BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada dasarnya adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan
rohaninya kearah kedewasaan.
1
Pendidikan selalu menjadi issue menarik bagi setiap kehidupan manusia, baik pemerintah maupun masyarakat umumnya. Issue
ini tidak terlepas dari asumsi publik bahwa dengan pendidikan seseorang dapat meningkatkan harkat dan martabatnya dengan bekal jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Terlebih di era global yang mensyaratkan adanya profesinalisme dalam meraih peluang kerja.
Pada era sekarang pendidikan hendaknya berorintasi pada model pendidikan yang berwawasan global, yaitu; pendidikan yang dilandaskan pada
pluralitas agama, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, etnis, ras, bahasa. Hal ini tidak hanya dalam cakupan regional, nasional, melainkan hingga global
Internasional. Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
2
Pembelajaran di Sekolah-sekolah turut andil dalam pencapaian mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembelajaran ini dapat dispesifikasikan lagi
1
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, h. 11.
2
Abd. Rojak, Fauzan, H. Ali Nurdin, Kompilasi Undang-undang dan Peraturan Bidang Pendidikan, Jakarta, FITK PRESS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2010, h. 6.
sampai kepada pembelajaran dari salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif bagi pencerdas kehidupan bangsa sekaligus turut memanusiakan
bangsa dalam arti dan cakupan yang lebih luas. Mata pelajaran tersebut adalah matematika.
Menurut Ruseffendi yang dikutif oleh Heruman matematika adalah bahasa simbol ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif, ilmu
tentang pola keteraturan, dan stuktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak diidentifikasikan keunsur yang diidentifikasikan, ke aksioma atau postulat
dan akhirnya ke dalil.
3
Sedangkan hakekat matematika menurut Soedjadi, yaitu memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, pola pikir yang
deduktif.
4
Banyak orang yang memandang matematika sebagai bidang studi yang paling sulit, meskipun demikian, semua orang harus mempelajarinya karena
merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, seperti halnya bahasa, membaca dan menulis. Kesulitan matematika harus diatasi sedini
mungkin, kalau tidak akan menghadapi banyak masalah karena hampir semua bidang studi memerlukan matematika yang sesuai.
Banyak orang yang mempertukarkan antara matematika dengan aritmatematika atau berhitung, padahal matematika memiliki cakupan yang lebih
luas dari pada aritmatika. Aritmatika hanya merupakan bagian dari matematika, bidang studi matematika yang diajarkan di SDMI mencakup tiga cabang yaitu:
aritmatika, aljabar dan geometri. Matematika adalah bidang studi yang harus dipelajari dari SDMI sampai dengan perguruan tinggi, untuk itu agar siswa dapat
memahami matematika dengan baik di perlukan konsep dasar matematika yang diajarkan di SDMI, untuk memudahkan hal tersebut maka dipergunakanlah alat
peraga matematika pada siswa SDMI yang cara berfikirnya masih bersifat kongkrit.
Menurut Permen No. 22 Tahun 2006, mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali
3
Heruman, Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010, h.1.
4
Ibid.
peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analisis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Hal senada juga diungkapkan oleh
Soedjadi 2004 bahwa pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang meliputi: 1 tujuan yang bersifat formal yang memberi tekanan pada penataan
nalar anak serta pembentukan pribadi anak, dan 2 tujuan yang bersifat material yang memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan
memecahkan masalah matematika. Dari tujuan di atas terlihat bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan penataan nalar atau kemampuan berpikir
logis serta sikap positif siswa yang berguna dalam mempelajari ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai
landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut disusun standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika. Standar kompetensi dan
kompetensi dasar dijadikan sebagai landasan guru untuk menyusun program dan kegiatan belajar-mengajar di kelas.
Di Indonesia mata pelajaran matematika diberikan mulai sejak kelas I SDMI. Siswa SDMI umurnya berkisar antara 6 tahun atau 7 tahun, sampai 12
atau 13 tahun. Menurut Peaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir
untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret.
Dari usia perkembangan kognitif, siswa SDMI masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera. Dalam pembelajaran matematika
abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa media, dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami
dan dimengerti oleh siswa. Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret, semi konkret, semi abstrak, dan selanjutnya abstrak. Hal ini
menunjukan betapa pentingnya matematika dalam jenjang selanjutnya, karena matematika selalu berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari.
Matematika perlu dipelajarai oleh siswa karena matematika merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan secara umum. Untuk memahami dunia dan
memperbaiki kualitas keterlibatan kita pada masyarakat, maka diperlukan
pemahaman matematika secara lebih baik lagi. Matematika juga merupakan alat dan bahasa untuk memecahkan masalah baik dalam masalah matematika ataupun
masalah dalam kehidupan manusia.
5
Salah satu mata pelajaran yang perlu mendapat perhatian lebih adalah matematika, dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya, hasil belajar siswa
dalam mata pelajaran matematika terutama pada pokok bahasan bilangan pecahan selalu rendah. Hal ini biasanya karena sebagian besar siswa kurang antusias
menerimanya. Siswa lebih bersifat pasif, enggan, takut, atau malu untuk mengungkapkan ide-ide atau pun penyelesaian atas soal-soal latihan yang
diberikan di depan kelas. Tidak jarang siswa kurang mampu dalam mempelajari matematika terutama dalam pokok bahasan pecahan , sebab materi pecahan
dianggap terlalu sulit, dan menakutkan bahkan dari sebagian mereka ada yang membencinya sehingga matematika dianggap sebagai momok oleh mereka. Hal
ini menyebabkan siswa menjadi takut atau fobia terhadap matematika. Upaya-upaya pembaharuan dalam sistem pendidikan dilakukan sebagai
respon dari banyaknya permasalahan dalam pendidikan di Indonesia. Permasalahan tersebut juga terjadi pada mata pelajaran matematika. Masalah
umum pada matematika seperti rendahnya daya saing di ajang international, rendahnya rata-rata NEM nasional, serta rendahnya minat belajar matematika,
matematika terasa sulit karena banyak guru matematika mengajarkan matematika dengan materi dan metode yang tidak menarik dimana guru menerangkan atau
„teacher telling’ sementara murid mencatat. Salah satu penyebab permasalahan tersebut adalah secara umum pendekatan pengajaran matematika di Indonesia
masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik yang menekankan proses
‘drill and practice’, prosedural serta menggunakan rumus dan algoritma sehingga siswa dilatih mengerjakan soal seperti mekanik atau mesin.
Konsekwensinya bila mereka diberikan soal yang beda dengan soal latihan mereka akan membuat kesalahan atau
‘error’ seperti terjadi pada komputer.
5
Turmudi dan Aljufri, Pembelajaran Matematika, Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2009, h, 6.
Begitu pula mereka tidak terbiasa memecahkan masalah yang banyak di sekeliling mereka.
Pembelajaran matematika seperti yang kita alami dikelas-kelas masih menitik beratkan kepada pembelajaran lansung yang pada umumnya didominasi
olek guru, siswa masih secara pasif menerima apa yang diberikan guru, umunya hanya satu arah. Beberapa ahli mengatakan bahwa dalam pembelajaran
matematika umumnya siswa menonton gurunya menyelesaikan soal-soal dipapan tulis. Pola-pola pembelajaran transmisi masih mendominasi kelas misalnya guru
mengenalkan aturan umum dalam matematika dan dilanjutkan dengan memberikan soal-soal latihan.
Praktek-praktek pembelajaran seperti di atas diusulkan untuk diperbaiki dan pelaksanaan proses pembelajaran seperti itu belum menunjukan hasil yang
maksimal yang dicapai oleh siswa. Tingkat penguasaan siswa terhadap materi bilangan pecahan masih rendah. Berdasarkan tes yang dilakukan dalam menjawab
soal-soal yang diberikan pada materi bilangan pecahan banyak siswa yang tidak bisa menjawab dengan benar. Dari jumlah siswa yang mengikuti tes tersebut
hanya 67 siswa yang mendapat nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimum KKM yang ditetapkan yaitu 60,00, sementara sisanya mendapat nilai di bawah
KKM. Siswa juga memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang
sangat membosankan dan menakutkan. Hal ini jelas sangat berakibat buruk bagi perkembangan pendidikan matematika kedepan. Oleh karena itu perubahan proses
pembelajaran matematika yang menyenangkan harus menjadi prioritas utama. Hasil empiris diatas jelas merupakan faktor penting dalam mewujudkan tujuan
pembelajaran matematika sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum pendidikan matematika.
Dengan situasi seperti ini guru harus dapat mengambil suatu tindakan guna menyiasati apa yang terjadi di kelas. Guru harus dapat mengubah pendekatan,
strategi dan metode yang bervariasi agar kemampuan siswa dalam menemukan konsep-konsep serta pemahaman tentang materi pecahan pada pelajaran
matematika semakin meningkat.
Merujuk pada berbagai pendapat para ahli matematika SDMI dalam mengembangkan kreativitas dan kompetensi siswa, maka guru hendaknya dapat
menyajikan pembelajaran yang efektif dan efisien, sesuai dengan kurikulum dan pola pikir siswa. Dalam mengajarkan matematika, guru harus memahami bahwa
kemampuan setiap siswa berbeda-beda, serta tidak semua siswa menyenangi mata pelajaran matematika.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada, penulis mencoba menawarkan penyelesaiannya dengan penerapan pembelajaran matematika
melalui Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI, karena selama ini PMRI diindikasikan mampu menjadi pembelajaran matematika lebih efektif dan
menyenangkan bagi siswa. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI merupakan salah satu
langkah yang dapat diambil agar pembelajaran matematika tidak terkesan sulit. Sala
h satu yang khas dari PMRI adalah penggunaan “konteks” masalah kontekstual. Sebagai bandingan, pendekatan pembelajaran tradisional yang
disebut dengan pendekatan pendidikan matematika “mekanistik”, hampir seluruh isinya adalah “soal-soal yang kering” tanpa konteks realistik.
Dalam pendekatan matematika realistik siswa belajar matematisasi masalah kontekstual. Dengan kata lain siswa mengidentifikasi dan menyelesaikan
soal matematika secara realistik. Hal ini adalah salah satu upaya dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan matematika.
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI ini juga diterapkan agar dapat membantu guru khusunya dalam meningkatkan hasil
belajar siswa. Selain itu agar penyajian bahan ajar matematika tidak lagi terbatas hanya ceramah dan membaca isi buku, sehingga diharapkan siswa tidak lagi
merasa bosan dan jenuh dengan materi pelajaran. Berdasarkan uraian di atas, maka
peneliti mengambil
judul
“Penerapan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Siswa pada Pokok Bahasan Bilangan Pecahan di Kelas IV MI Ghidaul Athfal Kota Sukabumi Tahun Pelajaran 20122013”
B. Identifikasi Area dan Fokus Penelitian