mengalami tanda sel iga tertarik saat bernafas saat demam, batuk dan serak dan terdapat 73 responden yang menyatakan bahwa ada anggota keluarga yang
mengalami tanda pilek saat demam, batuk dan serak. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian didasarkan pada tanda dan gejala ISPA menurut Depkes RI
2002. Dari hasil penelitian tersebut didapati bahwa dengan mengasumsikan bahwa
apabila responden memiliki keluhan yang ditanyakan, pada sebulan terakhir, maka dapat dikatakan bahwa responden atau anggota keluarga memiliki keluhan ISPA
berdasarkan gejala-gejala ISPA. Dan berdasarkan data penelitian didapati bahwa 73 orang responden 87,95 memiliki keluhan ISPA dan sisanya yaitu 10 atau sebesar
12,05 dari total responden tidak memiliki keluhan ISPA berdasarkan gejala.
5.3. Faktor Rendahnya Kadar PM
10
Dan Tingginya Keluhan ISPA 1. Curah Hujan dan Kelembaban
Hasil pengukuran kadar Particulate Matter PM
10
pada lokasi penelitian menunjukkan pada 4 empat titik pengukuran, kadar PM
10
tidak melebihi baku mutu dan keluhan ISPA berdasarkan gelaja dalam kategori tinggi. Hal ini mungkin
diakibatkan oleh tingginya curah hujan, karena pada saat pengukuran didominasi oleh curah hujan yang tinggi atau dapat dikatakan berada pada rentang musim penghujan
yang bisa mengakibatkan rendahnya kadar debu disekitar lokasi pengukuran. Perbedaan hasil pengukuran kadar debu yang terjadi pada penelitian dapat pula
disebabkan oleh perbedaan kelembaban pada lokasi pengukuran.
Universitas Sumatera Utara
Kelembaban pada titik pengukuran I adalah sebesar 60 , pada titik II sebesar 47, kelembaban pada titik III sebesar 59, titik IV sebesar 51 dan kelembaban
pada titik V adalah sebesar 52. Partikel debu yang telah terkena hujan akan cenderung lebih berat sehingga
akan lebih sulit terbawa oleh udara sehingga kadar debu di udara lebih sedikit dan memperkecil kemungkinan untuk kemudian terhirup oleh manusia. Dalam
perjalanannya turun ke bumi, air hujan akan melarutkan partikel-partikel debu dan gas yang terdapat dalam udara, misalnya, gas CO
2
, gas N
2
O
3
, dan gas S
2
O
3
Chandra, 2006. Hal diatas didukung juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Topan
Nirwana dalam bentuk kajian literature didapatkan bahwa curah hujan, temperatur dan kelembaban berpengaruh terhadap tingkat kejadian DBD, ISPA, dan Diare.
2. Waktu Pengukuran Kadar PM
10
Rendahnya kadar debu PM
10
di 4 empat titik pengukuran bisa juga diakibatkan oleh perbedaan waktu pengukuran, dimana pengukuran dilakukan selama
1 hari dengan waktu yang berbeda-beda. Pengukuran di titik 1, 2, 3 dan 4 yang menunjukkan kadar PM
1o
yang rendah dilaksanakan pada saat tidak terjadinya mobilitas yang padat dari truk industri maupun kendaraan umum beserta debu hasil
mobilitas masyarakat, sedangkan pengukuran kadar PM
1o
pada titik 5 yang memberikan hasil kadar PM
1o
yang tinggi dilaksanakan pada pukul 16.00 – 17.00 WIB dimana waktu tersebut adalah jadwal pulang untuk para pekerja industri
galangan kapal yang di dominasi oleh pengendara sepeda motor , oleh karena itu, pada saat tersebut terjadi kepadatan aktivitas jalur kendaraan disekitar pemukiman
Universitas Sumatera Utara
penduduk yang secara langsung dapat mempengaruhi kadar debu di lokasi baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Hal diatas sesuai dengan pemaparan yang menyatakan bahwa seiring semakin banyaknya jumlah sepeda motor di jalanan, ternyata menimbulkan masalah baru,
yaitu pencemaran lingkungan berupa polusi udara. Knalpot sepeda motor mengeluarkan asap dan menambah parahnya polusi udara di kota-kota besar
Suwarto, 2005.
3. Lokasi Pengukuran Kadar PM
10
Hasil pengukuran di Titik Pengukuran I dan V memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan Titik Pengukuran II, III, dan IV. Hal ini diakibatkan karena titik
pengukuran I dan V adalah titik pengukuran yang berada di jalur mobilitas industri galangan kapal sedangkan titik pengukuran lainnya berada jauh dari jalur mobilitas
industri galangan kapal yaitu masing-masing titik II berada di tengah permukiman, titik III berada di tanah lapang tengah permukiman warga, dan titik IV berada di
dekat permukiman warga yang bukan jalur transportasi. Hal ini juga dapat diakibatkan oleh titik pengukuran I dan V yang minim akan
keberadaan tanaman dan tumbuhan hijau yang mampu menyerap debu dan polusi, sedangkan titik pengukuran II, III, dan IV dipenuhi semak, pohon dan perkebunan
masyarakat sekitar lingkungan IV. Tanaman memiliki sifat mengikat debu pada permukaan daunnya. Dengan demikian, pada lahan hijau semak perdu dan pohon
tanam-tanaman dapat menyaring 85 debu yang ada LMB Universitas Katolik Soegijapranata, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Tingginya keluhan ISPA berdasarkan gejala yang tidak didukung oleh tingginya kadar PM
10
bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor . Faktor-faktor yang memungkinkan rendahnya kadar PM
10
seperti yang dipaparkan sebelumnya yaitu curah hujan dan kelembaban bisa menyebabkan kadar debu di udara rendah namun
dapat pula mempengaruhi tingginya keluhan ISPA berdasarkan gejala karena mampu menjadi faktor pendukung timbulnya gejala penyakit seperti batuk dan pilek yang
kerap terjadi saat musim penghujan. Dengan terjadinya perubahan cuaca dan iklim, telah terdeteksi peningkatan kejadian terutama yang berkaitan dengan kematian
akibat gangguan pernapasan Iwan, 2009. Selain hal diatas keluhan ISPA berdasarkan gejala yang tinggi mungkin tidak
disebabkan oleh kadar debu melainkan faktor lain seperti status gizi seseorang yang rendah, daya tahan tubuh yang tidak baik, kepadatan penduduk dan manajemen
perumahan yang buruk atau keberadaan orang lain yang memiliki riwayat gejala ISPA namun tidak terpapar di lokasi penelitian misalnya di tempat kerja, sekolah dan
sebagainya dan menularkannya ke anggota keluarga lainnya terkhususnya responden.
4. Daya Tahan Tubuh Yang Rentan
Daya tahan tubuh mempengaruhi perkembangan virus maupun bakteri yang masuk sehingga berpengaruh pada proses terjadinya penyakit. Penyebaran Infeksi
pada kasus ISPA bila terjadi tergantung pada pertahanan tubuh dan dari virulensi kuman yang bersangkutan Tambayong, 2000.
5. Kepadatan Penduduk dan Manajemen Perumahan Yang Tidak Baik
Perumahan yang buruk, manajemen sampah yang tidak memadai, dan peraturan yang tidak memadai mengenai emisi dari industri, serta jalan raya
Universitas Sumatera Utara
merupakan hal yang penting, walaupun sebagai faktor-faktor penyebab, hal ini hanya berpengaruh sedikit terhadap infeksi saluran pernapasan akut. Dan kepadatan rumah
merupakan indikator tambahan dalam faktor risiko ISPA WHO, 2008.
6. Paparan Gejala ISPA Yang Tidak Berasal Dari Tempat Tinggal
Hal ini memungkinkan terjadinya keluhan ISPA berdasarkan gejala pada responden di 30 hari terakhir, dimana paparan gejala ISPA seperti batuk, pilek, dan
demam yang bukan berasal dari paparan debu di tempat melainkan dari tempat bekerja, sekolah atau orang lain dengan riwayat sakit bahkan dari gejala penyakit
lainnya.
7. Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga
Menurut WHO, faktor pejamu seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau
infeksi serentak yang disebabkan oleh pathogen lain, kondisi kesehatan umum adalah beberapa faktor yang menentukan terjadinya ISPA.
5.4. Karakteristik Responden
Wilayah Kelurahan Sei Pelunggut memiliki luas wilayah sebesar ± 5,3 Km serta memiliki jumlah penduduk 11.517 Jiwa. Adapun sampel dalam penelitian
ini adalah 83 responden dari 83 keluarga yang berada di Kavling Melati Kelurahan Sei Pelunggut Kecamatan Sagulung Kota Batam tahun 2014. Teknik pengambilan
sampel pada penelitian ini adalah menggunakan teknik Proportional Random Sampling dengan rincian sampel yaitu Lingkungan I dengan 18 KK, Lingkungan II
22 KK, Lingkungan III sebanyak 21 KK dan Lingkungan IV sebanyak 22 KK. Menurut WHO, faktor pejamu seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu
Universitas Sumatera Utara
menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh pathogen lain, kondisi kesehatan umum adalah
beberapa faktor yang menentukan terjadinya ISPA.
5.4.1. Jenis Kelamin
Dari tabel distribusi jenis kelamin di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden adalah penduduk yang berjenis kelamin perempuan yakni sebanyak 59
orang responden atau sebesar 71,1 dari total responden sedangkan 24 orang responden berjenis kelamin laki-laki atau sebesar 28,9 dari total responden.
Variabel jenis kelamin diikut sertakan oleh peneliti dikarenakan sebagai salah satu faktor utama yang diyakini peneliti mempengaruhi daya tahan tubuh dari
responden dimana laki-laki memiliki daya tahan yang lebih baik dari perempuan dan hal ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hidayat Nur di Padang di
jelaskan bahwa menurut penelitian-penelitian di negara maju, seperti jerman ternyata didapatkan bahwa anak perempuan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan anak
laki-laki Nur, 2009.
5.4.2. Umur
Dari tabel distribusi umur dapat dilihat bahwa dari total 83 orang responden, sebagian besar adalah penduduk yang berada dalam kelompok usia antara 35-39
tahun sebanyak 22 orang responden atau sebesar 26,5 dari total responden. Kelompok usia dengan jumlah responden terkecil adalah kelompok umur antara 50-
54 tahun, kelompok umur antara 55-59 tahun dan kelompok umur antara 60-64 tahun yaitu masing-masing kelompok umur dengan jumlah responden sebanyak 2 orang.
Usia responden termuda adalah 20 Tahun sedangkan usia tertua ialah 65 Tahun.
Universitas Sumatera Utara
Variabel umur merupakan faktor penting dalam penelitian deskriptif karena hamper semua kejadian penyakit dan kematian berkaitan dengan umur, misalnya
angka kematian terbesar terletak pada umur 0-5 tahun kemudian terjadi penurunan dan naik kembali setelah umur 40 tahun. Demikian pula dengan hubungan dengan
jenis penyakit, misalnya ISPA dan diare banyak dijumpai pada anak berumur 1-5 tahun Budiarto, 2003 Menurut teori, menyatakan bahwa bertambahnya umur
seseorang kemudian akan mengakibatkan frekuensi pernapasan akan menjadi semakin lambat. Pada usia lanjut yakni 60 tahun keatas, energi yang dibutuhkan akan
lebih sedikit dibandingkan pada saat usia pertumbuhan, sehingga oksigen yang diperlukan akan menjadi lebih sedikit Aryulina, 2006.
5.4.3. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tabel tingkat pendidikan di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan terakhir yaitu SMA dan SMK yakni sebanyak
60 orang responden masing-masing dengan 56 orang responden dari kategori SMA dan 4 orang responden dari kategori SMK atau dengan persentase sebesar 72,3 dari
total responden. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata penduduk di Kelurahan Sei Pelunggut sudah dalam taraf pendidikan menengah.
Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi seseorang untuk menjaga dirinya untuk terhindar dari ancaman penyakit dibandingkan dengan orang yang memiliki
tingkat pendidikan yang rendah. Sosial ekonomi merupakan faktor yang
mempengaruhi frekuensi distribusi penyakit tertentu, misalnya TBC, Infeksi akut gastrointestinal, ISPA, anemia, malnutrisi, dan penyakit parasit yang hanya terdapat
pada penduduk golongan sosial ekonomi rendah Budiarto dan Dewi. 2002.
Universitas Sumatera Utara
5.4.4. Jenis Pekerjaan
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa sebagian besar responden adalah Ibu Rumah Tangga dengan 56 responden atau sebesar 67,5 dari total responden.
Menurut Ditjen PPM PL Depkes RI, Faktor yang mempengaruhi Infeksi Saluran Pernafasan Akut antara lain Gizi kurang, berat badan lahir rendah, tidak
mendapat ASI, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, defisiensi vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, tingkat pelayanan kesehatan
rendah dan tingkat pendidikan ibu rendah. Jenis pekerjaan berpengaruh kepada kejadian suatu penyakit dapat dikarenakan oleh resiko terpapar debu yang berbeda
dari setiap orang dan sebagian besar waktu dihabiskan saat bekerja. Responden yang bekerja di luar ruangan memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena paparan
polutan sedangkan responden yang bekerja di dalam ruangan resiko untuk terpapar polutan lebih rendah.
5.5. Perilaku
Faktor perilaku adalah salah satu hal yang mendukung terciptanya lingkungan yang tidak sehat diantaranya Kebiasaan merokok, kebiasaan membakar
sampah, kebiasaan penggunaan masker saat berkendara, kebiasaan membuka jendela setiap hari dan sebagainya.
5.5.1. Kebiasaan Merokok
Dari tabel perilaku merokok diketahui bahwa sebanyak 61 orang responden tidak memiliki kebiasaan merokok atau sebesar 73,5 dari total responden dan 22
orang responden atau sebesar 26,5 responden merokok. Dari 61 responden yang tidak merokok, sebanyak 52 anggota keluarga dari responden menderita ISPA
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan gejala dan dari 22 responden yang merokok, sebanyak 21 keluarga dari total keluarga dengan responden yang merokok menderita ISPA berdasarkan gejala
dan 1 keluarga yang tidak memiliki anggota keluarga yang menderita ISPA berdasarkan gejala dari responden yang tidak merokok .
Dari 83 keluarga yang diwawancarai diperoleh hasil bahwa 72 keluarga atau sebesar 86,7 dari total keluarga memiliki anggota keluarga yang merokok di dalam
rumah, dan 62 diantaranya memiliki anggota keluarga yang menderita ISPA berdasarkan gejala sedangkan 10 dari keluarga dengan adanya anggota keluarga yang
merokok di dalam rumah tidak memiliki anggota keluarga yang menderita ISPA berdasarkan gejala sisanya yaitu 11 keluarga tidak memiliki anggota keluarga yang
merokok di dalam rumah namun keseluruhannya memiliki anggota keluarga yang menderita ISPA berdasarkan gejala dengan lama kebiasaan merokok di dominasi oleh
lama merokok lebih dari 10 tahun dengan 74,7 dari total anggota keluarga yang merokok di dalam rumah.
Sebanyak 61 Responden atau 73,5 dari total responden tidak memiliki kebiasaan merokok dan sebanyak 22 Responden atau 26,5 dari total responden
tidak memiliki kebiasaan merokok. Variabel Kebiasaan merokok diikusertakan pada wawancara karena kebiasaan merokok dianggap mempengaruhi kejadian atau
keluhan ISPA di masyarakat. Hal ini dituangkan juga oleh Ita Kusumawati pada penelitiannya yang menyatakan bahwa semakin lama anggota keluarga merokok akan
memperlama waktu yang diperlukan untuk pengobatan ISPA Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap oleh anggota keluarga
akan memperlama waktu pengobatan ISPA dan semakin banyak jumlah anggota
Universitas Sumatera Utara
keluarga yang merokok akan memperlama waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan ISPA balita. Kebiasaan merokok akan mempengaruhi sistem
pernapasan seseorang, rokok juga dianggap sebagai faktor resiko paling penting terhadap penyakit batuk menahun, penyakit paru, penyakit jantung koroner dan
penyakit jenis kanker Bustan, 2000.
5.5.2. Penggunaan Anti Nyamuk Bakar semprot dan Bahan Bakar Memasak
Sebanyak 58 keluarga atau 69,9 dari total keluarga yang diwawancarai memiliki kebiasaan penggunaan anti nyamuk bakar atau semprot sedangkan sisanya
yaitu 25 keluarga tidak memiliki kebiasaan penggunaan anti nyamuk bakar atau semprot. Sebanyak 50 keluarga dari total 58 keluarga yang menggunakan anti
nyamuk bakar atau semprot memiliki anggota keluarga dengan keluhan ISPA berdasarkan gejala.
Sebagian besar dari total keluarga memilih menggunakan gas sebagai bahan bakar memasak yaitu sebanyak 77 keluarga atau sebesar 92,8 dari total keluarga
dan 5 keluarga atau sebesar 6 dari total keluarga memilih menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak dan sisanya yaitu 1 keluarga menggunakan kayu
bakar sebagai bahan bakar memasak. Sebanyak 68 keluarga dari total 77 keluarga yang menggunakan gas sebagai bahan bakar memiliki anggota keluarga dengan
keluhan ISPA berdasarkan gejala. Penggunaan anti nyamuk bakar atau semprot dimasukkan sebagai variabel
dalam penelitian ini dikarenakan bahwa asap dari pembakaran anti nyamuk, bahan kimia yang ada pada anti nyamuk semprot, demikian juga dengan pemilihan bahan
bakar memask yaitu asap yang dihasilkan apabila memasak menggunakan kayu bakar
Universitas Sumatera Utara
akan menjadi faktor pendukung dari timbulnya keluhan ISPA pada masyarakat lain hal dengan penggunaan bahan bakar gas yang menurut peneliti meminimalkan
besarnya asap yang dihasilkan saat memasak.
5.5.3. Perilaku Penggunaan Masker, Membakar Sampah dan Membuka Jendela Setiap Hari
Dari tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar dari responden yaitu sebanyak 66 orang responden tidak memiliki kebiasaan penggunaan masker saat
terpapar debu dan sisanya yaitu 17 responden memiliki kebiasaan penggunaan masker saat terpapar debu. Sebanyak 58 keluarga dari total 66 responden yang tidak
menggunakan masker saat terpapar debu memiliki anggota keluarga dengan keluhan ISPA berdasarkan gejala.
Sebagian besar dari responden tidak memiliki kebiasaan membakar sampah yaitu sebanyak 79 keluarga dan 4 dari 83 keluarga memiliki kebiasaan membakar
sampah. Dari total responden diperoleh data bahwa 75 keluarga memiliki kebiasaan selalu membuka jendela setiap harinya dan 8 dari total keluarga tidak selalu
membuka jendela setiap harinya. Sebanyak 70 keluarga dari total 79 keluarga yang tidak memiliki kebiasaan membakar sampah memiliki anggota keluarga dengan
keluhan ISPA berdasarkan gejala.
5.5.4. Keluhan Udara dan Industri Galangan Kapal
Sebanyak 65 orang responden atau sebesar 78,3 responden menyatakan memiliki keluhan udara di lingkungan tempat tinggal mereka, dan 59 orang
responden menyatakan keluhan udara tersebut berupa banyaknya debu di lingkungan mereka. Sebanyak 51 orang responden atau sebesar 61,4 dari total responden
Universitas Sumatera Utara
menyatakan tidak melakukan upaya tertentu untuk mengurangi keluhan udara yang mereka alami. Sebanyak 50 Responden menyatakan bahwa ada kaitan antara
keberadaan industri galangan kapal dan aktivitasnya dengan peningkatan debu di lingkungan tempat tinggal mereka. Kaitan ini termasuk dari mobilitas truk industri
yang melewati permukiman penduduk walaupun pihak industri telah melakukan upaya mengurangi kadar debu disekitar tempat tinggal penduduk dengan rutin
menyiram jalanan setiap sore.
5.6. Lingkungan Fisik Rumah
5.6.1. Ventilasi
Data mengenai lingkungan fisik rumah didapat dari hasil wawancara responden dan obsevasi yang dilakukan di dalam rumah responden di Kavling
Melati. Keseluruhan responden yaitu sebanyak 83 Responden di Kavling Melati Kelurahan Sei Pelunggut telah memiliki ventilasi rumah.
Sebanyak 73 Rumah responden memiliki luas ventiasi yaitu 10 dari luas lantai dan sisanya yaitu 10 rumah atau sekitar 12 memiliki luas ventilasi sebesar
10 luas lantai. Hasil wawancara dengan responden dan melalui observasi rumah responden didapat data bahwa sebagian besar keluarga dari 75 Responden atau
sebanyak 90,4 dari total responden menyatakan memiliki kebiasaan membuka jendela setiap hari. Rumah harus memiliki sistem pertukaran udara yang baik, karena
penghuni memerlukan udara yang segar. Setiap ruang atau kamar memerlukan ventilasi yang cukup untuk menjamin kesegaran penghuninya.
Ventilasi rumah memiliki banyak fungsi. Selain untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, keseimbangan O
2
yang diperlukan oleh penghuni
Universitas Sumatera Utara
rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O
2
di dalam rumah yang berarti kadar CO
2
yang bersifat racun bagi penghuninya makin meningkat. Fungsi lainnya dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan
dari bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen, karena selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir Notoatmodjo,
2003. Perilaku membuka jendela rutin adalah kebiasaan anggota keluarga responden untuk membuka jendela rumah mulai dari pagi hari. Kebiasaan membuka jendela di
mulai pada pagi hari akan memberikan ruang bagi cahaya matahari masuk kedalam rumah dan menghindari ruangan dari keadaan lembab yang berlebihan.
Universitas Sumatera Utara
89
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN