PENDIDIKAN NILAI NASIONALISME DI KELAS V SD NEGERI 1 PANDOWAN GALUR KULON PROGO.

(1)

PENDIDIKAN NILAI NASIONALISME DI KELAS V SD NEGERI 1 PANDOWAN GALUR KULON PROGO

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh: Khusnul Khotimah NIM 13108241004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2017


(2)

i

PENDIDIKAN NILAI NASIONALISME DI KELAS V SD NEGERI 1 PANDOWAN GALUR KULON PROGO

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh: Khusnul Khotimah NIM 13108241004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2017


(3)

ii

PENDIDIKAN NILAI NASIONALISME DI KELAS V SD NEGERI 1 PANDOWAN GALUR KULON PROGO

Oleh: Khusnul Khotimah NIM 13108241004

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V SD Negeri 1 Pandowan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi fenomenologi. Subjek penelitian ini yaitu kelas V SD Negeri 1 Pandowan dengan narasumber antara lain kepala sekolah, guru di kelas V, dan siswa. Pengumpulan data dilaksanakan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan komponen analisis data konsep Miles dan Huberman (reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan). Uji keabsahan data menggunakan triangulasi sumber dan teknik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V SD Negeri 1 Pandowan dilakukan melalui: 1) pendekatan pendidikan nilai yang meliputi pendekatan penanaman nilai, keteladanan pendidik, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat; 2) pengintegrasian dalam pembelajaran tematik, agama Islam, penjaskes dan menciptakan pembelajaran aktif serta pemberian bantuan kepada siswa; dan 3) budaya sekolah yang meliputi kebijakan sekolah, program sekolah, peraturan, pembiasaan, kegiatan kokurikuler, dan ektrakurikuler.


(4)

iii

NATIONALISM VALUE EDUCATION IN FIFTH GRADE OF SD NEGERI 1 PANDOWAN, GALUR, KULON PROGO

By:

Khusnul Khotimah NIM 13108241004

ABSTRACT

The objective of the research was to describe the implementation of nationalism value education in fifth grade of SD Negeri 1 Pandowan.

This research used a qualitative method with phenomenological approach. Subjects of this research were students of the fifth grade in SD Negeri 1 Pandowan with informants included the headmaster, teachers in fifth grade class, and stidents themselves. Data were collected through interview, observation, documentation techniques. The data were analysed by using component Miles and Huberman concept (data reduction,data display, and conclusion). Test for the validity of the data were using source and technique triangulation.

The result of this research showed that nasionalism value education in the fifth grade of SD Negeri 1 Pandowan were implemented through: 1) value educational approach included value inculcating, educator to give example, value analysis, value clarification, and action learning; 2) integration in theme learning, Islamic education, physical exercise, creating active learning, and giving assistance to students; and 3) schools cultures included policies, programs, rules, habituality, co-curricular, and extracurricular avtivities.


(5)

(6)

(7)

(8)

vii MOTTO

“Jika manusia dididik, ai akan meningkat dari keadaan semula menuju tingkat yang lebih tinggi, hingga ai akan berbeda dengan orang-orang yang tidak

terdidik.” (Hasan al-Banna)

“Keberadaan bangsa-bangsa ditentukan oleh akhlaknya. Selagi akhlak masih melekat dalam diri mereka, akan tetap ada bangsa itu. Tetapi, jika akhlak telah

lenyap dari diri mereka, akan lenyap pulalah mereka” (Syauqi)

“Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku agar mereka mengerti perkataanku”


(9)

viii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah SWT dan dengan mengucap syukur alhamdulillah atas karunia Allah SWT serta sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, karya ini penulis persembahkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta, Bapak Madiyo dan Ibu Sumiyatun serta saudaraku tersayang Budi Dwi Cahyono, Ikhsan Riyadi, dan Latifah Nur Azizah yang senantiasa memberikan semangat dan doa.

2. Agama dan segenap rakyat Indonesia yang membantu menyekolahkan saya melalui program BISIKMISI.


(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “Pendidikan Nilai Nasionalisme di Kelas V SD Negeri 1 Pandowan Galur Kulon Progo” dapat disusun sesuai dengan harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dr. E. Kus Eddy Sartono, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir

Skripsi yang telah banyak memberikan semangat, dorongan, dan bimbingan selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini.

2. Dr. E. Kus Eddy Sartono, M.Si., Fathurrohman, M.Pd., Prof. Dr. Achmad Dardiri, M.Hum., selaku Ketua Penguji, Sekretaris, dan Penguji yang sudah memberikan koreksi perbaikan secara komprehensif terhadap Tugas Akhir Skripsi ini.

3. Drs. Suparlan, M.Pd.I., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar beserta dosen dan staf yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama proses penyusunan pra proposal sampai dengan selesainya Tugas Akhir Skripsi ini.

4. Dr. Haryanto, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang memberikan persetujuan pelaksanaan Tugas Akhir Skripsi.

5. Suparjinah, S.Pd., selaku kepala SD Negeri 1 Pandowan yang telah memberi ijin dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian Tugas Akhir Skripsi ini.

6. Para guru dan staf SD Negeri 1 Pandowan yang telah memberi bantuan memperlancar pengambilan data selama proses penelitian Tugas Akhir Skripsi ini.

7. Ibu, bapak, kakak, dan adik-adikku tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan yang tak pernah terhenti.

8. Teman-teman PGDS D angkatan 2013, little family az-zahra, dan kos pak-Er serta Rifka Anisa sekeluarga yang selalu memberikan motivasi, doa, dan sa


(11)

(12)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

SURAT PERNYATAAN... iv

LEMBAR PERSETUJUAN... v

LEMBAR PENGESAHAN ... vi

MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C.Fokus Penelitian ... 10

D.Rumusan Penelitian ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN TEORI A.Kajian tentang Pendidikan Nilai ... 13

1. Pengertian Nilai ... 13

2. Pengertian Pendidikan ... 17

3. Konsep Pendidikan Nilai ... 21

4. Tujuan Pendidikan Nilai ... 25

5. Pelaksanaan Pendidikan Nilai di Sekolah ... 26

B. Kajian tentang Nilai Nasionalisme ... 48

1. Pengertian Nasionalisme ... 48

2. Nilai-nilai Nasionalisme ... 50

3. Indikator Nilai-nilai Nasionalisme ... 56

C.Kajian Pendidikan Nilai Nasionalisme dalam Kurikulum 2013 ... 57

D.Kajian Penelitian yang Relevan ... 62

E. Pertanyaan Penelitian ... 66

BAB III METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian ... 67

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 68

C.Obyek dan Subyek Penelitian ... 68

D.Teknik Pengumpulan Data ... 70

E. Instrumen Penelitian ... 74


(13)

xii

G.Keabsahan Data ... 80

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 83

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 85

C.Pembahasan ... 134

D.Keterbatasan Penelitian ... 154

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 156

B. Saran ... 157

DAFTAR PUSTAKA ... 158


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Nilai-nilai Nasionalisme ... 54

Tabel 2. Kompetensi Inti Sikap Sosial di Kelas I, II, III, IV, V, dan VI SD/MI 63 ... 60

Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Observasi ... 76

Tabel 4. Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 77

Tabel 5. Sarana dan Prasarana Sekolah... 84


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Komponen dalam Analisis Data Model Miles dan Huberman ... 78


(16)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 163

Lampiran 2. Data Informan Penelitian ... 163

Lampiran 3. Instrumen Penelitian ... 164

Lampiran 4. Reduksi, Penyajian Data dan Kesimpulan Hasil Observasi Sekolah ... 171

Lampiran 5. Reduksi, Penyajian Data dan Kesimpulan Hasil Observasi Sisiwa ... 172

Lampiran 6. Reduksi, Penyajian Data dan Kesimpulan Hasil Observasi Guru di Kelas V ... 191

Lampiran 7. Reduksi, Penyajian Data dan Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Kepala Sekolah ... 219

Lampiran 8. Reduksi, Penyajian Data dan Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Guru di Kelas V ... 228

Lampiran 9. Reduksi, Penyajian Data dan Kesimpulan Hasil Wawancara dengan Siswa ... 258

Lampiran 10. Penggunaan Uji Keabsahan Penelitian ... 281

Lampiran 11. Triangulasi Sumber dan Teknik ... 282

Lampiran 12. Dokumentasi Foto Penelitian... 315

Lampiran 13. RPP ... 320

Lampiran 14. Kurikulum Sekolah (Program Sekolah) ... 332

Lampiran 15. Kalender Akademik ... 335

Lampiran 16. Peraturan Kepala Sekolah Dasar Negeri 1 Pandowan ... 338

Lampiran 17. Jurnal Catatan Guru ... 341

Lampiran 18. Catatan Agenda Mengajar Guru ... 343

Lampiran 19. Catatan Pelaksanaan Upacara Bendera di Sekolah... 346


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman yang dimilikinya. Luasnya wilayah Indonesia mengandung beraneka sumber daya alam, budaya, suku, bahasa daerah, dan adat istiadat yang berbeda-beda pada setiap daeranya. Tetapi, walaupun setiap wilayah berbeda-beda namun wilayah tersebut merupakan satu kesatuan sebagai negara Indonesia. Kesatuan yang dimiliki saat ini merupakan hasil perjuangan para pahlawan dalam mewujudkan kemerdekaan negara Indonesia. Negara Indonesia adalah satu kesatuan wilayah yang mempunyai bendera negara, bahasa negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan serta dengan semboyang Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa Indonesia.

Keanekaragaman yang dimiliki negara Indonesia seringkali menimbulkan berbagai kasus yang terjadi di lapisan masyarakat, seperti konflik antar suku, agama, ras, dan golongan, serta tindakan anarkis yang terjadi baik pada orang dewasa, remaja, dan bahkan anak-anak. Selain itu juga semakin maraknya kasus korupsi di lembaga pemerintahan negara. Kasus inilah yang akan memudarkan rasa persatuan dan kesatuan negara Indonesia serta kecintaan kepada tanah air Indonesia. Salah satu cara untuk memupuk dan menjaga persatuan dan kesatuan serta cinta tanah air Indonesia adalah melalui pendidikan. Menurut Siswoyo, dkk (2013: 21), pendidikan berperan dalam menyiapkan manusia sebagai warga negara yang baik, yaitu warga negara yang menyadari dan melaksanakan semua


(18)

2

hak dan kewajibannya dengan baik. Dan melalui pendidikanlah diupayakan agar warga negara dapat menjadi patriotisme nasional.

Kegiatan pendidikan mempunyai tujuan sehingga kegiatan pendidikan menjadi bermakna. Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan akhir yang berlaku untuk semua kegiatan di lembaga pendidikan yang ada. Tujuan pendidikan nasional Indonesia ditetapkan dalam Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Makna tujuan pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya yaitu manusia yang baik dan cerdas. Baik dan cerdas adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan sebab menjadi manusia yang baik saja ataupun cerdas saja itu tidak cukup. Secara utuh menjadi manusia yang baik dan cerdas dalam sikap, pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Mulyana (2004: 117) menyatakan bahwa pendidikan sebagai usaha untuk mendewasakan manusia yang belum dewasa atau mengusahakan manusia agar lebih manusiawi. Dengan demikian, misi utama pendidikan adalah proses menyadarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak didik sehingga antara nilai dengan pendidikan mempunyai hubungan fungsional. Proses tersebut dapat berlangsung secara integral dalam keseluruhan proses pendidikan yang kemudian


(19)

3

disebut dengan pendidikan nilai. Pendidikan nilai merupakan pendidikan yang membantu peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh dalam masyarakat yang bertanggungjawab dan bersifat proaktif serta kooperatif (Elmubarok, 2009: 19). Melalui pendidikan nilai manusia dapat menjadi pribadi yang unggul dalam aspek akademis, keterampilan, dan watak yang luhur. Pendidikan nilai inilah salah satu cara dalam membentuk manusia yang baik dan cerdas sebagai tujuan pendidikan nasional.

Sekolah merupakan salah satu lembaga yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional, sekolah adalah lembaga pendidikan yang mempunyai peranan besar dalam kelangsungan kehidupan suatu negara. Melalui sekolah dapat dilakukan penanaman nilai-nilai positif kepada siswa. Tentunya harus ada kerjasama antara kepala sekolah, guru, dan orang tua siswa dalam penanaman nilai-nilai positif. Akan tetapi, guru merupakan sosok yang berpengaruh cukup besar terhadap keberlangsungan dan keberhasilan dalam pendidikan di sekolah. Guru dalam proses pendidikan mempunyai dua tugas yaitu mendidik dan mengajar (Siswoyo, dkk., 2013: 121). Di mana tugas mendidik ini berkaitan dengan proses transformasi nilai-nilai dan pembentukan pribadi, sedangkan tugas mengajar ini berkaitan dengan proses transformasi ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada siswa.

Guru adalah sosok yang sangat penting di lingkungan sekolah. Saat di sekolah, maka peran orang tua dalam keluarga menjadi tugas guru. Pendidikan nilai-nilai pada anak dilakukan oleh guru sebagai pendidik anak di sekolah. Oleh


(20)

4

karena itu, guru harus mempunyai kompetensi kepribadian dan sosial yang baik agar proses pendidikan nilai pada anak dapat berhasil. Pendidikan nilai akan lebih berhasil jika dilakukan dengan keteladan dari guru sebab jika hanya sebuah ucapan saja tanpa adanya tindakan maka anak akan sulit untuk menerimanya. Dan pada hakikatnya menurut Siswoyo, dkk (2013: 123), guru ditantang untuk senantiasa mengembangkan tanggung jawab moral dan ilmiah agar identitas kebudayaan nasional kita dapat bertahan dan berkembang dalam kompetisinya dengan perkembangan budaya-budaya asing. Berdasarkan pendapat Siswoyo tersebut, menanamkan nilai merupakan salah satu tanggung jawab guru. Salah satu nilai tersebut adalah nilai nasionalisme, dengan nilai nasionalisme diharapkan identitas kebudayaan nasional dapat bertahan dan berkembang.

Kenyataan saat ini telah banyak yang menunjukkan rendahnya nilai yang dimiliki oleh generasi sekarang. Salah satunya adalah nilai nasionalisme. Hal itu ditunjukkan dengan adanya anak-anak di sekolah yang tidak hafal teks Pancasila yang selalu dibacakan setiap hari Senin. Selain itu, rasa kecintaan terhadap kebudayaan nasional juga sudah mulai luntur. Hal tersebut terlihat pada kehidupan anak zaman sekarang yang lebih menyukai kebudayaan asing seperti lagu-lagu, bahasa dan cara berpakaian yang beberapa hal kurang sesuai dengan kebudayaan sendiri. Hal tersebut dilakukan oleh anak sekarang karena mengikuti gaya hidup yang ada di masyarakat. Padahal, jika hal seperti itu terus menerus dilakukan oleh masyarakat maka lama kelamaan identitas nasional kita akan hilang karena terganti dengan identitas asing. Seperti yang telah terjadi beberapa tahun kemarin, Forum Masyarakat Peduli Budaya Indonesia (FORMASBUDI)


(21)

5

mencatat setidaknya terdapat 10 kebudayaan Indonesia yang diklaim sebagai milik Malaysia (tribunnews.com, 21 Februari 2015). Kesepuluh budaya tersebut adalah batik, lagu rasa sayange, reog Ponorogo, wayang kulit, kuda lumping, rendang padang, keris, angkulung, tari pendet, tari piring, dan gemalan Jawa. Kelalaian yang terjadi tersebut menjadi bukti bahwa semakin menurunnya nilai nasionalisme yang dimiliki generasi saat ini.

Bangsa Indonesia memiliki budaya yang sangat kaya dari berbagai kebudayaan setiap daerah. Tetapi saat ini tidak mempunyai kepercayaan diri terhadap kebudayaan lokalnya. Hal tersebut akan menyebabkan masyarakat Indonesia semakin kehilangan identitas bangsanya, sehingga hanya menjadi sekumpulan orang yang tidak lagi mempunyai kebudayaan lokalnya. Tingginya arus globalisasi juga dikawatirkan akan mengikis rasa cinta pada kebudayaan, dan karekter bangsa. Kemerosotan karakter telah menyebabkan menurunya rasa nasionalisme pada generasi muda sekarang. Di mana terjadi kecenderungan para generasi muda sekarang yang tidak mengerti sulitnya para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Dengan semangat persatuan dan kecintaan terhadap tanah air, para pahlawan rela berjuang demi kepentingan bangsa.

Semangat para pahlawan kemerdekaan merupakan wujud rasa nasionalisme yang harus diteladani oleh generasi penerus bangsa. Nasionalisme menurut Sunarso, dkk (2013, 38) merupakan perwujudan semangat persatuan dengan dasar cita-cita hidup bersama dalam satu negara nasional. Dimilikinya nilai nasionalisme dapat mencegah adanya perpecahan, pengklaiman budaya Indonesia, kehilangan identitas bangsa.


(22)

6

Presiden Joko Widodo menekankan perlunya pendidikan nasional fokus pada pembentukan karakter bangsa sebab nasionalisme, rasa kebersamaan dan persatuan, demokrasi dan sikap kemandirian saat ini dirasa semakin mengkhawatirkan (Kompas, 27 Oktober 2016). Sejalan dengan hal itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy sedang mematangkan konsep Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagai upaya revitalisasi pendidikan karakter yang telah berlangsung sejak tahun 2010. Terdapat lima nilai utama karakter yang menjadi prioritas pada PPK yaitu religius, nasionalis, mandiri, integritas, dan gotong royong (Kemendikbud.go.id, 10 Januari 2017). Nasionalisme merupakan salah satu bagian dari nilai utama karakter yang menjadi prioritas pada program PPK. Oleh karena itu, guru berperan dalam pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme kepada siswa di sekolah.

Pendidikan nilai nasionalisme merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan agar generasi saat ini berjiwa nasionalisme yang kuat. Melalui pendidikan nilai dapat dilakukan pembiasaan dan keteladanan mengenai bagaimana menjadi warga negara Indonesia yang berjiwa nasionalisme. Kedua hal itu merupakan hal penting yang harus diupayakan dalam pendidikan nilai sebab tantangan pendidikan di Indonesia saat ini yaitu berkaitan dengan apa yang dilihat dan didengarkan oleh anak. Sementara tantangan pendidikan nilai sendiri yaitu implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sudah seharusnya ada koordinasi antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masayarakat dalam pelaksanaan pendidikan nilai. Pendidikan nilai nasionalisme merupakan salah satu upaya untuk mengatasi hilangnya nasionalisme pada generasi saat ini.


(23)

7

Pendidikan nilai nasionalisme telah diupayakan untuk ditanamkan pada beberapa sekolah. Peneliti telah melakukan observasi pada dua sekolah dasar negeri yang ada di Yogyakarta yaitu SD X dan SD Y. Kedua SD tersebut telah mengupayakan menanamkan nilai secara nyata. Salah satu upayanya adalah menanamkan nilai patriotisme di sekolah tersebut dengan apel pagi pada jam 07.00 WIB secara rutin. Kegiatan apel pagi dilakukan dengan cara menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Akan tetapi, kedua sekolah tersebut masih menggunakan kurikulum ganda yaitu kurikulum 2006 (KTSP) untuk kelas II, III, V, dan VI. Sedangkan untuk kelas I dan IV sudah menggunakan kurikulum 2013. Padahal, nilai nasionalisme secara jelas termuat dalam kurikulum 2013 pada Kompetensi Inti sikap sosial untuk kelas V dan VI yaitu menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan tetangganya serta cinta tanah air. Dapat diketahui bahwa dalam kurikulum 2013 memuat nilai nasionalisme yang harus diintegrasikan dalam setiap pembelajaran. Dan pendidikan nilai nasionalisme tidak hanya diintegrasikan dalam kegiatan rutin sekolah saja. Oleh karena itu, peneliti memilih kelas V dimana Kompetensi Inti sikap sosial pada kelas V sudah mencakup sikap sosial dalam lingkup nasional. Sementara kelas sebelumnya baru dalam lingkup lokal atau sekitarnya.

Pentingnya nilai nasionalisme di sekolah menarik peneliti untuk mengamati SD Negeri 1 Pandowan. Hal tersebut karena SD Negeri 1 Pandowan sebagai sekolah percontohan di kecamatan Galur Kulon Progo yang telah menggunakan kurikulum 2013 sejak tahun 2014. Dan saat ini sudah mengimplementasikan


(24)

8

kurikulum 2013 untuk semua jenjang kelas. Dan tentunya juga telah mengimplementasikan pendidikan nilai nasionalisme sebagaimana sekolah lainnya. Selain itu, SD Negeri 1 Pandowan mempunyai visi “Unggul dalam prestasi, mampu berkreasi menuju hidup mandiri berdasarkan iman dan taqwa”. Adapun visi tersebut dijabarkan dalam empat indikator sebagai berikut:

1. Unggul dalam bidang akademik yang dicapai melalui ketekunan dan kejujuran.

2. Unggul dalam ketrampilan, kesenian, budaya dan kerajinan serta menguasai teknologi untuk mampu hidup mandiri.

3. Unggul dalam berbangsa, bernegara, dan cinta tanah air.

4. Unggul dalam bidang keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan indikator visi sekolah tersebut dapat diketahui pada poin tiga bahwa sekolah tersebut mempunyai visi untuk mengambangkan nilai nasionalisme di sekolah yaitu unggul dalam berbangsa, bernegara, dan cinta tanah air.

Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti melakukan observasi dan wawancara di SD Negeri 1 Pandowan pada hari Selasa, 14 Februari 2017. Berdasarkan hasil observasi di kelas V, peneliti menemukan bahwa di dalam ruang kelas tersebut terdapat beberapa benda yaitu bendera merah putih, lambang negara, foto presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, gambar alat musik tradisional, gambar tokoh pahlawan, gambar macam-macam motif batik, hasil karya siswa, dan peta ASEAN. Selain itu, yang lebih menarik lagi yaitu pada gapura sekolah juga terdapat motif batik yang ada di Indonesia. Kesemuanya itu merupakan upaya sekolah dalam menanamkan kecintaan kepada identitas dan kebudayaan bangsa Indonesia.


(25)

9

Pada kegiatan pembelajaran guru juga telah menanamkan nilai-nilai karakter kepada siswa baik dengan penanaman nilai seperti nasehat guru yang menyatakan bahwa jangan pernah takut untuk sesuatu yang baik. Selain itu, siswa juga diminta berdiskusi bersama temannya untuk menganalisis sikap kepahlawanan dari tokoh Penyu dalam cerita “Penyu menjadi Pahlawan”. Dalam menganalisis, siswa juga diminta untuk menunjukkan bukti yang ada dalam cerita tersebut. Dengan demikian, siswa menemukan sendiri sikap-sikap kepahlawanan dalam cerita tersebut yang kemudian dapat diteladani oleh siswa.

Peneliti juga mendapatkan beberapa informasi melalui kegiatan wawancara singkat dengan guru kelas V SD Negeri 1 Pandowan. Berdasarkah hasil wawancara tersebut, diketahui bahwa SD Negeri 1 Pandowan telah berupaya menanamkan nilai karakter di sekolah dalam beberapa program, seperti kegiatan rutin dipagi hari dan siang hari dengan berdoa, tadarus bersama, literasi, menyanyikan lagu nasional, piket kelas; dan kegiatan ektrakurikuler pramuka, batik, tari, dan qiroah. Kesemua program tersebut tidak lepas dari peran guru dan sekolah dalam upaya menanamkan nilai nasionalisme kepada siswa di sekolah.

Berdasarkan paparan di atas mengenai hasil observasi dan wawancara di kelas V SD Negeri 1 Pandowan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di kelas tersebut. Peneliti ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan pendidikan nilai nasialisme di kelas V SD Negeri 1 Pandowan Galur Kulon Progo yang merupakan sekolah percontohan di kecamatan Galur Kulon Progo dan telah mengimplementasikan kurikulum 2013 sejak tahun 2014, serta memiliki salah satu indikator visi “Unggul dalam berbangsa, bernegara, dan cinta tanah air”. Oleh


(26)

10

karena itu, peneliti mengangkat judul “Pendidikan Nilai Nasionalisme di SD Negeri 1 Pandowan Galur Kulon Progo”.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat diidentifikasi bahwa terdapat beberapa permasalahan di bawah ini:

1. Kurang pahamnya terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, dan berkurangnya kecintaan pada kebudayaan bangsa Indonesia.

2. Kemerosotan karakter menyebabkan menurunnya rasa nasionalisme pada generasi muda sekarang.

3. Kurangnya kepedulian terhadap kebudayaan lokal sebagai identitas bangsa. 4. Tingginya arus globalisasi dikawatirkan dapat mengikis rasa cinta pada

kebudayaan, dan karekter bangsa. C.Fokus Penelitian

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, dan atas dasar berbagai pertimbangan dari peneliti maka ditentukan fokus penelitian. Penelitian ini difokuskan pada pendidikan nilai nasionalisme di kelas V SD Negeri 1 Pandowan 1 Galur Kulon Progo.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus penelitian dalam penelitian ini, maka rumusan masalah penelitian ini yaitu bagaimana pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V SD Negeri 1 Pandowan Galur Kulon Progo?


(27)

11 E.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di kelas V SD Negeri 1 Pandowan Galur Kulon Progo.

F. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini dapat memperkuat teori tentang pendidikan nilai khususnya pelaksanaan pendidikan nilai nasionalisme di sekolah dasar.

b. Penelitian ini dapat mengetahui kerelevanan suatu teori tentang pendidikan nilai khususnya nilai nasionalisme di sekolah dasar.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Kepala Sekolah

1) Memberi gambaran mengenai pendidikan nilai nasionalisme di sekolah tersebut.

2) Meningkatkan motivasi bagi sekolah untuk mengintegrasikan nilai nasionalisme dalam merumuskan kebijakan dan program kegiatan sekolah b. Bagi Guru

1) Mendapatkan umpan balik mengenai pelaksanaan pembelajaran yang berkaitan dengan pedidikan nilai dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dasar.

2) Meningkatkan motivasi guru untuk mengintegrasikan nilai nasionalisme dalam proses pembelajaran.


(28)

12 c. Bagi Siswa

1) Memberikan pengetahuan bagi siswa mengenai nilai nasionalisme yang ada di sekolah.

2) Meningkatkan motivasi dan kesadaran siswa dalam berpikir, bersikap, dan berkata sesuai dengan nilai nasionalisme yang baik.


(29)

13 BAB II KAJIAN TEORI

A.Kajian tentang Pendidikan Nilai 1. Pengertian Nilai

Bertens (2013, 111) menyatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang diiyakan atau diaminkan dan nilai selalu mempunyai makna positif. Sementara itu, seorang ahli psikolog kepribadian bernama Gordon Allport (dalam Mulyana, 2004: 9) mengartikan nilai sebagai keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Keyakinan mengenai sebuah nilai yang diyakininya merupakan sebuah nilai pilihannya. Pada umunya, ahli psikologi menempatkan keyakinan sebagai kekuatan psikologis tertinggi dari kekuatan psikologis lainnya. Sehingga keyakinan menjadi sebuah dasar dalam menentukan suatu pilihan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai positif.

Berdasarkan definisi nilai sebelumnya, Mulyana (2004: 11) menarik suatu definisi baru menganai nilai yaitu rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Definisi ini menyatakan mengenai proses pertimbangan nilai berdasarkan rujukan dan keyakinan yang telah diperoleh. Nilai merupakan sebuah proses penentuan pilihan terhadap kualitas nilai yang didasarkan pada rujukan dan keyakinan. Nilai juga mencakup segala sesuatu yang dianggap bermakna bagi kehidupan seseorang yang dipertimbangkan berdasarkan pada kualitas. Kualitas yang dimaksud yaitu kualitas benar-salah, baik-buruk, atau indah-tidak indah.

Pada hakikatnya, nilai menurut Budiyono (2007: 70) adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Nilai merupakan


(30)

14

sebuah kenyataan tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lain yang sebagai pembawa nilai tersebut. Dalam mengukur keadaan, eksistensi, dan perilaku individu maupun organisasi serta suatu benda digunakanlah nilai. Sebab nilai menjadi acuan yang menarik untuk mengukurnya. Dengan demikian, nilai merupakan sifat pada suatu objek yang menjadi sebuah patokan dalam mengukur kondisi perilaku atau suatu hal.

Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Rukiyati dkk (2013: 51) menyatakan bahwa dalam kehidupan manusia selalu berhubungan dengan nilai. Nilai diartikan sebagai sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek sehingga bukan objek itu sendiri yang disebut nilai. Jadi sesuatu akan mengandung nilai apabila ada sifat atau kualitas padanya. Misalnya baju itu bagus, bagus adalah sifat yang melekat pada obyek (baju). Nilai bagus pada baju tersebut adalah kenyataan yang tersembunyi dibalik adanya sebuah obyek baju. Dengan demikian, adanya nilai karena adanya kenyataan lain yang sebagai pembawa dari nilai.

Sesungguhnya segala sesuatu pasti mempunyai atau mengandung nilai. Nilai itu tersembunyi di balik kenyataan lain. Nilai tidak hanya dimiliki oleh suatu obyek seperti baju yang telah dicontohkan tersebut. Akan tetapi nilai juga melekat pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti perilaku jujur, sopan, religius dan lain sebagainya.

Walter G Everet dalam Rukiyati, dkk (2013: 52) mengkalsifikasikan nilai-nilai manusiawi menjadi depalan kelompok yaitu:

a. nilai-nilai ekonomis merupakan nilai yang ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli,

b. nilai-nilai kejasmanian merupakan nilai yang mengacu pada kesehatan, efisiensi dan keindahan badan,


(31)

15

c. nilai-nilai hiburan merupakan nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbang pada pengayaan kehidupan,

d. nilai-nilai sosial merupakan nilai yang berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia,

e. nilai-nilai watak merupakan keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan,

f. nilai-nilai estetis merupakan nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni, g. nilai-nilai intelektual merupakan nilai-nilai pengetahuan dan pengejaran

kebenaran,

h. nilai-nilai keagamaan merupakan nilai-nilai yang ada dalam agama.

Sementara itu, menurut pandangan Notonagoro dalam Rukiyati, dkk (2013: 53) membagi nilai menjadi tiga yaitu:

a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia. Misalnya kebutuhan makan, minum, kesehatan, dan lain sebagainya.

b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakan kegiatan atau aktivitas. Misalnya ketekunan, semangat, kerja keras, dan lain sebagainya.

c. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai ini dapat dibedakan menjadi empat yaitu:

1) Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta manusia), 2) Nilai keindahan (nilai estetis) yang bersumber pada perasaan,

3) Nilai kebaikan (nilai moral) yang bersumber pada kehendak manusia 4) Nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak. Nilai

ini bersumber pada kepercayaan dan keyakinan manusia.

Nilai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai yang bersifat abstrak. Nilai tersebut adalah nilai nasionalisme Indonesia. Menurut macam-macam nilai dari pandangan Notonagoro tersebut maka nilai nasionalisme merupakan nilai kerohanian yang termasuk ke dalam nilai kebaikan. Nilai nasionalisme bersumber pada kehendak manusia sebagai rakyat Indonesia yang mempunyai kesetiaan dan kecintaan pada bangsanya.

Berdasarkan beberapa pengertian nilai yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa nilai adalah suatu keyakinan dan patokan yang digunakan manusia dalam bertindak dan menentukan pilihannya. Nilai


(32)

16

diukur berdasarkan tindakan yang telah dilakukaknnya. Segala tindakan seseorang seharusnya didasarkan pada nilai-nilai sosial yang sesuai dan berlaku di mana ia berada. Nilai merupakan kualitas yang melekat pada sebuah objek dan hal yang bersifat abstrak yang tidak dapat diketahui melalui indra. Dengan demikian, nilai tersebut masih bersifat abstrak sehingga disebut sebagai nilai dasar.

Nilai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah karakter yang melekat pada individu (siswa). Hal tersebut berdasarkan pengertian dari Jurdi, dkk (2011: 95) bahwa nilai juga dapat diartikan sebagai karakter. Sehingga nilai dalam penelitian ini adalah karakter yang berusaha ditanamkan oleh guru kepada siswa melalui pendidikan di sekolah. Akan tetapi, dalam penelitian ini hanya akan menggunakan satu istilah saja yaitu nilai. Dan selanjutnya peneliti akan berusaha konsisten dengan menggunakan istilah nilai untuk menjabarkan sebuah teori yang digunakan dalam pembahasan temuannya.

Nilai menjadi dasar bagi seseorang dalam mengambil sebuah keputusan. Nilai merupakan bagian dari kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Hal tersebut karena setiap orang dalam bertindak disesuaikan dengan nilai yang diyakininya. Nilai dijadikan dasar dalam hidup bermasyarakat pada umumnya, baik itu nilai yang tertulis maupun tidak tertulis. Nilai termasuk cerminan sikap guru sebagai pendidik dalam pembelajaran di kelas dan di sekolah. Nilai harus melekat pada diri seorang guru. Sebab guru di sekolah mempunyai tugas dalam membantu membelajarkan siswa dengan berpegang teguh pada nilai-nilai yang baik. Sebagai seorang guru tidak boleh meninggalkan nilai sosial, moral, dan spiritual.


(33)

17 2. Pengertian Pendidikan

Pendidikan sama dengan istilah “paedagogie” yang berasal dari bahasa Yunani. Paedagogie terdiri dari kata “pais” yang artinya anak, dan “again” yang artinya membimbing. Berdasarkan arti kedua kata tersebut, paedagogie adalah bimbingan yang diberikan kepada anak. Menurut Ahmadi dan Uhbiyari (2010), pendidikan adalah pemberian pengaruh, bantuan, bimbingan yang diberikan oleh orang yang berwenang dan bertanggung jawab kepada anak didik. Suatu bimbingan atau bantuan dikatakan sebagai pendidikan manakala diberikan oleh orang yang berwenang terhadap pendidikan. Sehingga tidak semua orang dapat memberikan pendidikan kepada anak didik.

Sementara itu, menurut Wibowo (2012: 18) pendidikan merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan terencana oleh orang dewasa yang telah memiliki ilmu dan keterampilan kepada anak didik sehingga dapat menciptakan manusia sempurna yang berkarakter. Melalui pendidikan dapat mentranferkan ilmu dan keterampilan seseorang dan membentuk manusia agar mempunyai kepribadian yang unggul dan luhur. Pendidikan menurut Kemendiknas (2010: 1) dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif. Hal tersebut dikarenakan pendidikan membangun generasi baru bangsa untuk menjadi lebih baik. Tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Oleh karena itu, komponen penting dalam kepribadian manusia ada dua hal yaitu nilai dan kebajikan. Dua hal tersebut harus dijadikan dasar pengembangan kehidupan


(34)

18

manusia yang memiliki peradaban, kebaikan, dan kabahagiaan baik sebagai makhluk individu maupun sosial.

Pendidikan merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk memanusiakan manusia. Sebagaimana pendapat Driyarkara dalam Siswoyo, dkk (2013: 21) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha untuk memanusiakan manusia muda. Manusia muda yang belum sempurna dan masih berada pada tahap berkembang kemudian melalui pendidikan dipersiapkan menjadi manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya mengandung maksud yaitu menjadi manusia yang utuh dalam wawasan dan utuh dalam potensi yang dimilikinya. Manusia yang utuh dalam wawasan adalah manusia yang sadar akan nilai. Sedangkan manusia yang utuh dalam potensi adalah manusia yang memiliki potensi jasmani dan rokhani yang dimilikinya. Keutuhan manusia tersebut terus dapat dikembangkan seiring dengan pendidikan yang diperoleh.

Menurut Siswoyo, dkk (2013: 21), pendidikan berperan dalam menyiapkan manusia sebagai warga negara yang baik, yaitu warga negara yang menyadari dan melaksanakan semua hak dan kewajibannya dengan baik. Sebagai warga negara yang baik, manusia tentunya mempunyai karakter atau nilai-nilai luhur yang dijiwainya. Hal tersebut juga telah dirumuskan dalam pendidikan di Indonesia. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 bab 1 pasal 1 dinyatakan bahwa:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.


(35)

19

Thomas Lichona dalam Lonto dan Pangalila (2013: 103) mempopulerkan tujuan pendidikan pada upaya dalam membina warga negara yang cerdas dan baik (smart and good citizen). Tujuan pendidikan tersebut juga telah termuat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 bahwa:

“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Berdasarkan tujuan pendidikan nasional di atas dapat dicermati bahwa manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab merupakan bagian dari membentuk manusia yang baik. Sedangkan berilmu, cakap dan kreatif merupakan bagian dari membentuk manusia yang cerdas. Untuk membina menjadi cerdas maka seseorang perlu memperluas wawasan dan pengetahuannya, sedangkan untuk menjadi baik maka diperlukan nilai-nilai yang harus dijiwainya. Oleh karena itu, untuk menjadi manusia yang baik dapat dilakukan melalui pendidikan nilai sehingga tidak hanya mengetahui akan nilai-nilai tetapi juga sampai pada proses menjiwai nilai-nilai.

Pendidikan nilai merupakan inti dari suatu proses pendidikan. Hal tersebut didasarkan pada pandangan Zubaedi (2011: 116) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses enkultutasi atau pembudayaan yang berfungsi untuk mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu kepada generasi yang akan


(36)

20

datang. Selain berfungsi untuk mewariskan, pendidikan juga berfungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu menjadi nilai-nilai budaya yang sesuai dengan kehidupan saat ini dan masa depan nantinya, serta mengembangkan prestasi baru yang dapat menjadi nilai karakter baru bangsa.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah diuraikan di atas dapat katakan bahwa pendidikan adalah upaya yang dilakukan dalam membina dan membimbing oleh seseorang kepada anak didik agar menjadi manusia cerdas dan baik. Kegiatan pendidikan merupakan wadah dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Pendidikan berfungsi dalam mewariskan nilai-nilai dan prestasi, serta mengembangkan nilai-nilai dan prestasi masa lalu agar dapat menjadi nilai karakter baru bangsa. Apabila hakikat dari pendidikan sudah tercapai maka pendidikan dapat dikatakan sudah efektif dalam pelaksanaanya. Keefektifan akan terjadi manakala dalam posisi seimbangan antara pengetahuan, keterampilan dan nilai agar dapat menjadi manusia yang cerdas dan baik. Salah satu proses untuk menjadi manusia yang baik adalah melalui pendidikan nilai. Pendidikan nilai merupakan inti dari suatu proses pendidikan.

Pendidikan yang efektif menurut UNESCO (dalam Mulyana, 2004) ditekankan pada pentingnya martabat manusia sebagai nilai tertinggi. Manusia adalah makhluk yang paling mulia. Penghargaan yang diberikan kepada manusia dianggap sebagai nilai yang tidak terbatas dan mampu mendorong manusia untuk memilih nilia-nilai dasar yang ada di sekitarnya. Nilai-nilai dasar tersebut menurut UNESCO meliputi 7 nilai yaitu nilai kesehatan, nilai kebenaran, nilai kasih sayang, nilai tanggung jawab sosial, nilai efesiensi ekonomi, nilai solidaritas


(37)

21

global, dan nilai nasionalisme. Untuk mencapai pendidikan yang efektif dengan nilai-nilai dasar tersebut maka sudah seharusnya pendidikan nilai kembali dihidupkan agar ketujuh nilai dasar dapat dimiliki dan dijiwai dalam kehidupan sehari-hari.

3. Konsep Pendidikan Nilai

Pendidikan dikatakan berhasil manakala pendidikan telah menghasilkan lulusan yang cerdas, kreatif, dan memiliki nilai-nilai luhur dalam diri pribadinya. Nilai sangat dibutuhkan oleh semua orang karena nilai adalah pedoman untuk mengatur perilaku sosial manusia. Nilai yang melekat dalam diri pribadi seseorang sama halnya dengan karakter yang tidak dapat terbentuk secara instan dan tanpa adanya kesadaran pada diri pribadi siswa. Nilai berkembang melalui tahapan perkembangan siswa. Setiap manusia mempunyai hak untuk mengembangkan potensi jiwanya. Oleh karena itu, sebaiknya pendidikan nilai diberikan pada siswa sejak dini.

Pendidikan nilai menurut Mulyana (2004: 119) didefinisikan sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar dapat menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Melalui pendidikan nilai, peserta didik mendapatkan arahan dan bimbingan untuk membendakan nilai yang kemudian menyadari hal positif dalam proses mempertimbangkan nilai. Selanjutnya nilai itu menjadi kebiasaan dalam bertindak sesuai nilai positif tersebut. Kesadaran akan nilai tidak timbul dengan sendirinya akan tetapi melalui suatu proses pertimbangan dan pembiasaan terhadap nilai.


(38)

22

Theodore Bramelt menyatakan salah satu konsep filosofi pendidikan nilai bahwa pendidikan harus dapat menjadi agen dalam menanamkan nilai-nilai yang ada dalam jiwa stakeholder (Elmubarok, 2009: 15). Dalam buku yang sama, Driyarkara menyebutkan juga bahwa mendidik mengandung makna memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, atau memasukkan nilai-nilai ke dalam jiwa anak. Kedua pendapat tersebut adalah dasar etika pendidikan nilai. Pendidikan nilai berperan penting dalam menanamkan nilai dari pendidik kepada anak atau peserta didik. Sementara itu, Sanjaya (2006: 274) menjelaskan bahwa pendidikan nilai pada dasarnya adalah proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian, kegiatan pendidikan selalu berkaitan dengan pendidikan nilai.

Elmubarok (2009: 16) mengatakan bahwa pendidikan nilai bukan hanya menyediakan sumber daya manusia dalam sektor ekonomi tanpa kehilangan keutuhannya. Akan tetapi pendidikan nilai juga membentuk manusia-manusia yang dapat mengatasi masalah dan krisis yang rumit. Sejatinya pendidikan nilai mengandung inti bahwa “educate the head, the heart, and the hand”. Mendidik kepala, hati, dan tangan yang dimaksud di sini yaitu mendidik manusia untuk berpikir dengan cerdas, mempunyai hati atau perasaan yang baik, dan menggunakan tangan untuk melakukan hal-hal kebaikan. Adanya kesatuan pikiran, perasaan, dan perbuatan manusia yang selalu menuju ke arah nilai yang positif. Pendidikan nilai adalah suatu proses dimana seseorang menemukan


(39)

23

maknanya sebagai pribadi pada saat dimana nilai-nilai tertentu memberikan arti pada jalan hidupnya (Elmubarok, 2009: 23).

Pendidikan nilai merupakan salah satu model pembelajaran yang dikemas dan dikembangkan untuk mencapai tujuan penanaman dasar mengenai keyakinan dan pembentukan sikap peserta didik dalam kehidupan sebagai manusia dalam masyarakat dan warganegara yang baik (Al-Lamri dan Ichas: 2006: 54-55). Keyakinan terhadap suatu nilai akan berproses dalam membentuk sikap peserta didik. Melalui pendidikan nilai diharapkan seseorang dapat menjadi manusia yang baik. Baik dalam nilai ini disesuaikan dengan keyakinan dan patokan yang ada di lingkungannya.

Secara konseptual, pendidikan nilai merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Hal tersebut sebagaimana tujuan akhir dari pendidikan yang dinyatakan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 yang menyatakan bahwa untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Substansi pendidikan nilai melekat dalam semua dimensi tujuan pendidikan tersebut.

Konsep pendidikan nilai berkaitan dengan kebaikan yang ada di dalam suatu objek-subjek (Darmadi, 2009: 4). Sesuatu objek-subjek itu baik akan tetapi tidak mempunyai nilai bagi seseorang dalam konteks peristiwa tertentu. Kebaikan terhadap nilai dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi. Sehingga kebaikan itu lebih


(40)

24

melakat pada objek atau konteksnya, sedangkan nilai lebih menunjukkan pada sikap seseorang terhadap sesuatu yang baik. Pendidikan nilai menurut Darmadi (2009: 7) merupakan upaya memanusiakan manusia. Dalam pendidikan, manusia hanya akan menjadi manusia apabila manusia berbudi luhur, berkehendak baik serta mampu mengaktualisasikan diri dan mengembangkan budi dan kehendaknya secara jujur, baik di lingkungan keluarga, dimasyarakat, dan lingkungan keberadaannya.

Sejalan dengan pendapat yang dikemukanan oleh Darmadi di atas, Samani dan Hariyanto (2016: 45-46) menyatakan bahwa untuk dapat menjadi manusia yang seutuhnya yaitu manusia yang berkarakter dalam dimensi hati, pikiran, raga, dan rasa, serta karsa maka dilakukan proses pemberian tuntunan kepada peserta didik. Proses tersebut merupakan bagian dari pendidikan karakter. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, dan pendidikan watak. Kesemua pendidikan tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mengembangkan kemampuan peserta didik untuk dapat memberikan keputusan mengenai baik dan buruk, memelihara dan mewujudkan kebaikan dalam kehidupan dengan penuh kesadaran. Dengan demikian, pendidikan nilai sama maksudnya dengan pendidikan karakter.

Berdasarkan tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan yaitu membentuk manusia yang cerdas dan baik, maka pendidikan karakter mengakomodasikan peran dan fungsi pendidikan nilai (Zubaedi, 2011: 33). Pendidikan karakter mempunyai peran dalam membantu pengembangan karakter peserta didik. Hal tersebut dikarenakan adanya keterlibatan empat proses yaitu pengenalan inti nilai


(41)

25

sosial dan pribadi, penyelidikan secara rasional dan filosofis terhadap inti nilai-nilai dari stimulus yang diterima, respon afektif dan motif terhadap nilai-nilai tersebut, dan pengambilan keputusan terhadap hakikat nilai-nilai berdasarkan penyelidikan dan tanggapan terhadap nilai-nilai yang ada pada dirinya. Inti sasaran dalam pendidikan nilai adalah menanamkan nilai-nilai luhur ke dalam diri peserta didik.

Berdasarkan uraian di atas mengenai pendidikan nilai menurut beberapa ahli dapat ditarik benang merah bahwa pendidikan nilai merupakan bagian dari proses dan tujuan pendidikan di Indonesia. Pendidikan nilai adalah upaya untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan serta membentuk manusia agar dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pendidikan nilai berkaitan dengan mendidik untuk berpikir, menyadari, dan bertidak sesuai dengan nilai-nilai positif yang telah dipilih dan diyakinin sesuai dengan patokan normatif. Dengan pendidikan nilai akan terbentuk generasi yang berkepribadian baik dan mengembangkan potensi serta menjadi manusia yang berkarakter. Pendidikan nilai mengandung maksud yang sama dengan pendidikan karakter.

4. Tujuan Pendidikan Nilai

Tujuan pendidikan nilai secara umum adalah untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan mengalami, serta menerapkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari (Mulyana: 2004: 119). Nilai-nilai yang dimaksud dalam tujuan pendidikan nilai ini meliputi tindakan-tindakan pendidikan yang mengarah pada perilaku dan sikap yang baik dan benar untuk diperkenalkan kepada peserta didik. Sedangkan Elmubarok (2009: 76) menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai tertentu ke dalam diri anak atau


(42)

26

siswa. Pengajaran penanaman nilai bertitik tolak pada nilai-nilai sosial tententu yang berkembang di masyarakat.

Komite APEID (Asia and the Pasific Programme of Educational Innovation for Development) mengemukakan bahwa pendidikan nilai dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus yang meliputi:

a. Menerapkan pembentukan nilai kepada anak

b. Menghasilkan sikap yang mencerminkan pada nilai-nilai yang diharapkan c. Membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai yang diharapkan

(Mulyana, 2004: 120).

Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan membimbing yang dilakukan mulai dari tindakan menyadarkan akan nilai, menerapkan pembentukan nilai, mewujudkan perilaku yang bernilai dan sampai pada bimbingan terhadap perilaku dengan nilai-nilai tersebut.

5. Pelaksanaan Pendidikan Nilai di Sekolah

Sekolah sebagai tempat warga sekolah berinteraksi antara satu dengan lainnya dipastikan melibatkan beragam nilai kehidupan. Menurut Mulyana (2004: 141), nilai-nilai kehidupan di sekolah dapat berupa nilai yang secara sengaja dilembagakan melalui ketentuan formal dalam tatatertib sekolah atau diatur dalam kurikulum tertulis. Selain itu juga terdapat nilai-nilai yang lahir secara pribadi dan ditampilkan dalam bentuk pikiran, ucapan, dan tindakan seseorang. Nilai yang direfleksikan melalui tampilan seseorang tersebut berperan untuk membentuk iklim budaya sekolah yang penuh makna. Pada lingkungan sekolah terdapat nilai-nilai yang sudah diatur dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis. Sekolah sebagai


(43)

27

salah satu tempat pelaksanaan kegiatan pendidikan tidak terlepas dari nilai-nilai sehingga sekolah mempunyai peran dalam pendidikan nilai.

Zuchdi (2010: 5) menyatakan bahwa pendidikan nilai dapat diberikan dengan cara langsung atau tidak langsung. Cara langsung diberikan dengan penentuan perilaku yang dinilai baik, sedangkan cara tidak langsung diberikan dengan menentukan perilaku yang diinginkan dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat diterapkan. Melihat kondisi masyarakat saat ini, pelaksanaan pendidikan nilai tidak cukup hanya dengan cara langsung menentukan perilaku yang dinilai baik. Cara pendidikan nilai harus komprehensif. Komprehensif mengandung maksud bahwa telah mencakup berbagai segi atau aspek.

Cara atau metode komprehensif dalam pendidikan nilai menurut Zuchdi (2010: 36) yaitu di dalam pendidikan nilai mencakup inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian keteladanan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan pengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggung jawab dan keterampilan-keterampilan hidup yang lain. Tidak cukup saat ini memberikan pendidikan nilai hanya dengan inkulkasi atau penanaman nilai saja kepada peserta didik jika keteladanan yang ada belum mencerminkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai. Hal penting bagi generasi saat ini dalam pendidikan nilai yaitu mengenai apa yang didengar dan dilihat sebagai bentuk keteladanan dan pembiasaanya dalam berperilaku sesuai dengan nilai.

Pendidikan nilai hendaknya juga terjadi dalam kesemua proses pendidikan baik di kelas, kegiatan ektrakurikuler, proses bimbingan, upacara pemberian


(44)

28

penghargaan, dan semua aspek kehidupan (Zuchdi, 2010: 36). Senada dengan hal itu, Muslich (2011: 84) menyatakan bahwa dalam pendidikan nilai di sekolah harus melibatkan semua komponen-komponen pendidikan yaitu isi kurikulum, proses dan penilaian pembelajaran, kualitas hubungan, pengelolaan mata pelajaran, pelaksanaan kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan semangat kerja seluruh warga sekolah.

Pendidikan nilai perlu menggunakan pendekatan komprehansif yang harapannya dapat menghasilkan generasi yang mempu membuat keputusan moral dan memiliki perilaku yang baik berkat adanya pembiasaan dalam proses pendidikan. Pendekatan komprehensif dalam pendidikan nilai menurut Krischenbaum (Zuchdi, 2010: 46) dapat ditinjau dari segi metode atau cara yang digunakan yaitu inkulkasi, keteladanan, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan. Berikut ini penjelasan dari segi metode dalam pendidikan nilai dengan pendekatan komprehensif tersebut.

a. Inkulkasi Nilai

Inkulkasi merupakan metode pendidikan nilai dengan penanaman nilai. Inkulkasi berbeda dengan indoktrinasi, sebab keduanya memiliki ciri-ciri yang sangat bertolak belakang. Berikut ini ciri-ciri inkulkasi yang dipaparkan oleh Zuchdi (2010: 46).

1) Mengomunikasikan kepercayaan disertai dengan alasan yang mendasari. 2) Memperlakukan orang lain secara adil.

3) Menghargai pandangan orang lain.

4) Mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan alasan, dan dengan rasa hormat.

5) Tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki.


(45)

29

6) Menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara tidak ekstrem.

7) Membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi disertai alasan.

8) Tidak membuka komunikasi dengan pihak lain yang tidak setuju.

9) Memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.

Inkulkasi dilakukan untuk mendemontrasikan kepada subyek didik mengenai cara terbaik untuk mengatasi berbagai masalah. Inkulkasi (penanaman) nilai menurut Muslich (2011: 108) dinyatakan bahwa memberikan penakanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Inkulkasi merupakan metode penyampaian pendidikan nilai secara langsung, sebab dimulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik kemudian ditanamkan ke dalam diri.

b. Keteladanan

Keteladanan atau modeling merupakan metode yang biasa digunakan dalam pendidikan nilai dan spiritualitas. Untuk dapat menggunakan metode ini menurut Zuchdi (2010: 47) terdapat dua syarat yang harus dipenuhi yaitu guru atau orang tua harus berperan sebagai model yang baik bagi anak-anaknya, dan anak-anak harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia. Perilaku yang secara alami dijadikan model oleh anak-anak adalah cara guru dan orang tua menyelesaikan masalah secara adil, menghargai pendapat anak, dan mengkritik orang lain secara santun. Dan apabila mereka berperilaku sebaliknya, maka anak-anak secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena itu harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak agar tidak tertanam nilai-nilai negatif dalam diri anak. Sama halnya dengan inkulkasi, keteladanan juga mendemontrasikan kepada subyek didik mengenai cara terbaik untuk mengatasi masalah-masalah.


(46)

30

Keteladanan merupakan perilaku dan sikap seseorang yang patut untuk dicontoh. Kemendiknas (2010: 17) menyatakan bahwa keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk meneladani atau mencontohnya. Sementara itu, Muslih (2011: 175) mengungkapkan bahwa keteladana atau kegiatan pemberian contoh bisa dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, staf adminitrasi di sekolah yang dapat dijadikan model bagi peserta didik.

Apabila sekolah ingin agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai karakter bangsa, maka guru dan tenaga kependidikan lain yang ada di sekolah merupakan tokoh pertama dan utama yang memberikan contoh dalam berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai karakter bangsa. Keteladanan atau pemberian contoh di sekolah misalnya berpakaian rapi, dapat tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata yang sopan, jujur, menjaga kebersihan lingkunga.

c. Fasilitasi

Berbeda dengan inkulasi dan keteladana yang mendemontrasikan mengenai cara terbaik dalam mengatasi masalah, fasilitasi lebih melatih subyek didik dalam mengatasi masalah-masalah. Zuchdi (2010: 48) menyatakan bahwa bagian terpenting dalam metode ini adalah pemberian kesempatan kepada subyek didik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subyek didik dalam pelaksanaan metode ini membawa dampak positif pada perkembangan kepribadiannya. Hal tersebut


(47)

31

dinyatakan oleh Kirschenbaum dalam Zuchdi (2010: 48-49) dikarenakan kegiatan fasilitasi dapat membantu beberapa hal berikut ini:

1) secara signifikan dapat meningkatkan hubungan pendidik dan subyek didik, 2) menolong subyek didik memperjelas pemahaman,

3) menolong subyek didik yang sudah menerima suatu nilai tetapi belum mengamalkannya secara konsisten untuk meningkat dari pemahaman sampai ke bertindak,

4) menolong subyek didik berpikir lebih jauh mengenai nilai yang dipelajari, menyebabkan pendidik lebih dapat memahami pikiran dan perasaan subyek didik, dan

5) memotivasi subyek didik menghubungkan persoalan nilai dengan kehidupan, kepercayaan, dan perasaan mereka sendiri.

Fasilitasi memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan perbuatan moral dalam mengatasi masalah-masalah. Pada kegiatan fasilitasi di sekolah akan membantu dalam menjalin hubungan baik antara guru dan siswa, menolong siswa dalam memahami suatu nilai, membantu siswa bertindak sesuai nilai secara konsisten, dan terus termotivasi untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan nilai. Kegiatan fasilitasi akan memberikan dorongan siswa dalam pemahaman, kesadaran, dan tindakan nilai sehingga akan menjadi suatu semangat untuk selalu menjunjung tinggi nilai dalam kehidupannya.

d. Pengembangan keterampilan akademik dan sosial

Menurut Zuchdi (2010: 49) terdapat berbagai keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Ketermpilan tersebut antara lain adalah berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi secara jelas, meyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan keterampilan sosial.


(48)

32

Keterampilan akademik dan sosial dalam pendekatan pendidikan diperlukan untuk mengenal dan memahami nilai dengan kemampuan berpikir anak dalam mengatasi suatu permasalahan dengan baik. Melalui kemampuan berpikir anak mengarahkan pada sifat bijaksana dengan menganalisis informasi yang diterima secara cermat dan membuat keputusan yang tepat. Keputusan yang tepat merupakan tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan solusi pemecahan terhadap suatu permasalahan. Oleh karena itu, keterampilan akademik dan sosial diperlukan dalam mengenal kemudian bertindak dengan tepat sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang dipercaya.

Berdasarkan uraian mengenai metode pendidikan nilai dengan pendidikan komprehensif di atas dapat dikatahui bahwa terdapat empat metode yaitu inkulkasi nilai, keteladanan nilai, fasilitasi, dan pengembangan keterampilan akademik dan sosial. Keempat metode tersebut merupakan inovasi agar pendidikan nilai tidak bersifat indoktrinasi. Indoktrinasi menimbulkan kekauan terhadap nilai karena pendidikan nilai membutuhkan keteladanan dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Sedikit berbeda dengan pendapat Krischenbaum, Elmubarok (2009: 60-74) menyatakan bahwa model pendekatan pendidikan nilai yang populer berdasarkan kajian Superka terdapat lima pendekatan pendidikan nilai. Lima pendekatan pendidikan nilai tersebut yaitu pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat. Berikut ini penjelasan dari kelima pendekatan tersebut.


(49)

33 a. Pendekatan Penanaman Nilai

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) merupakan suatu pendekatan pedidikan nilai yang lebih memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial ke dalam diri siswa (Elmubarok, 2009: 60). Tujuan pendekatan ini adalah agar diterimanya nilai sosial tertentu oleh siswa dan berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai-nilai-nilai sosial yang diinginkan. Dengan ditanamkannya nilai-nilai ke dalam diri siswa, harapnnya siswa dapat menerima dan selanjutnya dapat merubah nilai-nilai yang tidak sesuai agar sesuai berdasarkan nilai-nilai yang telah diterimanya. Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan pendekatan ini yaitu metode keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peran, dan lain sebagainya.

Sebenarnya pendekatakan ini merupakan pendekatan tradisional sehingga banyak kritik dalam berbagai litelatur Barat yang ditujukan kepada pendekatan ini (Muslich, 2011: 108). Terdapat beberapa anggapan mengenai pendekatan ini diantaranya yaitu:

1) dipandang indoktrinasi sehingga tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi,

2) mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.

Kedua hal di atas tidak sesuai dengan keadaan pendidikan Barat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Akan tetapi, Superka dalam Muslich (2011: 108) menyatakan bahwa pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat utamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan budaya. Hal ini didasarkan pada beberapa hal bahwa:


(50)

34

1) terdapat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan mempunyai kebenaran mutlak seperti dalam ajaran agama,

2) nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai sehingga harus bertitik tolak dari nilai-nilai tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan penanaman nilai merupkan pendekatan yang menekankan pada penanaman nilai-nilai sosial ke dalam diri siswa sehingga dapat menerima nilai-nilai-nilai-nilai sosial tertentu dan merubah nilai-nilai sosial ke arah yang diinginkan. Pendekatan ini mungkin tidak sesuai dengan pendidikan Barat, akan tetapi Muslich (2011: 120) menyatakan bahwa pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan nilai di Indonesia. Dan Zuchdi (2010: 46) juga telah menjelaskan perbedaan mengenai metode indoktrinasi yang memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan penanaman. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak ada salahnya jika digunakan dalam pendidikan nilai.

b. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif

Pendekatan perkembangan moral kognitif merupakan pendekatan yang mempunyai karakteristik penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya (Elmubarok, 2009: 62). Sementara itu, Muslich (2011: 109) menyatakan bahwa pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif menganai masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Tujuan utama pendekatan ini ada dua yaitu membantu siswa membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan pada nilai yang lebih tinggi dan mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah


(51)

35

moral. Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, yaitu dengan menggunakan metode diskusi kelompok.

Muslich (2011: 109) menyatakan bahwa diskusi kelompok dalam pendekatan perkembangan moral kognitif dilaksanakan dengan memberi perhatian pada tiga kondisi penting yaitu:

1) mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi, 2) adanya dilema baik dilema hipotetikal maupun faktual berhubungan dengan

nilai dalam kehidupan sehari-hari,

3) suasana yang mendukung bagi keberlangsungan diskusi dengan baik.

Oleh karena itu melalui pendekatan ini diharapkan siswa dapat menuju tingkat perkembangan moral lebih tinggi dengan diskusi yang dilakukan melalui dilema moral. Proses diskusi tersebut dapat dimulai dengan penyajian cerita yang memuat dilema kemudian siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang seharusnya dilakukan orang yang terlibat dengan disertai alasannya.

Konsep perkembangan moral menurut teori Kohlberg dalam Muslich (2011: 112) terdiri dari empat ciri utama yaitu:

1) tingkat perkembangan moral terjadi dalam rangkaian yang sama pada semua orang,

2) tingkat perkembangan moral selalu tersusun berurutan secara bertingkat, 3) tingkat perkembangan moral terstruktur sebagai suatu keseluruhan, dan

4) tingkat perkembangan moral memberi penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi pertimbangannya.

Berdasarkan keempat ciri utama tersebut maka dapat diketahui bahwa seseorang tidak pernah melompati suatu tingkat perkembangan dan perkembangannya selalu kearah tingkat yang lebih tinggi. Jika seseorang membuat pertimbangan moral pada tingkat tinggi, maka sudah tentu dapat dengan


(52)

36

mudah memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Hal tersebut karena menurut perkembangan moral, pertimbangan moral seseorang selalu konsisten. Dan yang lebih diutamakan adalah struktur pertimbangan moralnya.

Muslich (2011: 112-113) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang menyatakan bahwa pendekatan ini dapat digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, diantaranya yaitu:

1) memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir, 2) memberikan perhatian sepenuhnya terhadap isu moral dan penyelesaian

masalah yang berkaitan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat sehingga pendekatan ini menjadi menarik, dan

3) dapat menghidupkan suasana kelas.

Akan tetapi, pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan salah satunya adalah menampilkan bias budaya Barat, yaitu:

1) menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang berdasarkan filsafat liberal,

2) tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan sebab yang terpenting adalah pertimbangan moralnya.

Berdasarkan pemaparan mengenai pendekatan perkembangan moral kognitif di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan ini merupakan pendekatan yang memberi penekanan pada aspek kognitif dan perkembangan moral. Pendekatan ini dapat menghidupkan suasana kelas dan menjadi menarik dengan adanya perhatian pada isu moral dan penyelesaian masalah serta penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Akan tetapi, dalam proses pendidikan dan pengajaran tidak mementingkan kriteria benar salah mengenai suatu perbuatan karena yang terpenting adalah pertimbangan moralnya. Dengan demikian, pendekatan ini dapatlah tetap digunakan dalam pendidikan nilai dengan catatan perlu adanya arahan sampai pada kesimpulan akhir yang sama sesuai


(53)

37

dengan nilai-nilai sosial tertentu yang bersumber dari nilai dan budaya luhur bangsa Indonesia (Muslich, 2011: 122).

c. Pendekatan Analisis Nilai

Pendekatan analisis nilai merupakan pendekatan yang memberikan penekanan kepada perkembangan kemampuan anak dalam berpikir secara logis melalui cara anak dalam menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial (Elmubarok, 2009: 68). Tujuan utama pendidikan nilai-nilai menurut pendekatan ini ada dua yaitu membantu siswa menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berkaitan dengan nilai tertentu, dan membantu siswa menggunakan proses berpikir rasional dan analitik dalam menghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka. Adapun metode pengajaran yang digunakan adalah pembelajaran secara individu atau kelompok, mengenai masalah sosial yang memuat nilai, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas.

Terdapat enam langkah analisis yang perlu dan penting diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini yang dikemukakan oleh Hersh dan Elias dalam Muslich (2011: 114-115), yaitu:

1) mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait, 2) mengumpulkan fakta yang berhubungan,

3) menguji kebenaran fakta yang berkaitan,

4) menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan, 5) merumuskan keputusan moral sementara,

6) menguji prisip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.

Keenam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam tugas tersebut yaitu: 1) mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait,


(54)

38

2) mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan,

3) mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan, 4) mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutab, 5) mengurangi perbedaan dalam merumuskan keputusan sementara, dan

6) mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima (Muslich, 2011: 115).

Pendekatan ini mempunyai kekuatan untuk mudah diaplikasikan dalam ruang kelas. Hal tersebut dikarenakan adanya penekanan pada pengembangan kemampuan kognitif dan menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral. Akan tetapi, pendekatan ini hanya berdasarkan pada prosedur analisis nilai yang ditawarkan dan metode pengajaran yang digunakan. Selain itu, pendekatan ini juga sangat penekankan pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif dan perilaku, serta sangat memberi penekanan pada proses dan kurang mementingkan isi nilai seperti dalam pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai (Muslich, 2011: 115-116). Dengan demikian, dapatlah mungkin pendekatan ini digunakan dalam pendidikan nilai dengan metode pengajaran pada pendekatan ini khususnya prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah yang ditawarkannya.

d. Pendekatan Klarifikasi Nilai

Pendekatan klarifikasi nilai menekankan pada usaha untuk membantu anak dalam mengkaji perasaan dan perbutannya sendiri sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran akan nilai-nilai mereka sendiri (Elmubarok, 2009: 70). Menurut pendekatan ini, tujuan pendidikan nilai ada tiga yaitu membantu menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai diri sendiri dan orang lain; membantu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain yang berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; dan membantu menggunakan secara bersama-sama


(55)

39

kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, memahami perasaan, nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dengan pendekatan ini, proses pengajaran dilakukan dengan metode dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain sebagainya.

Menurut Zuchdi (2010: 10), pendekatan ini digunakan untuk mengajarkan suatu bentuk inkuiri nilai yang melibatkan tiga proses yaitu menghargai kepercayaan dan perilaku pribadi, memilih kepercayaan dan perilaku pribadi, dan bertindak sesuai dengan kepercayaan pribadi. Sejalan dengan hal tersebut, Muslich (2011; 117) juga menyatakan bahwa terdapat tiga proses klarifikasi menilai menurut pendekatan ini yaitu memilih, menghargai, dan bertindak. Dengan pendekatan ini menyebabkan seseorang lebih menyadari kepercayaan diri dan kepercayaan orang lain, dan apa yang harus dianggap bernilai. Pendekatan ini mencoba membuat siswa menyadari nilai-nilai yang mereka yakini dan nilai-nilai yang diyakini oleh orang lain. Isi nilai dalam pendekatan ini tidak terlalu penting, sebab yang terpenting adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.

Menurut pendekatan ini, Elias dalam Muslich (2011: 117) menyatakan bahwa guru bukan berperan sebagai pengajar nilai, akan tetapi sebagai role model dan pendorong. Guru mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Sehingga pendekatan ini mempunyai kekuatan dalam memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan bertindak berdasarkan kepada nilainya sendiri.


(56)

40

Tetapi sama halnya dengan pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan ini juga menampilkan bias budaya Barat. Kriteria benar salah dalam pendekatan ini sangat relatif karena sangat mementingkan nilai perseorangan.

Muslich (2011: 122) menyatakan bahwa metode pembelajaran dalam pendekatan ini dapat digunakan dalam pendidikan nilai. Hal tersebut dengan memperhatikan faktor keadaan serta bahan pelajaran yang relevan. Akan tetapi, Prayitno dalam Muslich (2011: 122) juga menyatakan bahwa perlu kehati-hatian supaya tidak membuka kesempatan bagi siswa untuk memilih nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat.

e. Pendekatan Pembelajaran Berbuat

Pendekatan pembelajara berbuat merupakan pendekatan pendidikan nilai yang menekankan kepada usaha untuk memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, yang yang dilakukan secara individual maupun secara berkelompok (Elmubarok, 2009: 73). Terdapat dua tujuan utama pendidikan nilai menurut pendekatan ini yaitu memberi kesempatan siswa untuk melakukan perbuatan moral baik secara individu atau kelompok, dan mendorong siswa untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama. Metode pengajaran dalam pendekatan ini yaitu pembelajaran secara individu atau kelompok, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, diskusi kelas, projek-projek tertentu di sekolah atau masyarakat, praktik keterampilan dalam berorganisasi.

Pendekatan ini diprakarsai oleh Newmann dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa dalam melakukan perubahan-perubahan


(57)

41

sosial. Menurut Eliash (dalam Muslich, 2011: 119), tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis sehingga akan menghasilkan warga negara yang aktif. Warga negara aktif yaitu yang memiliki kompetensi yang diperkuat dalam lingkungan hidupnya yaitu kompetensi fisik, kompetensi hubungan antarpribadi, dan kompetensi kewarganegaraan.

Keunggulan pendekatan ini adalah pada program-program yang disediakan dan memberikan kesempatan pada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi. Akan tetapi, Elias dalam Muslich (2011: 120) menyatakan bahwa hal tersebut sulit dipraktikan. Berdasarkan hal tersebut, metode pengajaran dalam pendekatan ini bermanfaat untuk diterapkan dalam pengajaran pendidikan nilai. Siswa pada tingkat tertentu lebih tepat untuk malakukan tugas-tugas di luar ruang kelas untuk meningkatkan kompetensi yang berhubungan dengan lingkungan. Perlu dirumuskan program-program yang sederhana dan memungkinkan untuk dilaksanakan pada masing-masing sekolah agar pendekatan ini dapat digunakan dengan batas-batas yang memungkinkan.

Elmubarok (2009: 75) menyatakan bahwa dari kelima pendekatan pendidikan nilai yang telah diuraikan di atas, pendekatan penanaman nilai merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan nilai di Indonesia. Hal tersebut didasarkan pada nilai-nilai luhur dan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia serta falsafah bangsa yaitu Pancasila. Sejalan dengan hal itu, Muslich (2011, 120) juga berpendakat yang sama bahwa


(58)

42

pendekatan penanaman nilai merupakan pendekatan yang paling tepat. Dengan pendekatakan penanaman nilai, anak akan dikenalkan terlebih dahulu mengenai nilai-nilai yang berlaku sesuai dengan norma sosial di masyarakat. Nilai-nilai tersebut berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat. Setelah anak kenal dengan nilai-nilai tersebut, selanjutnya anak dapat menyadari dan melaksanakan hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan norma sosial yang berlaku.

Berdasarkan berbagai macam pendeketan pendidikan nilai menurut Krischenbaum dan Emubarok yang telah dipaparkan di atas dapat diketahui bahwa terdapat berbagai macam pendekatan yang dapat digunakan dalam pendidikan nilai. Hal itu diperlukan akan tidak hanya ditanamkan nilai pada diri anak, akan juga ada kesadaran yang diwujudkan dalam tindakan yang berdasarkan nilai. Inkulkasi merupakan pendekatan penanaman nilai dimana nilai-nilai yang diinginkan diberikan dengan penanaman secara langsung kepada anak atau siswa. Penanaman harus didukung dengan keteladanan sebab jika hanya ditanamkan saja tanpa ada keteladanan maka penanaman akan sia-sia begitu saja. Sementara fasilitasi dilakukan untuk melatih dalam mengatasi permasalahan dengan pemberian kesempatan kepada siswa. Hal itu sama halnya dengan pendekatan pembelajaran berbuat yang memberikan kesempatan untuk melakukan perbuatan moral sendiri. Sementara pengembangan keterampilan akademik dan sosial dengan keterampilan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah sama halnya dengan pendekatan perkembangan moral kognitif yang menekankan pada aspek kognitis siswa, pendekatan analisis nilai dengan kemampaun berpikir secara logis


(59)

43

dalam menganalisis permasalahan, dan pendekatan klarifikasi nilai dengan kesadaran akan nilai-nilainya sendiri dengan kemampuan akademik dan sosial yang dimiliki.

Peneliti dalam penelitian ini akan melihat secara langung mengenai pendekatan apa yang digunakan guru dalam pendidikan nilai kepada siswa. Tidak menutup kemungkinan guru menggunakan pendekatan lain selain pendekatan penanaman nilai (inkulkasi). Sebab kesemua pendekatan tersebut dapat digunakan guru dalam pendidikan nilai dengan metode yang tepat. Hal tersebut dinyatakan Muslich (2011, 122) bahwa berbagai metode pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan-pendekatan lain dapat digunakan juga dalam pembelajaran pendidikan nilai. Kondisi saat ini juga mengharuskan pendidikan nilai diberikan dengan pendekatan komprehensif sehingga mencakup sebagai aspek baik isi, cara, dan lingkup pelaksanaanya.

Pelaksanaan pendidikan nilai dengan pendekatan komprehensif dapat dilakukan dengan mengintegrasikan dalam pembelajara pada setiap mata pelajaran. Kemendinas (2010: 18) menyatakan bahwa pengembangan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata pelajaran. Pendidikan nilai di sekolah diintegrasikan dalam mata pelajaran dilakukan dengan mencantumkan nilai-nilai yang akan diintegrasikan dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembalajaran. Berikut ini pengembangan nilai-nilai dalam silabus menurut Kemendiknas (2010: 18-19) dilakukan melalui cara-cara berikut ini:


(60)

44

1) mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) untuk menentukan apakah nilai-nilai karakter yang tercantum sudah tercakup di dalamnya,

2) menggunakan nilai-nilai karakter yang memperlihatkan keterkaitan antara SK dan KD dengan nilai dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan,

3) menentukan nilai-nilai karakter dalam nilai-nilai karakter itu ke dalam silabus, 4) mencantumkan nilai-nilai yang sudah ada dalam silabus ke dalam RPP,

5) mengambangkan proses pembelajaran peserta didik secara aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai, dan

6) memberikan bantuan kepada peserta didik, baik yang mengalami kesulitan untuk menginternalisasikan nilai maupun untuk menunjukkan nilai dalam perilaku.

Pengintegrasian nilai dalam pembelajaran perlu memperhatian pengunaan pendekatan dan metode pembelajaran yang tepat. Selain itu, juga perlu disesuaikan dengan SK, KD, maupun SI yang dicantumkan dalam silabus yang kemudian dimasukkan ke dalam RPP. Untuk sekolah yang telah menggunakan kurikulum 2013, maka pengintegrasian nilai dalam pembelajaran disesuaikan dengan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) pada tema yang ada.

Pendidikan nilai selain dilakukan dengan berbagai pendekatan komprehensif dan pengintegrasi dalam pembelajaran yang telah diuraikan di atas juga dilakukan melalui kegiatan di luar pembelajaran, yaitu kegiatan ektrakurikuler. Pelaksanaan


(61)

45

kegiatan ektrakurikuler yang diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan nilai dan peningkatan mutu akademik peserta didik (Muslich, 2011: 86). Menurut Kemendiknas (2010: 19), kegiatan ektrakurikuler merupakan bagian dari budaya sekolah.

Budaya sekolah menurut Kemendiknas (2010: 19) memiliki cakupan yang luas, biasanya mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ektrakurikuler, proses pengambilan keputusan, kebijakan maupun interkasi sosial antarkomponen di sekolah. Ritual merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan sehingga menjadi suatu budaya sekolah yang mencerminkan suatu nilai. Kebiasaan merupakan hal yang penting seperti keteladanan dalam pendidikan nilai. Hal itu disebabkan kebiasaan merupakan upaya pendidikan nilai yang dilakukan secara konstan sehingga menjadi suatu pembiasaan pada siswa. Siswa awalnya hanya mengenal dalam bertindak kemudian menjadi kebiasaan atau budaya yang mencerminkan nilai yang baik dengan pembisaan yang dilakukan. Pendidikan nilai dalam budaya sekolah dapat dilakukan melalui kegiatan yang dilakukan oleh kepala sekolah, guru, konselor, tenaga adminitrasi saat berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas yang ada di sekolah.

Wibowo (2012: 93) menyatakan bahwa budaya sekolah dapat dikatakan sebagai pikiran, kata-kata, sikap, perbutaan, dan hati setiap warga sekolah yang tecermin dalam semangat perilaku maupun simbol serta slogan khas identitas mereka. Sementara itu, dalam Kemendiknas (2010: 19) dinyatakan bahwa budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi


(1)

346


(2)

(3)

(4)

349 Lampiran 20. Surat-surat Penelitian


(5)

(6)