Peta Bahaya dan Risiko Longsor Mitigasi Bencana Tanah longsor

Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor No. Faktor Penyebab Parameter 1. Kemiringan Lereng 2. Curah Hujan 1. Faktor Pemicu Dinamis 3. Penggunaan Lahan aktivitas manusia 4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi 5. Kedalaman Solum Tanah 6. Permeabilitas Tanah 2. Faktor Pemicu Statis 7. Tekstur Tanah Sumber: Goenadi et al. 2003

2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor

Mikrozoning risk mapping adalah serangkaian kegiatan untuk pengkajian risiko bahaya kawasan secara rinci, termasuk didalamnya kegiatan -kegiatan pengumpulan data sekunder maupun survai di lapangan, analisis, dan penyajian dalam bentuk peta risiko. Dengan demikian kegiatan mikrozoning dimaksudkan untuk memberi informasi risiko bencana dalam suatu wilayah agar pembangunan yang akan dilakukan dapat ditempatkan pada kawasan yang aman Naryanto 2001. Pembuatan peta risiko tanah long sor dapat dilakukan berdasarkan metode Sistem Informasi Geografis SIG. Dengan menggunakan metode ini, penentuan tingkat kerentanan tanah di suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih kuantitatif. Metode ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran Rengers dan Soeters 1993 dalam Barus 1999.

2.5. Mitigasi Bencana Tanah longsor

Bencana disaster disebabkan oleh faktor alam danatau manusia yang dapat menimbulkan bahaya hazard dan ke rentanan vulnerability terhadap manusia dan lingkungan itu sendiri. Dalam manajemen mitigasi bencana, sebab dan akibat tersebut saling mempengaruhi satu sama lain interdependensi yang secara skematis disajikan dalam Gambar 4. Dari gambar tersebut, terdapat faktor umpan balik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem. Umpan balik feed back disini diartikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi langkah- langkah yang akan dilakukan dalam manajemen mitigasi termasuk sebab terjadinya bencana. Gambar 4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana Kotter 2004 Selanjutnya untuk mengidentifikasi langkah-langkah antisipasi, baik sebelum dan sesudah terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam maupun manusia , diperlukan suatu sistem manajemen risiko bencana. Upaya dalam mengindetifikasi langkah -langkah antisipasi bencana tanah longsor dengan melibatkan unsur-unsur manajemen risiko digambarkan sebagai berikut. Gambar 5. Manajemen Risiko Ben cana Tanah longsor Kotter 2004 Paripurno 2004 mengemukakan bencana disaster merupakan fenomena sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen ancaman hazard berupa fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan vulnerability komunitas di pihak lain serta risk risiko yang ditimbulkan. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber ancaman tersebut. Risiko merupakan gabungan da ri unsur-unsur risiko itu sendiri dan bahaya serta kerentanan UNDRO 1991. Hubungan antara risiko dan unsur-unsurnya, bahaya, dan kerentanan secara metematis diformulasikan sebagai berikut : HxV E Rs E Rt = = dimana : Rt : Risiko E : Unsur-unsur dari Risiko H : Bahaya V : Kerentanan Risiko Rt diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti dan hancurnya aktivitas ekonomi oleh karena fenomena alam tertentu yang dihasilkan dari unsur-unsur risiko dan bahaya serta kerentanan. Adapun unsur-unsur dari risiko E terdiri dari populasi, bagunan-bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas dan infrastruktur, dan lainnya yang memiliki risiko pada suatu area. Bahaya H adalah kemungkinan dari kejadian dalam jangka waktu tertentu pada suatu wilayah yang berpotensi terhadap rusaknya fenomena alam. Selanjutnya, kerentanan V diartikan sebagai tingkat kerusakan dari suatu unsur risiko dari suatu fenomena alam pada skala tertentu, yaitu dari 0 tidak ada kerusakan sampai 1 kerusakan total. Risiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas dari dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis risiko perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mengurangi risiko tersebut. Rekomendasi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pembangunan disebut dengan rencana mitigasi. Pada dasarnya kegiatan mitigasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan nonstruktural. Menurut Naryanto 2001, dalam pelaksanaannya, kedua kelompok mitigasi tersebut harus dilakukan bersama- sama dan saling memperkuat. Terhadap kedua kelompok mitigasi tersebut, Paripurno 2004 memberikan definisi untuk kegiatan mitigasi berbentuk struktural sebagai kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak. Adapun mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturan-peraturan, pengelolaan tata ruang, dan pelatihan. 2.6. Sistem Informasi Geografis SIG SIG secara umum dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan integrasi data, dan permodelan data sehingga dapat diperoleh informasi spasial yang lebih komprehensif. Informasi spasial tersebut nantinya dapat digunakan sebagai bahan dalam pengambilan keputusan. SIG merupakan suatu perangkat yang memiliki kemampuan penuh untuk pengumpulan, penyimpanan, pemanggilan, pentransformasian, dan penampilan data dijital keruangan dari suatu wilayah untuk kegunaan tertentu Burrough 1996. Teknologi ini berkembang cukup pesat khususnya untuk penanganan pekerjaan pemetaan yang dilengkapi dengan data base karena berbagai alasan. Aronoff 1989 menyebutkan beberapa alasan pentingnya penggunaan SIG dalam pemetaan, antara lain : a. Kemampuan untuk pemrosesan dan pengolahan data dalam volume besar, khususnya dalam peta tematik. b. Kemampuan untuk penyesuaian dengan perkembangan teknologi komputer. c. Kemampuan untuk penyesuaian dengan teknologi pemotretan udara dan remote sensing. d. Kemampuan untuk mengekstrak dan mengintegrasikan data dari berbagai media peta, foto udara, dan citra satelit. e. Kemampuan untuk melakukan overlay yang dapat menghasilkan kombinasi informasi dari berbagai peta. Selanjutnya, SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan. Beberapa macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. KlasifikasiReklasifikasi Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu. b. Overlay Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan dari beberapa peta. Selain itu overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta yang saling beririsan. Kemampuan SIG dapat diselaraskan dengan teknologi pemotretan udara dan remote sensing. Citra satelit merekam objek di permukaan bumi seperti apa adanya di permukaan bumi, sehingga dari interpretasi citra dapat dideteksi kondisi liputan lahan saat perekaman. Pada dasarn ya, teknologi berbasis satelit ini menyajikan informasi awal kondisi wilayah. Keunggulan utamanya adalah dapat menyajikan informasi secara aktual dan akurat. 2 Teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis SIG merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan sebagai penyediaan informasi tentang berbagai parameter faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya longsor di suatu daerah. Dengan tersedianya peta daerah rawan bencana, akan mempermudah penggambaran kondisi daerah yang bersang kutan dan pada domain inilah peran data satelit teknologi inderaja. Data satelit memiliki keunggulan dibandingkan dengan peta atau foto udara, karena dapat menyajikan informasi tentang karakteristik spektral obyek di permukaan bumi yang tidak dapat ditangkap oleh mata telanjang. Sensor satelit multispektral dapat memilah pantulan gelombang elektromagnetik yang datang dari permukaan Bumi. Dengan demikian, obyek yang menurut mata telanjang serupa, akan tampak sangat berbeda pada citra satelit. Peta -peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis inderaja maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan. Peta turunan ini dapat berupa zonasi kerentanan banjir, peta zonasi rawan longsor, dan peta zonasi rawan kebakaran hutan. Prose s penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara tumpang susun map overlay untuk menurunkan informasi baru disebut dengan pemodelan spasial. Sistem Informasi Geografi SIG merupakan sistem berbasis komputer yang mampu melakukan pemodelan spasial. 2 http:www.kompas.comkompas -cetak011028iptekpote22.htm Perbedaan antara SIG dengan inderaja terletak pada sumber data utamanya. SIG menggabungkan banyak data spasial yang telah tersedia untuk menurunkan informasi berupa peta baru, sedangkan inderaja langsung membuat peta baru dari suatu citra inderaja, misalnya citra satelit. Hasil keluaran proses inderaja dapat menjadi masukan dalam SIG. Pada berbagai aplikasi lingkungan, pemodelan melalui citra satelit akan kurang handal tanpa disertai SIG. Sebaliknya SIG tanpa inderaja akan kurang berarti karena tidak disertai informasi terbaru yang akurat.

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 . Waktu dan Lokasi Penelitian