Kebijakan Doing Business dalam Investasi

struktural pada share FDI yang mungkin terkait dengan blok perdagangan telah dilakukan Kreinin and Plummer 2002 dan Blomstrom and Kokko 1997. Kreinin and Plummer 2002 menggunakan pendekatan ini untuk Uni Eropa dan NAFTA sedangkan Blomstrom dan Kokko 1997 menggunakannya untuk kawasan perdagangan bebas AS-Kanada, NAFTA, dan MERCOSOR. Studi yang dilakukan Kreinin and Plummer 2002 menemukan tidak adanya bukti diversi investasi dan menemukan sejumlah bukti kreasi investasi. Sementara Blomstrom and Kokko 1997 menemukan bahwa pengaruh regionalisme terhadap arus FDI tergantung pada pengaruh kesepakatan terhadap lingkungan kebijakan komersil dan keunggulan lokasional dalam negara yang berintegrasi. Namun, dalam studi ini cakupanya masih terbatas yaitu tidak berusaha memodelkan skenario kontrafaktual atau tidak menggunakan pendekatan ekonomoterika pada determinan FDI. Selain kedua studi tersebut, Pain 1996 juga melakukan studi terkait pengaruh perdagangan regional terhadap pola FDI. Studi yang dilakukan Pain 1996 menggunakan panel-data disagregasi untuk mengestimasikan determinan investasi Inggris di Uni Eropa dan menemukan bukti dampak positif yang signifikan secara statistika dari EC-92 Single Market Program terhadap outflow FDI ke negara EU lainnya, dan juga terjadi diversi investasi dari Amerika Serikat. Akan tetapi, hasilnya hanya didasarkan pada negara sumber Inggris dan satu negara non-anggota Amerika Serikat.

3.6 Kebijakan Doing Business dalam Investasi

Krisis keuangan global telah memunculkan minat baru terhadap penataan peraturan serta penyelenggaraan fungsi kelembagaan untuk mempermudah jalannya perekonomian. Peraturan dan kelembagaan di bidang investasi dan usaha yang efektif dapat mendukung proses penyesuaian perekonomian. Investor membutuhkan kemudahan untuk mendirikan dan menutup usaha, serta fleksibilitas dalam pengerahan kembali sumberdaya yang mereka miliki. Kejelasan hak atas properti dan penguatan prasarana pasar yang dapat mendorong aliran investasi merupakan prasyarat yang harus dibenahi. Menjawab tantangan tersebut, World Bank sejak tahun 2002, memulai proyek doing business. Salah satu pemikiran yang melandasi doing business adalah bahwa kegiatan ekonomi perlu didukung oleh kebijakan yang baik. Hal tersebut mencakup peraturan yang menciptakan hak atas properti yang jelas dan mengurangi biaya penyelesaian sengketa, yang menyebabkan interaksi ekonomi menjadi lebih mudah diramal, dan peraturan yang memberi perlindungan pokok terhadap penyalahgunaan kepada para mitra kontrak. Tujuannya adalah mendorong perancangan kebijakan-kebijakan yang efisien, dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkannya dan dapat dilaksanakan dengan mudah. Sejumlah indikator doing business juga memberikan skor lebih tinggi bagi negara yang memiliki lebih banyak peraturan. Contohnya, berkenaan dengan ketentuan pengungkapan informasi yang lebih tegas untuk transaksi-transaksi dengan pihak terkait. Beberapa indikator lain memberikan skor yang lebih tinggi untuk negara yang mengambil langkah penyederhanaan dalam pelaksanaan kebijakan, seperti dalam hal proses formal pendirian usaha melalui penyelenggaraan layanan terpadu. Dalam indikator waktu dan pergerakan serta perkiraan biaya direkam berdasarkan daftar biaya resmi, yang dapat diberlakukan. Metode pengukuran yang dipergunakan oleh doing business dilandasi pada karya De Soto 2000 yang menerapkan pendekatan waktu dan pergerakan. De Soto menggunakan pendekatan tersebut tahun 1980-an untuk menunjukkan hambatan yang dihadapi dalam mendirikan pabrik garmen di daerah pinggiran kota Lima, Peru. Dari data statistik pada Tabel 7, terlihat gambaran bahwa daya saing investasi ASEAN sangat bervariasi. Singapura menempati urutan pertama selama tiga tahun berturut-turut dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Sementara Filipina dan Indonesia menempati posisi yang sangat tertinggal masing-masing urutan ke 122 dan 144 pada tahun 2010. Tabel 7. Perbandingan Tingkat Kemudahan Berbisnis di Beberapa Negara Asia Negara Peringkat 2006 2007 2008 2009 2010 Indonesia 131 135 123 129 122 Malaysia 25 25 24 20 23 Filipina 121 126 133 140 144 Singapura 2 1 1 1 1 Thailand 19 18 15 13 12 China 108 93 83 83 88 India 138 134 120 122 133 Jepang 12 11 12 12 15 Vietnam 98 104 91 92 93 Korea Selatan 23 23 30 23 19 Sumber : World Bank, Doing Business 2008, 2009, 2010. Tabel 8 menyajikan peringkat komponen Doing Business tahun 2009 dan 2010. Terlihat bahwa Singapura selalu menduduki peringkat teratas, terutama dalam perekrutan pegawai dan perdagangan lintas batas. Malaysia juga menempati peringkat tertinggi dalam hal kemudahan mendapatkan kredit. Sedangkan Indonesia mendapatkan peringkat buruk dalam hal mendirikan usaha, perekrutan pegawai, perlindungan kontrak dan penutupan bisnis. Demikian halnya dengan Filipina. Tabel 8. Peringkat Komponen Doing Business Tahun 2009 dan 2010 Negara Komponen Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand 2009 2010 2009 2010 2009 2010 2009 2010 2009 2010 173 Mendirikan Usaha 161 76 23 155 162 4 4 12 55 57 Izin Mendirikan Bangunan 61 105 109 106 111 2 2 11 13 150 Perekrutan Pegawai 149 54 61 114 115 1 1 47 52 110 Pendaftaran Properti 95 81 86 101 102 15 16 5 6 109 Mendapat-kan Kredit 113 1 1 125 127 4 4 68 71 53 Perlindung-an Bagi Investor 41 4 4 127 132 2 2 11 12 119 Membayar Pajak 127 21 24 126 135 5 5 82 88 40 Perdagang-an Lintas Batas 45 31 35 66 68 1 1 10 12 142 Perlindung-an Kontrak 146 60 59 116 118 16 13 24 24 141 Penutupan Bisnis 142 57 57 153 153 2 2 48 48 Sumber : World Bank, Doing Business, 2010 diolah.

3.7. Inter Industry Trade dan Intra Industry Trade