asites, dan hepatomegaly WHO, 2000; Roberts, Uterberger, Kuhnlein and Egeland, 2005; Fajar, Bakri, dan Supariasa, 2002.
B.Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan beberapa faktor biologik spesifik
dan secara fisiologis terjadi akumulasi jaringan lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan Soegondo,
2007. Obesitas terjadi ketika asupan energi melebihi pengeluaran energi. Tiga faktor utama yang memodulasi berat badan, yaitu: faktor metabolik, diet, dan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik yang berkurang dapat menjadi faktor yang paling penting sebagai penyebab meningkatnya prevalensi obesitas Atikah, 2007. Body mass index
merupakan salah satu faktor pendukung yang dapat digunakan untuk menentukan apakah seseorang mengalami obesitas atau tidak. Nilai BMI yang berada di antara 25-
29,9 kgm
2
disebut kelebihan berat badan overweight sedangkan nilai BMI ≥30
kgm
2
disebut obesitas WHO, 2013. Secara umum, massa lemak berhubungan dengan penurunan sensitivitas
insulin tubuh. Bila lemak di tubuh berlebih obesitas, akan berdampak terjadinya intoleransi glukosa dan perlawanan terhadap aksi insulin. Hal ini berkaitan dengan
jaringan adiposa abdomen yang berlebih kemudian akan berakibat hiperglikemia bahkan diabetes melitus Steyn, et al., 2004. Beberapa pengaruh keadaan obesitas
terhadap sensivitas insulin dimana sebagai penanda terjadinya diabetes melitus tipe 2, meliputi :
1. Pada kondisi obesitas terjadi penurunan produksi adiponektin dan adipokin.
Adiponektin berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas reseptor terhadap insulin dengan meningkatkan efek insulin. Jika produsen adiponektin dan
adipokin menurun maka insulin menjadi kurang sensitif untuk berikatan dengan reseptor insulin akibatnya efek insulin menjadi lemah.
2. Pada kondisi obesitas terjadi peningkatan jumlah jaringan lemak. Jaringan
lemak sendiri berperan dalam menghasilkan hormon resistin yang dapat memicu terjadinya resistensi insulin dengan mengganggu kerja insulin.
3. Pada kondisi obesitas juga terjadi peningkatan produksi asam-asam lemak
bebas akibat meningkatnya jumlah jaringan lemak. Asam-asam lemak tersebut lambat laun data menumpuk secara abnormal pada otot sehigga hal tersebut
dapat mengganggu kerja dari insulin Sherwood, 2011.
C. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama
mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah Soegondo, 2009. Resistensi insulin menyebabkan kemampuan insulin menurunkan kadar gula darah menjadi
berkurang. Akibatnya pankreas harus mensekresi insulin lebih banyak untuk mengatasi kenaikan kadar gula darah. Pada tahap ini, kemugkinan individu tersebut
akan mengalami gangguan toleransi glukosa tahap prediabetes, tetapi belum memenuhi kriteria penderita diabetes melitus. Kondisi resistensi insulin akan terus
berlanjut dan semakin bertambah berat, sementara pankreas tidak mampu lagi terus menerus meningkatkan kemampuan sekresi insulin yang cukup untuk mengontrol
gula darah. Akhirnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akan menurun dan kenaikan kadar gula darah bertambah berat. Perubahan proses toleransi glukosa,
mulai dari kondisi normal, toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2 dapat dilihat sebagai keadaan yang berkesinambungan Soewondo, 2007.
Gejala yang sering muncul pada penderita diabetes melitus adalah polyuria sering buang air kecil, polodipsia merasakan haus yang berlebihan, dan poliofagia
merasakan lapar yang berlebihan. Kriteria diagnostik untuk diabetes melitus mencakup: glukosa plasma puasa ≥ 126 mgdL, gejala diabetes plus glukosa plasma
sewaktu ≥ 200 mgdL atau kadar glukosa plasma ≥ 200 mgdL setelah pemberian 75g glukosa per oral uji toleransi glukosa oral Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2005. Diabetes melitus tipe 2 yang cenderung diderita oleh orang dewasa ini
berkorelasi dengan obesitas, aktivitas fisik, maupun riwayat keluarga yang memberikan sumbangan hingga 90 terjadinya diabetes melitus tipe 2. Diabetes
melitus tipe 2 dapat menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti penyakit
kardiovaskular, peripheral vascular, ocular, neurologic, abnormalitas renal yang menyebabkan penyakit jantung, stroke, kebutaan, kerusakan saraf ginjal hingga
kematian Ceriello and Motz, 2004. Diabetes United Kingdom memperkirakan 75- 90 penderita diabetes menderita diabetes melitus tipe 2, disebabkan 80 kelebihan
berat badan atau obesitas. Diabetes melitus tipe 2 mulai meningkat pada BMI 23 kgm
2
, risiko hipertensi, dyslipidemia, aterosklerosis, dan kematian dini akibat penyakit kardiovaskular semua meningkat dengan meningkatnya obesitas pada
penderita diabetes melitus tipe 2. Risiko kematian dini dapat terjadi sepuluh kali lipat pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan BMI diatas 36 kgm
2
. Sebaliknya, penurunan berat badan yang disengaja antara 8-13 kg bisa mengurangi angka
kematian sebesar 33 pada penderita diabetes melitus dengan obesitas Frost, Domhorst, and Moses, 2003.
D. Hemoglobin
Hemoglobin merupakan zat warna darah yang menyebabkan warna merah pada eritrosit. Hemoglobin adalah suatu protein majemuk yang tersusun atas protein
sederhana globin dan radikal prostetik hem. Salah satu fungsi terpenting hemoglobin yaitu mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan
mengangkut karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru Sumardjo, 2009. Seseorang yang kekurangan hemoglobin dapat mengalami anemia. Anemia
merupakan keadaan menurunnya kadar eritrosit sel darah merah dan kadar hemoglobin Hb dalam setiap mililiter kubik darah dalam tubuh manusia. Anemia
biasanya ditandai dengan penurunan daya tahan tubuh, kepucatan pada tubuh dan penurunan kerja fisik Amaylia, 2012.
Menurut International Expert Committee 2009 HbA1c merupakan bagian dari hemoglobin keseluruhan sehingga setiap perubahan jumlah eritrosit, kadar dan
susunan hemoglobin dapat mempengaruhi kadar HbA1c misalkan perubahan masa hidup eritrosit perdarahan, anemia, hemolysis, kekurangan zat besi ataupun kelainan
hemoglobin sehingga diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan lain pada keadaan tersebut. Pada keadaan gagal ginjal, pengaruh zat yang tidak dapat dikeluarkan dari
tubuh dan obat-obatan juga dapat mempengaruhi kadar HbA1c seseorang.
E. HbA1c
HbA1c atau yang dikenal dengan hemoglobin glikat adalah salah satu fraksi hemoglobin di dalam tubuh manusia yang berikatan dengan glukosa secara enzimatik.
Hal ini dapat pula diartikan bila kadar glukosa yang berlebih akan selalu terikat di dalam hemoglobin, juga dengan kadar yang tinggi Acton, 2013. Pembentukan
HbA1c terjadi dengan lambat yaitu selama 120 hari, yang merupakan rentang hidup sel darah merah. HbA1 terdiri dari atas tiga molekul, HbA1a, HbA1b dan HbA1c
sebesar 70, HbA1c dalam bentuk 70 terglikosilasi mengabsorbsi glukosa. Jumlah hemoglobin yang terglikolisasi bergantung pada jumlah glukosa yang
tersedia. Jika kadar glukosa darah meningkat selama waktu yang lama, sel darah merah akan tersaturasi dengan glukosa menghasilkan glikohemoglobin Sumardjo,