ANALISIS GEJALA STEREOTYPE PADA LUKISAN ANAK SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN BINANGUN KABUPATEN CILACAP.

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

oleh

Ratri Dwi Purama 12206244016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA APRIL 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan”.

(Terjemah Q.S. Almujadilah: 11)

“Hanya mereka yang bersedia menempuh kesulitan yang akan menjadi orang besar” (History of Alexander The Great)

Tak perlu banyak kata untuk menunjukkan kita bisa dan berhasil cukup diam, berjuang dan membuktikannya”.


(6)

v

Hari tidak akan indah tanpa mentari dan rembulan, begitu juga hidup tidak akan indah tanpa tujuan, harapan serta tantangan. Meski terasa berat, namun manisnya

hidup justru akan terasa, apabila semuanya dilalui dengan baik, meski harus memerlukan pengorbanan.

Kupersembahkan karya sederhana ini teruntuk Bapak dan Ibu tercinta

Bapak Sugito dan Ibu Nila Kartika, yang senantiasa ada saat suka maupun duka, selalu setia mendampingi, serta doa-doa engkau selama ini telah mewujudkan

untuk mempersembahkan sebuah tulisan sebagai pertanggungjawaban atas pengorbanan yang telah engkau berikan. Semangat dan motivasi yang engkau berikan semakin membuatku untuk berusaha dan terus berusaha sampai menuju

kesuksesan hingga dapat menyelesaikan setiap tantangan dalam hidup.

Almamater, Program Studi Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.


(7)

vi

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: Analisis Gejala Stereotype pada Lukisan Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap ini untuk memenuhui sebagai persyarataan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Strata Satu pada program studi Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, saya menyampaikan terima kasih secara tulus kepada Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, dan Ketua Jurusan Pendidikan Seni Rupa yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada saya untuk menyelesaiakan skripsi ini.

Rasa hormat, terimakasih, dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada pembimbing, yaitu Dr. Hajar Pamadhi, MA (Hons) yang penuh kesabaran dan kebijaksanaan telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada saya untuk menyelesaikan tugas skripsi. Terimakasih kepada Kepala Sekolah SD di Kecamatan Binangun yang telah mengizinkan saya melaksanakan penelitian di SD tersebut.

Terima kasih yang sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada kedua orang tua saya yang selalu mendoakan, memberikan motivasi, dan pengorbanan baik segi moril dan materil kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan studi dengan baik. Kepada kakak saya Tria Ade serta keluarga, sahabat, dan teman saya Faizal, Lilik, Risdya dan Riyanti terimakasih atas dukungan kalian. Terimakasih juga buat semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu, penulis mohon saran dan kritik yang sifatnya


(8)

(9)

viii DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ………. i

PENGESAHAAN ………... ii

PERNYATAAN ………..… iii

MOTTO ………... iv

PERSEMBAHAN ………... v

KATA PENGANTR ………... vi

DAFTAR ISI ……….... viii

DAFTAR GAMBAR .………. xi

DAFTAR LAMPIRAN ………... xiv

ABSTRAK ………... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Fokus Masalah……….. 3

C. Tujuan Penelitian………. 4

D. Manfaat Penelitian……… 4 BAB II PERSIAPAN, PELAKSANAAN, DAN ANALISIS HASIL A. Anak Usia SD 1. Pengertian Anak Usia SD ………..…….. 5

2. Karakteristik Anak SD ……….... 6 B. Perkembangan Seni Rupa Anak


(10)

ix

1. Seni Lukis……… 16

2. Seni Lukis Anak ……… 17

3. Sifat Lukisan Anak……… 19

4. Karakter Lukisan Anak………. 20

D. Unsur Seni Lukis 1. Garis……….. 30

2. Bidang ………... 30

3. Bentuk ……….. 32

4. Warna ………... 32

E. Prinsip Komposisi dalam Lukisan 1. Kesatuan ………... 33

2. Keseimbangan ……….. 33

3. Harmoni ……….... 34

4. Irama ……… 37

F. Tinjauan Psikologi Lukisan Anak SD……… 35

G. Kajian Gejala Stereotype ……….... 36

H. Penelitian yang Relevan ………. 42

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ……… 43

B. Tempat, waktu, dan sasaran penelitian 1. Tempat ……….. 45


(11)

x

2. Sumber Data Penelitian ……….. 47

D. Istrumen Penelitian ………. 49

E. Teknik Pengumpulan Data ………. 50

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ……… 55

G. Teknik Analisis Data ……….. 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Bentuk Stereotype ……….. 60

B. Faktor yang Mempengaruhi Gejala Stereotype 1. Faktor Intrinsik ………. 103

2. Faktor Ekstrinsik ……….. 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan ……… 118

b. Saran ………... 119

DAFTAR PUSTAKA ……….. 121


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 : Skema Pertumbuhan Anak ……… 9

Gambar 2 : Cara Pandang Anak Terhadap Obyek ……… 11

Gambar 3 : Perubahan Bentuk dengan Komposisi Terpisah ………. 12

Gambar 4 : Perspektif rumah ………. 13

Gambar 5 : Koordinasi kerja otak dan tangan ………... 15

Gambar 6 : Posisi Otak kanan dan kiri ………. 15

Gambar 7 : Karakteristik komik ……… 22

Gambar 8 : Karakteristik Naturalis………. 23

Gambar 9 : Karakteristik Heroik ……… 23

Gambar 10 : Bertumpu Pada Garis Dasar ………. 24

Gambar 11 : Idioplastis…..………... 24

Gambar 12 : Egoisentris ……….…… 25

Gambar 13 : Tipe Haptic ……… 26

Gambar 14 : Non Haptic …….……….………. 27

Gambar 15 a : Stereotype ………. 39

Gambar 15 b : Stereotype ………. 40

Gambar 16 : Lukisan pertama Dian, SD N Pasuruhan 01, Taman……… 61

Gambar 17 : Lukisan kedua Dian, SD N Pasuruhan 01, Taman ……… 62

Gambar 18 : Lukisan pertama Aji, SD N Pasuruhan 01, Perahu ……… 63

Gambar 19 : Lukisan pkedua Aji, SD N Pasuruhan 01, Perahu ……… 64

Gambar 20 : Lukisan pertama Huda, SD N Pasuruhan 02, Anjing Laut 66 Gambar 21 : Lukisan kedua Huda, SD N Pasuruhan 02, Anjing Laut 67

Gambar 22 : Lukisan Pertama Amar, SD N Pasuruhan 02, Kapal ……... 68


(13)

xii

Gambar 27 : Lukisan pertama Rendi, SD N Pasuruhan 02, Burung …… 73

Gambar 28 : Lukisan kedua Rendi, SD N Pasuruhan 02, Burung ……... 74

Gambar 29 : Lukisan ketiga Rendi, SD N Pasuruhan 02, Burung ……… 74

Gambar 30 : Lukisan pertama Winda, Pemandangan ………. 76

Gambar 31 : Lukisan kedua Winda, Pemandangan ……… 76

Gambar 32 : Lukisan pertama Gilang, Pemandangan ………. 78

Gambar 33 : Lukisan kedua Gilang, Pemandangan ………. 79

Gambar 34 : Lukisan pertama Milati, pegunungan ……… 80

Gambar 35 : Lukisan kedua Milati, pegunungan ………. 81

Gambar 36 : Lukisan ketiga Milati, pegunungan ………. 81

Gambar 37 : Lukisan pertama Devinda, Jerapah ………. 82

Gambar 38 : Lukisan kedua Devinda, Pegunungan ………. 84

Gambar 39 : Lukisan pertama Amel, bangau……… 85

Gambar 40 : Lukisan kedua Amel, bangau ……….. 86

Gambar 41 : Lukisan Pertama Cavin, Gajah ……… 87

Gambar 42 : Lukisan kedua Cavin, Gajah ……… 88

Gambar 43 : Lukisan pertama kholis, pemandangan ………... 89

Gambar 44 : Lukisan kedua kholis, pemandangan……… 89

Gambar 45 : Lukisan pertama Dimas, kaligrafi ………. 91

Gambar 46 : Lukisan kedua Dimas, kaligrafi ……….. 92

Gambar 47 : Lukisan ketiga Dimas, Kaligrafi ………. 97

Gambar 48 : Lukisan pertama Dinda, pemandangan ……… 94

Gambar 49 : Lukisan kedua Dinda, pemandangan ……….. 95

Gambar 50 : Lukisan pertama Nadia,Rumahku .………... 96

Gambar 51 : Lukisan kedua Nadia, Rumahku ……….. 97

Gambar 52 : Lukisan ketiga Nadia, Rumahku ...……….. 98


(14)

xiii

Gambar 57 : Contoh gambar guru ………... 111

Gambar 58 : Stereotype bentuk lukisan anak ………... 112

Gambar 59 : Lukisan Winda, Air terjun ………. 114


(15)

xiv LAMPIRAN

Halaman

1. Lampiran Waktu Penelitian 124

2. Surat Izin Penelitian 129

3. Surat Bukti Penelitian 136


(16)

(17)

Oleh Ratri Dwi Purama NIM 12206244016

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk gejala stereotype yang ada pada anak sekolah dasar di Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah lukisan anak sekolah dasar di Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap. Penelitian difokuskan pada bentuk gejala stereotype pada lukisan anak sekolah dasar di Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap. Data diperoleh dengan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi pada beberapa sampel hasil lukisan anak sekolah dasar di Kecamatan Binangun. Data dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif. Keabsahan data diperoleh melalui ketekunan pengamatan dan triangulasi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa gejala stereotype yang ditemui pada anak sekolah dasar kelas 4-5-6 di Kecamatan Binangun terdapat tiga bentuk yaitu: (1) gejala Stereotype total dimana anak mengulang semua bentuk yang ada pada lukisan pertama dan menggambarkanya kembali pada lukisan ke dua, (2) gejala Stereotype objek merupakan perulangan bentuk tertentu pada suatu lukisan, gejala ini muncul pada lukisan anak ketika anak harus melukis satu bentuk yang banyak sehingga kecenderungan anak menggambarkan objek yang sama pada satu lukisanya, (3) gejala stereotype unsur dimana anak memaksakan suatu bentuk pada bentuk gambar lain, misalnya anak melukiskan matahari seperti bentuk wajah.

xv


(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Anak pada usia 9 sampai 12 tahun merupakan masa kanak-kanak akhir atau masa anak menginjak usia akhir sekolah dasar. Seiring dengan perkembangan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan motorik anak juga sudah dapat terkoordinasi dengan baik setiap gerakannya sudah selaras dengan kebutuhan atau minatnya. Pada masa ini ditandai dengan aktivitas motorik yang lincah, oleh karena itu usia ini merupakan masa yang ideal untuk keterampilan yang berkaitan dengan motorik seperti menulis, menggambar, melukis, mengetik, berenang, atletik, dan main bola. Secara formal mereka mulai memasuki dunia yang lebih luas dengan budayanya. Pencapaian prestasi menjadi arah perhatian pada dunia anak, dan pengendalian diri sendiri bertambah pula. Pada masa ini anak mulai memasuki masa belajar di dalam maupun di luar sekolah. Masa usia SD anak mulai dapat berfikir secara logis, hal ini disebabkan oleh berkembangnya kemampuan kognitif anak yang sangat pesat. Pada masa sebelumnya daya fikir anak bersifaat imajinatif dan egoisentris maka pada masa ini daya berfikir anak akan lebih berkembang kearah berfikir kongkrit, rasional dan objektif.

Menurut teori Piaget, pemikiran anak masa sekolah dasar disebut juga pemikiran oprasional kongkrit (concrete oprational thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada objek – objek peristiwa nyata atau kongkrit. Teori perkembangan Piaget mewakili kontruktivisme, pandangan tentang


(19)

perkembangan kognisi yang menekankan peran aktif pelajar dalam membangun pemahamannya sendiri tentang realitas (Eka Lzzaty,dkk, 2008:106). Anak Sekolah Dasar pada usia 9-12 tahun (kelas IV sampai VI) berdasarkan pada tahap perkembangan keterampilan seni rupa (melukis) secara garis besar ditandai dengan berfungsinya kekuatan rasio. Menurut Sumanto (2006: 30) dijelaskan bahwa anak yang berada pada usia SD adalah masa keemasan kreatif, yang mana anak mengalami masa peka dalam perkembangan kreativitasnya.

Kreativitas anak dalam melukis pada masa ini diartikan sebagai kemampuan anak menemukan, menciptakan, membuat rancangan ulang, dan memadukan suatu gagasan baru maupun lama menjadi kombinasi baru. Pada kenyataanya perkembangan seni lukis pada anak usia Sekolah Dasar banyak ditemui gejala yang membuat kreativitas anak tidak berkembang yaitu gejala Stereotype.

Gejala Stereotype merupakan gejala menggambar anak yang terpaku pada gambar yang sudah ada atau bisa diartikan pengulangan bentuk yang digambarkan secara berulang-ulang. Misalnya, pada pengulangan lukisan dua gunung kembar dan terdapat seperempat matahari yang muncul ditengahnya, tampak ada jalan ditengahnya dan petak-petak sawah dikanan kiri, selain itu penggambaran sawah dengan simbol huruf “V”. Lukisan dengan tema, objek dan bentuk tersebut digambarkan berulang-ulang pada setiap anak melukis.

Kecamatan Binangun merupakan salah satu daerah pesisir pantai di Kabupaten Cilacap bagian timur. Di Kecamatan Binangun ini terdapat 44 SD


(20)

yang berdiri disana baik sekolah dasar Negeri maupun Madasrah Ibtidaiyah (MI). Kreativitas melukis pada anak kelas-kelas tinggi (kelas IV sampai kelas VI) sekolah dasar di Kecamatan Binangun ini masih banyak dijumpai gejala Stereotype dalam hasil karya lukisanya. Padahal telah dijelaskan bahwa lukisan anak pada masa ini adalah masa keemasan dalam membentuk kreativitas seharusnya anak dapat menciptakan ide-ide kreatif dalam setiap lukisanya dan tidak banyak dijumpai gejala Stereotype pada hasil karya lukisnya. Jika gejala melukis Stereotype ini dibiarkan akan mengakibatkan anak tidak berkembang dan semakin tidak kreatif dalam menciptakan ide lukisanya.

Gejala Stereotype pada lukisan anak sekolah dasar di Kecamatan binangun ini menyebar di seluruh SD disana dengan jumlah siswa yang berbeda. Dalam penelitian ini hanaya diambil sampel tujuh SD yang teridentifikasi paling banyak kedapatan gejala Setereotype pada hasil lukisan siswanya. Tujuh sekolah dasar ini nanti dianggap mewakili seluruh sekolah yang ada di Kecamatan Binangun.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, fokus masalahnya adalah

Bagaimana bentuk-bentuk Stereotype lukisan anak Sekolah Dasar kelas-kelas atas ( kelas-kelas IV sampai kelas-kelas VI) di Kecamatan Binangun.


(21)

C. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah

Mendeskripsikan gejala-gejala stereotype dan penyebab gejala stereotype yang muncul pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Binangun.

D. Kegunaan

Manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan memperkaya kajian keilmuan tentang gejala Stereotype pada lukisan anak Sekolah Dasar.

2. Manfaat Praktis

Sebagai pedoman guru dalam mengajar dan menentukan bimbingan seperti apa yang akan diberikan untuk anak yang kedapatan gejala stereotype dalam lukisanya.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Anak Usia SD

1. Pengertian Anak Sekolah Dasar

Anak sekolah menurut definisi WHO (World Health Organization) yaitu golongan anak yang berusia antara 7-15 tahun, sedangkan di Indonesia menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dikutip dari Suprajitno (2004: 29), anak sekolah adalah anak yang memilkiki umur 6 sampai 12 tahun yang masih duduk disekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 6 dan perkembangan sesuai usianya. Masa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah (Yusuf, 2007: 24).

Menurut Wong (2009), anak sekolah dasar adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan orang tua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah dasar merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu.

Dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU nomor 20 tahun 2001) Pasal 17 mendefinisikan pendidikan dasar sebagai: “(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang menengah. (2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madasrah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat”.


(23)

2. Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Anak sekolah merupakan golongan yang mempunyai karakteristik mulai mencoba mengembangkan kemandirian dan menentukan batasan-batasan norma. Anak pada usia ini sering disebut dengan istilah the Golden Ages atau periode keemasan. Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan penjelasan-penjelasan periode keemasan pada masa usia dini, dimana semua potensi siswa berkembang paling cepat. Beberapa konsep yang disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka, dan masa bermain.

Anak usia sekolah dasar pada umumnya sudah mulai mengembangkan kemandirian dan ketrampilanya dalam segala hal. Pada usia ini anak akan mencari jati dirinya dan akan sangat mudah terpengaruh lingkungan sekitarnya, terutama teman sebaya yang pengaruhnya sangat kuat seperti anak akan merubah perilaku dan kebiasaan temannya.

Masa usia sekolah dasar ini sering disebut juga sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Masa keserasian bersekolah ini secara relatif, anak-anak lebih mudah dari pada masa sebelumnya atau sesudahnya. Masa ini terbagai menjadi dua fase yaitu masa kelas-kelas renadah sekolah dasar, kira-kira usia 6 atau 7 tahun sampai 9 atau 10 tahun atau bisa dikatakan anak kelas 1 sampai kelas 3 SD. Selanjutnya, masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar, kira- kira usia 9 atau 10 sampai 12 atau 13 tahun atau anak yang menginjak kelas 4 sampai kelas 6 SD.


(24)

Pada masa anak kelas IV merupakan masa kanak-kanak akhir yang berlangsung pada usia sembilan sampai sepuluh tahun. Karakteristik pada anak kelas-kelas atas ini adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individu dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa.

Dalam hal ini anak siswa kelas atas lebih mampu mengembangkan ketrampilan kognitifnya secara penuh. Pada anak kelas atas mereka cenderung lebih aktif dalam berbagai hal yang menyangut aktivitas fisik. Dengan demikian guru harus merancang merancang pembelajaran khusus yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran ini akan merangsang anak untuk aktif dan kreatif baik dalam segi fisik dan sikologinya. Sifat fisik yang dimiliki siswa kelas-kelas atas diantaranya

1. Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis;

2. Amat realistik, ingin tahu, dan ingin belajar;

3. Menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal atau mata pelajaran khusus;

4. Sampai kira-kira umur 11 tahun anak akan membutuhkan guru atau orang dewasa untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginanya;

5. Pada masa ini anak memandang nilai sebagai tolak ukur yang tepat menganai prestasi belajar;


(25)

6. Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama-sama dengan aturan main yang mereka buat sendiri;

7. Peran manusia idola yang sempurna karena itu guru sering kali dianggap sebagai manusia yang serba tahu.

Dengan mengacu kepada aspek, karakteristik serta prinsip perkembangan siswa sekolah dasar, maka dapat dikemukakan prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah dasar dan proses pembelajaran di sekolah dasar harus bersifat terpadu dengan perkembangan siswa, baik perkembangan fisik, kognitif, sosial, moral, maupun emosional. Artinya, pengembangan bahan ajar dan proses pembelajaran di sekolah dasar harus sejalan dengan karakteristik perkembangan siswa.

B. Perkembangan Ekspresi dan Seni Rupa Anak 1. Perkembangan Ekspresi Anak

Perkembangan otak dan fisik pada anak sudah dimulai dari anak sebelum sekolah dan akan terus berkembang pada usia menginjak TK dan SD. Pada usia anak 7 sampai 12 tahun ditandai oleh perkembangan intelegensi yang pesat, anak ingin mengetahui segala sesuatu dan berfikir secara logis. Perkembangan jiwanya melihatkan keinginannya untuk bertanya, melihat, berfikir kritis, peka, ingatanya kuat, inisiatif dan tanggung jawab, sedangkan jasmaninya berkembang kearah penguasaan keterampilan pada tujuan tertentu. Menurut penjabaran diatas anak-anak kelas atas memiliki sensitivitas untuk


(26)

menerima pengalaman belajar yang diberikan guru, orang tua, dan orang yang lebih dewasa di lingkunganya. Masa perkembangan ini masih berada pada kepekaan aktif kreatif dan dinamis.

Pemberian pengalaman belajar pada masa peka ini merupakaan saat yang sangat baik, karena dapat mengembangkan kemampuan anak baik fisik maupun psikis secara utuh dan bermakna. Pendidikan Seni pada SD menurut KBK memiliki fungsi dan tujuan yang berkaitan untuk mengembangkan sikap toleransi, demokratis, beradab, hidup rukun bermasyarakat , memiliki kemampuan intelektual, imajinatif, dan ekspresi melalui seni, mengembangkan kepekaan rasa estetis, artistic, ketrampilan dan kreativitas serta menerapkan teknologi dalam berkarya serta dalam menampilkan karya seni.

Hajar Pamadhi (2012:163) menyatakan perkembangan intelektual, emosional maupun persepsi dapat dikategorikan sebagai perkembangan mental. Misalnya

No Perkembangan Kelas

1 2 3 4 5 6

1 Chronological age (urutan usia)

2 Mental age (usia mental)

3 Biological age (usia pertumbuhan badan)

Gambar 1: Skema Pertumbuhan Anak Sumber: Hajar Pamadhi (2012:163)


(27)

Dalam skema pertumbuhan anak, terurai bahwa bisa terjadi urutan perkembangan usia tidak seimbang. Usia kronologis (yaitu usia berdasarkan urutan yang dihitung sejak lahir) anak berusia 6 tahun berkembang terus sesuai dengan tahun. Usia kronologis ini kebetulan mempunyai perkembangan sejajar dan seiring dengan usia mental. Namun pada usia pertumbuhan, badan anak kurang normal dibanding dengan kedua usia di atas, mungkin kerdil, atau bahkan lebih cepat matang kedewasaanya.

Menurut Piaget dalam Sugihartono dkk (2007:109) pengamatan sangat penting dan menjadi dasar dalam menentukan proses berfikir anak, berbeda dengan perbuatan melihat yang hanya melibatkan mata, pengamatan melibatkan seluruh indra, menyimpan kesan lebih lama dan menimbulkan sensasi yang membekas pada siswa, oleh karena itu dalam belajar diupayakan siswa harus mengalami sendiri dan melihat langsung secara realistik objek yang dipelajarinya. Perkembanan kognitif anak usia sekolah dasar ini, menurut Piaget dalam buku psikologi anak dan remaja dijabarkan sebagai periode oprasi konkret yaitu usia 6 - 11 tahun dimana anak sudah dapat membentuk oprasi-oprasi mental atas penetahuan yang mereka miliki. Mereka dapat menambah,mengurangi, dan mengubah.

2. Perkembangan Seni Rupa Anak

Perkembangan pemahaman dan perasaan anak sangat kuat dalam menentukan sifat dan bentuk lukisan anak. Perkembangan ini dapat dikatagorikan dalam berbagai tingkatan (periodisasi). Hajar Pamadhi


(28)

(2012:183) menyatakan periodisasi gambar anak akan diungkapkan berdasarkan perkembangan usia mentalnya.

a. Masa coreng moreng (1-4) tahun

Usia perkembangan garis, pada usia ini (sekitar 1 sampai 2 tahun) anak masih melatih diri dalam mengkoordinasikan bentuk garis yang sempurna maupun yang kurang tepat. Taraf pandang anak masih berentuk benda global. Pada masa ini anak memberikan judul pada karyanya masih berubah-ubah, hal ini menunjukan bahwa penalaran anak belum setabil, bahkan dapat diduga bahwa pikiran anak masih menyatu dengan perasaan anak, apa yang dia fikirkan sama dengan apa yang dia raskan.

Gambar 2: Cara Pandang Anak Terhadap Objek Lukisan Sumber: Hajar Pamadhi (2012:183)

Di lihat dari lukisan anak di atas garis yang ditampilkan anak masih tidak stabil. Gerakan mencoret garis tidak teratur, namun arah goresan mulai terlihat dan berhentinya garis dapat diidentifikasi.


(29)

b. Masa Prabagan (Preschematic) usia 4-7 tahun

Pada masa prabagan ini anak sudah mulai menenal dirinya, baik jenis kelamin maupun eksistensi pada dirinya dalam hubungan kelarga maupun masyarakat sosialnya. Perkembangan dalam menggambar anak pada masa ini mulai meningkat dari figur manusia kepala-kaki menjadi manusia-tulang, atau manusia-batang. Dikataakan sebagai manusia tulang karena gambar tubuh manusia berupa tulang-tulang yang tersusun.

Gambar 3: Perubahan bentuk dengan komposisi terpisah menuju terorganisir

Sumber: Hajar Pamadhi (2012:187)

Gambar di atas merupakan gambar manusia tulang dan manusia batang. Tubuh yang diberi warna adalah gambaran tubuh batang, perkembangan awalnya jenis kelamin manusia tak nampak, namun setelah beberapa bulan setelah usia 3 tahun anak sudah mulai memberi ciri manusia laki-laki dan perempuan.


(30)

c. Masa Bagan (Schematic) usia 7-9 tahun

Masa bagan ditandai dengan kematangan berfikir general, oleh sebagaian anak laki-laki menggambar dijadikan sarana bermain dan bercerita tentang kephlawanan. Pada masa ini anak sudah mulai masuk kejenjang SD sehingga sisi perspektif gambar juga sudah mulai tampak.perspektif gambar anak mulai tampak ketika anak mulai belajar matematika, dimana bentuk tiga dimensi sudah menjadi dasar pandangnya. Beberapa sifat dasar yang sering muncul pada masa ini adalah (1) stressing point,karena pada masa ini sifat egoisentris anak. (2) stereotype, karena keasikan mengamati bentuk-bentuk yang menarik perhatianya,anak lupa mengamati kondisi nyata, akhirnya secara tidak sadar anak menggambar dengan mengulang-ulang bentuk.

Gambar 4: Perspektif rumah Sumber: Hajar Pamadhi (2012:189) d. Masa Realisme Awal (Dwaning Realism) Usia 9- 11 tahun

Perkembangan mental anak pada periode ini adalah kemampuan pengindraan bentuk yang detail mampu diungkapkan terutama hal-hal yang


(31)

berada dilingkungan sekitar. Pemahaman tentang postur tubuh manusia telah dipahami secara nyata, namun hambatan dalam menggambar adalah mengkoordinasikan tekanan-tekanan objek. Pada umumnya anak pada periode ini cenderung menggambar cerita secara lengkap, misalnya: belajar naik sepeda, atau gambar yang diambil dari hasil pengamatanya melihat film seri di televisi.

e. Masa Realisme Semu (Pseudo Realism) Usia 11-14 tahun

Seiring dengan perkembangan biologi, anak usia 11 – 15 tahun sudah membedakan dengan jelas kedudukan dirinya dan fungsi masing-masing organ tubuh. Gambar anak pada usia ini sudah tampak detail, namun mengalami kesulitan mengungkapkan bentuk-bentuk visual. Pikiran anak telah detail, rasional dan realitik, pengalaman melihat dan mengamati bentuk sudah cukup detail akan tetapi koordinasi tangan belum sesuai sehingga karya-karya rupa dikatakan setengah jadi.

Perkembangan ekspresi seni rupa anak dapat dilihat dengan dua cara. Pertama dengan mengkaji teori yang berhubungan dengan seni rupa anak; yang kedua dengan mengumpulkan karya seni rupa anak secara langsung dengan demikian diharapkan dapat memahami seni rupa anak secara komperhensif.

Dalam proses berkarya, anak dikoordinasikan oleh otak dan otak sendiri akan bekerja karena dorongan dari mata. Mata mencari bentuk yang mungkin


(32)

bisa diserahkan kepada otak untuk diubah, dari bentuk menuju memori dan diungkapkan menjadi gambar.

Gambar 5: Koordinasi kerja otak dan tangan Sumber: Hajar Pamadhi (2012:164)

Pada gambar di atas fungsi mata adalah mencari dan mengangkat objek yang mungkin dapat menyentuh hati dan pikiran. Hasil pengamatan terhdap objek diserahkan kepada otak untuk diramu dan dimasak menjadi pengetahuan baru dan setelah itu meminta tangan menangani kebutuhan otak dalam mengungkapkan ide dan gagasan. Selanjutnya, gerakan diatas dikaitkan dengan fungsi kerja otak menjadi seperti berikut

Gambar 6: Posisi Otak Kanan dan Otak Kiri Sumber: Hajar Pamadhi (2012:164)


(33)

Pada saat ini fungsi otak bergerak, diantaranya otak kiri bertugas mengkoordinasikan kerja tekstur dan rasional, untuk menungkap permasalahan dan mengurai secara porposional. Otak kanan bertugas mengkoordinasikan tugas yang bersifat emosional: artistik, intuitif, mapun yang lain sehingga anak berani mengemukakan tanggapanya. Anak yang mempunyai kecerdasaan emosional kinerja tangan lebih terampil dan tanpa takut mengembangkan ke dalam bentuk tugas sehari-hari yang rutin dengan demikian proses menggambar merupakan kinerja bersama dari otak kanan maupun kiri.

Kecerdasaan visual yang ada dalam pelajaran seni rupa sebenarnya dibutuhkan oleh anak dalam menanggapi lingkungan. Belajar seni rupa adalah upaya untuk memahami sekeliling melalui latihan daya ingat. Proses memahami lingkungan yang berkaitan dengan otak melalui citra-citra asosiatif dilakukan komunikasi secara metamorfosis-simbolis, sebab di dalam otak terdapat beberapa pikiran yang dikelilingi asosiasi. Menurut Dilts (1983;dalam DePorter et al, 1999:68), gerakan mata selama belajar dan berfikir terikat pada modalitas visual, auditonal, dan kinestetik. Dengan kata lain, mata bergerak menurut cara otak mengakses informasi.

C. Lukisan Anak Sekolah Dasar 1. Seni Lukis

Seni lukis merupakan cabang seni yang tertua usianya. Sampai saat ini mengalami banyak perkembangan. Seni merupakan hasil atau proses kerja dan gagasan manusia yang melibatkan kemampuan trampil, kreatif, kepekaan


(34)

indra, kepekaan hati, dan pikiran untuk menghasilkan suatu karya yang memiliki kesan inda, selaras, bernilai seni.

Seni lukis merupakan bagian dari bidang seni rupa murni yang berwujud dua dimensi, sehingga seni lukis merupakan karya yang terlepas dari unsur-unsur kegunaan praktis. Lukisan merupakan hasil pengungkapan ide-ide atau daya cipta dari perasaan dan pikiran anak yang diwujudkan dalam suatu bentuk gambar melalui garis dan bidang dengan percampuran warna sehingga mewujudkansuatu bentuk yang indah dan menarik.

2. Seni Lukis Anak

Pengalaman berseni rupa anak merupakan bagian dari kehidupanya. Melalui kegiatan berseni rupa anak mengenal olah pikir, olah rasa, dan olah tangan sebagi lahan bermain yang harmonis (Affandi, 2004: 2). Dalam bermain anak menemukan kebebasan dan kegembiraan. Salah satu kegiatan berseni rupa yang disukai anak adalah melukis atau menggambar. Melukis adalah media yang paling ekspresif yang dapat langsung mengekspresikan gagasan dalam diri seorang anak.

Secara umum dapat dikatakan bahwa karya seni rupa anak bersifat ekspresif dan dinamis (Kamaril, dkk. 1999). Apa yang digambarkan anak mencerminkan pribadinya, mengungkapkan apa yang diketahuinya dan tidak menggambar sesuai dengan kenyataan. Kesukaan akan gerak digambarkan dengan warna tajam mencolok serta objek-objek penuh gerak seperti binatang,


(35)

orang, kendaraan. Tetapi, jika dikaji ternyata bahwa secara umum terjadi pentahapan (periodisasi) dalam perkembangan dunia kesenirupaan anak.

Menurut Soesatyo (1994) dalam Peranan Orang tua Dalam Pembinaan Emosional Estetik Anak, anak melukis adalah menceritakan atau mengungkap (mengekspresikan) sesuatu yang ada pada dirinya secara intuitif dan spontan lewat media seni lukis. Maka karya seni lukis anak-anak adalah seni meskipun tidak dapat disamakan dengan karya lukis orang dewasa.

Seni lukis anak pada umumnya menampilkan bentuk karya dengan ciri bebas, unik, dan kreatif, goresan spontanitas, ekspresif sejalan dengan tipologi (gaya gambar), periodisasi (masa) perkembangan menggambar dan kesan ruang gambar yang dibuatnya. Dalam proses berkarya seni, pikiran dan perasaan anak aktif bahkan pikiran anak bercampur perasaan anak. Proses komunikasi yang terjdi ketika anak menggmbar sebenarnya adalah komunikasi interpersonl yang egois.

Mencermati lukisan anak dan cara mereka menggambarkan lingkungannya, dapat memberikan suatu pandangan tingkah laku dan apresiasi pertumbuhan dan perkembangan bervariasi yang dialami anak. Lukisan anak dapat dibaca jiwa dan kehidupan anak-anak yang bersifat polos. Penggunaan warna sesuai dengan suasana hatinya, sangat berani: merah kuning, biru, hitam dan seterusnya. Apa yang dituangkan dalam tema lukisannya adalah apa yang dilihatnya sesuai dengan lingkungan hidup yang nyata dan khayalnya, sesuai dengan “kacamata” anak kedalam bentuk visual. Goresan atau corengan pada dasarnya merupakan suatu aktifitas yang relatif mudah dan dapat dilakukan


(36)

oleh setiap anak. Seorang anak yang belum mengenal tulisan atau aksara dapat membuat atau menggores bentuk-bentuk tertentu sesuai dengan ungkapan keinginanya.

Kegiatan seni disamping penting bagi perkembangan kognitif juga memberikan rangsangan bagi pertumbuhan persepsi, emosional, sosial, dan krativitas anak. Kegiatan anak ini perlu diketahui apa yang dapat dikembangkan pada diri anak secara maksimal, karena lukisan anak itu sendiri mencerminkan segi kejiwaan anak, dengan demikian anak menggambar mulai yang paling sederhana yaitu dengan garis-garis dan berkembang menjadi bentuk-bentuk yang representasional dan detail sesuai dengan perkembangan usia sesuai dengan pengetahuannya sendiri bukan menurut penampakan visual.

Banyak sedikitnya unsur pada lukisan sangat tergantung pada keasyikan pemikiran dan fantasinya, lebih banyak yang akan mereka ceritakan maka lebih banyak pula bentuk yang akan dimunculkannya. Ungkapan pribadinya muncul melalui bentuk-bentuk dengan makna simbolik tertentu, intuitif, dan lebih dekat pada sifat bermain.

3. Sifat Lukisan Anak

Menurut Salam (2001: 33-35) gambar anak dari seluruh dunia menunjukan kesamaan, kesamaan tersebut tercermin pada sifat-sifat antara lain: ekspresif, melebih-lebihkan, dan naratif.

Sifat ekspresif gambar anak tercermin pada kejujuran anak untuk menggambarkan ide atau hasil pengamatanya berdasarkan sudut pandang anak


(37)

itu sendiri. Seperti halnya menggambar tubuh manusia hanya digambarkan menggunakan garis saja. Sifat ekspresif ini tampak pada anak usia taman kanak-kanak serta anak kelas bawah sekolah dasar.

Sifat melebih-lebihkan, gambar anak khususnya yang berusia 4-10 tahun cenderung menggambarkan secara berlebih-lebihan dari objek gambar yang dianggapnya penting. Objek yang dianggap penting digunakan secara lebih menonjol dari segi ukuran atau bagian objek lainya sehinga gambar tampak tidak proporsional.

Naratif, gambar anak pada dasarnya adalah cerita anak tentang diri sendiri dan lingkungan disekitarnya. Tidak mengherankan jika anak menghadirkan tema-tema yang disenangioleh anak, misalnya tema ibu, ayah, atau anggota keluarga, kemudian seiring luasnya pergaulan anak tema pun menjadi berkembang seperti tema permainan atau tempat yang pernah diunjungi.

4. Karakteristik Lukisan Anak SD

Perkembangan lukisan anak pada usia SD ini sangat erat kaitanya dengan perkembangan psikologis maupun psikomotorik anak. Pada tahap anak usia sekolah dasar ini anak mulai memasuki masyarakat diluar keluarga, dan menjadi pengamat lingkungan disekitarnya sehingga lukisan anak yang digambarkanya pun mengalami perkembangan. Pada masa ini bisanya anak melukiskan berbagai macam kejadianya yang dialaminya, selain itu, pikiran dan fantasi hayal anak berkembang sehingga memungkinkan anak melukis


(38)

sesuatu yang orang dewasa kadang tidak mengerti dengan apa yang anak lukis. Dengan demikian, untuk mengetahui karakteristik gambar anak dapat dilihat berdasarkan: gaya lukis anak, tipe lukisan anak maupun sifat lukisan anak. a. Gaya Lukis Anak

Lukisan anak pada masa ini konsep bentuk mulai tampak lebih jelas. Anak cenderung mengulang bentuk. Gambar masih tetap berkesan datar dan berputar atau rebah (tampak pada penggambaran pohon di kiri kanan jalan yang dibuat tegak lurus dengan badan jalan, bagian kiri rebah ke kiri, bagian kanan rebah ke kanan). Pada perkembangan selanjutnya kesadaran ruang muncul dengan dibuatnya garis pijak (base line).

Penafsiran ruang bersifat subjektif, tampak pada gambar “tembus pandang” (contoh: digambarkan orang makan di ruangan, seakan-akan dinding terbuat dari kaca). Gejala ini disebut dengan idioplastis (gambar terawang, tembus pandang).

Pada masa ini juga, kadang-kadang dalam satu bidang gambar dilukiskan berbagai peristiwa yang berlainan waktu, dalam tinjauan budaya dinamakan continous narrative, anak sudah bisa memahami ruang dan waktu. Objek gambar yang dilukiskan banyak dan berulang menggambarkan sedang dilakukan.

Menurut Tejo Sampurno (2015: 129) karakteristik lukisan anak ada 7 penjabaran. Pertama, anak sering memberi elemen yang tidak biasa dalam lukisan yang dipahami oleh orang dewasa tentang lukisan anak, yaitu kata-kata.


(39)

Kata-kata yang terdapat dalam lukisan anak pada dasarnya adalah mengacu pada komik. Karakteristik komik merupakan karakteristik lukisan anak dengan memanfaatkan cerita lebih dahulu, atau kata-kata yang ada sebagai elemen visual di dalam lukisan, oleh karena itu karakteristik ini membuat lukisan anak mirip dengan cerita bergambar.

Gambar 7: Karakteristik Komik Tejo Sampurno (2015: 129)

Kedua, karakteristik lukisan naturalistik dan realistik. Naturalistik biasanya disamakan dengan realistik, walaupun sebenarnya dalam kedua gaya lukisan ini terdapat perbedaan. Gaya naturalistik cenderung diungkapkan dalam gambar pemandangan yang terdiri dari unsur gunung, sawah, dan sungai. Sedangkan lukisan anak realistik lebih menonjolkan pengungkapan gambar dan situasi dirumah.


(40)

Gambar 8: Karakteristik Naturalis Tejo Sampurno (2015: 130)

Ketiga, Karakteristik heroik yang bisa diartikan sebagai menggambar cerita kepahlawanan. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari membaca dan melihat komik atau acara televisi.

Gambar 9: Karakteristik Heroik Tejo Sampurno (2015: 131)

Keempat, bertumpu pada garis besar yang sebagian anak masih mempunyai cara pandang spesial, artinya suatu objek hanya dipandang melalui satu sisi walaupun seluruhnya juga akan disampaikan. Logika anak mulai


(41)

berjalan dengan memberi tanda pada setiap objek berdiri, sebagai contoh: pohon kelapa berdiri di atas tanah, dll.

Gambar 10: Bertumpu pada Garis Dasar Tejo Sampurno (2015: 132)

Kelima, adanya transparasi terhadap objek-objek yang disimbolkan dalam lukisan anak. Salah satu ciri khas lukisan anak adalah gambar tembus pandang atau sering disebut transparasi. Karakteristik tembus pandang ini merupakan hal yang wajar seiring dengan perkembangan usia mental anak, yaitu perkembangan pikiran dan perasaanya.

Gambar 11: Idioplastis, Objek Tembus Pandang Tejo Sampurno (2015: 133)


(42)

Keenam, lukisan anak dengan susunan bebas. Pada susunan bebas, semua benda ditampilkan dan belum mempunyai cerita yang jelas. Ketujuh, terdapat egoisentris baik dalam simbolik bentuk dan warna, maupun keseluruhan lukisan.

Gambar 12: Egoisentris Lukisan Dilan Sumber: dokumentasi pribadi

Egoisentris pada lukisan berjudul “Cita-citaku” di atas nampak pada penggambaran aku yang digambarkan dengan bentuk besar dan ditengah sebagai objek utama.

b. Tipe lukisan anak

Tipe lukisan anak menurut Hajar Pamadhi dalam konsep pendidikan seni ( 2010: 155) adalah sebagai berikut

a. Haptic

Tipe haptic adalah tipe lukisan anak yang lebih cenderung mengungkapkan rasa dari pada pikiran. Sehingga model atau bentuk atau tampilanya terlihat ekspresif dan menghasilkan bentuk–bentuk perasaan. Bentuk lukisan haptic


(43)

dapat didefinisikan dengan objek relistic namun kadang kala maksudnya tidak jelas atau mirip dengan lukisan abstrak bagi pandangan orang dewasa (Hajar Pamadhi, 2012: 180).

Gambar 13: Tipe Haptic

Sumber: Hajar Pamadhi (2012:180)

Sebagai contoh lukisan di atas seekor ayam sedang memakan binatang kecil dan berdiri diatas batu kecil. Secara sepintas adegan ayam ini sulit diketahui maksud, bentuk sesunggguhnya.

b. Non-Haptic

Tipe non- haptic adalah tipe lukisan anak dimana anak anak lebih suka memberi tanda idenya dengan bentuk yang mudah diidentifikasi orang lain (Hajar Pamadhi, 2012: 181). Oleh karena itu, bentuk objek pada tipe ini cenderung jelas dan mudah dikenali maksudnya.


(44)

Gambar 14: Tipe Non Haptic

Sumber: Hajar Pamadhi (2012: 181) c. Willing Type

Willing type berasal dari kata will yang artinya akan atau hendak. Maka istilah Willing Type merujuk makna seseorang yang mengharapkan akan sesuatu (Hajar Pamadhi, 2010: 156). Willing type adalah tipe gambar anak dimana anak mengungkapkan harapanya terhadap keinginan, cita-cita, dan sebagainya. Willing type mendorong imajinasi anak akan keinginannya yang belum terlaksana.

c. Kreativitas dan Motivasi Menggambar Anak 1. Kreativitas Menggambar Anak

Primadi Tabrani (2001: 90 - 93) mengemukakan tentang ciri kreativitas antara lain: kepekaan, kelancaran, keluwesan, orisinalitas, elaborasi, redefinisi. Lebih lanjut dikemukan bahwa cara berfikir anak adalah: Bagaikan dalam mimpi memungkinkan terjadinya proses kreasi. Apa yang dilukis anak, bukan semata apa yang dilihatnya, tetapi merupakan hasil kerja sama semua indera


(45)

inderanya, yang ia rasakan dan imajinasikan, serta cetusan jiwanya. Pada diri manusia terdapat adanya trio, yaitu fisik-kreatif-rasio.

Amal Abdussalam Al-Khalili (2005: 35) terjamah oleh Umma Farida mengemukakan kemampuan untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran yang asli, tidak biasa, dan sangat fleksibel dalam merespon dan mengembangkan pemikiran dan aktivitas. Kreativitas ini juga dimiliki oleh mayoritas anak-anak. Akan tetapi, kreativitas ini berbeda antara anak satu dengan lainnya, dan antara satu lingkungan dengan lingkungan lainnya. Karena itu, kreativitas anak-anak sebenarnya adalah suatu pemikiran yang memiliki hasil cipta, bukan rutinitas atau sekadar mengikuti mode.

Kreativitas perlu dipupuk sejak dini pada diri pembelajar, ada beberapa alasan sebagaimana diungkapkan oleh Utami Munandar (2009: 31) sebagai berikut Pertama, karena dengan berkreasi orang dapat mewujudkan (mengaktualisasikan) dirinya, dan perwujudan /aktualisasi diri merupakan kebutuhan pokok pada tingkat tertinggi dalam hidup manusia. Kedua, kreativitas atau berfikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan. Ketiga, bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat (bagi diri pribadi dan lingkungan) tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu.

Keempat, kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas


(46)

Menurut Lowenfeld (dalam Sumanto, 2006:9) karakteristik kreativitas dalam seni rupa adalah seperangkat kemampuan seseorang meliputi

(a) kepekaan mengamati berbagai masalah dengan indra;

(b) kelancaran dalam mengeluarkan alternatif pemecahan masalah; (c) keluesan melihat atau memandang suatu masalah serta

kemungkinan jawaban pemecahanya;

(d) kemampuan merespon atau membuahkan gagasan dalam origenelitas yang biasa atau umum ditemukan;

(e) kemampuan yang berkaitan dengan keunikan cara atau mengungkapkangagasan dalam menciptakan karya seni;

(f) kemampuan mengabstraksi hal-hal yang bersifat umum dan mengkaitkanya menjadi hal-hal yang sepesifik;

(g) kemampuan memadukan atau mengkombinasi unsur-unsur seni menjadi karya seni yang utuh;

(h) kemampuan menata secara terpadu dari keseluruhan unsur-unsur seni kedalam tatanan yang selaras.

2. Motivasi gambar anak

Motivasi menggambar menurut Earl W. Linderman dan Donald W.Herbertholz (dalam Hajar Pamadhi 2012: 170) mengungkapkan bahwa motivasi sendiri terdapat 3 bentuk dasar, yaitu artistic motivation, intelectual motivation, imaginative motivation. Motivasi artistik yang dimaksud adalah dorongan menggambar karena melihat suatu objek yang indah, sehingga tampak dalam gambar berupa tata susunan yang artistik. Motivasi penalaran, gambar merupakan dorongan berkarya seni dari pandangan objek yang mempunyai struktur menarik, sehingga anak berkeinginan menggambar. Sedangakan motivasi imajinasi adalah dorongan menggambar yang berasal dari imajinasi anak. Anak membayangan sesuatu, mungkin cita-cita atau bentuk yang lain hingga terwujud gambar.


(47)

D. Unsur Seni Lukis 1) Garis

Garis merupakan unsur utama dalam seni rupa. Garis merupakan bentuk yang memanjang dan mempunyai sifat yang elastis, kaku, dan tegas. Dalam Desain Elementer garis adalah goresan dan batas limit dari suatu benda, massa, ruang, warna dan lain-lain. Selanjutnya menurut Mikke Susanto (2011:148), pemaknaan tentang garis sebagai berikut

“Garis memiliki dimensi memanjang dan punya arah, bisa pendek, bisa panjang, halus, tebal, berombak, melengkung, lurus dan lain-lain, dalam seni lukis garis dapat pula berbentuk dari perpaduan antara dua warna.”

Selain pengertian di atas Kartika (2004:40) menyatakan bahwa terkadang sebagai simbol emosi yang diungkapkan lewat garis, atau lebih tepat disebut goresan. Garis yang dibuat oleh seseorang akan memberikan kesan psikologis yang berbeda pada setiap garis yang dihadirkan.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa garis dalam seni lukis adalah goresan yang diciptakan sebagai simbol emosi yang berdimensi memanjang, pendek, halus, dan lain-lain yang merupakan wujud ekspresi sebagai unsur seni rupa dalam meciptakan lukisan.

2) Bidang

Bidang memiliki bermacam-macam bentuk ada geometri dan bentuk non geometri (Mikke Susanto, 2011:55). Shape atau bidang adalah “sebuah area yang dibatasi oleh garis,baik oleh formal maupun garis yang sifatnya ilusif, ekspresif atau sugesti”


(48)

Bidang memiliki kedudukan,arah dan dibatasi oleh garis. Bidang dikelilingi garis yang menjadi pinggir bentuk tersebut, baik dibtasi oleh garis nyata maupun garis semu. Menurut Wong (1972:5) jenis bidang dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu

1. Bidang geometris, adalah bidang yang dibuat berdasar matematika. Dengan kata lain bidang geometri adalah bidang yang terukur atau bisa diukur dengan pasti.

2. Bidang organis, adalah bidang yang dibatasi oleh lengkung bebas yang mengesankan kejelangan dan pertumbuhan.

3. Bidang bersudut adalah bidang yang dibatasi oleh beberapa garis lurus yang menuntut matematika tidak bersitali

4. Bidang tidak beraturan, adalah bidang yang dibatasi oleh garis lurus dan lengkung yang dari segi matematik tidak bersitali.

Sedangkan menurut Kartika (2004: 40), pengertian bidang adalah: “Suatu bidang kecil yang terjadi karena dibatasi sebuah kontur (garis) oleh adanya warna yang berbeda atau oleh gelap terang pada arsiran atau adanya tekstur.”

Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bidang merupakan media berdimensi dua sebagai ekspresi atau yang terbentuk dari garis, perpaduan dua warna dan tekstur yang disusun membentuk bidang baik geometri (beraturan) maupun non geometri (tidak beraturan).


(49)

3) Bentuk

Bentuk adalah suatu bidang kecil yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah garis dan atau dibatasi oleh adanya warna yang berbeda atau oleh gelap terang pada arsiran atau karena adanya tekstur (Kartika, 2004:41). Bentuk terdiri atas dua yaitu bangun dan bentuk plastis. bangun adalah bentuk seperti bulat, persegi, ornamental, tidak terstruktur. Sedangkan bentuk plastis adalah bentuk subjektif atau suatu bentuk benda yang dapat dilihat dan dirasakan karena memiliki unsur nilai dari benda tersebut.

4) Warna

Warna merupakan unsur seni rupa yang paling menonjol, sangat penting dan telah diakui sebagai wujud keindahan yang dapat diserap oleh mata manusia. Warna sebagi unsur visual yang berkaitan dengan bahan yang mendukung keberadaanya ditentukan oleh pigmennya. Warna merupakan pelengkap gambar serta mewakili suasana kejiwaan pelukisnya dalam berkomunikasi.

Kartika (2004: 53) menyatakan bahwa warna mempunyai kedudukan tertentu dalam kehidupan. (1) Warna sebagai warna. Warna yang dimaksud disini adalah warna sekedar memberikan tanda pada suatu benda satu dengan benda lainya dan tidak memberikan pretensi apapun. Dengan kata lain warna disini hanya sebagai pemanis permukaan. (2) Warna sebagai representasi alam. Warna merupakan penggambaran sifat secara nyata, atau penggambaran dari sebuah objek alam sesuai dengan apa yang dilihatnya. (3) Warna sebagai


(50)

simbol atau tanda atau lambang. Warna disini merupakan lambang atau melambangkan sesuatu yang merupakan tradisi atau pola umum. Kehadiran warna disini juga untuk memberikan sebuah tanda tertentu”

E. Prinsip Komposisi dalam Lukis 1) Kesatuan

Untuk mencapai suatu karya yang harmoni dalam suatu lukisan memerlukan sebuah kesatuan dalam pengorganisasian unsur-unsur seni rupa pada lukisan sengan sedemikian rupa, sehingga ada harmoni antara bagian-bagian dalam lukisan.

Kesatuan adalah kohesi, konsistensi, ketunggalan atau keutuhan yang merupakan isi pokok dari komposisi (Kartika, 2004: 59). Jadi kesatuan merupakan penyusun dari elemen-elemen seni rupa sehingga tiap-tiap bagian-bagian yang tersusun tidak terlepas dari bagian-bagian lainya disamping itu untuk memperoleh kesatuan bentuk dan keharmonisan diantara semua elemen.

2) Keseimbangan

Keseimbangan atau balance adalah persatuan materi-materi dari ukuran berat dan memberi tekanan pada stabilitas suatu komposisi karya seni ( Mikke Susanto 2011: 46). Keseimbangan dalam penyusunan adalah keadaan atau kesamaan antara kekatan yang saling berhadapan dan menimbulkan adanya kesan seimbang secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan (Kartika, 2004:60). Ada dua macam keseimbangan yang diperhatikan dalam penyusunan, yaitu


(51)

a. Keseimbangan formal

Keseimbangan formal yaitu keseimbangan pada dua pihak berlawanan dari satu poros. Keseimbangan formal dicapai dengan menyusun unsur-unsur yang sejenis dan mempunyai identitas visual pada jarak yang sama terhadap suatu titik pusat yang imajiner.

b. Keseimbangan Informal

Keseimbangan informal adalah keseimbangan sebelah menyebelah dari susunan unsur yang mengungkapkan prinsip susunan ketidaksamaan atau kontras dan selalu asimetis (Kartika, 2004: 61). Keseimbangan informal memungkinkan variasi yang lebih banyak, sehingga lebih menarik perhatian.

3) Harmoni (Keselarasan)

Harmoni merupkan tatanan atau proporsi yang dianggap seimbang atau memiliki keserasian, juga merujuk pada pemberdayagunaan ide-ide dan potensi-potensi bahan dan teknik tertentu dengan berpedoman pada aturan-aturan ideal (Mikke Susanto, 2011: 175).

Kartika (2004:48) harmoni atau selaras merupakan unsur-unsur yang berada dekat. Jika unsur estetika dipadukan secara berdampingan maka akan timbul kombinasi tertentu dan timbul keselarasan.

4) Irama

Irama merupakan suatu kondisi yang menunjukan kehadiran sesuatu secara berulang-ulang dan teratur (Djelantik 1999: 44). Sedangkan menurut


(52)

Mikke Susanto (2011: 334) juga berpendapat bahwa irama atau ritme dalam seni rupa menyangkut persoalan warna, komposisi, garis, maupun yang lainya. Irama merupakan pengulangan yang konsisten, runtut, terus menerus, dan teratur. Prinsip irama sesungguhnya merupakaan hukum hubungan pengulangan unsur rupa, bentuk dan ukuran.

F. Tinjauan Psikologi Lukisan Anak SD

Dalam perkembangan psikologi humanistik, perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (teori behavioral) seperti teman-teman disekitarnya, guru kelas, ataupun orang tua dan faktor internal. Teori pesikonalisis menjelaskan bahwa internal faktor sebagai modal awal seperti: dasar pikiran dan perasaan. Psikoanalisis sendiri menyatakan bahwa dalam jiwa manusia berkembang kognisi, afeksi dan psikomotorik. Perkembangan ketiganya mempengaruhi perkembangan mental dan selanjutnya berpengaruh terhadap cara cipta seni rupa.

Lukisan adalah sebuah kenyataan dari pikiran-pikiran anak yang pada momen tertentu mendorongnya untuk melukis. Kualitas sebuah lukisan dilihat dari abstraksi keindahnya, tidak hanya menunjukan kecerdasan, melainkan juga keseimbangan perasaan anak yang sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam beradaptasi, dimana kemampuan ini lebih dominan didalam keluarga dari pada disekolah.

Goresan yang dilakukan ketika anak berkarya, dalam hal psikologis, anak yang hidupnya senang akan menarik garis kuat dan cenderung


(53)

menghabiskan hampir semua bagian kertas, sementara anak yang rapuh akan sering menjatuhkan atau membuang pensilnya (Davido, 2012). Menurut Marthe Bernson dalam Mengenal Anak Melalui Gambar (Davido, 2012:10), anak yang menghabiskan satu halaman penuh dengan coretanya adalah anak yang hatinya sedang meluap-luap. Lukisan anak lebih menjelaskan segi psikologis anak daripada segifisiknya. Segi fisik lebih menunjukan kreasi imajinatif dari pada penggambaran yang sebenarnya.hal tersebut adalah realitas yang berasal dari jiwa kekanak-kanakan dari sering diiringi dengan perasaan. Banyak khayalan yang muncul pada karya anak.

G. Kajian Mengenai Gejala Stereotype pada Lukisan Anak SD

Menurut Kamus Besar Bahasa indonesia Stereotype adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subjektif dan tidak tepat. Menurut Sherif (dalam Sobur, 2009: 390) “Psikologi UmumStereotype adalah kecenderungan seseorang atau kelompok untuk menampilkan gambar atau gagasan yang keliru. Sedangkan Miller dalam (Haslm, et.al.,1994: th) menyatakan bahwa Stereotype mempunyai dua makna konotasi: rigiditas dan duplikasi atau kesamaan. Broom dalam Silvagama (2010) menyatakan bahwa pengulangan secara relatif kelangsungan gerakan tidak bervariasi dan tidak punya tujuan yang jelas. Dalam kajian Seni Rupa stereotype memiliki arti pengulangan. Dalam arti yang lebih sempit stereotype merupakan perulangan dalam kajian gambar anak. Gambar stereotype ialah gambar ungkapan ingatan secara berulang-ulang.


(54)

Gejala stereotype pada lukisan anak sering disebut juga gejala otomatisme. Gejala stereotype ini merupakan gejala dimana anak mengulan-ulang bentuk yang sama dalam setiap kali melukis. Gejala Stereotype ini bisa dikatakan sebagai gejala anak tidak kreatif dalam melukis, karena anak hanya mengandalkan pada satu bentuk lukisan yang dibuatnya secara berulang-ulang. Hal inilah yang menjadikan anak tidak kreatif dalam melukis.

Komposisi stereotype adalah susunan elemen bentuk yang diulang-ulang, pada gambar atau lukisan anak. Biasanya lukisan anak yang sering dijumpai kedapatan gejala stereotype adalah lukisan anak dua gunung kembar dengan matahari di tengah, kemudian pengulangan yang paling nampak adalah pengulangan padi pada kotak sawah. Pengulangan lukisan ini bisa terjadi secara berulang-ulang bahkan ada anak yang mempunyai gejala streotype dengan mengulang-ulang bentuk sampai dia dewasa, misalnya anak yang jika disuruh seorang guru untuk melukiskan pemandangan ia selalu melukis dua gunung kembar dengan matahari burung terbang dan hamparan sawah. Gaya lukisan seperti itu diulang-ulang dari anak masih kecil sampai anak menginjak usia dewasa. Hal ini jika terjadi ssecara terus menerus dapat menghambat kreativitas anak dalam memunculkan ide-ide yang lain dalam lukisannya.

Pengulangan pada hasil karya anak muncul secara bertahap, yaitu perulangan total, perulangan objek dan perulangan unsur.

1. Perulangan total

Setiap kali anak menggambar atau mlukis, maka gambar yang muncul adalah sama atau tidak bervariasi. Anak merasa bangga dengan karya yang


(55)

telah berhasil dibuatnya sehingga akan dibuatnya berulang-ulang. Hal ini disebabkan karena anak belum mampu membuat bentuk lain kecuali yang sudah mereka hafal, misalnya gambar mobil atau pemandangan dua gunung dan matahari ditengahnya. Salah satu faktor yang menyebabkan pengulangan bentuk ini adalah dimana anak merasa bangga dengan lukisannya mungkin karena mendapatkan sanjungan dari orang dewasa atau karena memang anak melihat karyanya indah untuk dirinya sendiri sehingga anak menciptakan hasil karya lukis yang sama secara berulang-ulang. Hal inilah yang menyebabkan munculah gejala stereotype pengulangan totol.

2. Pengulangan objek

Bentuk perulangan ini akan muncul ketika anak harus melukis atau menggambarkan objek yang banyak pada suatu gambar, misalnya sekumpulan orang, pohon-pohon, kendaraan,atau rumah. Bentuk yang digambar hampir sama baik bentuk maupun ukuranya. Kemampuan anak masih kurang ketika harus memberi variasi bentuk. Pengulangan objek pada lukisan anak ini biasanya muncul ketika anak melukiskan pemandangan sawah yang biasanya anak menggunakan simbol huruf “v” secara berulang-ulang dengan bentuk yang sama untuk memberikan kesan sawah seperti apa yang dia harapkan.

3. Perulangan unsur

Melalui bentuk perulangan unsur, anak cukup kreatif, hanya keberhasilanya dalam menemukan bentuk tertentu memaksakanya mengulang


(56)

bentuk itu dalam berbagai penggambaran yang dibuatnya. Anak-anak kadang menggambar matahari seperti wajah orang atau binatang berwajah seperti orang.pengulangan usur ini terjadi karena memang wawasan anak atau pengetahuanya tentang bentuk masih kurang atau bisa mungkin terjadi karena anak kurang bisa membentuk unsur yang lain misalnya bentuk muka manusia dan hewan, anak paham perbedaanya namun belum bisa untuk menggambarkan perbedaan tersebut sehingga anak cenderung mengulang bentuk wajah tersebut dalam lukisan hewan maupun manusia.

Dalam dunia anak sering dijumpai gambar yang hampir sama atau bahkan sama persis dengan gambar sebelumnya. Gambar yang paling sering dijumpai adalah gambar dua buah gunung dengan matahari di tengah.

Gambar 15 a: Stereotype lukisan gunung Sumber: http://www.abbeart.co.id

Gambar di atas merupakan contoh bahwa lukisan pemandangan gunung merupakan lukisan legendaris yang sudah ada dari zaman dahulu dan sampai


(57)

sekarang masih banyak dijumpai lukisan anak yang bentuk dan temanya pegunungan. keadaan seperti ini merupakan tanda gejala ketidak kreativan anak dalam menentukan ide pada lukisannya yang dikenal dengan gejala Stereotype.

Pada gejala Stereotype ini anak cenderung mengulang-ulang suatu tema karya yang telah dibuat atau bentuk-bentuk yang telah dibuat sebelumnya tanpa ada penambahan atau pengurangan bentuk yang sudah ada. Hal ini lah yang menyebabkan gejala stereotype ini disebut gejala anak tidak kreatif. Ketidakkreatifan anak dalam melukis ini tentunya menghambat imajinasi dan ide anak dalam menciptakan karya lukis selanjutnya. Dapat dilihat pada contoh lukisan dibawah ini:

Gambar 15 b: Stereotype objek “v”

Sumber: Hajar pamadhi (2012: 179)

Pada gambar di atas pikiran anak tertuju pada simbolisme huruf “v” dan petak sawah dilambangkan dengan gambar bukit. Gambar ini menunjukan arti bahwa bukit-bukit yang dilihat anak penuh dengan sawah (tanaman padi).


(58)

Gejala stereotype ini diperjelas dengan adanya gambar matahari yang dilambangan dengan seperempat lingkaran di pinggir kiri dengan warna hitam. Alam pikir anak,warna hitam mewakili matahari yang berwarna dan sinar matahari dilambangkan dengan garis memancar bersumber pada lingkaran tersebut.

Faktor yang mempengaruhi munculnya gejala stereotype dalam lukisan anak dapat berasal dari:1) Internal atau dari diri anak yang meliputi bakat dan minat anak yang memang hanya bisa menggambar bentuk yang sama dan kurangnya minat anak untuk mempelajari bentuk-bentuk yang berbeda dari yang bisa dia lukis; 2) Eksternal atau faktor yang berasal dari luar, faktor eksternal munculnya gejala stereotype ini dapat muncul dari peran orang tua dan guru. Faktor eksternal ini dapat dilihat dari kuragnya motivasi atau dorongan baik dari orang maupun guru dalam mendukung anak dalam melukis, misalnya anak melukis dengan bentuk-bentuk yang sama secara terus menerus tetapi orang tua dan guru membiarkannya dan tidak memberikan motivasi dan masukan pada hasil karyanya sehingga anak terbiasa mengulang-ulang bentuk lukisan yang sama dalam setiap karyanya. Selanjutnya cara mendidik anak juga mempengaruhi munculnya gejala Stereotype pada lukisan anak, faktor orang tua dalam mendidik anak dirumah dapat berpengaruh terhadap lukisan anak. Misalnya, orang tua yang di rumah mengekang anaknya dalam berbagai hal akan mempengaruhi hasil karya anak. Dalam lukisanya, anak cenderung takut menuangkan ide dan kreativitasnya dalam lukisan karena takut salah, sehingga anak akan lebih nyaman dan aman jika mengulang-ulang bentuk yang mereka


(59)

rasa sudah benar. Sedangkan peran guru mengajar dalam kelas juga sangat berpengaruh dalam kreativitas siswa dalam melukis. Guru yang tidak aktif dan tidak mempunyai banyak wawasan dalam melukis biasanya mengajar siswa hanya sekedarnya saja tanpa memikirkan kreativitas anak didiknya. Contoh yang biasa ditemui adalah guru hanya memberikan 1 contoh gambar dalam mengajar lukis tema pemandngan. Guru biasanya mencontohkan dengan gambaran gunung kembar dengan matahari ditengahnya dan tidak memberikan referensi contoh gambar lain, sehingga anak lebih senang mencontoh gambar itu secara berulang-ulang dan tidak dapat memunculkan kreativitas ide lainya. H. Penelitian Relevan

Hasil penelitian relevan dari penelitian mengenai gejala Stereotype ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Drs. Suwarna (2008) yang berjudul “Gejala-gejala Karya Seni Lukis Anak-anak TK dan Pembinaanya Di Kecamatan Bantul” memberikan hasil yaitu teridentivikasinya macam-macam gejala lukis anak salah satunya gejala Stereotype.

Kesamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah mengkaji mengenai gejala lukis anak. Metode yang digunakan sama yaitu dengan pendekatan kualitatif berdasarkan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah lokasi dan mengenai kajian serta pembahasan gejala Stereotype yang lebih mendalam.


(60)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian

Penelitian terhadap gejala Stereotype pada karya Lukis anak usia Sekolah Dasar ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif kualitataif bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengintepretasikan kondisi yang terjadi atau yang ada (Sumanto, 1995: 77). Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi aktual secara terperinci yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, membuat evaluasi, menentukan apa yang dilakukan dan menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman untuk menetapkan rencana dan keputusan diwaktu mendatang. Dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh informsi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara variabel-variabel yang ada.

Penelitian deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada saat ini, tekniknya menuturkan (menafsirkan data yag ada), menganalisa dan mengklasifikasi. Ciri-ciri metode deskriptif antara lain fokus pada pemecahan masalah saat ini dan bersifat aktual (data dikumpulkan, disusun lalu dijelaskan). Ciri lain metode deskriptif ialah titik tekan pada observasi dan susunan alamiah. Penelitian bertindak sebagai pengamat. Ia hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala dan mencatatnya.


(61)

Pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah mahluk aktif yang mempunyai kebebasan kemauan yang perilakunya tidak didasarkan pada hukum sebab akibat (Alsa, 2003: 29). Penelitian kualitatif mengkaji partisipan dengan multi strategi, strategi bersifat intraktif, seperti observasi langsung, observasi partisipatif, wawancara mendalam, dokumen-dokumen, teknik-teknik pelengkap seperti foto, rekaman, dan lain-lain. Moleong (2000: 3) menyatakan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati.

Seluruh kerja atau penelitian kualitatif berlangsung serempak, dilakukan dalam bentuk pengumpulan, pengelolahan dan interpretasi yang bersifat kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan observasi partisipasi, wawancara dan metode yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif guna mengungkapkan sebab dan proses terjadinya peristiwa yang dialami oleh subjek penelitian.

Metode deskriptif kualitatif dilakukan dengan menghimpun data sewajarnya, menggunakan cara kerja yang sistematis terarah dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penelitian ini berfungsi sebagai pengontrol data karena hal-hal yang terjadi dilapangan bisa berkembang menurut fenomena-fenomena yang ada. Fungsi kontrol dilakukan agar penelitian tidak melenceng pada tujuan utama. Penelitian ini memusatkan pada suatu unit penyelidikan saja sebagai suatu kasus yang diselidiki secara intensif


(62)

sehingga menghasilkan gambaran longitudinal, yakni dari hasil penyimpulan data yang dikaji berdasarkan data yang diperoleh.

Sejalan dengan tujuan penelitian deskriptif kualitatif seperti tersebut diatas penelitian ini bermaksud memberikan gambaran yang jelas dan cermat tentang gejala stereotype pada anak usia sekolah dasar dan menentukan bimbingan yang tepat untuk gejala stereotype tersebut.

B. Tempat, Waktu dan Sasaran Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tujuh Sekolah Dasar yang berada di kecamatan Binangun kabupaten Cilacap. Sekolah Dasar yang akan diteliti antara lain: SD N Pasuruhan 01, SD N Pasuruhan 02, SD N widarapayung 01, SD N widarpayung 02, SD N widarapayung 03, SD N Kemojing 01, SD N Jepara 02.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanaka selama 25 kali pertemuan pada tanggal 3 Desember 2015 – 11 Februari 2016 dengan kisi-kisi sebagai berikut

No Kegiatan Jumlah pertemuan

1 Observasi kelas 4x pertemuan

2 Observasi proses pembelajaran 7x pertemuan


(63)

4 Evaluasi karya lukis siswa 7x pertemuan Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

3. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah proses belajar mengajar seni rupa dan hasil karya lukisan anak kelas IV di SD N Pasuruhan 01, SD N Pasuruhan 02, SD N Widarapayung 01, SD N Widarapayung 02, SD N Widarapayung 03, SD N Kemojing 01, dan SD N Jepara wetan 02. Ke tujuh SD tersebut berada di Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap. Dalam hal ini yang menjadi fokus penelitian adalah:

a. Proses belajar mengajar seni rupa di ke tujuh SD yang berada di Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap.

b. Hasil karya anak-anak di tujuh SD yang berada di Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap.

c. Gejala Stereotype seperti apa yang ada karya lukis anak.

C. Data dan Sumber Data Penelitian 1. Data Penelitian

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi yang dilakukan di SD N Pasuruhan 01, SD N Pasuruhan 02, SD N Widarapayung 01, SD N Widarapayung 02, SD N Widarapayung 03, SD N Kemojing 01, dan SD N Jepara wetan 02 kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap. Wujud dari data yang diproleh meliputi karya lukis siswa anak usia SD anatara usia 6-12 tahun dan gejala Stereotype yang


(64)

muncul pada lukisan anak usia sekolah dasar tersebut. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar yang diperoleh dari beberap subjek dan objek yang diteliti. Narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini adalah guru-guru pembimbing Seni Rupa pada sekolah dasar di Kecamatan Binangun dan siswa di ke tujuh sekolah dasar tersebut. Data ini diperoleh dari observasi, wawancara dan dokumentasi yang meliputi buku-buku, foto-foto dan catatan langsung.

Data yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data yang digambarkan dengan kata-kata yang kemudian dianalisis dan diuraikan secara sistematis dan dipisah-pisahkan sesuai dengan bentuk dan jenis sehingga pada kesimpulan mendapatkan kerangka yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan demikian akan diperoleh gambaran yang jelas tentang gejala Stereotype yang muncul pada karya seni lukis anak usia Sekolah Dasar ini dan selanjutnya dapat menentukan bimbingan yang tepat untuk anak yang terdapat gejala Stereotype pada lukisanya.

2. Sumber data Penelitian

Menurut Lofland (Moleong, 2004: 157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Suhasmi (1992:102) menyatakan bahwa yang disebut sumber data dalam penelitiaan ini ialah “subjek” dari mana data diperoleh. Peneliti menggunakan teknik wawancara dalam pengumpulan data, dengan demikian data disebut informan yaitu orang yang memberi informasi dan jawaban dari pertanyaan peneliti baik tertulis maupun lisan. Data


(65)

dokumentasi digunakan untuk menunjang dan melengkapi data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi agar data yang diperoleh menjadi valid dan lengkap.

Untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan maka ditentukan sumber data atau informasi yang terdiri dari narasumber yang dipandang memiliki pengetahuan atau wawasan yang memadahi tentang informasi yang diperlukan. Dengan demikian sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan responden atau informan lapangan yang berkaitan dengan penelitian ini guna mendapatkan informasi mengenai proses pembelajaran seni rupa (lukis) di SD tersebut. Nara sumber yang dimaksud adalah: siswa di sekolah dasar tersebut, Guru pembimbing melukis, Guru mata pelajaran seni budaya dan ketrampilan, dan Kepala Sekolah SD N Pasuruhan 01, SD N Pasuruhan 02 , SD N Widarapayung 01, SD N Widarapayung 02, SD N Widarapayung 03, SD N Kemojing 01, dan SD N Jepara wetan 02 Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya diantaranya: buku-buku, dokumen, penelitian yang relevan dan sumber lain yang relevan.


(66)

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dari keseluruhan proses dalam penelitian (Moleng, 2006: 168) dengan demikian instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data yang terkait dengan permaslahan penelitian tersebut untuk memperoleh data yang relevan dengan ciri-ciri dan unsur unsur dalam situasi yang relevan dengan permasalahan yang sedang dikaji, yaitu gejala stereotype pada lukisan anak sekolah dasar di Kecamatan Binangun. Dalam penelitian kualitatif, instrumen yang digunakan selama penelitian berlangsung adalah peneliti sendiri sebagai instrumen pokok yakni peneliti terlibat langsung dalam proses penelitian, mencari data, wawancara dengan narasumber atau orang yang ahli dalam bidang yang diteliti untuk memperoleh data yang sesuai dengan permasalahan penelitian.

Untuk memperoleh data yang mendalam tentang gejala stereotype pada lukisan anak sekolah dasar di SD N Pasuruhan 01, SD N Pasuruhan 02, SD N Widarapayung 01, SD N Widarapayung 02, SD N Widarapayung 03, SD N Kemojing 01, dan SD N Jepara wetan 02 kecamatan binangun ini menggunakan beberapa pedoman

1. Pedoman observasi

Pedoman observasi ini digunakan untuk pengamatan proses belajar mengajar di kelas, proses siswa dalam melukis dan hasil karya seni lukis siswa


(67)

di SD tersebut sehingga memperoleh informasi yang diperlukan dalam penelitian

2. Pedoman wawancara

Wawancara ini dilakukan dengan mengambil beberapa anak dan hasil karya sebagai subjek penelitian. Subjek penelitian yang telah terpilih sebagai sumber bahan yang akan di teliti untuk memperoleh data dan informasi yang sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan. Selain itu juga wawancara terhadap guru pembimbing seni budaya untuk memperkuat informasi yang didapatkan.

3. Pedoman dokumentasi

a. Dokumentsi foto proses belajar mengajar disekolah

b. Dokumentasi foto proses berkarya seni lukis siswa-siswi Sekolah Dasar di Kecamatan binangun

c. Dokumentasi hasil karya lukis siswa dan siswi Sekolah Dasar di Kecamatan binangun.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan tahap yang sangat penting guna mendapatkan kejelasan data yang diterapkan dalam penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik non random sampling yaitu cara pengambilan sampel yang tidak semua anggota populasi diberi kesempatan untuk dipilih menjadi sampel. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diantaranya


(68)

1. Observasi ( Pengamatan)

Sugiono (2006: 301) dengan mengutip pendapat Sutrisno Hadi, mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses tersusun dari berbagai proses yang kompleks, suatu proses tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Teknik pengumpulan data ini dipakai peneliti karena berkenaan dengan manusia, yaitu karya lukis anak sekolah dasar.

Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala–gejala yang diselidiki (Narbuko,2003: 70)

Jenis observasi yang digunakan adalah observasi Exsperimental, observasi ini dilakukan dimana ada observer mengadakan pengendalian unsur-unsur penting dalam situasi sedemikian rupa sehingga situasi itu dapat diatur sesuai dengan tujuan penelitian dan dapat dikendalikan untuk menghindari atau mengurangi timbulnya faktor-faktor yang secara tidak diharapkan mempengaruhi situasi ini.

Kegiatan observasi dilakukan dengan membuat catatan singkat atau secara garis besar tentang hal-hal penting yang akan diobservasi seperti keadaan lingkungan yang ada, proses belajar mengajar di SD N Pasuruhan 01, SD N Pasuruhan 02, SD N Widarapayung 01, SD N Widarapayung 02, SD N Widarapayung 03, SD N Kemojing 01, dan SD N Jepara wetan 02 Kecamatan


(69)

Binangun Kabupaten Cilacap dan hasil karya lukis siswa-siswi di sekolah dasar tersebut.

Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipatif yaitu peneliti ikut terjun langsung dalam proses belajar mengajar di tujuh Sekolah Dasar tersebut guna mendapatkan informasi dan data yang valid. Observasi partisipan merupakan jenis observasi dimana peneliti adalah bagian dari apa yang diamati (Suwartono, 2014: 42).

Observasi pertama yang peneliti lakukan yakni mengamati proses belajar mengajar di SD N Pasuruhan 01, SD N Pasuruhan 02, SD N Widarapayung 01, SD N Widarapayung 02, SD N Widarapayung 03, SD N Kemojing 01, dan SD N Jepara wetan 02 kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap. Selanjutnya mengikuti proses belajar mengajar di kelas untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih dalam lagi tentang gejala Stereotype yang muncul pada karya siswa Sekolah Dasar tersebut.

2. Wawancara

Metode wawancara adalah cara menjaring informasi atau data melalui verbal/lisan (Suwartono, 2014: 48). Teknik wawancara ini digunakan untuk menumpulkan data tentang ide penciptaan karya, dan mengetahui gejala stereotype muncul dalam lukisan anak Sekolah Dasar.

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan secara terstruktur dan memfokuskan untuk mendapatkan data yang lebih dalam tentang lukisan anak. Dalam melakukan wawancara ini peneliti sudah menyiapkan


(70)

pertanyaan-pertanyaan tertulis untuk ditanyakan kepada nara sumber, guna mendapatkan informasi dan data deskriptif kualitatif yaitu berupa informasi secara lisan dari narasumber.

Pertanyaan dalam wawancara meliputi masalah pokok yang akan diteliti, yang berhubungan dengan faktor yang menyangkut karya lukis anak sekolah dasar, baik dalam ide penciptaan, makna karya, maupun proses pemberian warna dalam lukisan anak tersebut. Sebelum melaksanakan penelitian peneliti harus memiliki pedoman wawancara pedoman berisi sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh responden.

Wawancara yang dilakukan menggunakan dua teknik dalam mendapatkan informasi, yaitu wawancara secara individu dan wawancara secara berkelompok. Untuk wawancara secara individu atau secara personal dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada satu responden sehingga mendapatkan hasil data dan informasi yang mendalam mengenai hasil karya lukis yang diciptakannya. Namun, teknik ini kurang efektif karena memerlukan waktu yang lama untuk meneliti satu per satu siswa yang ada di tujuh Sekolah Dasar tersebut sehingga penelitian ini menggunakan teknik sampling jadi peneliti menggunakan beberapa anak dalam satu kelas untuk mendapatkan sampel untuk diteliti lebih mendalam. Selanjutnya teknik wawancara secara kelompok yang melibatkan banyak individu dalam satu waktu. Penelitian ini efisien waktu akan tetapi kurang bisa mendapatkan informasi yang mendalam dan lengkap.


(71)

Wawancara yang digali melalui wawancara meliputi

a. Wawancara terhadap beberapa siswa yang terpilih untuk mendapatkan data yang lebih mendalam mengenai tema lukisan, media, dan cerita tentang lukisanya sehingga memperoleh data yang lengkap tentang gejala stereotype yang terdapat pada lukisan anak tersebut.

b. Wawancara terhadap Guru seni budaya yang mengajar di sekolah dasar tersebut guna memperoleh informasi tentang strategi mengajar seni rupa, tentang tema lukis yang diminati, media yang digunakan dalam pembelajaran melukis di kelas, serta sarana lainya yang mendukung dalam proses belajar mengajar di Sekolah Dasar.

c. Wawancara kepada Kepala Sekolah mengenai perkembangan sekolah, potensi guru di bidang seni rupa dan bagaimana kompetensi siswa dalam bidang seni rupa khususnya melukis.

3. Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data melalui pernyataan tertulis yang disusun oleh seorang atau lembaga untuk keperluan pengujian peristiwa dokumen tersebut dapat berupa buku, surat pribadi, dokumen resmi dan sebagainya (Moleong, 2006: 216). Teknik dokumentasi dilakukan sebagai proses pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menelaah data-data yang berkaitan dengan karya lukisan anak sekolah dasar yang terdapat gejala Stereotype pada lukisannya.


(72)

Selain itu juga pengambilan gambar dengan kamera untuk mendukung hasil penelitian.

Data yang diambil dari tujuh sekolah dasar di Kecamatan Binangun Kabupaten Cilacap ini berupa data interen sekolah seperti jumlah siswa, daftar siswa serta guru seni rupa dan hasil lukisan siswa. Kemudian dokumentasi yang lain berupa foto proses belajar mengajar dan foto hasil karya siswa yang kedapatan gejala stereotype pada hasil lukisanya.

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Teknik pemeriksaan keabsahan data merupakan suatu teknik yang dilakukan dalam penelitian untuk memperoleh kebenaran dan keabsahan data. Moleong (2004; 327) menyatakan bahwa uji validitas dengan beberapa teknik yaitu (1) Perpanjangan Keikutsertaan, (2) ketentuan pengamatan, (3) triangulasi, (4) pemeriksaan sejawat melalui diskusi, (5) analisis kasus negatif, (6) pengecekan anggota, (7) uraian rinci, (8) auditering.

Untuk mendapatkan keabsahaan data pada penelitian ini menggunakan ketekunaan pengamatan dan triangulasi, yang penjabarannya sebagai berikut 1. Ketekunan Pengamatan

Menurut Moleong (2004: 329) ketekunan pengamatan bermaksud untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur yang sangat relevan dan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal tersebut secara rinci.


(73)

Ketekunan pengamatan dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih jelas dan lebih akurat tentang lukisaan anak usia sekolah dasar di Kecamatan Binangun yang didapati gejala Stereotype dalam lukisannya. Ketekunan pengamatan dilakukan dengan tujuan sebagai bahan perbandingan dalam arti pengamatan yang mendalam dari sisi internal dan eksternal, bertujuan mengkaji kebenaran dan kekuatan informasi yang diperoleh dengan kenyataan yang sebenarnya.

2. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong 2011: 330). Pemeriksaan keabsahan data dapat dilakukan denga empat cara yaitu dengan memanfatkan sumber, metode, penyidik, dan teori.

Triangulasi dapat digunakan sebagai teknik pemeriksaan keabsahan data yang dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi mengenai karya Seni Lukis anak Sekolah Dasar dan gejala Stereotype pada lukisan anak sekolah dasar tersebut. Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber untuk mencapai keabsahan data. Teknik triangulai sumber yakni membandingkan dan mengecek derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.


(74)

G. Teknik Analisis Data

Pengamatan umum tentang analisis data adalah upaya untuk mencari data dan menentuknya menjadi deskripsi yang sistematis dengan membuat katagori yang kemudian dibahas secara analisis untuk memperjelas pada bagian-bagian yang diteliti sehingga peneliti mendapatkan kesimpulan pada data yang diteliti. Moleong (2006: 280) menyatakan bahwa analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam pola, katagori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data. Miles dan Humberman (dalam Moleong, 2009: 307) mengatakan bahwa analisis data terdiri dari tiga kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian, ada penyederhanaan data yang terkumpul dilapangan. Reduksi data yang dilakukan oleh peneliti berlangsung guna menemukan rangkuman dari inti permasalahan yang sedang dikaji. Peneliti berusaha membaca, memahami, dan mempeljari kembali seluruh data yang dikumpulkan dari pengambilan data pada tujuh sekolah dasar di Kecamatan Binangun, sehingga dapat menggolongkan, mengarahkan, mengorganisasikan, dan membuang data yang tidak relevan. Setelah data disusun dalam satuan-satuan kemudian data yang telah dikatagorikan dipisahkan dalam suatu data, yaitu klasifikasi data, kalsifikasi dimaksudkan untuk menyaring data yang diperlukan agar spesifik dengan


(1)

(2)

(3)

(4)

144 Lampiran Dokumentasi Foto

Proses meniru lukisan guru


(5)

145 Meniru Kamus


(6)

146 Faktor Intrinsik dari teman yang mempengaruhi karya siswa