Pelaksanaan Pendidikan Nilai Nasionalisme di Kelas V SD Negeri 1

86 didukung dengan dokumen yang menunjukkan adanya beberapa temuan mengenai pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di SD Negeri 1 Pandowan Galur Kulon Progo. Peneliti menganalisis pelaksanaan pendidikan nilai berdasarkan tinjauan dua aspek, yaitu pendekatan pendidikan nilai dan pengembangan kurikulum sekolah. Berikut adalah deskripsi hasil penelitian mengenai pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di SD Negeri 1 Pandowan Galur Kulon Progo.

1. Pelaksanaan Pendidikan Nilai Nasionalisme di Kelas V SD Negeri 1

Pandowan Galur Kulon Progo melalui Pendekatan Pendidikan Nilai. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru di kelas V yang sudah peneliti reduksi, Bu Si menyatakan bahwa guru sudah berupaya menanamkan nilai nasionalisme ke dalam diri siswa tetapi saat siswa di luar sekolah mengamalkannya atau tidak kurang mengetahuinya. Hasil wawancara yang dilakukan dengan guru didukung dengan hasil jawaban dari enam siswa diperoleh informasi bahwa siswa pernah menerima nilai-nilai nasionalisme ke dalam dirinya yang diberikan oleh guru. Hal itu sesuai dengan jawaban yang disampaikan siswa beriku ini. Az: “Pernah, dalam bentuk bekerja sama dengan kelompok untuk bersungguh- sungguh”. H e: “Pernah, saat pembelajaran itu, saya itu malah nyelelek itu diajak untuk mengenang nama-nama pahlawan agar besok bisa bermanfaat. Pahlawan Ki Hajar Dewantara, Jendral Sudirmah, Dowes deker”. Re: “Iya, melatih kemandirian, menasehati untuk mandiri, menyanyikan lagu Indonesia Raya, bangga menjadi bangsa Indonesia:. Yu: “Pernah, seperti tidak boleh membeda-bedakan teman, mengikuti aturan sekolah dengan baik”. Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh guru dan siswa, dapat diketahui bahwa penanaman nilai telah digunakan oleh guru dalam pelaksanaan pendidikan 87 nilai nasionalisme yaitu dengan menanamkan nilai-nilai nasionalisme ke dalam diri siswa yang berupa nasehat untuk mandiri, bangga serta cinta pada bangsa Indonesia, dispilin, setia kawan dan juga penguatan positif dengan mengenang pahlawan. Hasil wawancara dengan guru dan siswa di atas diperkuat dengan hasil observasi selama peneliti melakukan pengamatan penanaman nilai di kelas V. Pada tanggal 27 Maret 2017 saat pembelajaran di kelas V, siswa menerima nasehat mengenai sikap kejujuran yang diberikan oleh guru setelah guru menanyakan partisipasi siswa dalam kegiatan tadarus dan menyanyi sebelum pembelajaran yang dilakukan siswa kelas V tanpa bimbingan guru. Nasehat tersebut menyatakan bahwa kejujuran adalah sikap terpenting dalam hidup kita, sebagai teman yang baik kita harus berani menegur dan mengingatkan, negara Indonesia membutuhkan generasi penerus yang jujur. Nasehat tersebut disampaikan guru sebagai bentuk penguatan positif kepada siswa setelah melakukan kegiatan di kelas secara mandiri dan kemudian guru mengecek kejujuran siswa dalam mengikuti kegiatan pagi tersebut. Hasil observasi pada tanggal 29 dan 30 Maret 2017 juga diketahui peneliti bahwa guru menanamkan nilai nasionalisme ke dalam diri siswa. Guru menyatakan bahwa batik Geblek Renteng ini sangat terkenal di Yogyakarta. Sebab saat bu guru menggunakannya di Yogyakarta, orang-orang langsung mengenali guru sebagai orang Kulon Progo. Dan bahkan ada orang yang ternyata orang Bantul juga menggunakan batik ini dengan alasan tertarik dengan motifnya. Guru memberikan penguatan positif bahwa kita harus bangga punya batik Kulon Progo. Dan saat itu juga siswa dan guru sedang memakai seragam batik gebkek renteng 88 yang merupakan batik khas Kulon Progo. Hal itu merupakan penguatan positif dan keteladanan yang disampaikan oleh guru agar siwa menerima nilai sosial yang berkaitan dengan kecintaan dan kebangsaan pada produk dalam negeri yaitu batik khas Kulon Progo. Selain itu, guru juga mejalaskan perihal hari raya Nyepi yang jatuh pada hari Selasa kemarin sehingga kegiatan sekolah diliburkan. Guru berpesan bahwa kita juga harus toleransi dengan umat agama lain, bagaimanapun Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku, agama. Pada hari berikutnya saat pembelajaran guru juga memberikan penguatan menghargai keragaman budaya dan kekayaan daerah di Indonesia seperti bahasa di Yogyakarta dan Brebes, suku, dan adat; bangsa Indonesia menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, gotong royong; kebanggaan pada bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia; semangat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia; bangga dengan produk dalam negeri; menjaga lingkungan dengan membeli sesuatu yang ramah lingkungan; berbuat jujur saat ulangan harian; dan sopan santun. Peneliti juga mengamati adanya simulasi yang dilakukan siswa dengan menyanyikan lagu daerah berjudul Si Patokaan bersama kelompoknya. Dalam simulasi tersebut akan tertanam jiwa nasionalisme siswa untuk mengenal dan menghargai kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Ha l itu berdasarkan pernyataan guru, “meskipun ini bukan lagu dari daerah kita, tetapi ini masih satu negara dengan kita”. Hasil wawancara dan observasi di atas diperkuat dengan dokumentasi kegiatan pembelajaran di kelas V saat guru menanamkan nilai nasionalisme ke dalam diri siswa melalui kegiatan simulasi mengenai keragaman kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Kegiatan pembelajaran di kelas V juga selalu 89 diawali dengan penguatan dari guru kepada siswa mengenai hal yang perlu disampaikan sebelum memulai materi pembelajaran. Dokumentasi berupa foto saat siswa mensimulasikan kebudayaan daerah yang ada di Indonesia. Foto kegiatan simulasi yang peneliti ambil saat melakukan penelitian dapat dilihat pada lampiran Gambar 1. Berdasarkan hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi yang telah dilakukan, peneliti mengambil kesimpulan bahwa pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V dilakukan guru dengan menanamkan nilai-nilai sosial yang berkaitan dengan nilai nasionalisme dalam pembelajaran di kelas V dengan menggunakan metode penguatan positif, keteladanan, dan simulasi. Adapun nilai nasionalisme yang sudah diterima siswa diantaranya yaitu nilai kejujuran; keberanian; kedisiplinan; toleransi; cinta dan bangga pada bangsa Indonesia; menghargai orang lain, kebudayaan dan pahlawan bangsa; persatuan dan kesatuan; gotong royong; perjuangan; peduli lingkungan; kerja sama; mandiri; sopan santun dan setia kawan. Guru selalu memberikan penguatan kepada siswa agar menjadi generasi penerus bangsa yang ternaman nilai nasionalisme dalam dirinya. Hal itu diberikan oleh guru dengan cara ucapan secara lisan kepada siswa agar siswa mendengar dan menerimanya sehingga tertanam jiwa nasionalisme dalam diri siswa. Pada dasarnya pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme memerlukan sosok yang dapat menjadi figur contoh bagi siswa maupun tenaga pendidik dan kependidikan yang lain. Sebelum membahas mengenai bentuk keteladanan yang diberika oleh pendidik, perlu sekiranya untuk mengetahui pandangan guru tentang 90 pentingnya keteladanan. Terkait dengan hal tersebut, kepala sekolah menyampaikan bahwa keteladanan itu sangat penting, sebab anak tidak akan mengetahui jika tidak diberikan contoh secara langsung. Sejalan dengan apa yang disampaikan kepala sekolah, guru juga menyampaikan jawaban yang hampir sama. Berikut beberapa jawaban dari guru saat peneliti menanyakan tentang pentingnya keteladanan. Bu Si: “Penting sekali, jadi kita itu lucunya udah tua yaa mbak, menjadi pimpinan itu berat, paling tidak kiblatnya pemimpin, tapi alhamdulillah kepala sekolah demokrasi, ketika ada kebijkan selalu dikonsultasikan bersama”. Bu Ti: “Penting, kalau kepala sekolah memang harusnya menjadi suritauladan untuk semuanya ya mbak untuk agar bisa dicontoh bagaimana cara kepemimpinanya, dan guru sesama guru, sesama teman itu memang harus ada kerjasama harus ada komunikasi, karena komunikasi itu yang sangat penting, di mana kalau dalam teman semuanya menjacari nafkah tidak terjalin kimunikasi dengan baik, kekeluargaan guru penting sekali”. Pak Ru: “Ya penting sekali, guru harus ikut memberikan contoh itu. Yaa kita dari dalam kelas saja memasang gambar-gambar pahlawan, pemasangan bendera merah putih, setiap pagi disamping menyanyikan indonesia raya juga melaksanakan penghormatan sang merah putih, kenapa kah kalian harus hormat juga ada keterangannya”. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru, diperoleh hasil bahwa keteladanan pendidik dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme penting sekali. Alasannya yaitu pemimpin atau pendidik menjadi patokan atau suri tauladan dalam bertindak, dan setiap tindakan harus dijelaskan sekaligus dipraktikkan alasan melakukannya. Salah satu keteladan yang penting yaitu keteladanan pemimpim mengenai cara kepemimpinannya, keteladanan sesama pendidik dalam berkomunikasi dan bekerja sama. 91 Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah dan guru dapat disimpulkan bahwa kepala sekolah dan guru memiliki pandangan yang sama bahwa keteladanan sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme. Alasan yang disampaikan yaitu anak tidak akan mengetahui jika tidak diberikan contoh secara langsung, pemimpin atau pendidik menjadi patokan atau suri tauladan dalam bertindak, dan setiap tindakan harus dijelaskan sekaligus dipraktikkan. Menyikapi hal tersebut, orang pertama yang harus disadarkan untuk memiliki sikap nasionalisme adalah pemimpin dan pendidik, sehingga yang disampaikan ke siswa bukan hanya sekedar perintah tetapi memang lahir dari kesadaran diri pemimpin dan pendidik untuk bersikap nasionalisme. Keteladanan kepala sekolah juga penting dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme. Sesuai hasil wawancara dengan guru diketahui bahwa kepala sekolah sudah menjalankan perannya dengan baik saat peneliti menanyakan tentang pelaksanaan tanggung jawab setiap komponen sekolah. Berikut jawaban dari Bu Si. “Alhamdulillah kepala sekolah demokrasi, ketika ada kebijkan selalu dikonsultasikan bersama”. Setiap pihak mempunyai peran dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikann nilai nasionalimse. Sesuai hasil wawancara dengan guru diketahui bahwa setiap pihak berperan dan tanggung jawab menyampaikan dan mengingatkan. Berikut jawaban dari Bu Si dan Bu Ti. Bu Si: “Perannya ya ketika misalnya pertama kita kan menyampaikan, ini lho yang bagus seperti ini, ketika ada yang keliru yaa diingatkan”. Bu Ti: “Perannya yo, kalau kepala sekolah ya perannya memotivasi atau mendorong semua guru yang ada di sini nah untuk terlibat dalam nasionalimse itu, kalau guru yaa sama anak-anak dididiknya 92 dimotivasi agar anak ya dalam nasionalisme tadi, kalau sesama guru yaa antar rekan sejawat semuanya, kalau kariyawan juga”. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru tersebut diketahui bahwa kepala sekolah sudah berperan dan tenggung jawab dengan baik. perikalu kepala sekolah dapat menjadi teladan bagi guru, karyawan, maupun siswa. Selain kepala sekolah, keteladanan guru merupakah hal yang penting dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme. Hasil wawancara dengan kepala sekolah diperoleh informasi bahwa keteladanan yang diberikan guru yaitu 3S Senyum, Sapa, Salam, mengikuti senam dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu wajib nasional atau lagu daerah setiap hari di kelas. Jawaban kepala sekolah diperkuat dengan hasil wawancara yang diberikan Bu Si yang mengatakan bahwa bentuk keteladanan yang diberikan yaitu disiplin dan aktif mengikuti kegiatan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu wajib nasional saat di kelas. Kegiatan yang dilakukan guru selalu dilakukan dengan semangat sehingga siswa kemudian mengikutinya. Hasil wawancara dengan kepala sekolah dan guru diperkuat dengan jawaban siswa saat peneliti melakukan wawancara tentang keteladanan sikap nasionalisme yang dilakukan oleh guru. Siswa Ta, Sa menyatakan bahwa keteladanan yang diberikan oleh kepala sekolah dan guru yaitu disiplin waktu dengan datang diawal saat upacara dan senam angguk, disiplin saat kegiatan kerja bakti. Hasil wawancara kepala sekolah, guru, dan siswa di atas didukung oleh hasil observasi yang peneliti lakukan terhadap kepala sekolah dan guru. Setelah melakukan observasi selama 13 kali pengamatan, keteladanan yang sering diberikan oleh guru yaitu mengikuti senam angguk, menyanyikan lagu Indonesia 93 Raya dan lagu wajib nasional dengan posisi sikap yang baik dan memakai seragam bati geblek renteng setiap hari Kamis. Selama peneliti melakukan observasi keteladanan kepala sekolah terlihat dilakukan. Kepala sekolah memberikan teladan berupa memakai seragam batik geblek renteng setiap hari Kamis, selain itu juga memberikan teladan berupa tindakan langsung. Tanggal 30 Maret 2017, kepala sekolah memakai segaram batik geblek rentang. Pada tanggal 31 Maret 2017, kepala sekolah ikut melakukan senam angguk bersama-sama di halaman sekolah. Tanggal 10 April 2017 kepala sekolah ikut menyiapkan pelaksanaan upacara bendera di halaman sekolah dan kemudian mengikuti upacara dengan khitmat. Pada tanggal 11 April 2017, kepala sekolah ikut membantu membersihkan sekolah dan menata serta mengecek ruang yang akan digunakan untuk kegiatan FLSN. Data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi didukung oleh dokumentasi berupa tata tertib guru dan karyawan SD Negeri 1 Pandowan. Tata tertib tersebut memuat ketentuan yang menjadi aturan guru di sekolah yang di dalamnya terdapat aspek keteladanan yang meliputi mengikutimemimpin upacara bendera setiap hari Senin dan hari-hari besar lainnya, mengikuti senam yang dilakukan bersama-sama, dan berpakaian batik geblek renteng pada hari Kamis. Dokumentasi foto kegiatan keteladanan kepala sekolah dapat dilihat pada lampiran Gambar 2. Berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi peneliti menyimpulkan bahwa kepala sekolah dan guru berusaha memberikan teladan dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V. 94 Bentuk keteledanan yang diberikan oleh guru dan kepala sekolah antara lain ikut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu wajib nasional atau lagu daerah setiap hari di kelas, memakai segaram baik geblek renteng dihari Kamis, mengikuti senam angguk bersama-sama, dan ikut membersihkan lingkungan sekolah. Pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme tidak hanya dengan menanamkan dan keteladanan nilai nasionalisme kepada siswa. Guru dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme juga menyajikan cerita. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas V diperoleh data tentang penyajian cerita yang yang pernah digunakan oleh guru sebagai berikut. “Pernah mbak, contohnya misalnya kayak dongeng seperti kemarin disemester awal-awal itu, Kejujuran membawa keberuntungan, disitu disajikan sebuah cerita ada dua anak sedang sepedaan disebuah taman kemudian dia menemukan dompet nah dompet itu disana ada alamat. Pas itu kan dua anak to mbak, salah satu itu ada yang mau bertindak tidak baik, itu dipake kita jajan aja, terus satunya ndak. Akhirnya yang bilang jangan itu dia menasehati temennya, barangkali ini orang gak punya kan soalnya jenis pekerjaannya berdagang, kalau pengusaha sukses mudah-mudahan kita nanti menimba ilmunya. Nah ternyata setelah dicari-cari gak jauh dari lokasi kejadian itu. Nah dari situ anak mengembalikan dan ternyata hanya bakol gorengan gendong keliling itu, dan harus membiayai biaya rumah sakit yang anaknya sakit. Dari situ anak tahu dengan hanya memberikan dompet ini dua puluh ribu tapi berharga sekali. Dalam cerita itu, anak itu diuntungkan dari ceritanya itu. Dari cerita itu kemudian kedua anak itu mendapat keberuntungan dari anak ibu yang sudah sembuh itu ternyata kaya. Dari anak itu, uang dua puluh ribu jadi banyak sekali, coba kita jajake langsung. Dari cerita itu, siapa yang mau seperti si A itu kan baik, siapa yang mau seperti si B. Baru kemudian diulas ” Sabtu, 1 April 2017. Berdasarkan jawaban guru tersebut dapat diketahui bahwa guru pernah menyajian cerita dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V dengan sebuah cerita yang berisi permasalahan di dalamnya. Dari cerita tersebut, siswa diminta memilih antara dua sikap yang ada dalam cerita. Sehingga sudah 95 jelas mana yang baik dan tidak baik dalam cerita tersebut. Jawaban guru kelas V di atas diperkuat dengan jawaban guru agama di kelas V bahwa juga pernah menyajikan cerita mengenai cerita nabi-nabi yang kemudian terdapat pro dan kontra antar siswa seperti adanya mukjizat pada nabi-nabi, kemudian siswa bersama guru menyimpulkan cerita tersebut agar siswa mempunyai kesamaan dalam pemahaman. Hasil wawancara dengan guru di kelas V diperkuat dengan hasil jawaban siswa saat peneliti menanyakan tentang cerita yang mengandung masalah sehingga siswa mendiskusikan cerita yang didapatkan tersebut. Berikut ini jawaban siswa tentang pendekatan perkembangan moral kognitif dengan cerita yang mengandung masalah sehingga siswa mendiskusikan cerita yang diberikan oleh guru. He: “Pernah, Jendral sudirman sama apa yaa lupa. Jendral sudirman itu ikut berperang tetapi tidak mau mendengarkan kata temannya yang itu ternyata untuk kepentingannya Jendral Sudirman karena Jendral Sudirman pada saat itu mempunyai penyakit jantung. Berdiskusi mengenai nilai-nilai yang dapat diambil dari Jendral Sudirman, bekerja keras, pantang menyerah”. Re: “Iya, ceritanya saat ada yang melakukan tindakan kriminal yang mengganggu. Mendiksuikan dengan teman mengenai sosialisasi memecahkan masalahnya. Hasilnya berjalan dengan baik, bahwa kita harus saling megharagi agar tidak terjadi tindakan kekerasan”. Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa diketahui bahwa guru pernah menyajikan cerita untuk mengenalkan dan memecahkan persoalan yang berkaitan dengan nilai dalam cerita tersebut. Dari cerita yang diberikan tersebut terdapat permasalahan yang membuat siswa membuat pertimbangan moral untuk menentukan mana yang baik dan tidak baik. Sehingga siswa berdiskusi dengan 96 kelompoknya untuk menentukan permecahan suatu masalah dan memilih mana yang baik dan tidak baik dalam cerita. Hasil wawancara dengan guru di kelas V dan siswa diperkuat dengan hasil observasi selama peneliti berada di sekolah. Setelah melakukan observasi, peneliti menemukan bahwa guru pernah menyajikan sebuah cerita mengenai nilai kecintaan pada batik Indonesia dari seorang tokoh dunia. Pada tanggal 6 April 2017 siswa mendisku sikan isi teks cerita di buku siswa yang berjudul “Nelson Ralihlahla Mandela 1918- 2013” yang di dalamnya memuat mengenai kecintaan Nelson pada batik Indonesia dan semangatnya memperjuangan hak orang kulit hitam di mana dunia. Peneliti tidak menemukan adanya dilema moral yang terkandung dalam cerita tersebut. Hasil wawancara guru dan siswa kelas V didukung oleh data hasil observasi yang peneliti lakukan. Selama penelitian, peneliti hanya menemui satu kali guru menyajikan cerita dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan pendidikan nilai dengan pendekatan perkembangan moral kognitif yang mana metode pembelajaran yang digunakan adalah diskusi kelompok pernah digunakan oleh guru. Akan tetapi, dalam diskusi kelompok yang dilakukan tidak ditemukan adanya penyajian cerita yang mengandung dilema moral. Data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi didukung oleh dokumentasi berupa teks cerita yang disajikan guru. Peneliti menemukan teks cerita yang digunakan bahan siswa dalam membuat pertimbangan moral dengan berdiskusi. Dalam teks tersebut menyatakan bahwa tokoh Nelson Mandela senang 97 sekali mengenakan baju batik. Salah satu batik kesukaannya adalah batik Indonesia. Teks cerita tersebut dapat dilihat pada lampiran Gambar 3. Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi yang telah dilakukan, peneliti mengambil kesimpulan bahwa penyajian cerita dalam diskusi kelompok pernah digunakan guru dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V. Tetapi dari cerita yang disampaikan dalam wawancara dan observasi serta dokumentasi peneliti belum ditemukan adanya dilema moral. Cerita yang pernah diberikan guru diantaranya yaitu cerita mengenai kejujuran membawa keberuntungan, kisah nabi-nabi, Nelson Ralihlahla Mandela, pahlawan Indonesia yang memihak pada penjajah Belanda, tokoh Jendral Sudirman yang tidak mau mendengarkan perkataan temannya, dan masalah yang ada pada cerita mengenai tindakan kriminal yang mengganggu. Dari cerita-cerita tersebut, siswa berpikir mengenai permasalahan yang ada untuk menentukan suatu nilai yang ada dalam cerita tersebut. Pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V selain dengan penanaman, keteladanan dan penyajian cerita juga diberikan melalui proses berpikir secara logis dalam menganalisis permasalahan. Hal tersebut berdasarkah hasil wawancara dengan guru kelas V yang menyampaikan bahwa pernah melibatkan kemampuan siswa untuk berpikir secara logis dalam menganalisis nilai-nilai nasionalisme. Berikut penjelasan yang disampaikan Bu Si sebagai guru kelas V saat peneliti menanyakan tentang hal tersebut. “Iya, pernah misalnya kayak itu lho mbak saya masuk tema sejarah peradaban Indonesia ada terbentuknya kasunanan Surakarta dan Yogyakarta itu dulu kan Mataram Islam. Itu dulunya satu kerajaan mataram Islam kemudian terpecah menjadi dua. Disalah satunya itu yang kasuhunan 98 Surakarta rajanya berpihak pada Belanda. Itu anak suruh menganalisis, menurut kamu misalnya kalau kamu misalnya jadi sultan itu bagaimana? Sampai-sampai yang kasultanan Yogyakarta meskipun dia itu saudaranya sendiri tetap diperangi. Nah sekarang dianalisis apa coba, jadi satu berani membela kebenaran”. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru, diketahui bahwa pelibatakan kemampuan siswa berpikir secara logis dalam menganalisis permasalahan berkaitan dengan nilai pernah digunakan guru dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V. Permasalahan yang dianalisis berdasarkan hasil wawancara guru yaitu permasalahan mengenai sikap membela kebenaran yang dilakukan oleh seorang pahlawan. Dari cerita tersebutlah kemampuan siswa dalam berpikir secara logis digunakan untuk menganalisis permasalahannya dalam diskusi kelas. Hasil wawancara dengan guru diperkuat dengan jawaban siswa saat peneliti melakukan wawancara tentang pelibatan siswa dalam berpikir untuk menganalisis nilai-nilai nasionalisme yang dilakukan oleh guru. Siswa He, Ta, Sa, dan Yu menyatakan bahwa pernah dilibatkan dalam berpikir untuk menganalisis nilai- nilai nasionalisme yang diantaranya berupa berpikir untuk menghargai teman, menolong sesama, dan membela kebenaran yang dilakukan secara individu; berpikir menganalisis suatu nilai yang ada dari tindakan yang dicontohkan oleh guru yang dilakukan secara individu; dan berpikir untuk mengemukakan pendapat berdasarkan apa yang diberikan oleh guru dalam diskusi kelas. Hal itu digunakan guru dengan metode pembelajaran secara individu dan pembelajaran diskusi kelas. 99 Hasil wawancara guru dan siswa didukung oleh hasil observasi yang peneliti lakukan terhadap guru di kelas V. Setelah melakukan observasi selama 13 kali pengamatan, ditemukan 2 kali guru melibatkan kemampuan siswa dalam berpikir secara logis untuk menganalisis suatu nilai. Observasi pada tanggal 6 April 2017 ditemukan bahwa guru mendorong siswa dalam berpikir secara logis dengan mendiskusikan dan menganalisis gambar yang mempunyai komposisi yang sesuai dan tidak sesuai disertai alasannya dalam kelompoknya. Kemudian guru membantu siswa dengan diskusi kelas mengenai gambar tersebut. Satu gambar berupa lukisan yang memuat adanya kejadian kebakaran dan orang sedang menyiram tanaman. Berdasarkan gambar tersebut guru mendorong siswa berpikir secara logis mengenai sikap yang terdapat dalam gambar tersebut. Sehingga diperoleh bahwa tindakan menyiram tanaman itu kurang sesuai dilakukan jika sedang ada kebakaran di sekitarnya. Pada tanggal 8 April 2017 ditemukan bahawa guru membantu siswa dalam menentukan tindakan mengatakan teman sewot itu baik atau tidak melalui pembelajaran diskusi kelas. Dari hal itu guru memberikan penjelasan bagaimana etika dalam mengingatkan atau memberikan komentar terhadap teman. Ketika melontarkan kata-kata yang tidak baik akan timbul emosi, hidup tidak rukun, siapa saja entah itu kelebihan atau kekurangan temanmu dihargai, kalau dia salah kita tegur tapi ingat dengan cara yang baik dan tidak menyakitkan. Dari penjelasan tersebut, guru dapat membantu siswa berpikir secara logis bagaimana etika yang baik terhadap teman. Hal itu dilakukan guru saat ada siswa yang 100 bertanya mengenai permasalahan tersebut. Kemudian guru bersama semua siswa melakukan diskusi kelas untuk menganalisis permasalahan tersebut. Data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi didukung oleh dokumentasi berupa gambar yang mengandung suatu permasalahan yang berkaitan dengan nilai sosial. Gambar pertama berupa lukisan yang memuat sebuah aktivitas masyarakat yang sedang terjadi kebakaran disalah satu tempat dan terdapat orang di sekitarnya yang justru sedang menyiram tanaman saat ada kebakaran. Dari gambar tersebut siswa menganalisis permasalah yang berkaitan dengan nilai sosial dalam masyarakat. Dokumentasi mengenai gambar tersebut dapat dilihat pada lampiran Gambar 4. Berdasarkan data yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi peneliti menyimpulkan bahwa guru di kelas V pernah melibatkan kemampuan siswa dalam berpikir secara logis dalam menganalisis suatu permasalahan yang berkaitan dengan nilai dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V. Metode pengajaran yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme yaitu pembelajaran individu, diskusi kelompok dan diskusi kelas. Metode pembelajaran individu yang pernah diberikan guru yaitu kegiatan berpikir untuk menghargai teman, menolong sesama, dan membela kebenaran. Metode pembelajaran kelompok yang pernah digunakan guru yaitu dalam kegiatan berpikir untuk menganalisis sikap dalam sejarah peradaban Indonesia pada terbentuknya kasuanan Surakarta dan Yogyakarta; kegiatan berpikir menganalisis suatu nilai yang ada dari suatu tindakan yang dicontohkan dan menganalisis dua gambar yang berbeda dilihat dari aktivitas yang ada di 101 gambar yang berkaitan dengan suatu nilai. Dan diskusi kelas yang dilakukan meliputi kegiatan menganalisis dua gambar yang berbeda dilihat dari aktivitas yang ada di gambar yang berkaitan dengan suatu nilai; kegiatan berpikir secara logis mengenai mengenai etika yang baik terhadap teman dalam menganalisis nilai saling menghargai dan menghormati sesama; dan kegiatan berpikir untuk mengemukakan pendapat berdasarkan apa yang diberikan guru. Hal itu semua dilakukan dengan kemampuan berpikir secara logis yang ditekankan pada siswa. Pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V juga dilakukan guru dengan berupaya meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai mereka sendiri. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan guru di kelas V diperoleh data bahwa guru telah berupa meningkatkan kesadaran siswa akan nilai-nilai mereka sendiri yang berkaitan dengan nilai nasionalisme dalam proses pembelajaran dengan metode dialog. Hal itu berdasarkana jawaban Bu Si saat diwawancarai peneliti pada tanggal 1 April 2017 yang menyatakan berikut ini. “Iya berusaha mbak, saya berusaha, itu tu saya kadang melihat anak-anak Indonesia. Kamu tuh jangan sampai besok menambah jumlah orang-orang tidak baik Indonesia, narkobalah. Masa depanmu ditentukan oleh kamu sendiri. Bangsa ini akan seperti apa jika penerusnya seperti itu. Sampai- sampai anak- anak membuat WA Grup “Penerus Bangsa”. Mereka sendiri yang membuat, saya dipanggil. Di sini forum diskusi untuk materi yang mereka anggap susah, saat ada yang posting salah saya tegur”. Hasil wawancara dengan guru kelas di atas didukung dengan hasil wawancara dengan guru agama di kelas V pada tanggal 1 April 2017. Bu Ti sebagai guru agama di kelas V menyatakan bahwa sudah berupaya meningkatkan kesaradan siswa akan nilai-nilai mereka sendiri yang berkaitan dengan nilai nasionalisme dengan berbagai tanggapan yang berbeda-beda pada setiap anak 102 mengenai pemberitahuan dari guru. Selain itu, guru juga telah memberikan dorongan kepada siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan nilai nasionalisme untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam memilih, menghargai, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme dengan dialog guru dan siswa. Hal itu dinyatakan oleh Bu Si dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti yang menyatakan berikut ini. “Iyaa, selalu saya diskusi dengan anak-anak, saya bertanya mengenai suatu hal kejadian yang entah sudah dilakukan meraka atau yang akan meraka lakukan nantinya. Nah dari situ mereka akan tahu bagaimana seharusnya yang mereka lakukan. Sudah sesuai dan benarkah yang mereka lakukan selama ini, jika ada yang salah maka nanti saya nasehati gimana baiknya. Misalnya salah satu pertanyaan mengenai itu mbak, perasaan anak-anak bagaimana setelah membatik, bangga tidak seperti itu”. Peneliti juga melakukan observasi untuk mendukung data hasil wawancara di atas. Observasi yang dilakukan peneliti mengenai pendekatan klarifikasi nilai diketahui bahwa guru sudah sering malakukan beberapa hal dalam proses pembelajaran untuk meningkakan kesadaran siswa akan nilai-nilai mereka sendiri. Dianatara yang dilakukan untuk meningkatakan kesadaran siswa tersebut yaitu metode menulis, dialog, diskusi kelompok dan diskusi kelas. Penggunaan metode menulis ditemukan peneliti yaitu pada tanggal 27 Maret 2017 siswa kelas V menuliskan sikap baik dan sikap tidak baik yang pernah dilakukannya dengan tetangganya kemudian siswa menjalaskan sikap tersebut dalam diskusi kelas. Pada tanggal 30 Maret 2017, siswa kelas V berpikir secara rasioal dalam menulis dengan membuat syair yang berisi tentang keberagam Indonesia. Kemudian siswa menyampaikan syair yang telah dibuat dan siswa lain saling memberikan penilaian mengenai penggunaan bahasa dan kosakata dalam 103 syair tersebut dengan kategori sukup bagus, bagus, atau bagus sekali dalam diskusi kelas. Pada tanggal 4 April 2017 terdapat soal ulangan yang meminta siswa menuliskan empat sikap yang dilakukan dalam membantu teman. Dan pada tanggal 8 April 2017 peneliti menemukan kembali kegiatan menulis untuk menjelaskan mengenai peran siswa dalam kegiatan tradisi yang ada di lingkungan masyarakatnya. Pada penggunaan metode menulis di atas juga terpadat metode diskusi kelas. Hal itu merupakan bentuk komunikasi lisan siswa mengenai hasil menulisnya dan juga proses memilih yang dilakukan siswa mengenai suatu nilai. Penggunaan metode diskusi kelas selain yang telah dipaparkan di atas yaitu diskusi kelas mengenai hasil literasi yang disampaiakan meliputi nama pengarang dan isi buku yang telah dibaca dalam forum kelas, diskusi mengenai penyampaian pengalaman siswa dalam menolong orang lain. Selain diskusi kelas, juga terdapat diskusi kelompok mengenai keragaman budaya yang ada di Madura di mana ada satu siswa di kelas V yang berasal dari Madura. Metode dialog yang ditemukan peneliti yaitu pada tanggal 27 Maret 2017 dilakukan dialog mengenai kenyamanan hati saat bersikap baik dan tidak baik. Pada tanggal 29 Maret 2017, dilakukan dialog anatar guru dengan siswa mengenai kegiatan membatik yang dilakukan siswa dan perasaan ketika siswa menggunakan seragam batik. Selain itu, pada tanggal 1 April 2017 peneliti menemukan bentuk kesadaran siswa secara langusung melalui dialog saat guru bertanya mengenai siapa yang bermain alat marshing saat istirahat tadi. Saat itu juga terdapat empat siswa yang mengacungkan tangan dan mereka menyadari bahwa toleransi meraka 104 adalah nol. Pada tanggal 4 April 2017 terdapat siswa yang menyadari tindakan yang tidak mematuhi peraturan saat mengerjakan ulangan saat guru berdialog dengan siswa setalah ulangan dilaksanakan. Pada tanggal 5 April 2017, terjadi dialog anatar guru dan siswa mengenai motivasi siswa mengikuti lomba mewakili sekolah dan berlatih berbagi jika mendapatkan juara saat lomba. Dan pada tanggal 7 April 2017 peneliti menemukan kembali adanya dialog antara guru dan siswa mengenai akibat yang akan terjadi jika ada orang yang tidak mencitai negerinya sendiri yaitu akan berkhianat dan mengacam negeri sendiri. Hasil wawancara dan observasi tentang penggunaan pendekatan klarifikasi nilai dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V didukung dengan dokumentasi berupa foto hasil tulisan siswa mengenai sikap-sikap yang baik dan tidak baik yang pernah dilakukan. Foto hasil tulisan siswa tersebut yang peneliti ambil saat di sekolah dapat dilihat pada lampiran Gambar 5. Berdasarkan beberapa urain mengenai data yang diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V dilakukan dengan meningkatkan kesaradan siswa akan nilai-nilai mereka sendiri. Hal itu diberikan oleh guru dalam proses pembelajaran dengan menggunakan metode menulis, dialog, diskusi kelas dan diskusi kelompok. Proses meningakatkan kesadaran akan nilai-nilai nasionalisme yang sudah dilakukan diantaranya yaitu mengenai sikap baik dan tidak baik yang pernah dilakukan dan menjelaskan sikap tersebut; syair keberaman Indonesia; peran yang pernah didapatkan dalam kegiatan tradisi yang ada di lingkungannya; sikap yang baik yaitu yang membuat hati nyaman; perasaan 105 bangga dan senang dalam membatik dan menggunakan seragam batik; teman yang berbeda suku; tindakan yang tidak toleransi saat istirahat; sikap yang pernah dilakukan dalam membatu teman; perbuat yang melanggar peraturan saat ulangan dengan berkata jujur di forum kelas; lomba untuk mewakili sekolah dalam perlombaan dan berbagi hadiah jika nanti mendapat juara saat lomba; akibat yang terjadi jika ada orang yang tidak mencintai negeri sendiri; pengalamannya dalam menolong orang lain; saling menghargai, menghormati, menolong dan membela kebenaran dan nilai persatuan dan kesatuan dengan menghargai teman dan tidak bermusuhan. Pelaksanaan pendidikan nila nasionalisme di kelas V juga dilakukan dengan memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan perbuatan moral. Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan guru di kelas V bahwa guru sudah memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan sesuai dengan nilai nasionalisme dalam pendidikan nilai nasionalisme. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas V yaitu Bu Si yang menyatakan berikut ini. “Iyaa, misalkan mau diperbaiki coba seperti apa. Kemarin begini, sekarang begini. Perbaikan disitu Bu siti ambil yang terbaik. Satu sub kan ada 6 pembalajaran, pembelajaran pertama ada yang tidak jujur terus jujur jujur, saya ambil yang jujur”. Senada dengan pendapat Bu Si, Pak Ru sebagai guru penjaskes kelas V juga menyatakan telah memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuat moral. Hal itu berdasarkan hasil wawancara yang sudah peneliti reduksi menyatakan bahwa memberikan kesempatan pada semua siswa untuk menjadi petugas upacara dan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh setiap siswa. Kedua hal yang disampaikan oleh guru tersebut merupakan pemberian 106 kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan sesuai dengan nilai nasionalisme secara individu. Selain itu, guru juga sudah memberikan dorongan siswa untuk melakukan tindakan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dengan nilai nasionalisme. Hal itu sesuai dengan jawaban guru di kelas V saat peneliti melakukan wawancara dengan Bu Si, Bu Ti, dan Pak Ru. Hasil wawancara dengan Bu Si yang telah peneliti reduksi menyatakan bahwa guru mendorong siswa bertindak sebagai makhluk sosial dan individu saat beberapa kegiatan seperti berdoa, upacara, dan bernyanyi agar memposisikan diri sebagai makhluk individu dan sosial. Dan saat wawancara dengan Pak Ru dinyatakan berikut ini. “Iya kita mendorong, saatnya berkelompok yaa harus berkelompok, saatnya sendiri yang tidak boleh bekerja sama”. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru di kelas V diketahui bahwa pendekatan pembelajaran berbuat digunakan guru dalam pelaksaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V dengan menggunakan metode pengajaran secara individu dan kelompok. Dalam pendekatan ini, guru memberikan kesempatan siswa untuk melakukan perbuatan moral dan bertindak sebagai makhluk individu dan makhluk sosial sesuai dengan peran yang seharusnya dilakukan oleh siswa. Hasil wawancara dengan guru di kelas V di atas didukung dengan hasil wawancara dengan siswa menyatakan bahwa siswa pernah melakukan perbuatan sesuai dengan nilai-nilai nasionalisme. Hal tersebut dinyatakan oleh siswa Az, He, Re, dan Ta berikut ini. Az: “Pernah, menolong orang lain pada saat Hendrix pulang tidak bawa sepeda terus saya antar”. 107 He: ”Pernah, menolong, membela kebenaran, upacara bendera, menghargai orang lain, membatik”. Re: ”Pernah, pramuka, upacara bendera, membatik, menari, menyanyikan lagu Indonesia Raya”. Ta: “Pernah, misalnya membantu teman, piket kelas”. Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa di atas dapat diketahui bahwa siswa telah melakukan perbuat moral sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yaitu dengan menolong teman, membela kebenaran, mengikuti upacara bendera, menghargai orang lain, mengikuti ekstrakurikuler membatik dan menari, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan melaksanakan piket kelas. Berbagai hal yang telah dilakukan siswa tersebut merupakan tindakan siswa sebagai makhluk individu dan makhluk sosial di kelas dan sekolah yang dilakukan siswa secara individu. Hasil wawacara dengan guru di kelas V dan siswa di atas diperkuat dengan hasil observasi peneliti selama melakukan penelitian. Selama melakukan observasi, peneliti menemukan banyak pemberian kesempatan siswa untuk melakukan perbuatan moral baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial yang sudah dilakukan siswa selama peneliti melakukan observasi. Pada tanggal 27 Maret 2017, peneliti melihat guru mendorong siswa untuk membantu teman yang belum paham materi. Dan guru juga mengingatkan siswa untuk memboncengkan teman yang tidak membawa sepeda saat menuju tempat ekstrakurikuler membatik. Pada tanggal 29 Maret 2017 diketahui bahwa guru meminta siswa untuk saling mengajari dalam kelompok. Pada tanggal 1 April 2017 diketuhui guru memberikan kesempatan siswa untuk menyanyikan lagu Si Patokaan bersama teman sekelompoknya. Pada tanggal 3 April 2017 terlihat guru 108 memberikan kesempatan pada siswa yang berani menyampaikan pendapatnya mengenai kebudayaan dari luar Jawa yang diketahui. Dan guru juga selalu memberikan kesempatan siswa untuk melaksanakan literasi secara mandiri di kelas. Selain itu, pada tanggal 5 April 2017 juga ditemukan peneliti bahwa guru memberikan kesempatan kepada siswa utntuk bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan. Pada tanggal 8 April 2017, kembali peneliti temukan bahwa guru memberikan kesempatan siswa secara mandiri untuk membuat pantun bertema keberagama yang ada di Indonesia dan kemudian menyampaikan secara lisan di kelas. Kesempatan yang diberikan lagi kepada siswa pada tanggal 10 April 2017 yaitu melaksanakan uoacara bendera hari Senin di halam sekolahh. Dan terakhir yang ditemukan peneliti pada tanggal 11 April 2017, adanya kesempatan kepada siswa untuk ikut membersihkan lingkungan sekolah dalam rangka persiapan kegiatan FLSN di sekolah. Berdasarkan pemaparan hasil observasi di atas, dapat diketahui bahwa guru telah memberikan berbagi kesempatan baik dalam pembelajaran maupun di luar pembelajaran untuk siswa melakukan perbuatan moral sesuai dengan nilai nasionalisme. Perbuatan moral dengan bertidak sebagai makhluk sosial dapat terlihat pada kesempatan membantu teman, kesempatan setiap siswa untuk menyanyikan lagu daerah, kesempatan setiap siswa untuk menghargai kebudayaan yang ada di Indonesia, kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan literasi secara mandiri, kesempatan siswa untuk mengerjakan ulangan harian secara mandiri, kesempatan siswa untuk membuat pantun bertema keberagaman 109 yang ada di Indonesia secara mandiri, dan kesempatan kepada setiap siswa untuk mengikuti kegiatan upacara bendera pada hari Senin. Selian itu juga terdapat kesempatan bertindak sebagai makhluk sosial yang berikan oleh guru kepada siswa. Hal itu berupa kesempatan siwa ikut dalam membersihkan lingkungan sekolah untuk kegiatan FLSN, kesempatan pada siswa melaksanakan upacara bendera pada hari Senin seara bersama-sama di halaman sekolah, kesempatan pada siswa untuk mengerjakan tugas kelompok, kesempatan siswa untuk menympaikan hasil literasi dalam forum kelas, kesempatan untuk menolong teman, dan kesempatan membatu teman yang membantu tean ynag belu paham matei pembalajaran. Kesempatan melakukan perbuatan moral yang telah di atas dilakukan diberikan oleh guru dengan metode pembelajaran secara individu maupun secara berkelompok. Hasil wawancara dan observasi di atas diperkuat dengan dokumantasi kegiatan mengenai perbuatan moral yang dilakukan siswa. Kegiatan yang berhasil didokumentasikan peneliti selama malakukan observasi di kelas V meliputi dokumentasi kegiatan upacara bendera hari Senin, bekerja sama dalam kelompok, mengerjakan ulangan harian secara mandiri, literasi secara mandiri di kelas, dan menyanyikan lagu daerah secara berkelompok. Dokumentasi pelaksanaan kegiatan mengenai perbuatan moral yang peneliti ambil saat melakukan penelitian dapat dilihat pada lampiran Gambar 6, 7, 8, 9, dan 10. Berdasarkan hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi yang telah dilakukan, peneliti mengambil kesimpulan bahwa pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada anak 110 melakukan perbuatan moral baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Metode pembelajaran yang digunakan guru dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme ini yaitu metode pengajaran secara individu dan kelompok. Melalui kedua metode pengajaran tersebut siswa bertindak sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Adapun bentuk kesempatan perbuatan moral dengan bertindak sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial yang telah diberikan oleh guru secara individu yaitu kesempatan menolong teman, membela kebenaran, menghargai orang lain, menghargai kebudayaan yang ada di Indonesia, melakukan literasi secara mandiri, mengerjakan ulangan harian secara mandiri, membuat pantun bertema keberagaman yang ada di Indonesia secara mandiri, melaksanakan upacara bendera, ikut membersihkan lingkungan sekolah, memperbaiki sikap, disiplin waktu, dan setia kawan. Sedangkan bentuk kesempatan perbuatan moral dengan bertindak sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang telah diberikan oleh guru secara berkelompok yaitu kesempatan melaksanakan piket kelas bersama teman, mengikuti ekstrakurikuler bersama, berdoa dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya bersama- sama, bekerja sama dalam mengerjakan tugas kelompok, dan menyanyikan lagu daerah bersama kelompoknya. Berdasarkan hasil pemaparan mengenai pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V melalui pendekatan pendidikan nilai diketahui bahwa pendidikan nilai nasionalisme dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai nasionalisme ke dalam diri siswa, keteladanan pendidik, menyajikan cerita yang memuat nilai nasionalisme, melibatkan kemampuan siswa berpikir secara logis 111 dalam menganalisis permasalahan yang berikaitan dengan nilai nasionalisme, meningkatkan kesadaran siswa akan nilai-nilainya sendiri, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral yang berkaitan dengan nilai nasionalisme. Pada penanaman nilai-nilai yang berkaitan dengan nilai nasionalisme dilakukan guru dengan metode pangutan, keteladanan, dan simulasi. Pada penyajian cerita yang memuat nilai nasionalisme diberikan dalam diskusi kelompok. Pada pelibatan kemampuan siswa berpikir secara logis dalam menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan nilai nasionalisme dilakukan guru dalam pembelajaran dengan metode pembelajaran secara individu, diskusi kelampok, dan diskusi kelas. Pada peningkatan kesadaran siswa akan nilai-nilai mereka sendiri dilakukan oleh guru dengan metode menulis, dialog, diskusi kelas, dan diskusi kelompok. Dan pada pemberian kesempatan kepada anak melakukan perbuatan moral baik dilakukan guru dengan metode pengajaran secara individu dan kelompok.

2. Pelaksanaan Pendidikan Nilai Nasionalisme di Kelas V SD Negeri 1