diberi stimulus yaitu latihan terus menerus sampai akhirnya siswa tersebut berubah menjadi bisa membaca.
2. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif, lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan hubungan stimulus dan
respon. Namun, belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Menurut Budiningsih 2012, hlm. 34:
dalam teori kognitif, proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur
kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Berdasarkan pendapat di atas, proses belajar terjadi saat adanya
menghubungkan pengetahuan awal dengan stimulus yang baru diterima. Sementara Piaget dalam Budiningsih, 2012, hlm. 36 mengemukakan bahwa:
proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi penyeimbangan. Proses asimilasi merupakan proses
pengintegrasian atau penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan proses ekulibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi
dan akomodasi. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dalam teori kognitif, pengalaman
pengetahuan yang telah ada sebelumnya skemata dimanfaatkan untuk mendapatkan pengetahuan baru. Untuk menerima pengetahuan, siswa dapat
menggunakan skematanya yang sudah dimiliki, sehingga pengetahuan baru dapat dipahami dan terjadilah proses asimilasi. Namun, tidak menutup kemungkinan,
siswa harus mengubah skematanya sesuai dengan pengetahuan baru tersebut, sehingga terjadilah akomodasi. Pada proses akomodasi, kemungkinan dapat
terjadi ketidakseimbangan disequilibrium yaitu terjadi kebingungan saat skemata awal dengan pengetahuan yang baru tidak selaras.
Menurut Djuanda 2006, hlm. 12 “Ditinjau dari sudut pandang kognitif, belajar juga dapat disikapi sebagai asimilasi dan akomodasi yang bermakna,
sehingga dapat menghasilkan pemahaman, pengahayatan dan keterampilan. ” Jadi,
belajar merupakan suatu proses yang bermakna. Menurut teori kognitif, proses
belajar seseorang akan mengikuti tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Menurut Piaget dalam Budiningsih,hlm. 39:
pada tahap operasional konkret, tahap berpikir anak sudah dapat dikatakan maju. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual
pasif. Untuk menghindari keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran konkret, sehingga ia mampu menelaah persoalan. Sungguhpun
demikian, anak usia 7-12 tahun masih memiliki masalah berpikir abstrak.
Berdasarkan pendapat tersebut yang menjelaskan bahwa anak usia 7-12 tahun usia SD masih berpikir konkret. Dengan kata lain, anak akan mengalami
kesulitan memahami segala sesuatu apabila secara abstrak. Oleh karena itu, untuk memudahkan anak memahami pengetahuan yang diterimanya melalui proses
asimilasi, akomodasi dan equilibrasi, maka diperlukan metode dan teknik pembelajaran yang tepat dalam menerapkan pembelajaran. Teknik pembelajaran
yang digunakan dapat berupa permainan. Melalui permainan anak akan lebih mudah belajar, karena bermain merupakan dunia anak-anak dan mereka tentunya
akan terjun langsung mengalaminya sendiri, sehingga yang mereka pelajari merupakan sesuatu yang konkret. Begitu juga dengan penggunaan metode.
Penggunaan metode yang tepat sesuai dengan karakteristik materi pembelajaran akan memudahkan guru dalam mengajar anak. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Hetherington Parke dalam Djuanda, 2006. hlm. 86 bahwa. bermain bagi anak berfungsi untuk mempermudah perkembangan kognitif
anak. Dengan bermain akan memungkinkan anak meneliti lingkungannya dan mempelajari segala sesuatu, serta memecahkan masalah yang
dihadapinya. Permainan juga dapat meningkatkan perkembanagn sosial anak. Dengan menampilkan bermacam peran orang anak berusaha
menghayatinya untuk diambilnya setelah dewasa.
Sejalan dengan perkembangan kognisi atau daya pikir anak, Piaget dalam Ismail, 2006, hlm. 36 mengemukakan tahap bermain sebagai berikut.
a. Sensory motor play bermain yang mengandalkan indera atau gerakan-
gerakan tubuh 3 atau empat bulan sampai setengah tahun b.
Symbolic atau make believe play 2 – 7 tahun c.
Social play games with rules 8 – 11 tahun d.
Games with rules and sports 11 tahun ke atas Dengan demikian, bagi Piaget, bermain pada awalnya dilakukan hanya
sekedar demi kesenangan dan lambat laun mengalami pergeseran. Bukan hanya rasa senang yang menjadi tujuan, tetapi ada suatu hasil akhir
tertentu yang ingin dicapai, seperti ingin menang dan memperoleh hasil kerja yang baik.
Berdasarkan pendapat Piaget di atas, pada awalnya bermain hanya sekedar suatu kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Namun seiring berjalannya waktu,
kesenangan tersebut akan berubah menjadi suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, secara tidak sadar, melalui bermain anak justru sedang belajar
mempelajari sesuatu. Pernyataan selanjutnya dari Piaget dalam Djuanda, 2006, hlm. 89 yang
menyatakan pentingnya bermain bagi proses belajar anak yaitu „Bermain merupakan upaya anak dalam memanfaatkan peluang-peluang tertentu untuk
mengatasi tantangan-tantangan yang dalam kenyataannya belum tentu bisa dikuasai.‟ Jadi, bermain merupakan proses memanfaatkan peluang, yang mana
pada saat itu anak mengalami proses asimilasi dan akomodasi. Namun, pada saat proses akomodasi tidak menutup kemungkinan akan terjadi ekuilibrasi, yang
mana siswa mengalami ketidakpahaman pada pengetahuan baru yang diterimanya, karena pengetahuan baru tersebut tidak sesuai dengan pengetahuan awal yang
diterimanya.
3. Teori Belajar Konstruktivisme