James E. Austin dan Pemikirannya tentang Kewirausahaan Sosial
42
tentang proses di mana perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial terlibat dalam pertanggungjawaban sosial perusahaan strategis yang merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari
strategi dan
operasional perusahaan.
Penelitian ini
telah mengkonseptualisasikan proses dari kegiatan sosial perusahaan sebagai sifat pendekatan
kewirausahaan dan mendefinisikannya sebagai Kewirausahaan Sosial Perusahaan Corporate Social Entrepreneurship. Publikasi awal dari karya yang masih dalam proses
ini berjudul ‘Corporate Social Entrepreneurship: The New Frontier’ bersama dengan H. Leonard, E. Reficco, dan J. Wei-Skillern pada karya selanjutnya yang berjudul ‘The
Accountable Corporation: Corporate Social Responsibility’. Austin menjelaskan bagaimana tantangan dalam menemukan kesamaan yang dapat
dicapai melalui aliansi strategis. Ulasan dan analisanya yang bijaksana mengenai beberapa aliansi yang telah terjadi antara perusahaan komersil dan non-profit di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa aliansi yang berbasis kolaborasi akan membantu perusahaan komersial untuk mendapatkan keuntungan lebih dan pada saat yang sama, organisasi non-
profit juga akan dapat mengembangkan kapasitasnya dalam hal pencapaian misi sosial Austin, 2000.
Menurut Austin, “…” Kewirausahaan di sektor sosial memberikangambaran yang terbaik tentang cara-cara apa saja yang dapat digunakan para wirausahawan untuk
memajukan misinya. Selain itu, kewirausahaan di sektor sosial juga membahas banyak masalah yang sering dihadapi oleh organisasi dan manajer pada tahap-tahap berbeda yang
akan dilalui dalam sebuah proses perkembangan. Wei-Skillern, Austin, Leonard, Stevenson, 2007.
f. Marie Lisa Dacanay dan Pemikirannya tentang Kewirausahaan Sosial
Marie Lisa Dacanay adalah seorang direktur program untuk kewirausahaan sosial dan pengembangan, Institusi Manajemen Asia. Beliau mendapatkan gelar PhD dari
Copenhagen Business School. Salah satu dari karya ilmiah pertamanya menyajikan temuan dari proyek penelitian bersama yang dilakukan oleh Konferensi Yayasan dan Organisasi
Asia Conference of Asian Foundations and Organizations dan Institusi Manajemen Asia Asian Institute of Management tentang kewirausahaan sosial. Penelitian ini melibatkan
13 perusahaan sosial teladan di Filipina, Thailand, Indonesia dan India dan menghasilkan empat jenis strategi: mobilisasi sumber daya, intermediasi, pemberdayaan, dan strategi
gabungan.
43
Mobilisasi sumber daya adalah kunci yang memegang peranan utama untuk mempromosikan program yang dapat menghasilkan pendapatan, terutama ketika terjadi
kekurangan sumber dana tradisional untuk Organisasi Masyarakat Setempat yang biasa didapatkan dari public dan swasta, baik local maupun internasional. Melalui studi kasus
tentang Philippine Educational Theater Association PETA, Marie mengetahui bahwa penggunaan teater sebagai sarana untuk melaksanakan perubahan dan pemberdayaan sosial
pada tahun 1980 telah memungkinkan organisasi sosial untuk mengeksplorasi pasar komersial dan mengenakan tarif standar di setiap pertunjukkannya. Dengan demikian,
sekitar 40 persen pendapatan organisasi tersebut berasal dari pertunjukkan dan jasa lainnya.
Intermediasi adalah masalah lain yang mempengaruhi keberlanjutan dari intervensi pembangunan. Melalui studi kasus mengenai Yayasan Pekerti Indonesia, yang
didedikasikan untuk sektor ekonomi berbasis komunitas untuk pengrajin yang tersisihkan, Marie mengetahui bahwa Yayasan Pekerti Indonesia yang merupakan organisasi non-profit
membentuk sebuah organisasi komersial, PT Pekerti Nusantara, untuk menjadi organisasi pemasaran perantara bagi rekan-rekan komunitasnya. Gerakan perdagangan adil Fair
trade telah membantu para produsen tersisihkan ini untuk mendapatkan akses ke pasar internasional.
Pemberdayaan adalah sebuah pendekatan yang khas di antara lembaga-lembaga pembangunan. Marie mengetahui tentang pendekatan ini melalui Rayong Ronarong,
seorang tokoh masyarakat di Thailand bagian selatan, yang mengoordinasi kelompok petani untuk berproduksi dan berdagang secara kolektif. Kelompok petani karet ini telah
berhasil melakukan penggabungan hasil karet dari para petani dan memprosesnya menjadi lembaran karet dan kemudian menjual produk mereka di pasar yang lebih menguntungkan.
Dalam prosesnya, hal ini tidak hanya memberikan pendapatan yang lebih stabil untuk para anggotanya, tetapi juga berperan sebagai katalis pembangunan di komunitas tersebut.
Strategi-strategi ini tidaklah saling eksklusif. Melalui Basix Group di India serta strategi penggabungan institusi bank dan non-bank, organisasi sosial dapat menyediakan
jasa finansial dan jasa lainnya untuk lebih dari 145.500 pekerja subsisten, masyarakat miskin yang tidak mempunyai tanah, petani kecil, dan usaha mikro di enam negara. Studi
kasus mengenai Basix ini menunjukkan bahwa strategi pemberdayaan tidak mengharuskankepemilikan dan manajemen perusahaan sosial untuk dipegang oleh
masyarakat miskin sejak awal. Banyak perusahaan yang bergerak di bidang sosial
44
mengalami transfer kepemilikan dan manajemen secara progresif pada masyarakat miskin setelah terlebih dahulu dilaksanakan program peningkatan kapasitas.
Menurut Dacanay, “…Perusahaan tradisional bersifat akumulatif, sedangkan perusahan sosial bersifat distributif. Keinginan untuk memaksimalkan profit dan
meminimalkan biaya dari bisnis tradisional seringkali menyebabkan diabaikannya masalah sosial dan lingkungan…”Dacanay, 2004.