkan tekanan darah, sehingga mengontrol pikiran dan emosi sangat penting untuk menjaga kestabilan tekanan darah.

Beberapa cara yang dilakukan oleh riset partisipan dalam mengontrol pikiran maupun emosi jika menghadapi suatu masalah yakni, yang pertama meluapkan amarah jika terjadi suatu masalah. Hal ini dilakukan oleh 24 riset partisipan, seperti dalam wawancara yang dengan ibu EG misalnya, yang mengatakan: “Ba veto sampe puas,

soalnya kalo tidak abis, tidak enak saya rasa, jadi kase kaluar samua biar lega to, enak hati tidak ada disimpan-simpan, pikiran juga, tidak ada dipikir-pikir.

Cuma paling tidak sampe 1 hari”. Hal serupa disampaikan juga oleh 24 partisipan bahwa dengan mengungkapkan emosi yang dirasakan membantu melegakan hati sehingga tidak menjadi beban pikiran, hal ini juga membantu menenangkan pikiran. Ada 6 riset partisipan memilih diam dan melakukan aktivitas yang lain yaitu melakukan aktivitas fisik seperti bekerja.

Untuk aktivitas yang berhubungan dengan pengendalian stress, dari 30 riset partisipan hampir memiliki perilaku yang sama yaitu


(33)

65

menyibukan diri dengan melakukan aktivitas fisik, interaksi sosial dan istirahat atau tidur. Untuk aktivitas fisik seperti melakukan pekerjaan dirumah, dikebun atau sawah dan melakukan hobi seperti memancing, hal ini membantu mengalihkan beban pikiran karena kegiatan berpusat pada aktivitas fisik seperti yang dikatakan oleh ibu NT: “Kalo emosi juga mo bikin banyak pikiran, tidak juga. Kemarin saya butuh uang 3 juta saya tidak stres juga, yang penting dicari solusinya to. Kalo marah-marah juga tidak terlalu. Cuma biasa yang bikin saya naik darah itu saya punya cucu yang kembar itu malas mo mandi, dia itu. Tapi kalo so abis dikase mandi di kamar mandi, sudah abis ulang kita pe marah yang penting dia mau mandi. Tapi kalo mo ba veto-veto juga tidak. Pikiran itu pasti ada, tapi saya kalo sibuk, beh tidak ingat lagi. So sibuk dengan cucu ba jaga, ba masak, pi kebun, setidaknya tidak jadi beban begitu to kalo so ada dikerja“. Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset partisipan bahwa dengan melakukan kegiatan yang melibatkan aktivitas fisik dapat mengalihkan pikiran-pikiran jika sedang mengalami masalah tertentu.

Berinteraksi sosial yakni dengan teman atau tetangga membantu juga dalam merilekskan pikiran karena dengan mengobrol dapat membantu melupakan masalah untuk sementara waktu, seperti hasil wawancara dengan ibu PT: “Tidak ada, tidak ada. Babacirita itu saja. Kalo so lama-lama ba cirita so dilupa ulang itu to, itu emosi tadi. Saya yang penting teman ba cerita saja, so tidak di ingat-ingat lagi itu yang dimarah tadi, itu saja” (P5,57). Hal serupa juga disampaikan oleh 23 riset partisipan


(34)

66

lainnya dimana memiliki teman bercerita dapat mengurangi beban emosi karena dapat membantu melupakan perasaan emosi tersebut untuk sementara waktu.

Menenangkan pikiran juga dilakukan dengan Istirahat atau hanya sekedar berbaring dikamar dan tidur, misalnya dalam wawancara dengan Ibu S yang mengatakan “Dulu itu kalau marah skali to, ba veto. Tapi abis itu sudah, puas kalo dikase kaluar samua itu jengkel, kalo so begitu saya so maso kamar, ba guling-guling, atau tidak ada-ada saja yang mo dibuat to macam kase bersih halaman, atau pigi dimuka situ ba cerita dengan tetangga. Lama-lama dilupa juga apa yang dimarah akan tadi hahaha.” (P26,29). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 riset partisipan bahwa istirahat atau dengan berbaring dapat merilekskan pikiran-pikiran.

Selain dari beberapa aktivitas diatas, ada 1 riset partisipan yang menambahkan salah satu kegiatan dalam menenangkan pikiran yakni dengan melakukan kegiatan spiritual seperti menyanyi lagu rohani dan berdoa, seperti dikatakan ibu AG dalam wawancara: “Ya itu, saya mending menyanyi-menyanyi kidung rohani itu, mo sementara ba apa saya pasti menyanyi itu. Naik motor juga begitu. Bagitu kita pe cara kalo supaya tenang-tenang pikiran ini. Kalo so dirumah ada masalah saya maso dikamar itu baca Alkitab, berdoa, sebelumnya saya menyanyi-menyanyi dulu. Begitu saja. Kalo emosi memang so itu salah satunya, ya yang penting saya so keluarkan biar memang dengan menggebu-gebu kok hahaha. Urusan


(35)

67

tenangnya nanti abis itu, yang penting emosi sudah keluar.“ (P4,22). Menurut ibu AG, aktivitas rohani seperti menyanyi dan berdoa sangat membantu untuk menenangkan pikiran setelah meluapkan emosi.

4.2.6. Penggunaan Ramuan dan Obat Medis

Ramuan merupakan jenis obat yang berasal dari buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan yang diolah sedemikian rupa kemudian dikonsumsi jika muncul gejala suatu penyakit tertentu. Dalam masyarakat desa Poleganyara, penggunaan ramuan dalam mengobati penyakit tertentu lebih banyak digunakan dari pada obat dokter. Dari 30 riset partisipan, 23 riset partisipan menggunakan ramuan jika muncul gejala hipertensi sedangkan 7 riset partisipan lainnya tidak menggunakan ramuan tetapi obat dokter sebagai pengobatan hipertensi.

Dalam mengkonsumsi ramuan, takaran yang digunakan dan frekuensi setiap kali minum ramuan berbeda-beda. Kebanyakan dari riset partisipan menggunakan takaran sendiri dalam jumlah bahan yang digunakan, namun jumlah yang diminum dalam ukuran yang sama yakni 1 gelas sekali minum.

a. Ramuan

Jenis ramuan yang digunakan oleh riset patisipan ada yang sama, ada pula yang berbeda dan setiap riset partisipan


(36)

68

yang mengkonsumsi ramuan sebagai pecegahan rehipertensi menggunakan lebih dari satu jenis ramuan. Hal ini berdasarkan jenis ramuan yang mudah didapatkan pada saat munculnya gejala hipertensi.

Dari hasil penelitian terhadap 23 riset partisipan yang mengkonsumsi ramuan, jenis ramuan yang digunakan adalah daun balacai (daun jarak), daun sambiloto, balakama (daun kemangi), daun papaya, mengkudu, daun salam, bawang putih, daun sup, daun alpukat dan daun belimbing. Daun balacai dan daun kemangi merupakan jenis ramuan yang paling sering dikonsumsi oleh kebanyakan riset partisipan karena mudah didapat dan mudah dalam pembuatan.

Cara Pembuatan

Dalam hasil wawancara, tidak semua riset partisipan mengatakan cara pembuatan dari beberapa ramuan yang pernah dikonsumsi dan hanya mengungkapkan cara pembuatan dari jenis ramuan yang sering dikonsumsi yaitu balacai, balakama, daun salam, sambiloto, daun belimbing, daun papaya, daun sirsak, mengkudu.

Pada umumnya cara pembuatan ramuan oleh setiap partisipan sama. Setiap jenis ramuan yang diketahui oleh 23 riset partisipan sebagai pencegahan rehipertensi diolah oleh


(37)

69

riset partisipan itu sendiri, namun ada beberapa riset partisipan yang mendapat bantuan dari anggota keluarga untuk membuat ramuan jika riset partisipan tidak mampu membuatnya karena sedang sakit atau sedang mengalami gejala penyakit yang terlalu berat.

Ada 2 riset partisipan memiliki perilaku tertentu dalam mencegah rehipertensi selain mengkonsumsi ramuan yaitu dengan memanfaatkan jenis bahan makanan tertentu seperti bawang putih dan daun papaya. Bawang putih digunakan lebih banyak dalam masakan seperti dalam wawancara dengan bapak RT yang mengatakan: “Sering.Jangankan itu kalo pusing-pusing saja minum obat. Hah, tapi kebanyakan anu, biasa minum ramuan anu itu, apa ini, itu rumput-rumput dimasak nah itu cepat juga. Biasa juga bawang putih. Kalo saya ba masak itu saya kase banyak itu bawang putih. Kan bawang putih juga kase turun tekanan juga to“ (P3,11). Daun papaya dengan rasa pahit yang khas dipercaya juga dapat menurunkan gejala hipertensi. Dilihat dalam wawancara dengan bapak BK yang mengatakan : “Tidak ada saya kalo pake ramuan. Saya itu biasa rebus daun papaya dengan dimakan daun pepayanya. Kalau itu kita makan cepat sekali. Tapi kalau lewat juga dimakan langsung turun talewat turun juga. Daun papaya


(38)

70

dia kan pahit, makanya bisa cuma direbus itu saya bisa makan, atau dicampur disayur to. Begitu saja.”(P11,29). Menurut mereka hal ini berpengaruh terhadap pencegahan rehipertensi, dimana gejala hipertensi jarang muncul kembali.


(39)

71

Table 5. Cara Pembuatan Ramuan dan Frekuensi

No. Jenis Cara Pembuatan Frekuensi

1. Balakama (kemangi)

Ambil daun balakama secukupnya, dicuci bersih kemudian, disiram dengan air panas. Diamkan hingga hangat kemudian diminum.

1 gelas perhari

2 Daun balacai 3 lembar daun balacai, dicuci bersih, kemudian disiram dengan air panas, diamkan hingga hangat kemudian diminum.

1-2 gelas perhari

3 Daun sambiloto

Ambil 7 lembar daun sambiloto, dicuci bersih kemudian disiram dengan air panas, diamkan hingga hangat kemudian diminum.

1 gelas perhari

4 Daun belimbing

Ambil 7 lembar daun belimbing, cuci bersih kemudia direbus dengan 3 gelas air sampai mendidih.

1 gelas perhari

5 Daun salam Ambil 7 lembar daun salam, direbus dengan 3 gelas air sampai mendidih di perkirakan tinggal 1 gelas. Dinginkan kemudian diminum.

1 gelas perhari

6 Daun pepaya Ambil 3 daun papaya kuning yang telah jatuh, rebus sampai mendidih, kemudian airnya diminum

1 gelas perhari

7 Daun sirsak daun sirsak, dicuci bersih kemudian direbus dengan 3 gelas air sampai mendidih (diperkirakan tinggal 1 gelas)

1-2 gelas perhari


(40)

72  Frekuensi dan Alasan

Frekuensi mengkonsumsi ramuan dalam sehari diatur oleh riset partisipan, sehingga frekuensi meminumnya ada yang berbeda dan ada pula yang sama. Ramuan tersebut hanya dikonsumsi ketika muncul gejala hipertensi sedangkan jika gejala telah berkurang maka dihentikan mengkonsumsi ramuan tersebut.

Frekuensi meminum ramuan tidak teratur karena bergantung pada jenis ramuan yang diminum. Ada 1 jenis ramuan yakni daun salam, yang jika diminum terlalu sering dapat menurunkan darah secara siginifikan dan menyebabkan darah rendah. Hal ini dialami oleh 2 riset partisipan, seperti yang disampaikan oleh ibu R: “Iyo sama khasiatnya itu no. Cuma kalo daun salam kalo talalu sering diminum jadi tiba-tiba turun saya pe darah. Waktu itu kan saya pi ba priksa di bidan kancu dia bilang, kenapa ini ibu biasanya darah tinggi sakarang tinggal 80 tekanan darahnya ibu. Sa baru ingat o iyo ada jojo daun salam owi. 4 hari berturut-turut waktu itu saya minum itu ramuannya daun salam. Makanya memang musti dikase berenti kalo so kurang depe sakit.” (P2,54). Hal yang sama juga disampaikan oleh ibu O bahwa jika mengkonsumsi daun salam terlalu sering dapat menurunkan tekanan darah secara


(41)

73

signifikan sehingga disarankan untuk menghentikan konsumsi ramuan daun salam jika gejala hipertensi berkurang. Frekuensi dari setiap ramuan dapat dilihat pada table 4.4.

Takaran

Takaran yang dimaksud adalah banyaknya jumlah bahan yang digunakan dalam pembuatan ramuan dan ukuran banyaknya yang diminum dalam sekali konsumsi. Takaran ini berbeda untuk beberapa partisipan, ada yang jumlahnya sama, ada yang jumlahnya berbeda. Namun untuk setiap ramuan yang dibuat, 23 riset partisipan memiliki ukuran konsumsi yang sama yakni 1 gelas untuk satu kali minum.

Table 6. Takaran Jenis Ramuan

No. Jenis Ramuan Takaran

1. Mengkudu 3 biji

2. Balakama ( daun kemangi) 1 genggam

3. Daun balacai 3-5 helai

4. Daun belimbing 7 helai

5. Daun sambiloto 7 lembar

Berdasarkan hasil wawancara dengan 12 riset partisipan menyebutkan takaran yang digunakan untuk membuat ramuan yakni untuk jenis mengkudu, balakama


(42)

74

(kemangi), daun balacai (daun jarak), daun belimbing dan daun sambiloto. Banyaknya daun yang digunakan untuk setiap ramuan harus berjumlah ganjil. Hal ini berdasarkan kepercayaan dari setiap riset partisipan. Jumlah yang digunakan adalah 3 helai daun, 5 helai daun, 7 helai daun dan seterusnya. Namun dari 23 partisipan mengatakan hanya menggunakan 3 atau 7 helai daun dalam pembuatan ramuan, sedangkan untuk kemangi jumlahnya segenggam. Jumlah ini tidak berpengaruh terhadap manfaat yang didapatkan oleh riset partisipan karena pada umumnya hasil yang didapatkan setelah mengkonsumsi ramuan, 23 riset partisipan mengatakan bahwa perasaan setelah mengkonsumsi ramuan baik dan sangat berpengaruh untuk mengurangi gejala hipertensi yang muncul.

11 riset partisipan lainnya hanya menyebutkan jenis dan cara pembuatan ramuan tanpa menyebutkan jumlah bahan yang digunakan. Namun secara keseluruhan 23 riset partisipan yang menggunakan ramuan memiliki cara yang sama dalam proses pembuatan dan cara mengkonsumsinya.


(43)

75

a. Penggunaan Obat Medis dan Alasan

Dari 30 riset partisipan 7 riset partisipan hanya mengkonsumsi obat sebagai pencegahan rehipertensi. Obat yang sering diminum adalah katopril. Adapun alasan penggunaan obat karena sudah terbiasa sejak dulu dan merasa lebih baik setelah minum obat, seperti dalam wawancara dengan ibu AL mengatakan: “Ane da puramo nu

pakuli, malai mo yaku. Karna be bisa ane bere’e. matu’a mo wance’i.

japodo pakuli. Maeka ku yaku ane rata ju’a se’i. ane ramuan bere’e, biasa mo pai pakuli, lese kuepe.” (Kalo sudah mau habis obat, langsung saya pergi. Karena saya tidak bisa kalau tidak obat. Sudah tua begini hanya obat saja. Takut saya kalau penyakit ini kambuh. Kalo ramuan tidak ada, minum obat saja karena so bagus juga dengan obat saya rasa to).(P6,15).Hal serupa dikatakan oleh bapak WP: “Minum obat saja. Tidak ada minum-minum ramuan. Dari dulu so dengan obat soalnya to, jadi saya minum obat terus.” Alasan lainnya yaitu karena tidak mampu mengkonsumsi ramuan seperti yang dikatakan oleh ibu BT: “Bere’e japodo

pakuli setu. Ane re’e bara nja, ja pakuli ungkari Puskesmas. Ane

damanginu ramuan, be ku poli” (Tidak ada hanya obat itu saja. Ada apa-apa saya obat dari Puskesmas saja. Kalau minum ramuan saya tidak mampu) (P7,6). Hal serupa juga disampaikan oleh 6 riset


(44)

76

partisipan yang hanya menggunakan obat jika mengalami hipertensi.

Berdasarkan hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa ketujuh riset partisipan bergantung pada obat karena telah memiliki kepercayaan dan perasaan yang lebih baik jika mengkonsumsi obat.

4.2.7. Merokok dan Alkohol

Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 riset partisipan, terdapat 7 riset partisipan yang memiliki kebiasaan merokok sekaligus konsumsi alkohol sedangkan 23 riset partisipan lainnya pernah mengkonsumsi alkohol.

a. Merokok

Dari hasil penelitian kepada 30 riset partisipan, terdapat 7 partisipan yang hanya terdiri dari pria ini memiliki riwayat merokok. Perilaku ini telah berlangsung selama bertahun-tahun dengan memiliki riwayat merokok yang cukup berat seperti menghabiskan beberapa bungkus rokok dalam sehari, misalnya dalam wawancara dengan bapak RT yang mengatakan: “Bukan tanya berapa batang tanya berapa bungkus. HahahahhaPapa ade, ya 3bungkusan lah dulu itu 1 hari hahaha, pernah kiss dulu itu, mama ade bli kan papa ade 10 slop to biasa. Tapi kalo kopi saya masih minum.


(45)

77

Saya tidak bisa tidak minum kopi, sakit saya punya kepala itu. Tapi saya heran juga, saya dulu disuruh dokter merokok, waktu tekanan darahku 200. Saya ingat waktu saya mo pigi KKN to disuruh merokok.” (P3,56). Berdasarkan hasil wawancara dengan 7 riset partisipan, mereka tidak lagi memiliki kebiasaan merokok sejak mendapat hipertensi. Kebiasaan ini berhenti karena mereka menyadari akan bahayanya terhadap kesehatan serta pengaruhnya terhadap keuangan, seperti dalam wawancara berikut dengan bapak IM yang memiliki pendapat yang sama dengan 6 riset partisipan lainnya, mengatakan: “Kesehatan juga. Tapi memang so berenti merokok karena sadar juga cuma abis doi disitu saja, sedangkan ini kerja cari doi susah (sambil tertawa) depe mama juga so kase-kase larangan to brenti jo merokok supaya sehat juga dirumah.” (P12,30).

Selain dari ketujuh riset partisipan yang memiliki riwayat merokok, 23 riset partisipan lainnya yang tidak memiliki riwayat merokok mempunyai pendapat tentang merokok dimana merokok merupakan perilaku yang tidak baik dan mengganggu kesehatan seperti wawancara dengan ibu AL yang mengatakan: “Nje, be lese. Tidak bagus untuk kesehatan to, ngkaimu setu nanginu pa nu saguer. Tapi saya tidak. Cuma laki-laki disini yang merokok to. Cuma itu, saya sesak kalau ada asap rokok dirumah, makanya saya suruh dorang kalo ba rokok sana di teras. Kalo saguer waktu masih muda pernah minum tapi tidak banyak juga, ini tidak pernah lagi. So tidak kore lagi anu


(46)

78

wancetu.” (ah, tidak bagus untuk kesehatan, kakek yang masih minum saguer. Tapi saya tidak. Hanya laki-laki disini yang merokok. Cuma saya ssesak kalo ada asap rokok di rumah makanya saya suruh kalau ada yang merokok di teras. Kalau saguer pernah minum waktu masih muda, kalau sekarang tidak pernah lagi) (P6,34). Hal serupa juga disampaikan oleh 22 riset partisipan yang mengatakan bahwa merokok merupakan perilaku yang tidak baik dan mengganggu kesehatan.

b. Konsumsi Alkohol

Ada 7 riset partisipan yang memiliki riwayat alkohol yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, namun setelah mendapat hipertensi 7 riset partsipan tersebut telah mengurangi konsumsi alkohol dimana mereka hanya mengkonsumsi alkohol hanya dalam waktu tertentu seperti dalam acara keluarga, syukuran desa dan Desember ketika natal. Banyaknya minuman yang diminumpun dikurangi hanya 1-3 gelas.

Ada 4 riset partisipan yang terdiri dari wanita, masih mengkonsumsi alkohol untuk membantu tidur maupun hanya sekedar minum. Banyaknya minuman yang diminum hanya 1-3 gelas, seperti dalam wawancara dengan ibu AG yang mengatakan: “2 atau 3 gelas so depe ukuran itu. Kalo so lebih dari itu, so pusing saya, so dengan sakit kepala itu. Tapi tidak pernah lebih lagi.


(47)

79

Cukup 2 gelas saguer biasa saya minum cuma mo kase tidur saja.”

(P4,25). Hal serupa juga disampaikan oleh 3 riset partisipan yang lain bahwa mengkonsumsi alkohol hanya untuk sekedar minum dan membantu untuk dapat tidur. Konsumsi alkohol yang dilakukan oleh 11 riset partisipan ini tidak mempengaruhi tekanan darah secara signifikan karena mereka mampu mengontrol jumlah minuman yang diminum. Berbeda halnya dengan 19 riset partisipan lainnya yang tidak mengkonsumsi alkohol. Mereka pernah mencoba sekali untuk minum alkohol jenis saguer namun berhenti minum karena tidak menyukai rasa dari saguer.

Jenis alkohol yang sering dikonsumsi adalah bir dan saguer. Bir hanya didapatkan dalam acara tertentu seperti natal, sedangkan saguer merupakan jenis alkohol, berasal dari pohon aren, diolah sendiri oleh beberapa penduduk desa yang dengan mudah didapatkan sehingga saguer menjadi minuman yang paling sering dikonsumsi.


(48)

80 4.2.8 Perubahan Perilaku

Pada umumnya penyakit hipertensi yang dialami oleh seluruh partisipan disebabkan oleh perilaku yang dilakukan sejak masih muda. Perilaku ini merupakan kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan tanpa mengetahui konsekuensi dari perilaku tersebut, seperti yang diungkapkan oleh bapak RT yang mengatakan “Paling tinggi 140 normal 130 pernah 150 waktu nae tekanan to karna makan coto sapi nah disitu saya nae tekanan dengan sering juga itu lalu daging kambing. Tapi dulu kan tidak ditahu to, ini so ditahu hahaha” (P3,25). Hal serupa juga disampaikan oleh 29 partisipan yang lain bahwa sebelumnya tidak mengetahui bahwa mereka memiliki kebiasan yang dapat meningkatkan tekanan darah, dimana umumnya sering mengkonsumsi makanan asin dan daging yang dapat menyebabkan hipertensi.

Setelah mengetahui konsekuensi dari kebiasaan konsumsi yang dilakukan, seluruh partisipan mengalami perubahan perilaku sebagai respon untuk mengurangi rehipertensi. Tidak semua partisipan menjelaskan tentang respon terhadap perubahan perilaku yang dilakukan. Beberapa alasan perubahan perilaku ini terjadi karena partisipan tidak ingin merasakan rasa sakit yang disebabkan oleh peningkatan tekanan darah, seperti yang diungkapkan oleh ibu EG mengatakan, “hahaa, itu lagi. Tapi kalo daging sapi, so tako-tako. Tapi kalo daging babi tidak kalo saya. Saya so rasa betul itu daging sapi. Jangan


(49)

coba-81

coba. Pernah saya lupa huh tidak enak butul saya punya kepala ini, kandati tidur nyenyak klo datang depe sakit itu ta bangun. So stop butul, kong musti dicek itu daging memang yang mo dimakan” (P1,29). Hal serupa juga disampaikan oleh 6 partisipan yang lain bahwa rasa sakit yang diderita akibat hipertensi memberikan dampak psikis yakni rasa sakit yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi terus diingat oleh partisipan, alasan lain yaitu keterbatasan aktivitas yang dapat mengganggu pekerjaan. Selain itu, 3 partisipan lain menambahkan bahwa mereka merasa takut jika sampai terkena stroke akibat tingginya tekanan darah, seperti yang diungkapkan oleh ibu NK yang mengatakan “Apalagi RW, jangan bilang mo makan, eeee, tidak saya tidak makan itu, tidak mau. Makanya orang bilang nene Kede tidak makan daging yau? Saya bilang orang tidak mo mati kalau tidak makan daging. So panyakit ini yang dijaga, saya so rasa saya pe panyakit ini. Apalagi kalo tekanan bisa sampe stroke, dulu kan begitu, huh, jangan sampe, so itu yang dijaga ini.” (P8,29). 4 lainya mengungkapkan adanya keterbatasan aktivitas fisik jika sakit dan pekerjaan menjadi terbengkalai, seperti yang diungkapkan oleh ibu NT mengatakan, “Iyo, jadi memang kalo so rasa-rasa mo muncul lagi to, so ada obat yang disimpan, saya so beli memang sama mama Pado itu. Oh musti

cepat dicegah itu, sabantar be’e bisa wo’u da molengko, be mewali ba nja

napowia” (jadi jika gejala muncul ada persediaan obat saya beli sama mama Pado. Oh, harus cepat dicegah itu, nanti tidak bisa beraktivitas) (P28,8). 2


(50)

82

partisipan lainnya mengungkapkan bahwa pentingnya perubahan perilaku untuk menjaga kesehatan karena partisipan memiliki penyakit jantung sedangkan satu partisipan lain mengatakan bahwa pentingnya hal tersebut agar masih bisa menikmati hidup.

Dari 30 partisipan, tidak semuanya mengungkapkan tentang perubahan perilaku. ada 8 partisipan yang mengungkapkan tentang perubahan perilaku didapatkan melalui pengetahuan yang dimiliki, yakni pengetahuan yang didapatkan dari petugas kesehatan seperti yang diungkapkan oleh ibu PT yang mengatakan “Ada juga, seperti kurangi makan garam itu lalu dibilang dokter di Taripa, kurangi yang ba baminyak, diperhatikan jam tidor jang talalu larut. Banyak pikiran, yang kayak begitu di kasi tahu, so tahu jadi memang so musti dijaga betul to biar jangan sakit lagi. Cuma biasa juga kalo disebabkan yang lain-lain rupa pikiran juga biasa bisa muncul itu tekanan. Makanya diusahakan, itu yang sulit biasa to.” (P5,66), selain itu 7 partisipan mengungkapkanbahwa pengetahuan didapatkan dari sesamayakni melalui pengalaman orang lain dengan penyakit hipertensi, seperti yang diungkapkan oleh ibu “Saya tidak rebus o, Cuma saya kuca bagini (sambil memperagakan mengucek), cuci dengan air dingin yang so masak sampe bersih, diperas, baru saya ramas ulang dengan airpanas dengan depe getah itu, kan depe getah yang bikin cepat itu. Kan nanti airnya ba putih-putih karna ada depe getah. Tua onal itu yang kasi tahu saya, pas saya beking juga memang cocok, jadi bagus saya buat terus.” (P2,8), hal serupa juga disampaikan oleh 6 partisipan yang lain, bahwa


(51)

83

mereka mendapatkan informasi melalui sesama yang sama-sama memiliki hipertensi, biasanya ketika kumpul tetangga saling berbagi informasi atau pertemuan dalam sebuah pesta pernikahan.


(52)

84

4.3. Pembahasan

Untuk menjawab tujuan penelitian dari perilaku pencegahan rehipertensi di desa Poleganyara, peneliti menggunakan beberapa teori untuk mendukung pembahasan riset partisipan yang terdiri dari 30 orang dimana dari hasil penelitian ini didapatkan perilaku mengenai pencegahan rehipertensi.

4.3.1. Upaya Pengecekan Tekanan darah

Upaya pengecekan tekanan darah merupakan salah satu pencegahan rehipertensi yang dapat dilakukan. Adapun upaya pengecekan tekanan darah meliputi beberapa hal yakni frekuensi, tempat dan nilai tekanan darah.

Frekuensi dilihat dengan seberapa sering penderita hipertensi mengukur tekanan darah yang bertujuan agar penderita hipertensi dapat mengetahui kondisi tekanan darahnya pada satu waktu. Dari hasil penelitian, frekuensi ini dipengaruhi oleh seberapa sering hipertensi kambuh, dalam artian bahwa frekuensi pengukuran tekanan darah disesuaikan dengan saat munculnya gejala hipertensi. Dari 30 riset partisipan, 28 partisipan mengakui frekuensi pengukuran darah 1 sampai 3 bulan sekali sedangkan 2 riset partisipan lainnya memiliki frekuensi yang lebih sering yakni satu atau dua hari sekali.


(53)

85

Dari frekuensi ini juga dapat dijadikan tolak ukur untuk mengetahui seberapa sering hipertensi muncul.

Tempat pengukuran tekanan darah dilakukan di pusat layanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, maupun pada petugas kesehatan yang memiliki alat untuk mengukur tekanan darah seperti mantri dan bidan. Dari hasil penelitian, tempat pengukuran tidak mempengaruhi pencegahan rehipertensi, hanya sebagai sarana dalam melakukan pengecekan tekanan darah.

Dalam penelitian ini, nilai tekanan darah yang dimaksud adalah berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh riset partisipan saat awal mendapatkan hipertensi, yaitu berdasarkan pengakuan dari setiap riset partisipan saat wawancara yang didukung dengan data Puskesmas dan pengukuran nilai tekanan darah yang dilakukan oleh peneliti sebelum memulai wawancara, dimana hal ini bertujuan untuk melihat kondisi tekanan darah setelah riset partisipan melalui proses tindakan pencegahan hipertensi yang telah dilakukan. Selain itu, nilai tekanan darah ini sangat penting agar penderita hipertensi mengetahui batasan nilai tekanan darah normal maupun tinggi.

Semua riset partisipan memiliki nilai tekanan darah yang normal saat dilakukan pengukuran tekanan darah sebelum dimulainya wawancara. Ini menunjukan bahwa adanya pengaruh dari


(54)

86

tindakan pencegahan hipertensiterhadap stabilnya kondisi tekanan darah.

Berdasarkan hasil penelitian, upaya pengecekan tekanan darah berpengaruh dalam pencegahan rehipertensi karena dengan mengetahui nilai tekanan darah dapat mempengaruhi psikologis dari penderita hipertensi. Menurut National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion(2015), pentingnya untuk mengukur tekanan darah secara rutin karena tekanan darah tinggi dapat muncul sewaktu-waktu tanpa peringatan mengenai tanda dan gejala yang muncul. Untuk frekuensi dilakukannya pengukuran hanya jika merasakan gejala hipertensi yang muncul.

4.3.2. Pola Konsumsi

Pola konsumsi merupakan kebiasaan dalam mengatur makanan yang dikonsumsi setiap hari. Pada mereka yang memiliki hipertensi, pola konsumsi ini mengalami perubahan yaitu dengan membatasi bahan dan jenis makanan yang menurut mereka dapat menyebabkan hipertensi. Adapun pola konsumsi yang didapatkan dari hasil penelitian ini meliputi sayuran dan buah, daging serta penggunan garam dan MSG. Penelitian menunjukan bahwa pola konsumsi makanan seperti mengurangi konsumsi garam serta


(55)

87

meningkatkan konsumsi buah dan sayuran dapat mengurangi risiko hipertensi (Lelong.et al, 2014).

a. Konsumsi Garam

Dari hasil penelitian, seluruh partisipan menyukai rasa asin dalam mengkonsumsi makanan, dimana hal ini berlangsung sebelum mendapatkan hipertensi. Setelah mendapatkan hipertensi 29 dari 30 partisipan mengurangi takaran konsumsi garam sedangkan 1 partisipan masih mengkonsumsi garam seperti biasa tanpa mengurangi jumlah yang dikonsumsi.

Mengurangi konsumsi garam ini dilakukan secara terus menerus hingga terbiasa, bahkan kadang 7 partisipan tidak menggunakan garam sama sekali pada makanan yang dikonsumsi. Menurunkan jumlah konsumsi garam ini dapat menurunkan risiko hipertensi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Frisoli,TM., et.al. (2012) bahwa mengurangi konsumsi garam dapat mengurangi risiko hipertensi dan penyakit jantung lainnya serta membantu penderita hipertensi yang sedang menjalani terapi pengobatan hipertensi untuk menjaga tekanan darah tetap stabil.

b. Konsumsi MSG

MSG (monosodium glutamate) merupakan bumbu penyedap rasa yang sering digunakan oleh partisipan sebagai campuran


(56)

88

bahan makanan. Adapun jenis MSG yang sering digunakan yaitu masako dan vitsin, dimana semua partisipan pernah menggunakannya dalam masakan dengan takaran yang berbeda-beda, disesuaikan dengan banyak sedikitnya makanan yang dimasak.

Dari hasil penelitian seluruh partisipan membatasi penggunaan MSG dalam campuran masakan setelah mendapatkan hipertensi. Dari 30 partisipan, 14 diantaranya tidak lagi menggunakan MSG dalam masakan sedangkan 16 partisipan lainnya masih menggunakan MSG sebagai pelengkap masakan dengan takaran yang dikurangi. Ini bertujuan untuk menghindari peningkatan tekanan darah.

Mengurangi atau menghindari penggunaan MSG dapat membantu mencegah hipertensi. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian Bruce, Neal (2006) tentang adanya pengaruh MSG dengan risiko peningkatan tekanan darah yang dapat menyebabkan hipertensi dan sebaliknya, mengurangi penggunaan MSG dapat menurunkan risiko hipertensi. Hal serupa juga disampaikan oleh Shi, et al (2011), dalam penelitiannya pada 1227 pria dan wanita China yang mengkonsumsi MSG dalam jumlah yang cukup banyak, secara signifikan meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik, khususnya pada wanita


(57)

89

peningkatan tekanan darah yang disebabkan MSG berlangsung lebih cepat.

c. Konsumsi daging

Di desa Poleganyara, daging merupakan jenis makanan yang cukup sering ditemui dalam acara-acara yang diadakan di desa baik acara yang bersifat kerohanian maupun seperti pesta pernikahan. Berbeda dalam mengkonsumsi dengan olahan sendiri dirumah, daging jarang ditemukan dalam menu makanan setiap hari, selain harganya yang cukup mahal,juga ketersediaan daging yang hanya ditemukan pada waktu-waktu tertentu jika dilakukan pemotongan, karena kebanyakan daging berasal dari hasil ternak penduduk desa.

Frekuensi mengkonsumsi daging bisa mencapai satu atau dua kali dalam seminggu. Hal ini dipengaruhi jika ada acara-acara tertentu yang diselenggarakan di desa, meskipun terkadang juga dalam beberapa minggu tidak mengkonsumsi daging, namun hal ini biasanya jarang terjadi. Dalam penelitian ini, frekuensi mengkonsumsi daging tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan karena selain tidak dikonsumsi setiap hari, partisipan lebih pada membatasi jumlah konsumsi daging.

Terdapat perbedaan jumlah konsumsi daging sebelum dan setelah mendapat hipertensi. Dari hasil peneltian, partisipan lebih


(58)

90

membatasi jumlah konsumsi daging menjadi lebih sedikit dibandingkan konsumsi daging sebelum menderita hipertensi yang bertujuan untuk mencegah kambuhnya hipertensi. Pengurangan jumlah konsumsi daging ini memberi dampak positif dalam usaha mencegah hipertensi.Hal ini sejalan dengan penelitian Miura,et.al (2004) bahwa mengurangi konsumsi daging (kecuali ikan) dapat menurunkan risiko hipertensi.

Jenis daging yang sering dikonsumsi yaitu daging babi, daging sapi, daging kelelawar, daging anjing dan daging ayam. Menurut partisipan jenis daging ini dapat menyebabkan hipertensi jika dikonsumsi dalam jumlah berlebih. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang, et al (2008), bahwa daging merah dapat meningkatkan risiko hipertensi (tidak termasuk jenis unggas).

d. Konsumsi sayuran dan buah-buahan

Dari hasil penelitian, jenis makanan yang sering dikonsumsi setiap hari merupakan jenis makanan yang mudah ditemukan. Karena letak desa yang jauh dari pasar maka variasi jenis makananpun terbatas. Jenis makanan yang paling banyak dikonsumsi yaitu sayuran seperti daun singkong, kol, daun dan bunga papaya, kacang panjang, buncis, labu siam, bayam, sawi, kangkung, pakis, terong dan labu kuning. Sayuran terdapat dalam


(59)

91

menu makanan setiap hari, berbeda dengan lauk yang tidak dapat disajikan setiap hari selain karena harganya yang cukup mahal, juga letak desa yang jauh dari pasar menjadi kendala.

Konsumsi buah-buahan di desa Poleganyara termasuk jarang karena kebanyakan buah-buahan didapatkan dari hasil menanam, seperti ketimun, pisang, papaya, manggis, durian, dan langsat.Meskipun tidak dapat ditemukan setiap hari, ketimun, pisang dan papaya dapat dikonsumsi beberapa kali dalam seminggu. Berbeda dengan manggis, durian dan langsat hanya ditemukan dalam musim-musim tertentu yang hanya berbuah dua kali dalam setahun. Namun pada musim tersebut buah-buahan jenis ini dikonsumsi setiap hari. Kecuali durian, bagi penderita hipertensi mereka menghindari konsumsi buah ini secara berlebihan bahkan ada yang tidak lagi mengkonsumsi durian sama sekali.

Perilaku mengkonsumsi sayuran hijau yang cukup sering serta mengkonsumsi buah-buahan dapat membantu mencegah hipertensi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Reddy dan Katan (2004) tentang diet, nutrisi serta pencegahan hipertensi dan penyakit jantung, mengatakan bahwa buah dan sayuran (termasuk beri, kacang-kacangan dan sayuran hijau) memiliki kontribusi dalam kesehatan jantung termasuk


(60)

92

mengurangi risiko hipertensi karena mengandung fitonutrisi, kalium dan serat.

4.3.3. Pola Tidur

Dari hasil penelitian, didapatkan pola tidur siang dan tidur malam. Pola tidur dari setiap partisipan berbeda-beda, dimana hal ini dipengaruhi oleh adanya gangguan seperti pikiran maupun kondisi sakit yang menyebabkan terlambat tidur atau sering terbangun. Untuk tidur siang, sebanyak 28 riset partisipan tidak tidur siang dikarenakan adanya aktivitas disiang hari sedangkan 2 partisipan sering tidur siang karena usia lanjut, dimana setiap malam sering mengalami gangguan tidur sehingga siang hari sering merasa kantuk. Untuk tidur malam, rentang waktu tidur yaitu pukul 20.00 sampai pukul 01.00.

Pola tidur menentukan kualitas tidur. Kualitas tidur merupakan jumlah jam tidur yakni dari tidur malam sampai bangun pagi. Dari hasil penelitian terhadap 30 partisipan didapatkan 21 patisipan memiliki jumlah waktu tidur 7 sampai 8 jam, 6 partisipan memiliki jumlah waktu tidur 8,5 sampai 9 jam dan 3 partisipan memiliki jumlah tidur 5-6 jam. Dalam beberapa penelitian, kualitas tidur mempengaruhi tekanan darah. Dalam hubungannya dengan hipertensi, menurut Gottlieb, et.al 2006, kurang atau lebihnya jumlah jam tidur dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, terlebih khusus jika tidur


(61)

93

kurang dari 6 jam dapat berisiko meningkatkan prevalensi hipertensi, dimana normalnya kualitas tidur seseorang yaitu 7-8 jam. Hal serupa juga disampaikan oleh Gangwisch (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa adanya gangguan pada waktu dan durasi tidur dapat meningkatkan tekanan darah, khususnya pada durasi tidur yang pendek dapat menyebabkan hipertensi. Dengan demikian pentingnya mengatur pola tidur untuk mendapatkan kualitas tidur yang baik dapat membantu mengurangi risiko hipertensi.

4.3.4. Aktivitas fisik

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa aktivitas fisik tergantung pada jenis pekerjaan partisipan. Pada umumnya semua partisipan memiliki aktivitas fisik yang sama yakni memiliki kebun dan sawah merupakan tempat dengan aktivitas fisik lebih banyak, selain dirumah. Dari 30 partisipan, ada 22 partisipan memiliki pekerjaan sebagai petani, 5 partisipan sebagai wiraswasta namun setelah itu tetap bekerja dikebun dan sawah. 3 partisipan merupakan pegawai negeri sipil yang berprofesi sebagai guru juga masih melakukan kegiatan disawah dan kebun meskipun sudah tidak terlalu sering.

Aktivitas fisik yang dilakukan oleh partisipan menurut mereka sudah mewakili kegiatan olahraga dimana aktivitas yang dilakukan yaitu berjalan kaki ke kebun atau sawah yang berjarak 2 sampai 4 km dari rumah, bekerja dikebun seperti memaras rumput, mencangkul


(62)

94

dan membersihkan jalan air. Setelah melakukan aktivitas ini, semua partisipan merasakan manfaat yang baik terhadap tubuh dimana meskipun lelah, partisipan merasa lebih sehat dan segar daripada ketika tidak melakukan aktivitas seperti hanya duduk diam dirumah, atau hanya melakukan aktivitas-aktivitas fisik yang kecil yang tidak sampai mengeluarkan keringat, tubuh terasa pegal atau seperti akan merasa sakit.

Penelitian tentang aktivitas fisik seperti Fargard dan Cornelissen (2006) tentang pengaruh latihan fisik (aerobik) dalam mengontrol hipertensi pada pasien dengan hipertensi, yang mengatakan bahwa adanya aktivitas fisik mengurangi faktor risiko hipertensi dan latihan fisik merupakan terapi dasar dalam mencegah dan mengontrol hipertensi. Hal serupa juga disampaikan oleh Kokkinos, PF et.al (2008), yang menyebutkan bahwa meningkatkan aktivitas fisik dengan intensitas dan durasi yang tepat dapat mengurangi risiko hipertensi.

Penelitian lain tentang aktivitas fisik yakni berjalan kaki juga dapat menurunkan tekanan darah. Park. S et al (2008) menemukan bahwa akumulasi dari berjalan kaki selama 3 kali 10 menit dapat menurunkan tekanan darah sistolik seseorang dengan prehipertensi sebesar 4 mmHg. Selain itu, aktivitas fisik yang dilakukan dirumah sebagai aktivitas keseharian seperti menyapu, mencuci, dan pekerjan


(63)

95

rumah lainnya serta berkebun dapat menurukan tekanan darah pada penderita hipertensi (Padilla, J., et al, 2005).

4.3.5. Pengendalian stress

Pengendalian stress merupakan cara yang dilakukan dalam mengendalikan diri dan mengontrol emosi. Dari hasil penelitian, beberapa cara pegendalian stress:

a. Meluapkan emosi

Meluapkan emosi merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan atau mengekspresikan emosi yaitu marah. Menurut 24 partisipan dari 30 riset partisipan, dengan mengungkapkan emosi dapat membantu melegakan suasana hati untuk mengurangi beban pikiran serta memberikan kepuasan batin setelah mengungkapkan apa yang dirasakan.

Dalam hubungannya dengan hipertensi, meskipun dengan mengungkapkan emosi dapat memberikan perasaan lega, namun belum ditemukan bukti dapat mengurangi risiko hipertensi. Beberapa penelitian mengungkapkan sebaliknya, Jennings dan Heim (2011) mengatakan bahwa seseorang dengan hipertensi memiliki peningkatan emosional setiap hari yang dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan risiko hipertensi. Penelitian lain juga menyebutkan tentang emosi, seperti yang disampaikan oleh Lipp, Marilda. et al (2006) bahwa ekspresi


(64)

96

emosional merupakan bentuk ekspresi negatif yang dapat meningkatkan tekanan darah dan risiko hipertensi. Namun Marilda juga mengungkapkan dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mendes et al. (2003) bahwa ekspresi emosional dapat juga menjadi ekspresi penuh semangat yang dapat meningkatkan kesehatan psikologis. Dengan demikian, meluapkan amarah sebagaiekspresi emosional masih membutuhkan penelitian lebih lanjut dalam hubungannya dengan hipertensi.

b. Aktivitas fisik

Dalam penelitian ini aktivitas fisik yang dimaksud sebagai pengendali stres adalah kegiatan menyibukan diri seperti melakukan pekerjaan rumah, atau beraktivitas di kebun atau sawah dan melakukan hobi seperti memancing yang bertujuan untuk mengalihkan perasaan emosianal jika sedang mengalami suatu masalah. Hal ini diungkapkan oleh 30 partisipan yang mengatakan bahwa dengan melakukan kegiatan fisik membantu menenangkan emosi karena pikiran berpusat pada aktivitas yang sedang dilakukan.

Stress memiliki pengaruh yang cukup bermakna pada hipertensi, sehingga aktivitas fisik sebagai pengalihan stress membantu dalam mengurangi risiko hipertensi. Pernyataan ini


(1)

109

obat ini karena ketidakmampuan mengkonsumsi ramuan yang memiliki rasa yang khas.

Hasil penelitian menunjukan bahwa katopril memiliki efek yang baik sebagai obat hipertensi karena kandungan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor yaitu enzim yang berperan dalam sistem tubuh, umumnya untuk mengobati penyakit jantung termasuk hipertensi (Carrasco, et al, 2009).

4.3.7 Merokok dan alkohol

Merokok dan konsumsi alkohol seringkali sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan sejak masa muda, khususnya pada laki-laki hal ini paling sering ditemui. Dalam penelitian ini yaitu dari 30 partisipan, 7 partisipan yang terdiri dari laki-laki memiliki riwayat merokok dan konsumsi alkohol yang telah dimulai sejak masa muda, sedangkan 23 partisipan yang terdiri dari wanita tidak merokok namun pernah mengkonsumsi alkohol.

Merokok dan alkohol merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko hipertensi. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan faktor ini membenarkan bahwa ada hubungan antara perilaku merokok dan konsumsi alkohol dengan tingkat hipertensi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Briasoulis, et.al(2012) tentang konsumsi alkohol dan risiko hipertensi pada pria


(2)

110

dan wanita dimana konsumsi alkohol dalam jumlah berlebihan yakni > 20 g/d dapat meningkatkan risiko hipertensi. Demikian halnya dengan merokok menurut Thuy, A et al (2000) ada pengaruh yang cukup signifikan antara merokok dengan hipertensi, dimana perilaku merokok ini telah dilakukan sejak lama atau sudah bertahun-tahun dan disarankan untuk dihentikan.

Dari hasil penelitian, 7 partisipan yang memilki kebiasaan merokok tidak lagi merokok, dimana sejak mendapatkan hipertensi ketujuh partisipan ini secara bertahap mengurangi kebiasaan merokok sampai berhenti. Sama halnya dengan alkohol, 7 partisipan pria mengurangi konsumsi alkohol. Meskipun jarang dikonsumsi, namun terdapat perbedaan antara konsumsi alkohol sebelum hipertensi dimana biasanya jumlah yang dikonsumsi berlebihan sampai menyebabkan pusing dan mabuk dan setelah mendapatkan hipertensi, jumlah yang dikonsumsi telah dibatasi yaitu 2-3 gelas kecil. Untuk 23 partisipan perempuan, 19 diantaranya hanya pernah mengkonsumsi sekali dan setelah itu tidak pernah lagi dikonsumsi sedangkan 4 partisipan lain masih mengkonsumsi alkohol namun jarang dan jumlah yang diminumpun tidak lebih dari 2 gelas.

Adapun faktor tentang alkohol ini tidak diketahui secara pasti jumlah konsumsi alkohol untuk disesuaikan dengan penelitian


(3)

111

Briasoulis, et.al (2012) tentang jumlah konsumsi alkohol yang dapat meningkatkan tekanan darah.

4.3.8 Perubahan Perilaku

Tindakan pencegahan rehipertensi dari setiap riset partisipan melalui proses perubahan perilaku. Hasil penelitian menunjukan adanya perubahan perilaku meskipun sudah berlangsung selama bertahun-tahun namun perubahan perilaku kesehatan tersebut hanya bersifat sementara. Hal ini terlihat dari masih munculnya rehipertensi karena kebanyakan mereka masih kembali pada perilaku semula.

Teori perubahan perilaku kesehatan terkait hasil penelitian ini yaitu pertama teori transtheorical (Prochasca dan Velicer, 1997) dengan 6 tahap perubahan perilaku kesehatan dimana teori ini dialami oleh seluruh riset partisipan. Mulai dari tahap precontemplation yaitu riset partisipan belum mengetahui konsekuensi dari perilaku mereka karena belum adanya informasi kesehatan yang didapat berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan yang mempengaruhi tekanan darah, seperti mengkonsumsi daging dan makanan asin yang sering menjadi penyebab awal mendapat hipertensi dari seluruh riset partisipan. Contemplation atau tahap perenungan dimana riset partisipan mulai menyadari dampak dari perilaku atau kebiasaan terhadap kondisi


(4)

112

tekanan darah. Setiap partisipan mulai merenungkan pengaruhnya terhadap biaya dan kondisi tubuh. Keterbatasan biaya dan ketidakmampuan tubuh untuk bekerja menjadi salah satu motivasi untuk merubah perilaku kesehatan. Preparation (persiapan), pada tahap ini partisipan mulai mengumpulkan informasi baik dari petugas kesehatan, sesama penderita hipertensi maupun media komunikasi seperti cetak atau televisi untuk mempengaruhi perubahan perilaku kesehatan. Kemudian hasil pada tahap persiapaan ini dilanjutkan pada tahap action (tindakan) yaitu terjadi modifikasi perilaku yang lebih spesifik. Dalam hasil penelitian ini, tindakan merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah rehipertensi meliputi upaya pengecekan tekanan darah (frekuensi pengecekan tekanan darah, tempat pengukuran tekanan darah dan nilai tekanan darah), mengatur pola konsumsi (garam, MSG, daging, sayuran dan buah-buahan), pola tidur (jam tidur malam, tidur siang dan lamanya waktu tidur), aktivitas fisik (dalam bentuk kegiatan fisik di rumah, sawah, dan kebun), pengendalian stress (meluapkan emosi, aktivitas fisik, interaksi sosial, tidur dan aktivits spiritual), penggunaan ramuan tradisional dan obat medis (kemangi, daun jarak, sambiloto, daun belimbing, daun salam, daun sirsak, daun papaya, mengkudu dan obat medis yaitu katopril) serta merokok dan alkoho (Levine et al, 1993; Chang et al, 2003). Tindakan pencegahan ini juga merupakan


(5)

113

tahapan yang dilalui berikutnya yaitu maintenance (pemeliharaan) sebagai bentuk pencegahan rehipertensi. Pada tahap ini dituntut adanya kemampuan meningkatkan dan mempertahankan perubahan perilaku untuk jangka waktu yang panjang. Proses ini pada riset partisipan masih dalam proses penyesuaian, karena kebanyakan dari partisipan masih kembali pada perilaku sebelumnya. Kesulitan untuk mempertahankan perubahan perilaku biasanya dipengaruhi oleh kebiasaan yang sudah membudaya, khususnya kebiasaan mengkonsumsi daging yang meskipun jarang dikonsumsi namun seringkali kemampuan untuk mengontrol jumlah konsumsi tidak bisa dilakukan. Namun terdapat tindakan pencegahan oleh beberapa partisipan melalui tindakan cepat mengantisipasi peningkatan tekanan darah jika kebiasaan lama terulang. Seperti yang dilakukan beberapa partisipan yaitu mengkonsumsi ramuan setelah mengkonsumsi daging maupun makanan asin untuk mencegah rehipertensi. Tahap terakhir yaitu termination dimana terjadi perubahan perilaku yang efektif, dengan kata lain adanya komitmen untuk tidak kembali pada perilaku sebelumnya. Pencapaian tahap ini tidak berlaku pada seluruh partisipan dengan hipertensi serta untuk semua tindakan pencegahan rehipertensi, hanya beberapa tindakan tertentu yang secara signifikan berpengaruh pada pencegahan rehipertensi seperti yang dilakukan oleh 2 riset partisipan yang secara


(6)

114

total berhenti mengkonsumsi daging sejak mendapat hipertensi (kecuali jenis unggas) dan mengurangi jumlah konsumsi garam yang dilakukan oleh 29 dari 30 riset partisipan.

Teori lain terkait hasil penelitian ini yaitu social cognitive theory (teori kognitif sosial) dimana partisipan memperoleh pengetahuan dari hasil mengamati perilaku orang lain dan juga adanya pengaruh lingkungan dalam pengambilan keputusan untuk menerapkan perilaku tersebut atau tidak (Hurst, 2003). Perilaku yang dilakukan partisipan berdasarkan teori ini yaitu mencegah rehipertensi dengan mengkonsumsi ramuan tradisional, dimana informasi didapatkan oleh partisipan melalui orang lain yang menggunakan ramuan sebagai pencegahan rehipertensi. Partisipan lain yang mengamati dan melihat cara ini berhasil kemudian mengikuti cara tersebut. Hasil pengamatan ini juga didukung oleh kondisi informan yang dalam keadaan sehat dimana yang memberikan informasi juga sudah jarang mengalami rehipertensi.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perilaku Pencegahan Rehipertensi: Studi pada Warga Desa Poleganyara Sulawesi Tengah T1 462008027 BAB I

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perilaku Pencegahan Rehipertensi: Studi pada Warga Desa Poleganyara Sulawesi Tengah T1 462008027 BAB II

0 0 20

T1 462008027 BAB III

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perilaku Pencegahan Rehipertensi: Studi pada Warga Desa Poleganyara Sulawesi Tengah T1 462008027 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perilaku Pencegahan Rehipertensi: Studi pada Warga Desa Poleganyara Sulawesi Tengah

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perilaku Pencegahan Rehipertensi: Studi pada Warga Desa Poleganyara Sulawesi Tengah

0 2 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kecenderungan Warga Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Gereja Krisren Indonesia Soka Salatiga T1 712007034 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kecenderungan Warga Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Gereja Krisren Indonesia Soka Salatiga T1 712007034 BAB II

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kecenderungan Warga Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Gereja Krisren Indonesia Soka Salatiga T1 712007034 BAB IV

0 0 3

T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PrinsipPrinsip Pengaturan tentang Pencegahan dan Kebakaran Hutan T1 BAB IV

0 0 3