90
mahasiswa kelas bilingual. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan menjelaskan pada tiap masing-masing dosen kelas bilingual.
a. Atika Wijaya, SAP. M.Si
Atika Wijaya, SAP. M.Si yang akrab dipanggil Bu Atika ini mengampu 2 mata kuliah pada semester 2 mahasiswa kelas bilingual
tahun angkatan 2011. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas Bu Atika menggunakan dua bahasa dengan proporsi masing-masing. Tahap
opening dan clossing menggunakan Bahasa Inggris, sedangkan pada tahap inti menggunakan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dengan
mempertimbangkan subtansi materi yang ingin disampaikan kepada mahasiswa, seperti yang terekam dalam proses wawancara berikut ini:
“…dalam segi bahasa, kita harus memilih secara kontekstual mana yang bisa menggunakan bahasa asing, dan mana yang
masih harus menggunakan Bahasa Indonesia. Dan untuk konsep- konsep dasar itu saya lebih aman mengunakan Bahasa
Indonesia”. Wawancara tanggal 3 Agustus 2012.
Merujuk pada kutipan wawancara di atas, dalam inti pembelajaran oleh Bu Atika. memperhatikan aspek subtansi materi dengan daya serap
mahasiswa. Materi yang secara kontekstual dapat disampaikan dengan Bahasa Inggris akan disampaikan dengan Bahasa Inggris dan yang masih
harus disampaikan dengan Bahasa Indonesia akan disampaikan dengan Bahasa Indonesia. Dengan demikian, dosen harus pandai memilih mana
yang dapat disampaikan dengan Bahasa Indonesia dan mana yang masih harus disampaikan dengan Bahasa Inggris sehingga, materi dapat
diterima oleh mahasiswa kelas bilingual dengan baik.
91
Ketersampaian subtansi materi dengan baik kepada mahasiswa adalah hal yang terpenting dalam kegiatan belajar. Oleh karena itu, dalam
proses pembelajaran dibutuhkan teknik yang tepat dalam membangun dinamika yang terjadi di dalam kelas. Teknik atau metode yang
digunakan oleh Bu Atika dalam membangun dinamika proses pembelajaran di kelas adalah sebagai berikut:
1 Ceramah Bervariatif
Penciptaan dinamika pembelajaran di kelas bilingual tidak lepas dengan menggunakan metode ceramah. Metode ini digunakan
oleh Bu Atika untuk menyampaikan hal pokok dari materi. Ceramah dikemas dengan sevariatif mungkin dan menggunakan media yang
semenarik mungkin dengan mempertimbangkan efek keterserapan materi pada mahasiswa. Ceramah yang disampaikan oleh Bu Atika
dalam proses pembelajaran divariasikan dengan berbagai model seperti tanya jawab dan diskusi dengan bantuan berbagai media.
Media yang selalu digunakan oleh Bu Atika dalam mendukung pelaksaan metode ini adalah dengan power point yang ditayangkan di
depan kelas melalui LCD, seperti pada gambar 3:
92
Gambar 3. Penerapan Metode Ceramah dengan Media Power Point Sumber: Dokumentasi Putri tanggal 18 Juli 2012
2 Diskusi
Diskusi sering dilakukan oleh Bu Atika dalam pembelajaran kelas bilingual. Diskusi dilakukan terkait dengan pembahasan materi
sesuai dengan tujuan pembelajaran. Salah satu tujuan dari diskusi sendiri adalah untuk memancing mahasiswa agar berani berbicara
dengan Bahasa Inggris atau Indonesia. Metode diskusi oleh Bu Atika menggunakan berbagai model
dan media pendukung agar proses diskusi dapat menarik perhatian mahasiswa. Adapun model-model pembelajaran yang dilaksanakan
oleh Bu Atika agar diskusi berjalan lancar antara lain adalah diskusi classical dan diskusi kelompok. Diskusi classical secara langsung
dipimpin oleh Bu Atika. dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada mahasiswa disela-sela Bu Atika memberikan
penjelasan terkait dengan materi yang ingin disampaikan, seperti yang dapat dilihat pada gambar 4:
93
Gambar 4. Proses Diskusi Klasikal Sumber: Dokumentasi Putri tanggal 18 Juli 2012
Selain diskusi classical seperti yang telah dijelaskan diatas, Bu Atika juga menggunakan diskusi berkelompok. Diskusi kelompok
dilaksanakan dengan membagi mahasiswa dalam jumlah kelompok, dan biasanya kelompok yang terbentuk adalah sejumlah 5 kelompok
yang masing-masing kelompok berjumlah 5 mahasiswa. Masing- masing kelompok mendapatkan topik yang akan dibahas. Dalam
pelaksanaan model diskusi dengan pembentukan kelompok tematik ini sesuai dengan pengamatan peneliti ketika menyajikan topik yang
dibahas kelompok akan menggunakan Bahasa Inggris, kemudian lambat laun psoses diskusi berlangsung lambat laun pula mahasiswa
akan menggunakan Bahasa Indonesia. Hal tersebut karena dengan menggunakan Bahasa Inggris mahasiswa hanya dapat mengemukakan
pendapatnya dalam skala kecil dan kurang mendalam karena terhambat pada segi bahasa. Oleh karena itu kemudian mahasiswa
memilih untuk menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini dijelaskan
94
secara gamblang oleh mahasiswa kelas bilingual. Salah satunya disampaikan SP 19 dalam proses wawancara:
“Ya takut salah sih Mbak, kalau menggunakan Bahasa Inggris itu misalnya yang mau diomongkon, yang ada di pikiran itu
banyak tetapi dengan menggunakan Bahasa Inggris yang kadang lupa Bahasa Inggrisnya satu kata aja kita jadi lupa trus
nggak jadi diomongin deh. Yang tadinya idenya banyak jadi
cuma segini”. Wawancara tanggal 27 Mei 2012.
Hal tersebut juga terbukti dari pengamatan peneliti bahwa mahasiswa yang menyampaikan argumentnya dengan menggunakan
Bahasa Inggris dan atau mencampurkan Bahasa inggris dan Indonesia hanya 6 mahasiswa. Mahasiswa yang lain masih menggunakan
Bahasa Indonesia. Hal tersebut tidak masalah mengingat bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa asing, sehingga untuk menggunakanya
butuh pembiasaan. Metode diskusi kelompok dirasakan oleh Bu Atika sangat
efektif diterapkan pada mahasiswa kelas bilingual karena selain dapat memancing mahasiswa untuk aktif berbicara atau mengeluarkan
pendapat, dalam proses wawancara Bu Atika 28 mengatakan: “. . . . Sangat-sangat efektif dibentuk kelompok tematik untuk
diskusi itu, karena, kan cuma 5 kelompok biasanya, nah itu sangat berjalan dengan baik. Tidak seperti di kelasyang besar
kelompoknya kan juga besar pula, biasanya tidak akan berjalan efektif. Paling cm beberapa saja yang mau mendengarkan apa
yang dipaparkan oleh kelompok lain. Yang lain ya yang belakang-belakang pojok itu tetep gemremeng dewe ngobrol
sendiri. dan juga butuh waktu lama kalau di kelas
yang besar”. Wawancara tanggal 3 Agustus 2012.
95
Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa dengan jumlah mahasiswa kelas bilingual yang hanya 25 mahasiswa atau 50 dari
jumlah mahasiswa di kelas non bilingual menjadikan jumlah kelompok tidak terlalu banyak dan jumlah masing-masing kelompok
tidak terlalu besar pula sehingga diskusi dapat berjalan dengan baik. Hal ini berarti jika kelas non bilingual dipecah jumlahnya seperti di
kelas bilingual, proses pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi kelompok akan berjalan efektif pula.
b. Hartati Sulistiyo Rini, S.Sos, M.A