HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

lukisan pertama dengan ide tema, bentuk dan warna yang sama. Pengulangan pada kedua lukisan Dian ini dapat digolongan sebagai gejala Stereotype total dimana semua pengulangan baik tema, objek dan unsur dari lukisan pertama diturunkan sama persis pada lukisan berikutnya. Perulangan total ini tidak hanya di satu lukisan namun di lain pertemun pun stereotype total ini tetap muncul. Setereotype pada ke dua lukisan ini muncul karena kemauan anak untuk melukis dengan bentuk, warna, dan tema yang sama. Anak bangga dengan lukisan pertamanya yang berhasil mendapatkan nilai baik sehingga anak mencoba menggambarkan kembali semua bentuk objek pada lukisan keduanya. Guru dalam hal ini juga tidak memberikan masukan saat anak melukis agar melukiskan bentuk lain dalam lukisan yang kedua. Gambar 18: Lukisan Aji, SD N Pasuruhan 01, Prahu Layar Lukisan pertemuan pertama Lukisan Gambar 18 adalah lukisan Aji dengan tema “Perahu Layar”. Pertemuan pertama aji melukis dengan pensil warna dengan melukis objek utama adalah kapal yang diberi warna coklat dan bagian layarnya diberi warna kuning. Lukisan pertama gambar 18 menceritakan kapal layar sedang melaju sore hari sehingga pada langitnya diberi warna orange. Lukisan gambar 18 terlihat nampak penggoresan bentuk kapal yang masih ragu dan kurang berani memunculkan objek yang jelas, dalam pemberian warna terlihat jelas bahwa anak masih ragu untuk mewarnai lukisanya sehingga anak lebih senang tidak menampilkan objek dengan jelas dengan memberi warna tipis-tipis. Lukisan pertemuan pertama terlihat Stereotype perulangan objek pada gambaran burung yang di gambar sama baik dari segi bentuk dan warna. Ditinjau dari segi pewarnaan, pemberian warna antara bidang satu dengan yang lainya menggunakan warna kuning tua yang sama hal ini terjadi karena anak belum menguasai teknik pewaranaan yang benar. Gambar 19: Lukisan Aji, SD N Pasuruhan 01, Prahu Layar Lukisan pertemuan kedua Lukisan kedua Aji Gambar 19 meceritakan tema yang sama dengan lukisan pertamanya hal ini disimpulkan lukisan Aji terdapan gejala Stereotype total dimana perulangan terjadi pada tema, bentuk kapal, letak kapal dan pewarnaan pada kapal. Media pewarna yang digunakan pada pertemuan kedua ini adalah cat air sehingga lukisan yang dihasilkan warnanya lebih terang dari pada lukisan pertama. Pada lukisan ke dua aji sudah berani memunculkan objek dengan garis dan goresan yang jelas. Pada lukisan gambar 19 dapat di lihat bahwa Aji melanjutkan cerita lukisan pertama yaitu perahu melaju sore hari dan pada lukisan kedua melanjutkan cerita perahu yang melaju siang hari sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa karakteristik komik dalam lukisan Aji masih sangat jelas terlihat. Selain perulang total pada lukisan gambar 19 ini juga nampak Stereotype perulangan objek dimana penggambaran burung yang berulang-ulang dimunculkan dengan bentuk ukuran dan warna yang sama. Perulangan juga nampak pada penggambaran layar kapal pada lukisan ini juga di bentuk dengan perulangan-perulangan bidang yang sama disusun ke atas dengan volume ukuran yang berbeda namun bentuk sama dan bentuk layar yang berdampingan digmbarkan persis dengan ukuran gambar yang sama.

2. SD N Pasuruhan 02

SD N Pasuruhan 02 merupakan sekolah dasar yang menurut pembagian dari wilayaah Dabin Daerah Bimbingan masuk pada daerah bimbingan dua. Penelitian di SD N Pasuruhan 02 ini difokuskan pada kelas IV. Gejala stereotype pada lukisan di SD N Pasuruhan 02 ini ditemui hampir pada semua siswanya. Stereotype perulangan yang ditemui disini ada dua yaitu perulangan total dan perulangan objek. Gambar 20: Lukisan Huda, SD N Pasuruhan 02, Anjing Laut Lukisan pertemuan pertama Lukisan pada Gambar 20 adalah lukisan tema “Anjing Laut”. Lukisan Huda menggambarkan suasan pantai dengan anjing laut sedang bermain bola yang ada dimulutnya. Di tinjau dari bentuk lukisan pada gambar 20 terdapat Stereotype perulangan objek yaitu bentuk pada bintang laut yang digambarkan dengan bentuk sama dan kerang laut yang dibentuk sama persis dengan ukuran yang sama. Perulangan ini dibuat untuk menghasilkan irama dan kesatuan dalam lukisan Huda yang bertemakan “Anjing Laut”. Perulangan objek lain yaitu pada burung yang di gambar dengan bentuk, ukuran, warna bahkan posisi yang sama. Perulangan objek pada kerang ini muncul karena guru tidak memberikan saran dan motivasi kepada anak untuk menggambarkan benda lain atau objek yang sama dengan bentuk yang berbeda. Gambar 21: Lukisan Aji, SD N Pasuruhan 02, Anjing Laut Lukisan pertemuan kedua Perulangan selanjutnya terjadi pada lukisan kedua Huda, dapat di lihat pada gambar 21. Gejala Stereotype objek pada lukisan kedua Huda adalah perulangan bentuk bintang laut dan kerang yang dibentuk berulang dalam satu lukisan. Selain itu, lukisan gambar 21 ini menceritakan tema yang sama, bukan hanya tema bentuk dan warnanya pun sama persis dengan lukisan pertama gambar 20 lukisan Huda. Stereotype pada lukisan Huda gambar 21 dapat dikatakan Stereotype total sebab dari cara dia memilih tema yang sama dengan tema yang pernah Huda buat sebel umnya yaitu tema “Anjing laut” pada gambar 20 selanjutnya ditinjau dari bentuk anjing laut menghadap kanan dengan bola dimulutnya selain itu dari segi cara menciptakan harmoni dengan hiyasan yang sama dengan gambar sebelumya yaitu memberi objek bintang laut dan kerang. Stereotype total nampak juga dari penggambaran pohon kelapa di samping kanan dan matahari di sela-sela awan sama persis dengan lukisan pertama dari segi warnapun Huda masih menggunakan warna yang sama dengan gambar yang sebelunya. Hasil wawancara dengan Huda, ia mengemukakan bahwa iya menyukai pantai sehingga dia selalu menggambar dengan tema pantai dan gambar yang paling mudah menurutnya adalah gambar ajing laut sehingga hasil lukisannya dari pertemuan pertama dan kedua bahkan sebelumya dengan tema sama dan bentuk sama. Contoh selanjutnya adalah lukisan dari lukisan Amar yang selalu melukis dengan tema dan bentuk yang sama berikut lukisan amar dengan tema kapal. Pada setiap lukisan amar ini terlihat perulangan objek bentuk awan dan burung yang pada setiap lukisanya digambarkan dengan bentuk yang sama secara berulang. Gambar 22: Lukisan Amar, SD N Pasuruhan 02, Kapal Lukisan pertemuan pertama Gambar 23: Lukisan Amar, SD N Pasuruhan 02, Kapal Lukisan pertemuan kedua Gambar 24: Lukisan Amar, SD N Pasuruhan 02, Kapal Lukisan pertemuan Ketiga Goresan lukisan Amar ini cenderung tidak berani sebab dalam setiap lukisanya Amar selalu menggunakan penggaris dalam membuat lukisan. Ditinjau pada gambar 22, 23 dan 24 lukisan pada masing-masing lukisan yang dibuat amar selalu mengulang objek bentuk pada setiap lukisanya. Terlihat dari gambar 22 Amar mengulang objek awan dan burung begitupun pada lukisan gambar 23 dan 24 objek bentuk awan dan burung ini diulang secara terus meneru dengan bentuk yang sama. Ditinjau dari ketiga lukisan gambar 22, 23, dan 24 lukisan-lukisan Amar memiliki tema yang sama yaitu tema kapal ini dapat disimpulkan jika Amar memiliki gejala Stereotype total pada lukisanya karena selain pada tema kapal yang sama lukisan Amar juga memiliki bentuk yang sama, ukuran yang sama bahkan warna yang digunakan pun rata-rata sama. Perulangan secara terus menerus pada lukisan Amar ini menunjukan bahwa guru tidak memperhatikan kreativitas siswanya dalam melukis, jelas terlihat pada hasil lukisan yang berulang-ulang dan hasil nilai yang sama pada hasil karya yang dibuat amar. Pada pertemuan pertama gambar 22 guru memberikan nilai 80 hal ini membuat anak menjadi bangga dan menciptakan lukisan yang sama pada pertemuan kedua. Pada lukisan kedua Amar beruaha melukiskan kembali bentuk dan tema yang sama dengan harapan mendapat nilai yang lebih baik, ternyata pada pertemuan kedua guru memberikan nilai 80 sama seperti pertemuan pertama sehingga Amar merasa bahwa dia berhasil melukis dengan tema dan betuk sama, hal inilah yang menyebabkan Amar termotivasi untuk melukiskan bentuk dan tema yang sama pada setiap lukisannya. Gejala Stereotype ini harus diperhatikan siswa seperti Amar ini harus mendapat bimbingan yang tepat agar lukisannya tidak sama dan tidak itu-itu saja karena jika terus seperti itu amar tidak akan berkembang dan kreativ dalam melukis. Contoh lain ada lukisan dari Febi yang melukis selalu dengan tema pengalamanya jadi setiap gambar menceritakan pengalaman hidup sehari-hari seperti ulang tahun, jalan-jalan dan bermain dengan teman dekatnya. Dia tergolong kreatif karena gambar yang dihasilkannya berbeda-beda sesuai dengan yang dia alami dan dia rasakan. Namun, dalam penggambaran dirinya dia selalu menggambarkan dengan gaya yang sama bisa dilihat pada lukisan di bawah ini Gambar 25: Lukisan Febi, SD N Pasuruhan 02, AKU Lukisan pertemuan Pertama Dari lukisan di atas dapat di lihat lukisan Febi menceritakan tentang dirinya yang sedang jalan-jalan bertemu dengan sahabatnya. Febi disini di gambarkan dengan wajah segitiga dan rambut ditarik ke samping kanan. Pada lukisan ini Stereotype nampak pada perulangan objek awan yang digambarkan dengan bentuk sama walaupun memiliki ukuran yang berbeda. Perulangan lain pada objek manusia yang digambarkan dengan bentuk sama dengan sealalu menggunakan rok pada setiap objek orangnya. Hal ini dapat terjadi kareana kurangnya penguasaan bentuk. Gambar 26: Lukisan Febi, SD N Pasuruhan 02, AKU Lukisan pertemuan Kedua Dalam gambar 26 Febi menceritakan bahwa dirinya sedang jalan-jalan kepantai bersama dengan adiknya. Febi disini masih digambarkan dengan wajah segitiga dan rambut diikat ke samping kanan seperti pada lukisan pertama gambar 25, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Febi ini mengalami gejala stereotype objek pada lukisanya karena dia menggambarkan satu bentuk orang yang sama pada lukis annya yang bertema “Aku”. Pengulagan objek pada lukisan gambar 26 ini juga terlihat pada penggambaran awan yang memiliki bentuk uang sama dengan ukuran yang berbeda. Selanjutnya pada penggambaran manusia yang dibuat sama persis hanya diberi warna berbeda u ntuk membedakan “Aku” dan orang lain. Kesimpulanya Febi mengalami gejala Stereotype perulangan objek dengan kecenderunganya menggunakaa tema “Aku” dan menggambarkan ”Aku” dengan bentuk yang sama dalam setiap lukisanya. Contoh selanjutnya adalah lukisan Rendi salah satu siswa kelas IV yang kalau diperintahkan menggambar bebas dia langsung melihat dan mencontoh gambar dari kamus bergambar. Lukisan yang paling sering dia jadikan objek dalam lukisanya adalah gambar burung. Pertemua pertama sampai ketiga ditugaskan melukis bebas Rendi ini selalu melukis dengan tema burung dengan bentuk yang sama. Walaupun telah diberikan arahan dan contoh lain dalam suatu lukisa rendi ini tetap melukis burung. Berikut ini adalah contoh lukisan Rendi Gambar 27: Lukisan Rendi, SD N Pasuruhan 02, Merpati Lukisan pertemuan pertama Pada lukisan di atas Rendi berusaha meggambarkan objek burung mirip dengan bentuk aslinya sehingga terlihat jelas goresan yang ragu. Pada lukisan ini Rendi dapat dikatakan belum kreatif sebab Rendi belum bisa menciptakan keseimbangan dalam lukisannya, nampak pada gambar 27 dia hanya menggambarkan objek utama burung tanpa menggambarkan ada objek pendukung lain seperti pohon. Gambar 28: Lukisan Rendi, SD N Pasuruhan 02, Merpati Lukisan pertemuan kedua Gambar 29: Lukisan Rendi, SD N Pasuruhan 02, Merpati Lukisan pertemuan ketiga Dalam lukisan pertamanya Rendi melukiskan burung yang sedang hinggap dan melihat keadaan sekitar. Objek burung ini diambil dari mencontoh gambar yang ada pada buku yang kemudian dituangkan pada kertas lukisnya. Burung yang digambarnya hanya satu seperti pada contoh gambar yang ada di buku tanpa ada objek pendukung lain sehingga terkesan lukisanya kurang hidup. Goresan Rendi nampak pada lukisan pertama terlihat jika Rendi masih ragu dan kurang bisa mengembangkan kreativitasnya. Pengulangan objek lukisan burung ini dilukiskan kembali oleh Rendi pada lukisanya yang ke dua dengan tema dan bentuk burung yang sama. Pada pertemuan kedua Gambar 28 Rendi tetap melukis dengan tema gambar burung yang sama bertenggar dan mengahadap kekiri sama dengan lukisan pertama. Bentuk objek yang Rendi lukis pada pertemuan kedua ini hampir mirip dengan pertemuan pertama hanya saja diberi warna berbeda. Di awal objek utama diberi warna merah dan pertemuan kedua objek diberi warna kuning. Pada pertemuan ketiga ini semua anak sudah diberikan contoh kemudian diberi cara dan teknik melukis dan kemudian diperintahkan untuk melukis bebas lagi. Pada lukisan Rendi yang ketiga dia tetap melukiskan burung yang bertenggar dengan bentuk burung yang sama dan posisi sama bahkan dari segi pewarnaan pun sama. Namun ada sedikit perkembangan sebelumnya Rendi menggambarkan burung saja sekarang sudah diberi backgraund pohon dan tempat burung bertenggarpun sudah digambarnya, walau begitu lukisan Rendi ini masih tergolong nampak gejala stereotype total. Gejala Stereotype total ini terlihat dari tema dan bentuk serta ukuran burung yang selalu digambarkan sama pada setiap lukisanya. Perulangan tema pada ketiga lukisan Rendi menunjukan bahwa anak belum menguasi bentuk lain sehingga belum berani untuk membuat bentuk lain. Gambar 30: Lukisan Winda, SD N Pasuruhan 02, Pemandangan Lukisan pertemuan pertama Gambar 31: Lukisan Winda, SD N Pasuruhan 02, Pemandangan Lukisan pertemuan kedua Pada lukisan Gambar 30 nampak stereotype perulangan objek pada bentuk rumput dan pohon yang digambarkan dengan bentuk sama dan warna sama. Perulangan objek juga terlihat pada bentuk awan yang digambarkan dengan goresan bentuk sama dan berulang. Lukisan ini menunjukan bahwa Winda masih kurang dalam penguasaan bentuk karena perulangan objek dan bentuk-bentuk tertentu masih banyak dijumpai dalam lukisanya. Lihat pada lukis pertemuan pertama Gambar 30 dia melukis pemandangan gunung satu dengan jalan dan pohon disampingnya. Pada pertrmuan kedua pun lida melukis dengan tema dan bentuk yang sama persis dengan gambar pertama. Setelah diteliti Linda ini merasa berhasil melukis dengan mendapatkan nilai bagus dari pada temanya, dengan begitu dia mencoba mengulangnya melukis objek yang sama persis dengan harapan mendapat nilai yang lebih sempurna atau setidaknya nilai yang sama. Kedua lukisan gambar 30 dan 31 nampak jelas bahawa lukisan Linda ini mengalami gejala Stereotype total dengan mengulang objek yang pernah digambar sebelumnya baik tema, bentuk dan warna. Stereotype total ini muncul karena anak bangga dengan nilai yang diberikan guru sehingga anak mengulang lagi lukisanya dengan harapan mendapat nilai lebih sempurna, namun dalam lukisan ke dua Winda mendapat nilai 78 dengan harapan guru anak tidak Stereotype lagi dalam lukisannya.

3. SD N Widarapayung Wetan 01

SD N Widarapayung Wetan 01 ini masuk ke dalam wilayah dabin daerah bimbingan tiga. SD N ini merupakan SD N yang memiliki prestasi dalam bidang seni khususnya batik. Pencapaian terakhirnya terakhir menjadi juara 2 dalam lomba batik dikabupaten Cilacap. Penelitian dilakukan di kelas IV. Gejala stereotype yang banyak dijumpai disini adalah kecenderungan mereka melukis dua gunung kembar dengan jalan dan sawah dipinggirnya. Hampir satu kelas jika diperintahkan melukis bebas selalu melukis pemandangan pegunungan. Penyebab siswa rata-rata melukis pemandangan gunung ini karena mereka kurang kreatif dan cenderung malas memikirkan ide baru dalam lukisan serta malas dalam belajar melukis dengan tema baru. Gambar 32: Lukisan Gilang, SD N Widarapayung 01, Pemandangan Lukisan pertemuan pertama Gambar 33: Lukisan Gilang, SD N Widarapayung 01, Pemandangan Lukisan pertemuan kedua Pada lukisan Gambar 32 lukisan Gilang ini memiliki tema pemandangan gunung dalam lukisan pertama ini terdapat beberapa pengulangan objek. Pertama pada objek pohon yang berjajar diulang dengan bentuk yang sama dan ukuran yang sama. Kedua terdapat pengulangan pada batu yang berjajar di bawah gunug dengan bentuk yang hampir sama dan disusun berjajar dan warna yang sama. Pada gambar 33 terlihat Gilang melukis dengan mengulang bentuk yang sama dan tema yang sama seperti pada lukisan gambar 32. Dari kedua lukisan dapat disimpulkan jika gilang memang termasuk siswa tidak kreatif. Dalam lukisanya ini nampak gejala stereotype total diamana dia masih mengulang tema bentuk dan warna dalam lukisanya. Lukisan ke dua Gilang sedikit berbeda pada bagian bawah lukisan gilang, namu masih dalam satu komponen tema dan bentuk yang sama. Gambar 34: Lukisan Milati, SD N Widarapayung 01, Pegunungan Lukisan pertemuan pertama Pada lukisan gambar 34 terlihat gejala Stereotype pada bentuk padi yang digambarkan dengan huruf “V” secara berulang. Pengulangan ini dinamakan perulangan objek dimana anak mengulang bentuk ketika anak harus melukis atau menggambarkan objek yang banyak pada suatu lukisan, selanjutnya pada rumput yang mengulang garis zig-zag sehingga membentuk rumput dan diberi bunga dengan bentuk yang sama. Pengulan objek pada lukisan Gambar 34 lebih cenderung pada perulangan bentuk dalam ukuran kecil sehingga Milati lebih bisa melukiskan dalam bentuk sama dari pada menciptakan bentuk lain yang berbeda. Perulangan seperti ini masih banyak dijumpai pada lukisan anak SD bahkan pada anak SMP dan SMA masih sering dijumpai juga. Gambar 35: Lukisan Milati, SD N Widarapayung 01, Pegunungan Lukisan pertemuan kedua Pada lukisan kedua ini Milanti melukis dengan tema sama yaitu “pegunungan”. Lukisan pada Gambar 35 ini terdapat pengulangan objek pada penggambaran rumput yang digambar menggunakan unsur garis zig-zag secara berulang untuk menbentuk rumput dilukis berulang dibeberapa tempat untuk menciptakan kesatuan dalam lukisan pegunungan ini. Gambar 36: Lukisan Milati, SD N Widarapayung 01, Pegunungan Lukisan pertemuan ketiga Gambar 36 terdapat stereotype pengulangan objek pada bentuk gambar burung yang digambarkan dengan bentuk dan goresan yang sama secara berulang dan berjajar. Diamati dari gambar 34,35, dan 36 dapat ditarik kesimpulan ketiga lukisan Milati ini adalah terdapat gejala Stereotype perulangan objek dimana anak cukup kreatif dalam mengembangkan ide dalam lukisan akan tetapi masih dalam satu tema “pegunungan” namun sudah mampu menciptakan bentuk-bentuk yang berbeda dalam setiap lukisanya. Selain itu nampak beberapa pengulangan bentuk hanya pada bagian objek tertentu. Perulangan objek yang dibuat dalam setiap lukisan ini digunakan untuk menciptakan harmoni yang berbeda. Bukan hanya ketiga lukisan saja namun pada lukisan lain Milati masih kedapatan mengulang tema pada lukisannya hal ini terjadi karena kurangnya penguasaan bentuk dan guru kurang memberikan motivasi dan contoh-contoh lukisan lain dalam mengajar. Gambar 37: Lukisan Devinda, SD N Widarapayung 01, Jerapah Lukisan pertemuan pertama Lukisan di atas merupakan lukisan salah satu siswa bernama Devinda. Lukisan Devinda bertemakan “Jerapah”. Pada tugas lukis pertama ini lukisan Devinda megambarkan suasana taman binatang dimana digambarkan hewan- hewan seperti Jerapah, angsa, ikan dan kupu-kupu namun, yang menjadi objek utama adalah Jerapah sehingga penggambaran jerapah ini dibuat paling menonjol dalam lukisan. Lukisan ini nampak indah lagi dengan pemberian warna yang menarik pada lukisannya. Ditinjau dari lukisan pertama Devinda tambak ingin menonjolkan objek jerapah saja namun karena penguasaan bentuk kurang dikuasai akhirnya dia menambahkan objek lain seperti kupu dan kolam. Devinda memilih objek jerapah pada lukisan ini karena dia baru bisa membuat objek jerapah sehingga dia senang memunculkan objek jerapah pada lukisan pertamanya. Gejala Stereotype pengulangan yang ditemui pada lukisan ini adalah pengulangan objek pada bunga yang dilukiskan secara berulang dengan bentuk yang sama. Pengulangan juga nampak pada lingkaran yang ada pada badan jerapah yang dibuat berulang dengan bentuk yang sama dan ukuran yang beragam padahal jika guru memberikan contoh dan mengajarkan pada anak untuk menganalisis gambar jerapah asli Stereotype bentuk lingkaran tidak akan muncul pada lukisan ini. Gambar 38: Lukisan Devinda, SD N Widarapayung 01, pegunungan Lukisan pertemuan kedua Pada pertemuan kedua lukisan Devinda terpengaruh oleh teman lain yang melukis dengan tema pemandangan gunung akhirnya dia mengikuti tema teman dengan pemandangan gunung selain itu dia juga menambahkan objek lukisan jerapah yang pernah digambar pada pertemuan pertama “gambar 37” dengan bentuk yang sama persis dan warna yang sam hanya berbeda ukuranya saja. Lukisan Devinda dapat digolongkan terkena gejala Stereotype sebagian atau pengulangan objek yaitu pada bentuk jerapah yang pernah dia gambar sebelumnya. Lukisan gambar 38 kedapatan pengulangan objek pada bentuk gunung yang digambarkan dengan bentuk bidang segitiga yang sama baik dari bentuk, ukuran, dan warna. Dalam lukisan 38 Devinda membuat perulangan objek gunung berbeda dari temanya, dia menggambarkan objek gunung tiga dengan bentuk dan ukuran yang sama selain itu penggambaran bentuk awan yang goresan bentuk satu dengan yang lainya sama, dengan ukuran yang beragam. Bentuk bunga yang ada pada kotak-kotak orange di gambar pada bidang segi empat yang sama bentuk dan ukuranya dengan bunga ditengahnya yang bentuknya dari keempat bunga tersebut sama semua. Gambar 39: Lukisan Amel, SD N Widarapayung 01, bangau Lukisan pertemuan pertama Ditinjau pada lukisan di atas Amel menceritakan tentang bangau yang menjadi objek utama yang berada di pinggir kolam. Lukisan ini berusaha menunjukan kesan naturalis dengan memberikan gambaran alam nyata dan natural. Goresan pada lukisan pertama ini nampak berani kecuali pada objek utama bangau, dia menggambarkan bangau dengan hati-hari untuk memperoleh bentuk yang mirip dengan bangau yang pernah dia lihat pada contoh gambar pada buku. Gambar 40: Lukisan Amel, SD N Widarapayung 01, Bangau Lukisan pertemuan kedua Gejala Stereotype total pada lukisan di SD N Widarapayung Wetan 01 ini juga terjadi pada Amel, dia melukis sama persis dengan lukisan yang sudah dia buat pada pertemuan pertama. Bisa dilihat pada gambar 39 dan gambar 40, kedua gambar tersebut ditunjau dari cara dia melukiskan objek utama bangau pada pemadangan taman dan kolam. Kedua gambar ini sekilas sama persis dengan bentuk, unsur yang digunakan letak bahkan warna yang dipakainya pun sama persis dengan lukisan pada pertemuan pertama. Perulangan yang terjadi pada lukisan ini adalah Stereotype perulangan total. Pada lukisan kedua Amel goresan pada lukisanya nampak hati-hati dan kurang berani hal ini muncul karena Amel berusaha menggambarkan bentuk dan suasana yang sama pada lukisan keduanya. Diamati pada kedua lukisan Amel lebih menonjolkan tema taman dari pada objek utama bangau sebab dalam melukiskan objek yang menjadi pokok utama kalah dengan objek pelengkap seperti pohon, kolam dan rumput-rumput. Stereotype lukisan ini muncul karena anak tidak berani mengeksplor gambar lain untuk dia lukiskan. Anak hanya terpaku pada satu karya yang paling berhasil dia buat.

1. SD N Widarpayung Wetan 02

SD N Widarapayung Wetan 02 merupakan sekolah dasar yang menurut pembagian dari wilayaah Dabin Daerah Bimbingan masuk pada daerah bimbingan empat. Pada penelitian di SD N Widarapayung Wetan 02 ini difokuskan pada kelas IV. Gejala Stereotype di sekolah ini tergolong paling parah karena banyak ditemui pengulangan hampir pada semua karya siswanya. Stereotype yang ditemukan di sini bermacam-macam diantaranya perulangan total, perulangan objek, dan perulungan unsur. Ke tiga perulangan yang disebutkan Stereotype yang paling sering muncul adalah Stereotype pengulangan bentuk dan tema baik secara total maupun sebagian. Gambar 41: Lukisan Cavin, SD N Widarapayung 02, Gajah Lukisan pertemuan pertama Pada lukisan gambar 25 dapat dilihat jika cavin merupakan siswa yang tidak kreatif. Hasil goresan lukisanya nampak jika Cavin kurang berani dalam membentuk objek gambar pada lukisanya. Lukisan di atas sudah nampak jelas perulangan objek gajah yang dibuat dengan bentuk yang sama. Gambar 42: Lukisan Cavin, SD N Widarapayung 02, Gajah Lukisan pertemuan kedua Lukisan Cavin kedua ini masih bertema sama dengan cerita yang sama dan tidak diberi warna seperti lukisan pertamanya. Lukisan Cavin ini merupakan lukisan dngan pengulangan total yang nampak jelas dia mengulang objek pada lukisan gambar 42 siswa ini terjadi pengulangan total semua bentuk pada lukisan yang pernah dibuat pada pertemuan pertama lihat gambar 41. Lukisan gambar 42 adalah karya kedua dari Cavin dilihat dari penguasaan bentuknya Cavin memang belum bisa menguuasi bentuk yang sesuai. Lukisan gambar 41 dan gambar 42 memiliki karakter, tema, dan bentuk yang sama peris. Menurut penelitian ketidak mampuan menguasai bentuk ini karena guru tidak memperhatikan siswa yang kurang dapat mengikuti pelajaran lukis. Guru hanya terpatok pada materi dan gambar pada materi sehingga cavin dalam melukis bebas tidak dapat memikirkan ide yang lain dalam lukisanya atau bisa dikatakan tidak termotivasi dalam menciptakan karya lukis. Hal ini dianggap guru gagal dalam mengajarkan kesiswanya karena tidak bisa memotivasi untuk siswanya agar kreatif. Gambar pada pertemuan pertama ini Cavin melukiskan gajah dia dapat bentuk seperti itu ternyata dari gambar sebelumnya yang dijarkan guru. Gambar 43: Lukisan Kholis, SD N Widarapayung 02, Pemandangan Lukisan pertemuan pertama Gambar 44: Lukisan Kholis, SD N Widarapayung 02, Pemandangan Lukisan pertemuan kedua Ditinnjau dari lukisan pertama gambar 43 ditemui ada dua gejala Stereotype yang pertama adalah perulangan Stereotype unsur pada bagian matahari. Pada penggambaran matahari Kholis ini terlalu kratif sehingga membentuk matahari seperti wajah. Dikatakan perulangan unsur karena memaksakan menglang bentuk wajah pada bentuk matahari. Selanjutnya yang kedua adalah perulangan pada objek yang tidak hanya ada pada lukisan pertama namun lukisan keduanya gambar 44 juga mengalami perulangan objek gambar. Pengulangan objek ini nampak pada gambar batu yang jatuh dari puncak gunung yang digambarkan dengan bentuk bulatan-bulatan yang sama dan berulang- ulang. Pada lukisan pertemuan ke dua gambar 44 lukisan Kholis terkena gejala Stereotype total dimana tema, bentuk dan warna yang digunakan dalam lukisan kedua ini sama persis dengan lukisan pertemuan pertama gambar 43. Dari kedua lukisan diatas dapat dilihat bahwa Kholis melukis pada pertemuan pertama dan kedua selalu pemandangan gunung. Lukisan Kholis pertemuan pertama dan ke dua ini menceritakan pemandangan gunung yang sedang erupsi dan transpotasi terlihat dari pesawat terbang dan kendaraan yang ada di jalan dibawah gunung. Dilihat dari objek gambar gunungnya melukiskan gunung yang sedang erupsi terlihat dari batu-batu yang jatuh ke bawah ini juga digambarkan ulang pada lukisan keduanya. Siswa di SD N Widarapayung 02 ini memang tidak kreatif dan rata-rata jika diperintahkan melukis bebas lukisanya selalu melukis dengan tema yang biasa dan sering muncul seperti gunung dan rumah. Dari dua kali pertemuan ini hampir semua siswa gambarnya sama yaitu tema pemandangan gunung dan rumah. Guru SBK harusnya berperan aktif dalam hal seperti ini karena anak memang tidak bisa kreatif jika model pembelajaranya terus mengajarkan contoh bentuk dan siswa meniru persis gambar yang dicontohkan guru.

2. SD N Widarapayung Wetan 03

SD N Widarapayung Wetan 03 merupakan sekolah dasar yang menurut pembagian dari wilayaah Dabin Daerah Bimbingan masuk pada daerah bimbingan tiga seperti SD N Widarapayung Wetan 01. Sekolah ini terpelih sebagai objek penelitian karena SD N ini memiliki siswa terbanyak dikecamatan Binangun. Gejala stereotype di sini banyak ditemukan dalam lukisan siswanya diantaranya yang sering muncul adala Stereotype total dan objek. Gambar 45: Lukisan Dimas, SD N Widarapayung 03, Kaligrafi Lukisan pertemuan pertama Gambar 46: Lukisan Dimas, SD N Widarapayung 03, Kaligrafi Lukisan pertemuan kedua Lukisan gambar 45 memiliki tema kaligrafi, lukisan ini merupakan karya Dimas. Stereotype pada karya ini hanya ada pada perulangan bentuk pada bingkai yang dibuat berulang agar menciptakan harmoni pada lukisan yang dihasilkan. Pada lukisan ke dua nampak gejala Stereotype perulangan total dimana tema dan bentuk yang digambarkan sama dengan lukisan pertama dapat dilihat pada gambar 45. Dalam lukisan kedua pada Gambar 46 Dimas melukis menggunakan tema kaligrafi dengan bentuk lafal sama yaitu “Muhammad” yang dilukiskan berulang dari lukisan pertama dan kedua. Lukisan di atas muncul karena anak senang dan hobbi melukis kaligrafi dengan lafal “Muhammad”. Anak bangga dengan hasil lukisan pertama yang dirasanya berhasil sehingga anak mengulang lukisan kaligrafi secara terus menerus dengan lafal yang sama dan bentuk yang sama. Gambar 47: Lukisan Dimas, SD N Widarapayung 03, Kaligrafi Lukisan pertemuan ketiga Dapat dilihat pada lukisan di atas dari pertemuan pertama Dimas ini melukis kaligrafi dengan tulisan “Muhammad” dengan pemberian warna pada tulisan hijau dan warna latar kuning tua. Pada pertemuan kedua setelah diberikan beberapa contoh lukisan dan cara melukis hasil lukisan Dimas ini tetap mengulang total bentuk yang sudah dia buat pada pertemuan pertama dengan konsep dan warna yang sama. Pada pertemuan ketiga siswa diberikan masukan dan arahan beserta contoh-contoh lain agar mereka termotivasi dan melukis dengan tema dan ide baru. Pada lukisan Dimas yang ketiga ini sudah cukup berkembang dari yang sebelumnya berlafalkan “Muhammad” sekarang sudah berupa ayat. Namun masih terjadi pengulangan tema dan segi warna yang ada pada lafal ayat tersebut. Ketiga karya lukis Dimas ini disimpulkan bahwa mengalami gejala Stereotype dimana perulangan terjadi pada tema yang dibuat selalu sama dan berulang-ulang pada setiap lukisanya. Gambar 48: Lukisan Dinda, SD N Widarapayung 03, Pemandangan Lukisan pertemuan pertama Pada lukisan Dinda yang pertama ini nampak terjadi perulangan objek pada sawah yang digambarkan dengan simbol seperti huruf “V” yang digambar secara berulang-ulang dengan bentuk yang sama. Selanjutnya pada bentuk pohon yang Dinda gambar dari ke empat gambar pohon ini memiliki bentuk yang sama. Kemudian ada gambar itik atau bebek lihat bentuk anaknya digambarkan secara berulang dengan bentuk sama, dengan demikian perulangan yang terjadi pada Gambar 31 ini banyak dijumpai perulangan objek bentuk yang dilukiskan secara terus menerus baik objek bentuk yang kecil seperti padi yang digambarkan dengan huruf “V” maupun objek besar seperti pohon-pohon yang dilukiskan dengan bentuk dan ukuran sama. Gambar 49: Lukisan Dinda, SD N Widarapayung 03, Pemandangan Lukisan pertemuan kedua Lukisan Dinda yang kedua gambar 49 dapat di lihat lukisan yang kedua ini mirip dengan lukisan pertama dapat dilihat bahwa lukisan Dinda ini memiliki tema yang sama tata letak yang sama dan warna yang sama. Persamaan yang mencolok adalah dari dua gunung dan bentuk gambar itik yang ada dibagian bawah. Lukisan dinda ini cenderung masuk pada gejala Stereotype total dimana pengulangan bentuk, konsep,tema maupun warana hampir 99 sama dengan lukisan pertama. Dari contoh diatas disimpulkan bahwa SD N Widarapayung 03 ini masih banyak dijumpai siswa yang kurang kreatif. Karena masih banyak siswa yang belum bisa menciptakan ide lukisan yang berbeda dari yang sebelumnya. Mereka juga belum mampu mengembakan suatu bentuk objek menjadi sebuah lukisan yang indah. Mereka masih cenderung mengikuti, mengulang bahkan menjiplak lukisan yang pernah mereka gambar sebelumnya.

3. SD N Jepara Wetan 02

Gambar 50: Lukisan Nadia, SD N Jepara Wetan 02, Rumahku Lukisan pertemuan pertama Stereotype pengulangan pada lukisan pertama Nadia ini nampak pada penggambaran bunga yang dibuat dengan bentuk sama. Kedua objek bunga ini dibuat dengan bentuk sama dan diletakan berdampingan sehingga kesanya datar karena tidak ada penciptaan bentuk lain agar tercipta irama yang baik. Dengan demikian lukisan Nadia ini tergolong mengalami gejala Stereotype objek karena perulangan terjadi hanya pada bentuk bunga saja. Menganalisis lukisan di atas nampak seperempat matahari di pojok atas sebelah kiri hal ini dapat dikatakan anak melukiskan pemandangan rumahnya di pagi hari sehingga matahari hanya nampak seperempat dan berada di pojok. Gambar 51: Lukisan Nadia, SD N Jepara Wetan 02, Rumahku Lukisan pertemuan kedua Pada lukisan kedua Gambar 51 nampak perulangan yang dilakukan adalah perulangan total dimana Nadia mengulang Tema, bentuk dan segi warna yang pernah dibuat pada pertemuan pertama namun dalam lukisan ini anak berusaha menceritakan pemandangan rumahnya pada siang hari sehingga matahari digambarkan berada agak menengah dan berbentuk lingkaran sempurna. Nadia melukiskan Rumah dengan taman bunga didepannya. Bentuk rumah, bunga, pohon dan bagian langit dilukiskan persis seperti pada lukisan pertamanya pada Gambar 50. Gambar 52: Lukisan Nadia, SD N Jepara Wetan 02, Rumahku Lukisan pertemuan ketiga Lukisan ketiga Nadia ini anak menceritakan rumahnya pada siang hari dan dalam keadaan berawan. Ditinjau dari karakteristik lukisan anak lukisan Nadia ini tergolong karakteristik komik dimana dia melukis dengan menceritakan keadaan rumahnya dari pagi sampai siang hari namun dari segi gejala lukisan anak tidak kreatif Nadia tergolong dalam siswa yang terkena gejala Stereotype pada lukisanya sebab dia selalu mengulang tema dan bentuk sama pada setiap lukisannya. Lukisan ketiga yang dibuat Nadia ini mengulang kembali dari lukisan pertama dan kedua yang perna dibuatnya. Lihat Gambar 50,51,52 ketiga lukisan karya nadia di atas merupakan contoh lukisan yang terdapat gejala Stereotype total pada karyanya dimana perulangan yang terjadi pada lukisan ini bukan hanya perulangan objeknya saja melainkan dari bentuk,letak dan komponen warna yang digunakan. Ditinjau dari bentuk rumah bunga dan pohon yang ada disamping rumah, dari ketiga objek tersebut terlihat jelas perulangan dari lukisan pertama ditemukan ketiga objek tersebut kemudaian pada lukisan kedua dan ketiga juga nampak ada ketiga objek itu. Perulangan total ini muncul karena disebabkan anak merasa bangga dengan sanjungan yang didapat atau dari siswa sendiri yang senang melihat lukisanya atau menganggap lukisannya indah, sehingga Nadia ini mengulang lukisan yang pernah dia buat sebelumnya.

4. SD N Kemojing 01

Gejala Stereotype yang muncul disini adalah kecenderungan siswa mengulang tema yang merek pernah gambar, misalnya hari ini melukis dengan tema gotong royong minggu yang akan datang juga melukis dengan tema yang sama. Beberapa diantara mereka juga masih mengulang bentuk yang ada pada contoh dari internet yang diberikan oleh guru. Gambar 53: Lukisan Intan, SD N Kemojing 01, Transportasi Lukisan pertemuan pertama Lukisan pertemuan pertama di atas dapat dilihat bahwa gejala Stereotype yang ada pada lukisan di atas adalah Stereotype perulangan objek dimana objek diulang adalah bentuk awan yang digambarkan dengan bentuk dan posisi yang sama. Selain itu pada pembuatan siput digambarkan dengan bentuk, posisi dan warna yang sama. Lukisan di atas menceritakan alat transportasi laut yaitu kapal sedang berlayar. Pada penggambaran awan dan burung dibuat miring agar objek pada lukisan seolah nyata dan berjalan tertiup angin. Matahari digambarkan di pojok kanan atas dengan warna orange menceritakan bahwa perahu sedang melaju pada sore hari. Gambar 54: Lukisan Intan, SD N Kemojing 01, Transpotasi Lukisan pertemuan kedua Pada lukisan kedua Intan menggambarkan tema yang sama dengan pertemuan pertama yaitu tema” Transportasi”. Pada lukisan yang kedua ini Intan memunculkan bentuk dan suasana yang sama dengan lukisan pertamanya. Pada lukisan Gambar 54 Setereotype perulangan objek yang nampak adalah penggambaran dari bentuk burung yang di gambar berulang dengan goresan yang sama. Selain itu pada siput dan kepiting dibentuk sama persis hanya diberi warna yang berbeda. Burung pada gambar 54 digambarkan dengan bentuk sama dan disusun ke bawah tanpa membentuk harmoni. Perulangan pada burung ini sebenarnya anak ingin menggambarkan burung yang terbang bersama namun guru tidak mengarahkan bentuk dan komposisi yang tepat pada lukisan sehingga anak menggambarkan sebisanya. Jika diamati keseluruhan dari lukisan intan Gambar 53 dan 54 dapat disimpulkan gejala perulangan total ini dapat dilihat dari pengulangan bentuk kapal layar yang bentuknya sama persis dengan lukisan pada Gambar 53 selanjutnya dari bentuk kura-kura dan siput yang ada pada lukisan ini adalah merupakan hasil dari perulangan total pada gambar sebelumnya. Gejala stereotype yang muncul pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Binangun ini masih banyak dijumpai baik gejala Stereotype perulangan total, perulangan objek, maupun perulangan unsur. Dari ketiga perulangan ini yang paling banyak ditemukan adalah perulangan total dan perulangan objek. Perulangan total ini merupakan ciri dari siswa yang sama sekali tidak kreatif dalam melukis, sebab siswa yang terkena gejala stereotype total ini mereka cenderung akan mengulang lukisan yang pernah dibuat dan mencontoh lukisan baik dari buku maupun dari lukisan teman lain yang dicontoh sama persis. Sedangkan perulangan objek yang terjadi disini adalah perulangan dimana siswa mengulang bentuk tertentu dalam suatu lukisan sebelumnya untuk digambarkan kembali pada lukisan selanjutnya. Perulangan objek ini juga dapat muncul karena siswa harus menggambarkan banyak objek dalam satu lukisan itu misalnya dari beberapa lukisan yang telah dijabarkan sebelumnya ada objek yang diulang pada bentuk padi yang digambarkan dengan huruf “V” secara berulang dan penggambaran burung yang ada dilangit digambarkan dengan bentuk yang sama. Gejala Stereotype pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Binangun ini muncul karena beberapa faktor baik faktor dari diri siswanya maupun Intrinsik dari gurunya Ekstrinsik. Faktor Intrinsik munculna gejala Stereotype ini berawal dari diri anak itu sendiri yang memang tidak tertarik dengan melukis sehingga anak jika diperintahkan untuk melukis bebas anak cenderung mencontek gambar yang sudah ada tanpa mengembangkanya sama sekali. Selain karena ketidak tertarikan faktor Intrinsik yang terjadi adalah karena ketidak mampuan anak dalam menciptakan imajaniasi dan ide dalam lukisannya. Hal ini disebabkan karena kemampuan anak yang memang tidak bisa melukis sehingga anak cenderung takut jika diperintahkan untuk melukis. Selanjutnya ada faktor Ekstrinsik, faktor ini berasal dari luar diri manusia. Faktor Ekstrinsik yang mempengaruhui munculnya gejala Stereotype ini adalah peran guru dan lingkungan dalam membentuk anak menjadi kreatif dalam penciptaan ide-ide lukisanya. Berikut ini pembahasan mengenai faktor Intrinsik dan Ekstrinsik yang mempengarui munculnya gejala stereotype pada lukisan anak

a. Faktor intrinsik Internal yang Mempengaruhi Munculnya Gejala

Stereotype pada Lukiasan Anak Kemampuan anak dalam menciptakan suatu ide dalam karya seni lukis sangat dipengaruhi oleh faktor dari diri anak atau faktor internal. Faktor internal ini muncul kareana ada dorongan dari diri siswa untuk menciptakan suatu karya seni lukis. Faktor intrinsik ini pula yang mempengaruhi kemauan siswa dalam suatu bidang yang dia inginkan dalam hal ini kemauan siswa dalam menciptakan suatu lukisan sangat dipertimbangkan kareana pada dasarnya anak usia kelas IV ini sudah dapat membedakan mana kemauan mana tuntutan dengan demikian faktor internal ini sangat berpengaruh terhadap hasil karya seni lukis anak sebab jika kemauan mereka dalam melukis itu tidak ada maka hasilnya siswa akan cenderung malas untuk menciptakan karya dan mereka hanya dapat mencontek atau bahkan tidak melukis sama sekali. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara Januari 2016 pada saat proses pembelajaran dilaksanakan dengan tugas melukis bebas motivasi siswa ini biasanya cenderung menerima mengerjakan namun mereka tidak tau harus melukis apa. Kemauan siswa disana dalam hal seni khusnya melukis memang rendah bahkan hampir rata-rata anak tidak minat dalam melukis. Kecenderungan mereka meniru bentuk yang sudah adapun sangatlah tinggi. Hal meniru ini terjadi karena 2 faktor yang pertama mereka memang tidak kreatif sedangkan yang kedua kareana mereka merasa berhasil melukis pada karya sebelumya yang mendapat hasil baik sehingga mereka cendrung ingin mengulangnya kembali agar mendapatkan hasil yang baik seperti karya sebelumnya. Faktor internal seperti itulah yang ada di Sekolah Dasar disana yang pada selanjutnya membentuk gejala Stereotype pada lukisan yang dihasilkan oleh siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Binangun ini. Faktor InternalIntrinsik yang menyebabkan munculnya gejala stereotype ini sangat nampak sekali dalam proses dan hasil karya lukis mereka. Kemauan mereka dalam melukis bebas biasanya sangat tinggi mereka cenderung lebih senang menggambar bebas sebab dengan demikian mereka akan mencontek gambar-gambar yang ada dibuku materi atau pada buku-buku lain yang sesuai dengan kemampuan mereka yang kemudian dituangkan pada karya lukisanya, hal ini jelas terlihat bahwa anak memang tidak ada kemauan usaha untuk menciptakan ide-ide dalam lukisanya dengan demikian gejala stereotype terus berkembang dalam diri mereka dan menjadi motivasi mereka untuk terus mencontek dan meniru bentuk-bentuk yang sudah ada dan pada kasus selanjutnya akan menjadi bumerang buat mereka karena terbiasa dengan hal meniru akibatnya anak enggan untuk menciptakan karya lukis dengan bentuk gambar lain. Hermawan guru kelas di SD N kemojing 01 hasil wawancara, Januari 2016 menyatakan “anak-anak senang diberikan tugas menggambar bebas namun tetap diberi tema dengan 3 sampai 5 tema selanjutnya mereka memilih mana yang ingin mereka lukis hal ini dapat merangsang kreativitas mereka dalam melukis namun ada beberapa siswa yang biasanya cenderung meniru teman yang memang mempunyai ide lukisan dan mereka menirunya dengan tema dan bentuk yang sama persis” . Sedangkan Andi selaku guru kelas di SD N pasuruhan 02 mengungkapkan bahwa “Rata-rata anak di sekolah tersebut cenderung meniru objek benda mupun hewan pada kamus bergambar, hal ini muncul dari 1 siswa yang memulai meniru gambar yang sudah ada tersebut kemudian teman lainnya p un mengikuti hal tersebut”. Gambar 55: Proses Meniru Bentuk Pada penelitian di SD Kecamatan Binangun ini banyak ditemukan siswa yang hanya bisa meniru bentuk yang sudah ada dan menuangkan kembali kedalam lukisannya. Menurut salah satu murid disana dengan cara seperti itu mereka akan lebih mudah untuk menggambar dari pada mereka harus memikirkan objek apa yang harus dilukisnya. Kegitan meniru lukisan yang sudah ada sebelumnya ini tidak hanya meniru pada buku-buku paket, materi dan kamus saja tetapi juga pada lukisan teman yang dianggap bagus oleh siswa lain akan dicontoh dan ditiru baik sebagian objek bentuk ataupun semua bentuk yang ada pads lukisan yang ditiru dan dicontoh. Kebiasan mencontoh bentuk yang sudah ada ini akan menghambat kreativitas anak. Ketidak kreativitasan anak ini jika berlangsung secara berulang-ulang akan menjerumuskan anak untuk tidak aktif dan menghambat proses berfikir anak dalam menentukan ide dalam lukisan. Kemampuan berfikir siswa yang kurang luas dan bebas ini menyebabkan eksplorasi siswa dalam penciptaan ide dalam lukisan jadi terbatas. Seperti yang dipaparkan salah satu siswa di SD N Pasuruhan 02, winda hasil wawancara, Januari 2016 memaparkan bahwa gambar bebas itu susah jadi kalau menggamabar ia lebih suka mengamati bentuk-bentuk lukisan yang sudah ada. Dari pemaparan tersebut mengenai motivasi dan keinginan siswa yang rendah dan cenderung meniru itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan belajar siswa dan karya lukis mereka semata-mata hanya untuk memenuhi tugas dan mendapatkan nilai semata. Faktor intrinsik yang mempengaruhi motivasi siswa dalam pelajaran melukis ini tidak tercipta dengan sendirinya, melainkan karena adanya interaksi dengan lingkunganya. Rangsangan dari lingkungan ini dapat bersumber dari teman guru maupun orang tua dan teman bermain dirumah. Rangsangan internal ini sangat kuat mempengaruhi faktor internal dari siswa menginggat siswa ysng dihadapi adalah siswa yang mulai menginjak kelas atas yaitu kelas IV dimana anak pada usia kelas IV ini cenderung aktif dan banyak ingin tahu sehingga jika rangsangan dari lingkungan ini sangat berpengaruh dalam membentuk faaktor internal mereka. Rangsangan dari lingkungan dalam proses pembelajaran jika kurang memberikan tantangan pada anak akan membuat kreativitas anak tidsk berkembang secara maksimal. Oleh sebab itu, motivasi intrinsik siswa pada dasarnya terbentuk dari rangsangan lingkungan yang mereka hadapi. Jika lingkungan itu baik dan menunjang maka kreativitas anak akan berkembang namun apabila tidak mendukung dapat menunjang kreativitas mereka. Pada dasarnya menciptakan motivasi intrinsik yang baik untuk siswa dalam pembelajaran melukis ini guru sangat berperan aktif dalam proses pembelajaran dengan cara guru sebagai teladan bagi siswanya. Salah satunya adalah guru sebagai model intrinsik dengan menceritakan dan mengungkapkan rasa ingin tahu, minat, dan tantangan pribadinya untuk melakukan tugas. Dalam konteks pembelajaran melukis guru mengimplementasikan dengan menunjukan sikap rasa ingin tahu terhadap lukisan dan memprktekanya dengan melukis. Dengan demikian siswa akan dapat melihat figur guru sebagai contoh dalam membentuk motivasi siswanya.

b. Faktor EkstrinsikEksternal yang Mempengaruhi Munculnya Gejala

Stereotype pada Lukisan Anak Faktor yang sangat mempengaruhi tinggi rendahnya kreativitas siswa dalam mengapresiasikan dan menciptakan ide adalah faktor eksternal atau ekstrinsik. Faktor ini sangat kuat sekali dalam membentuk motivasi anak. Jika faktor eksternal yang mempengaruhi siswa dalam memotivasi rendah akan cenderung menjerumuskan siswanya menjadi tidak kreatif yang pada akhirnya akan muncul gejala Stereotype pada lukisan anak. Faktor eksternal ini ada karena beberapa 3 faktor yang mendukugnya yaitu faktor lingkungan keluarga, faktor sekolah, faktor lingkungan masyarakat. Namun, dari ketiga faktor tersebut yang sangat mempengaruhi munculnya gejala Stereotype pada anak ini adalah faktor dari sekolah, karena hal ini berhubungan langsung dengan prose pembelajaran yang ada di sana, tidak dipungkiri faktor keluarga juga mempengaruhi anak dalam berproses kreasi dalam melukis. Faktor kelurga yang kurang mendukung anak dalam hal berseni khususnya melukis ini akan menghabat minat dan kreativitas siswa dalam menentukan ide dalam lukisan. Dari hasil penelitian di sana rata-rata orang tua atau keluarga cenderung mengajarkan anak untuk belajar materi seperti matematika, IPA maupun materi lain yang berhubungan dengan kecerdasan. Dengan demikian siswa akan lebih termotivasi untuk belajar exsa dari pada belajar kreativitas. Salah satu siswa bernama Merlin siswa SD N Pasuruhan 01 mengungkapkan kalau dirumah tidak boleh belajar menggambar, setiap memulai untuk menggambar orang tua lebih menyuruhnya dan mengarahkan agar belajar materi yang dipakai buat UN seperti Matematika, Bahasa Indonesia dll. Selanjutnya adalah faktor dari sekolah, faktor ini paling berpengaruh dalam membentuk kreativitas anak. Dalam faktor sekolah guru disini sangat disoroti karena hal yang paling mendasar dari munculnya gejala Stereotype ini adalah peran guru dalam mengajarkan kreativitas dan memotivasi siswa agar kreatif. Cara mengajar merupakan sebuah komponen yang sangat penting dalam sebuah pembelajaran. Hal ini sangat erat kaitanya dengan bagaimana peran guru pada saat pembelajaran berlangsung apakah peran guru tersbut memotivasi anak atau bahkan menghentikan kreativitas anak. Guru disini juga dituntut kreatif dan pandai dalam menguasai situasi suatu proses pembelajaran sehingga dapat menjadi teladan dan memotivasi siswa dalam berkreasi khusunya dalam bidang melukis. Dengan adanya peran guru dalam pembelajaran ini dijadikan tolak ukur seberapa besar kreatif anak dalam memunculkan ide dalam suatu lukisanya. Berkaitan dengan gejala Stereotype ini peran guru dalam mengajarkan pelajaran lukis sangat perlu diperhatikan sebab dari interaksi siswa dan guru dalam proses pembelajaran ini dapat menentukan tinggi rendahnya gejala Stereotype yang muncul pada karya lukis siswa. Bukan hanya itu saja, guru dalam pembelajaran disini juga bisa menjadi faktor negatif atau dapat dikatakan virus buat anak jika guru tersebut tidak memperhatikan dan kurang tanggap dalam pembelajaran seni khususnya melukis sehingga menghambat bahkan mematikn kreativitas siswa. Peran guru dalam pembelajaran pada sekolah dasar di Kecamatan Binangun ini rata-rata kurang memotivasi siswanya dalam mengapresiasikan ide dalam melukis. Dalam penelitian ditemukan beberapa faktor dari guru yang mempengaruhi munculnya gejala stereotype pada lukisn anak. Permasalahan yang dihadapi sekolah disana pun berbeda-beda dalam menyampaikan materi pembelajaran lukis ini. Kurangnya wawasan dan pengalaman guru inilah yang menjadi faktor utama guru dalam mengajar siswanya. Selain itu karena jam pelajaran SBK di sekolah dasar hanya 2 sampai 4 jam perminggunya dan rata- rata guru memanfaatkan pelajaran SBK tersebut untuk pembelajaran lain. Peran guru yang dalam mengajarkan lukis kepada siswanya hanya memberikan contoh-contoh gambar di papan tulis kemudian siswa disuruh menirukan ini juga dapat menjadi penyebab Stereotype muncul pada lukisan anak sebab, dengan pembelajaran yang demikian siswa akan cenderung senang mencontoh dari pada menciptaakan ide sendiri dalam melukis. Menurut hasil wawancara salah satu guru SBK di Kecamatan Binangun. Alasan guru mengajarkan dengan metode memberikan contoh di papan tulis ini untuk mengajarkan bentuk-bentuk lain kepada siswanya agar siswa dapat menguasi bentuk gambar lain. Gambar 56: Proses Munculnya Gejala Stereotype Gambar di atas merupakan salah satu guru yang mengajarkan lukis kepada siswanya dengan memberikan contoh objek yang kemudian gambar tersebut diajadikan objek gambar pada lukisan anak, namun guru juga harus berhati-hati dalam memberikan contoh pada siswa. Pada kasus ini guru yang mengajar seni bukan guru khusus seni sehingga guru kurang menguasai bentuk dan materi lukis akhirnya guru mengajarkan bentuk yang salah pada anak dapat dilihat dari bentuk kaki gambar 56. Pada gambar 56 guru membentuk kaki dengan bentuk yang kurang tepat dan siswa mencontohnya akhirnya anak akan terjerumus dengan bentuk kaki yang sama dengan guru secara terus-menerus. Guru yang terbiasa mengajarkan lukis dengan cara memberikan contoh objek gambar untuk dicontoh siswanya pada setiap pertemuan tanpa memberikan kesempatan anak untuk menggambar bebas dapat menjadi faktor utama munculnya gejala Stereotype pada lukisan anak. Hal tersebut nampak jelas sebab guru tidak pernah memberikan kesempatan siswa untuk mengeksplorasi sejauh mana kreativitas anak dalam menentukan ide dalam lukisanya. Pembelajaran seperti ini cenderung cepat ditangkap dan dimengerti oleh siswanya akan tetapi siswa akan tenggelam pada kebiasaan meniru tanpa berkreasi hal ini jelas dapat menghambat kreativitas mereka dalam melukis. Pada kasus lain dijumpai hasil lukisan anak yang menirukan bentuk dari guru tetapi tidak bisa mengikuti sama seperti contoh yang diberikan oleh guru, bisa dikatakan sudah terkena gejala Stereotype meniru lukisan guru masih Stereotype lagi dengan bentuk objek yang iya gambar. Contohnya seperti gambar dibawah ini Gambar 57: Contoh Gambar Guru Sumber: Dokumentasi Pribadi Gambar 5: Stereotype Bentuk pada Lukisan Anak Sumber: Dokumentasi Pribadi Pada gambar di atas dapat dijabarkan nampak anak tidak bisa meniru gambar yang dicontohkan oleh guru. Pada gambar di atas guru mencontohkan gambar ayam yang sedang berhadapan namun pada salah satu gambar yang dibuat siswa ini, siswa tidak bisa mengikuti gambar sesuai yang dicontohkan guru. Siswa ini dapat dikatakan terkena gejala stereotype total dalam lukisannya sebab dalam menggambarkan ayam siswa ini menggambarkan objek ayam kedua sama persis dengan ayam pertama, kesamaan yang nampak jelas persamaan dari bentuk dan ukuran. Bentuknya dapat dilihat dari objek ayam yang menghadap kanan semua padahal pada contoh yang diberikan guru gambar objek ayam berhadapan. Dapat ditarik kesimpulan dari cara pembelajaran seperti dijabarkan di atas jika terus menerus dipraktekan tanpa siswa disuruh mengembangkan dan membuat ide lain sesuai dengan keinginanya bisa dikatakan sebagai menggambar bebas hal ini dapat terus menambah kemalasan siswa dalam belajar bentuk lain dengan membiasakan siswa mengulang-ulang gambarnya Stereotype pada akhirnya anak tidak kreatif dan tidak berkembang dalam menentukan ide dalam lukisannya. Kasus lain yang ditemui adalah guru memberikan tugas melukis bebas tanpa memberikan contoh baik contoh menggambar dipapan tulis maupun contoh gambar-gambar lain dari buku atau internet. Guru di Kecamatan Binangun rata-rata hanya memberikan tugas menggambar bebas dan kemudian meninggalkannya begitu pelajaran selesai guru kembali. Peran guru dalam mendukung motivasi siswanya disini sama sekali tak terlihat. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan guru terhadap lukis dan tidak adanya guru khusus yang mengampuh mata pelajaran SBK. Faktor ekstrinsik lain dari guru adalah kurangnya perhatian guru terhadap pelajaran SBK. Kurang minatnya guru dan daya tarik guru terhadap pelajaran SBK ini berdampak pada hasil karya yang dihasilkan anak. Misalnya pada pelajaran SBK yang sangat diabaikan, memang dalam satu minggu pelajaran SBK mendapatkan 4 jam pelajaran namun dalam prakteknya guru lebih senang memberikan materi lain seperti materi berhitung dengan alasan mengejar materi. Dengan demikin siswa akan jarang mendapatkan materi prakarya dan semua yang berhubungan dengan seni. Dampak selanjutnya adalah siswa kurang paham dalam pelajaran SBK ini khususnya melukis. Padahal dalam paraktik peran dan motivasi guru ini sangat penting dalam pembelajaran lukis, jika peran guru dalam memotivasi ini tidak ada akibatnya berdampak pada anak-anak yang kurang bisa menciptakan ide dalam melukis kecuali meniru bentuk yang sudah ada. Selain faktor dari guru ini ada juga faktor lain dari sesama siswa. Faktor dari antar siswa ini berdampak besar pada lukisan anak, sebab jika satu anak mempunyai ide dan melukis bagus teman yang lain akan mengikuti melukis dengan tema dan bentuk yang sama. Dapat dilihat dari hasil lukisan berikut Gambar 59: Lukisan Winda Tema Air Terjun Siswa bernama Winda siswa kelas IV SD N Pasuruhan 02 merupakan siswa yang paling bagus dalam menentukan ide dalam lukisan. Winda ini juga pernah mengikuti lomba melukis namun belum mendapat juara. Menurut Andi guru kelas IV SD N Pasuruhan 02 Wawancara 2016 mengungkapkan bahwa dikelas ini windalah yang paling lumayan hasil karyanya. Gambar 60: Lukisan Atika Tema Air Terjun Di amati dari hasil lukisan Winda dan Atika di atas dapat dilihat bahwa lukisan Winda dengan tema “Air terjun” ini terlihat bagus dan mendapat nilai yang baik dengan demikian ada siswa yang merasa gambar winda itu bagus sehingga dia memilih untuk meniru persis tema dan bentuk gambar lukisan winda dengan tema air terjun ini. Bentuk dan tata letak dari air terjun ditengah dengan tiga batu disamping kanan dan kiri, kemudian pohon disampingnya pun digambar mirip sesuai dengan lukisan winda. Begitu pula dari segi warna dapat terlihat jika atika ini meniru warna yang sama dengan winda hanya winda menggunakan crayon sedangkan atika menggunakan pensil warna. Dengan demikian faktor ekstrinsik yang sangat menonjol dalam mempengaruhi hasil karya anak dalam melukis ini muncul dari pengaruh guru dalam memotivasi siswa dan pengaruh teman atau siswa lain yang kemudian akan dapat membentuk kreativitas anak atau akan mematikan kreativitas anak. Penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa gejala Stereotype pada lukisan anak sekolah dasar di Kecamatan Binangun ini terjadi karena kurangnya motivasi siswa dalam belajar menciptakan ide tema dan bentuk dalam lukisanya serta kurangnya motivasi dan kepedulian guru terhadap pembelajaran dan hasil karya seni lukis siswanya. Gejala Stereotype seperti ini harus di perhatikan dan dibina sebisa mungkin agar siswa pada usia sekolah dasar ini dapat terlatih untuk kreatif dan inofatif dalam menciptakan karya lukis dengan ide dan tema yang baru sehingga gejala Stereotype yang menghambat kreativitas mereka dapat berkurang. Dalam menangani kasus gejala Stereotype di Sekolah Dasar ini dapat dilakukan dengan cara membina dan memberi motivasi terhadap anak agar lebih kreatif. Selain membimbing dan memberikan motivasi metode pembelajaran yang digunakan dalam mengajarkan materi lukis ini harus sesuai dengan gejala stereotype pada lukisan yang dialami oleh siswa di sana. Pembinaan yang dapat digunakan dalam menangani kasus gejala Stereotype ini adalah dengan cara guru bercerita mengenai bentuk gambar yang lain dari pada yang anak gambar misalnya guru bercerita tentang bentuk bunga yang tidak hanya berbentuk lingkaran dan setengah lingkaran melainkan ada bentuk lain seperti terompet dan bola dengan cara seperti itu anak akan berfikir dan imajinasi anak akan terangsang untuk menciptakan ide bentuk baru dalam lukisanya. Selain itu, guru dapat berperan aktif memberikan contoh kepada siswanya baik berupa lukisan-lukisan dari internet maupun guru mencontohkan lansung kepada siswanya. Selain itu, pembinaan yang dapat digunakan adalah dengan cara menajak siswa melihat alam secara langsung, anak diajarkan untuk mengamati suatu objek pemandangan tumbuhan atau hewan kemudian mereka diajarkan untuk melukisnya langsung, dengan demikian siswa dapat memahami bentuk nyata yang ada dialam dan belajar menentukan ide dan tema pada lukisanya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil data yang telah diperoleh dalam penelitian pada tujuh sekolah Dasar yang ada pada lima daerah bimbingan yang ada di kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap ini, dapat disimpulkan bahwa gejala Stereotype pada lukisan yang ada di kecamatan Binangun ada tiga macam bentuknya yang pertama ada perulang total dimana anak mengulang keseluruhan objek bentuk yang sudah ada dan dilukiskannya kembali sama persis dengan lukisan sebelumnya. Kedua ada perulangan objek, perulangan ini muncul karena adanya bentuk gambar yang sama yang kemudian digambarkan dalam satu lukisan. Misalnya, pada lukisan sawah anak menggambarkan padi dengan simbol “V” dan mengulang bentuk itu sampai banyak hingga terlihat seperti padi yang ada disawah. Ketiga adalah pengulangan unsur dimana perulangan ini muncul pada objek yang tidak sesuai, misalnya pada lukisan matahari dimana anak memaksakan bentuk wajah pada matahari tersebut. Gejala stereotype yang ada di Kecamatan Binangun ini muncul karena adanya faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi. Faktor intrnal ini ada pada niat dan minat siswa yang kurang kreatif dan kurang termotivasi dalam membuat karya lukis. Kurangnya motivasi pada siswa ini membuat anak kurang dapat menciptakan bentuk baru dalam lukisannya karena siswa sudah malas dengan pelajaran melukis sehingga hasil karya yang dibuat cenderung mengulang-ulang atau meniru lukisan yang sudah ada. Faktor yang kedua adalah faktor ekstrinsik atau eksternal. Faktor ini sangat berpengaruh dalam pembelajaran lukis sebab faktor eksternal ini adalah faktor yang membentuk pribadi dan motivasi siswa. Faktor ekstrinsik yang paling berpengaruh terhadap gejala stereotype ini adalah peran guru dalam memotivasi anak untuk kreatif. Guru disini menjadi alat yang dapat menentukan sejauh mana anak itu kreatif. Dengan demikian faktor dari diri siswa dan faktor guru ini sangat berpengaruh terhadap hasil karya lukis siswa.

B. Saran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang pikiran dalam dunia pendidikan, khususnya Seni Rupa. Gejala Stereotype di Kecamatan Binangun ini hendaknya diberi perhatian yang lebih agar siswanya kreatif tidak hanya bisa mengulang gambar dan bentuk yang sudah ada namun bisa menciptakan sesuatu yang baru sehingga ide dan kreativitas anak dapat terbentuk. Dalam mengatasi gejala stereotype yang ada pada siswa di sekolah dasar yang ada di Kecamatan Binangun ini hendaknya guru mempunyai strategi atau metode baru dalam mengajarkan lukis pada anak misalnya, guru dapat memberikan contoh kepada siswanya dalam melukis. Guru hendaknya sering memberikan motivasi dan contoh-contoh gambar yang ada di internet atau karya dari gurunya langsung sehingga siswa akan mendapat banyak wawasan tentang lukisan dengan demikian siswa dapat termotivasi membuat bentuk dan tema baru dalam lukisanya. Guru dapat mengarahkan siswanya untuk mengeksplor lingkungan sekitar, dengan cara siswa diajak keluar ruangan untuk mengamati bentuk-bentuk yang ada di alam kemudian anak diperintahkan untuk melukisnya dengan demikan siswa akan termotivasi untuk melukis di luar bentuk dan tema yang sudah mereka buat sebelumnya. Oleh karena itu, guru harus bisa memotivasi dan mengajar dengan metode yang tepat agar siswa bisa kreatif dalam menciptakan ide pada lukisan sehingga Stereotype lukisan tidak banyak muncul pada karya siswanya. DAFTAR PUSTAKA Affandin H.M. dan Dewobroto. 2004. Mengenal Seni Rupa Anak. Yogyakarta: Gama Media Alsa, Asmadi. 2003. Pendekatan kualitatif dan kuantitatif Serta Kombinasinya Dalam penelitian Pesikologi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Al-khalili, Amal Abdulah. 2005. Mengembangkan Kreativitas Anak. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Davindo, R. 2012. Mengenal Anak Melalui Gambar: La Decouverate de Votre Enfant par Le Dessin. Jakarta: Salemba Humanika. Djelantik, A. A.M. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: MSPI. Kamaril, C. Dkk. 1999. Pendidikan Seni RupaKerajinan Tangan. Jakarta:Universitas Terbuka. Kartika, Darsono Soni. 2004. Seni Rupa Moderen.Bandung: Rekayasa Sains. Mikarsa, dkk. 2008. Pendidikan Anak. Jakarta: Universitas Terbuka Munandar, Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta Moleong, Lexy J.2006. metodologi Penelitian Kualitatif, edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Moleong. L. J. 2004. Metodologi Peneitan kulitatfif. Bandung: PT Remaja Rosda karya Moleong. L. J. 2011. Metodei Peneitan kulitatfif. Bandung: PT Remaja Rosda karya Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: Khalfa.