40 Winfield mengingatkan bahwa resiliensi tidak cukup hanya semata-mata
diajarkan, tetapi lebih dipelajari melalui interaksi sosial yang positif.
58
Oleh karena itu semua komponen yang berada di lingkungan remaja hendaknya
memberikan pelayanan secara hangat, respek, penuh perhatian dan penerimaan, serta empatik. Dengan cara demikian remaja akan memodeling tingkah laku
positif orang-orang yang ada di sekelilingnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan resiliensi mereka. Interaksi personal yang positif di antara remaja
antar teman sebaya ditambah dengan dukungan positif dari keluarga dan sekolah, serta lingkungan sosialnya diharapkan dapat meningkatkan resiliensi
remaja. Resiliensi individu tergambarkan dari tujuh faktor resiliensi yaitu: pengendalian emosi, pengendalian dorongan, optimisme, kemampuan melakukan
analisis penyebab, empati, efikasi diri, serta kemampuan membuka diri. Kemampuan resiliensi adalah kemampuan yang lebih bersifat dipelajari, bukan
sekedar diturunkan. Diharapkan melalui konseling teman sebaya, resiliensi remaja dapat ditingkatkan.
C. Penelitian Yang Relevan
Penelitian tentang layanan bimbingan dan konseling telah banyak dilakukan, terbukti dengan ditemukannya berbagai karya ilmiah sebagai berikut:
1. Penelitian dengan judul “Upaya Meningkatkan Resiliensi Melalui Pelaksanaan Pelatihan Peer Counseling
Pada Siswa” oleh Lestariningsih.
58
Suwarjo. Op.Cit. h. 14
41 Dalam penelitian ini terjadi peningkatan poin pada masing-masing
indikator seperti rata-rata peningkatan indikator regulasi emosi adalah 2,5 poin, peningkatan skor pengendalian impuls adalah 3,4 poin, peningkatan
indikator optimisme adalah 1,6 poin, peningkatan indikator analisis penyebab masalah adalah 2,8 poin, peningkatan skor Empati adalah 2,3 poin,
peningkatan skor Self Efficacy adalah 2,8 poin,peningkatan indikator reaching out adalah 3 poin. Menurut Lestariningsih Secara kuantitatif
pelaksanaan layanan peer counseling pelatihan calon peer konselor secara efektif dapat meningkatkan resiliensi pada diri peserta didik. Peningkatan ini
dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yakni peran serta konselor ahli dan juga tingkat keaktifan dari calon peer konselor. Penggunaan teknik dan metode
yang bervariasi oleh konselor ahli memungkinkan calon peer konselor untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan kelompok.
2. Penelitian Kartika Nur Fathiyah dan Farida Harahap dengan judul “Layanan konseling sebaya untuk Meningkatan Efikasi Diri Remaja terhadap Perilaku
Berisiko”. Pada penelitian ini menunjukan bahwa jika hasil pretest dan posttest
diperbandingkan, tampak ada kecenderungan peningkatan efikasi diri peserta didik yang diberi layanan konseling sebaya secara berarti. Pada saat pretest
ada 1 peserta didik 4,35 yang memiliki efikasi diri sedang, 7 peserta didik 30,43 memiliki efikasi diri tinggi, dan 15 peserta didik 65,22
42 memiliki efikasi diri sangat tinggi. Sedangkan pada saat posttest hanya
terdapat 2 orang peserta didik 6,25 memiliki efikasi diri tinggi untuk menolak perilaku berisiko dan 21 orang peserta didik 91,3 memiliki
efikasi diri sangat tinggi untuk menolak perilaku berisiko. Sesudah perlakuan kriteria efikasi diri sedang sudah tidak ada dan berubah menjadi efikasi diri
tinggi. Selain itu, terdapat peningkatan efikasi diri siswa yang diberi layanan konseling sebaya dengan kriteria sangat tinggi sebesar 26,08 .
3. Dan penelitian oleh suwarjo dengan judul “Layanan konseling sebaya Peer Counseling Untuk Mengembangkan Resiliensi Rema
ja”. Dalam penelitian iniSuwarjo memaparkan bahwa kemampuan resiliensi adalah kemampuan
yang lebih bersifat dipelajari, bukan sekedar diturunkan. Melalui konseling teman sebaya, resiliensi remaja dapat ditingkatkan.
D. Kerangka berfikir