Persoalan pembentukan undang-undang legislature

Persoalan-persoalan tersebut meliputi persoalan hubungan lembaga-lembaga negara pada tiap-tiap cabang kekuasaan negara, dan hubungan lembaga negara dengan lembaga negara lain dalam sistem ketatanegaraan negara Indonesia. Salah satu persoalan pokok suatu negara demokrasi adalah persoalan kekuasaan, utamanya persoalan kewenangan atau wewenang. 137

1. Persoalan pembentukan undang-undang legislature

Pembagian kekuasaan meliputi kewenangan lembaga-lembaga negara pada tiap-tiap cabang kekuasaan negara, dan hubungan lembaga-lembaga negara tersebut dengan lembaga- lembaga negara lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Instrument terpenting dalam suatu negara adalah adannya badan legislatif, yaitu DPR dan DPD yang memiliki fungsi dan perang masing-masing dalam rangka mengatasi persoalan ketatanegaraan Indonesia. Ada tiga persoalan ketetatanegaraan menyangkut keberadaan DPD sebagai lembaga kedua legislatif, diantaranya antara lain: Dalam negara yang demokrasi, format keterwakilan rakyat yang ideal dalam negara menjadi sesuatu yang sangat penting. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat merupakan konsekuensi logis dari dari sistem demokrasi. Konstitusi sebagai hukum dasar harus mampu menjawab kebutuhan tersebut. Setiap lembaga yang menjadi representatif dalam penyelenggaraan negara harus diatur dan dimuat dalam konstitusi. 138 137 S.F Marbun, loc.cit h. 1. Salah satu persoalan yang mencuat adalah pembagian kewenangan DPR dan DPD, baik kewenangan dibidang legislasi, pengawasan, dan anggaran. 138 Charles Simabura, ibid, h. 1 Universitas Sumatera Utara Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor: 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU tersebut harus membuka ruang peran DPD untuk ikut membahas RUU tertentu, dalam pembahasan yang dilakukan DPD dengan pemerintahan daerah privinsi dan daerah kabupatenkota, dalam artian adanya lembaga khusus dalam suatu daerah provinsi atau kabupatenkota untuk memperkuat otonomi daerah dan penguatan sistem negara kesatuan dengan prinsip desentralisasi. Dimana adanya dialog antara DPD dengan Pemerintahan Daerah, sehingga adanya hasil berupa pengajuan hak daerah yang mana akan menjadi tugas DPD dipusat. Pengajuan hak daerah tersebut tidak sama dengan hak ”mengajukan RUU”, tapi pengajuan hak daerah tersebut menjadi kewenangan DPD dalam mengajukan RUU setelah hak pengajuan dari daerah di sepakati oleh anggota DPD. Maka akan memberikan peran dan kewenangan kepada DPD secara kuat sebagai lembaga perwakilan daerah dalam parlemenlegislatif. Suatu lembaga perwakilan dikatakan dua kamar biasanaya apabila kedua kamar itu mempunyai kedudukan, fungsi dan hak yang sama untuk membentuk undang-undang sebagai lembaga legislatif. Akan tetapi sistem bekameral yang dianut Indonesia saat ini justru berbeda dengan artian sebenarnya. 139 Secara umum Bagir Manan mengemukakan bahwa memperhatikan ketentuan- ketentuan baru dalam UUD NRI 1945, tidak nampak perwujudan gagasan sistem dua kamar. Kalau dalam UUD 1945 sebelum amandemen hanya ada dua badan 139 Pusat Pengkajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Konstruksi Perwakilan Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan Universitas Brawijaya, Malang, Agustus 2009, h. 45 Universitas Sumatera Utara perwakilan tingkat pusat yang terpisah, sekarang malahan menjadi tiga badan perwakilan. 140 Terhadap hal-hal lain, kekuasaan pembentukan undang-undang hanya ada pada DPR RI dan pemerintah. Dengan demikian, rumusan baru UUD NRI 1945 tersebut tidak mencerminkan gagasan mengikutsertakan derah dalam menyelangarakan seluruh praktek dalam pengolahan negara. Hal ini merupakan sesuatu yang ganjil ditinjau dari konsep perwakilan dua kamar. Dalam sistem bikameral murni pure becameralis atau strong bicameralism, DPR RI dan DPD RI sama-sama mempunyai fungsi setara dan setigkat di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dengan sistem perwakilan bikameral, sebagian atau seluruh rancangan perundangan-undangan RUU memerlukan pembahasan dan persetujuan kedua lembaga perwakilan tersebut. 141 Walaupun sistem bikameral sendiri bervariasi dalam negara federal dan negara kesatuan, tetapi prinsip-prinsip yang dianut relatif sama, yaitu DPR atau lower house bekerja sama konstituen nasional atau federal, sedangkan DPD atau upper house bekerja untuk konstituen daerah atau perwakilan daerah. 142 Dalam sistem bikameral murni, DPD atau upper house bisa memveto atau menolak setiap undang-undang yang dihasilkan oleh DPR lower house walaupun 140 Bagir manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, h. 5 141 Sirajuddin, dkk, membangun Konstituen Meeting Mempertemukan Kepentingan daerah dengan Keterbatasan Wewenang DPD Yappika Jakarta, Kerjasama MCW Malang, 2006, hlm 32 142 Ibid Universitas Sumatera Utara veto atau penolakan itu bisa gugur apabila upper house bisa mencapai mayoritas minimum atau maksimum untuk diajukan kembali. 143 Melihat ketentuan-ketentuan tentang DPD RI tersebut di atas, jelas bahwa dalam sistem bikameral Indonesia susunan dan kedudukan antara DPR RI dan DPD RI tidak setara. Dimana untuk menentukan susunan dan kedudukan, DPD RI tidak mempunyai kekuasaan. Pasal 20 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap rancangan undang-undang RUU dibahas oleh DPR RI dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ini jelas bahwa tugas dan kewenangan DPD tidak setara. 144 Di samping DPD harus menjalankan amanat konstitusi dengan melaksanakan tugas sesuai amanat dari konstitusi, secara berlanjut berjuang agar memiliki peran, fungsi dan kewenangan yang lebih kuat sebagai lembaga parlemen dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah serta dalam rangka penguatan demokrasi di Indonesia. Untuk itu DPD telah berupaya mengusulkan perubahan UUD khususnya pasal 22 D. Ini artinya diperlukan mengamandemen lagi UUD 1945. Hal ini dimungkinkan sebagaimana ketentuan pasal 37 ayat 1 UUD 1945. Usul itu tersebut dilandasi pertimbangan, bahwa DPD memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, karena itu seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi. Usul pemberian kewenangan yang memadai itu karena DPD sebagai lembaga negara kedudukannya sama dengan lembaga negara lainnya. Dengan 143 H.R daeng naja, Dewan Perwakilan Daerah-Bikameral setengah Hati, Media Pressindo, Yogyakarta, 2004, h. 32 144 Sirajuddin, dkk, Membangun Konstituen Meeting Mempertemukan Kepentingan daerah dengan Keterbatasan Wewenang DPD, Yapika Jakarta Kerjasama MCW Malang, 2006. h. 33 Universitas Sumatera Utara kewenangan yang sangat terbatas, mustahil bagi DPD untuk memenuhi harapan masyarakat dan daerah karena dalam suara vokal, DPD tetap kalah jumlah dalam mengambil keputusan dalam peranannya sebagai anggota MPR. Peran DPD tidak dapat dipandang kecil. Legalitas DPD dalam konstitusi memberi corak makna yang besar terhadap perannya sebagai lembaga negara. Tidak mungkin dengan peran yang kecil suatu lembaga negara di tampung eksistensinya dalam konstitusi. Mungkin yang lebih tepat dikatakan perannya adalah terbatas bukan kecil. Dengan peran yang terbatas itu akan memiliki gaung dan manfaat yang besar jika peran anggota DPD dapat dimaksimalkan. Fungsionalisasi DPD akan maksimal paling tidak harus didukung oleh beberapa faktor: 145 a. Sumber daya manusia yang berkualitas. b. Memiliki kepekaan dan sense of belongingterhadap konstituen dan rakyat. c. Sarana dan prasarana yang memadai. d. Mengerti hukum dan politik serta pengetahuan legal - drafting. 2. Persoalan pengangkatan dan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden Hubungan MPR, DPR dan DPD dalam pengangkatan dan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. MPR dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan presiden danatau wakil presiden, proses tersebut hanya bisa 145 Ramly Hutabarat, Otoritas Dan Peran DPD Kini Dan Masa datang, http:www.djpp.depkumham.go.idincbuka.php?czozNToiZD1hcisxJmY9b3Rvcml0YXMtZGFuLX BlcmFuLWRwZC5odG0iOw ==, diakses 24 April 2012 Universitas Sumatera Utara dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan ke MPR. Dalam hal pemberhentian presiden danatau wakil presiden dalam masa jabatan diatur dalam Pasal 38 Ayat 1, dan 2 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD bahwa : 146 Dalam hal MPR memutuskan memberhentikan Presiden danatau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden danatau Wakil Presiden berhenti dari jabatannya” dan “Dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan Presiden danatau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden danatau Wakil Presiden melaksanakan tugas dan kewajibannya sampai berakhir masa jabatannya”, sedangkan dalam hal pengambilan keputusan diatur dalam Pasal 62 huruf a, b, dan c bahwa Sidang MPR dapat mengambil keputusan apabila : a dihadiri sekurang-kurangnya 23 dua pertiga dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50 lima puluh persen ditambah 1 satu anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b dihadiri sekurang-kurangnya 34 tiga perempat dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurangkurangnya 23 dua pertiga dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden danatau Wakil Presiden; 146 Yusdar, dkk, Format Kelembagaan Dan Pola Hubungan MPR dengan DPR Dan DPD Pasca Amandemen UUD Tahun 1945, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, h. 7-9 Universitas Sumatera Utara c dihadiri sekurang-kurangnya 50 lima puluh persen dari jumlah anggota MPR ditambah 1 satu anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50 lima puluh persen dari jumlah anggota ditambah 1 satu anggota MPR yang hadir untuk sidang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Dalam kedudukan yang demikian, hakekatnya MPR merupakan majelis persidangan diambil oleh anggota parlemen Indonesia sebagai anggota MPR. Karena MPR terdiri atas anggota DPD dan anggota DPR, meskipun tidak sepenuhnya DPD juga melaksanakan fungsi-fungsi MPR, seperti mengubah dan menetapkan UUD NRI Tahun 1945, serta memilih presiden danatau wakil presiden dalam hal terjadi kekosongan ditengah masa jabatan. Dapat dilihat jelas bahwa di satu sisi DPD dapat menjadi ”pengimbang” bagi DPR dalam forum sidang MPR, dan sebagai lembaga penasehat bagi DPR karena jumlah anggota DPD dibatasi paling banyak sepertiga anggota DPR dan segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak. Artinya kemampuan vokalsuara DPD dirancang agar tidak dapat mempengaruhi kebijakan politik dari DPR. Sedangkan pola hubungan antara DPR dengan DPD dalam hal fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 223 ayat 1 bahwa : a Pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam Universitas Sumatera Utara dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; b ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; c pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan d pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Berkaitan hubungan dalam hal dengan tugas dan wewenang diatur dalam Pasal 224 ayat 1 bahwa : a. Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; Universitas Sumatera Utara b. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a; d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undangundang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan Negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN; h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan Universitas Sumatera Utara i. ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan fenomena tersebut dapat dilihat bahwa dalam konteks ketatanegaraan Indonesia DPD dibentuk untuk meningkatkan keterwakilan daerah dalam proses pengambilan keputusan politik peyelenggaraan negara dengan harapan agar tercipta integritas bangsa yang kokoh dalam bingkai NKRI. Dengan terbentuknya DPD maka aspirasi-aspirasi daerah diharapkan dapat terakomodasi, artinya kepentingan-kepentingan daerah mendapat perhatian, tinggal sejauh mana DPD dapat berperan mewakili daerah dalam pengambilan keputusan di pusat, tentunya sangat tergantung pada moralitas komitmen dan kualitas anggota-anggota DPD itu sendiri untuk benar-benar mengerti masalah-masalah yang ada di daerah disamping itu, sejauh mana sistem ketatanegaraan atau konstitusi menggariskan kekuasaan, tugas dan wewenang DPD dalam proses pengambilan keputusan politik di tingkat nasional khususnya keputusan-keputusan politik yang berkaitan dengan daerah.

3. Persoalan kewenangan pemilihan pimpinan lembaga Yudikatif