Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA

(1)

PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI

DALAM KERANGKA PASAR BEBAS AFTA

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014

ADI KUASA BOANG MANALU 090200024


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI

DALAM KERANGKA PASAR BEBAS AFTA

Oleh

ADI KUASA BOANG MANALU 090200024

Disetujui Oleh

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

WINDHA, SH. M.Hum

NIP. 19750112 200501 2 002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum

NIP 195905111986011001 NIP. 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

(4)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR BEBAS AFTA

* Adi Kuasa Boang Manalu ** Budiman Ginting *** Mahmul Siregar

Perjanjian AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992 . Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN sebagai wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Permasalahan dalam penelitian ini adalah kerangka hukum perdagangan bebas AFTA. Bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam kerangka perdagangan bebas AFTA. Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia Dalam Melindungi Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Perdagagan Bebas AFTA. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Pada tahun 1991 para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN atau yang dikenal dengan AFTA yang pembentukannya berlangsung selama 10 (sepuluh) tahun. Sebuah lembaga setingkat menteri dibentuk untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengkaji pelaksanaan program menuju AFTA. Adapun isi persetujuannya berupa kerangka dalam meningkatkan kerja sama ekonomi ASEAN (Framework Agreement on

Exchanging ASEAN Economic Coorporation- FAEAEC) yang ditandatangani

presiden dan perdana menteri tiap-tiap negara ASEAN pada bulan Januari 1992. Bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri adalah Proteksi adalah upaya pemerintah mengadakan perlindungan pada industri-industri domestic terhadap masuknya barang impor dalam jangka waktu tertentu. Proteksi bertujuan melindungi, membesarkan, atau mengecilkan kelangsungan indusri dalam negeri yang berlaku dalam perdagangan umum. Kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri adalah melalui tindakan pengamanan (Safeguard) yaitu tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau untuk mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian.

Kata Kunci : Industri Dalam Negeri, Pasar Bebas AFTA

*Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU ***Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul Perlindungan Terhadap Industri Dalam NegeriDalam Kerangka Pasar Bebas AFTA. Guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi S-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan Skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di masa akan datang.

Dalam penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen pembimbing I yang telah menyediakan waktunya kepada penulis.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya sehingga terselesaikannya skripsi ini. 6. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada kedua orang tua ayahanda Iskandar Boang Manalu dan ibunda Roslinda Munthe, dan Kakanda Mulyadi Boang Manalu, Abangda Hobibi Boang Manalu, Tumpak Boang Manalu serta abang ipar Suratman Cibro yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah putus sampai sekarang.

8. Buat Rospita Siagian yang telah memberikan motivasi kepada penulis selama penulis.

9. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Erikson Purba, Hendry Sitanggang, Fadly Ananda dan Priadi Hutapea, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

10.Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Mei 2014 Penulis

Adi Kuasa Boang Manalu 0902000024


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KERANGKA HUKUM PERDAGANGAN BEBAS AFTA ... 23

A. Tinjauan Umum Tentang Perdagangan Bebas ... 23

1. Sejarah dan Pengertian Perdagangan Bebas ... 23

2. Manfaat Perdagangan Bebas ... 31

3. Dasar Hukum Pengaturan Perdagangan Bebas ... 32

B. Tinjauan Umum Tentang AFTA ... 33

1. Sejarah dan Pengertian AFTA ... 33

2. Keanggotaan AFTA ... 39

3. Tujuan AFTA ... 40


(8)

C. Kerangka Hukum Perdagangan Bebas AFTA ... 43

1. Pengertian Tarif dan Perdagangan Bebas ... 43

2. Pengaturan Bidang Jasa ... 45

3. Penyelesaian Sengketa AFTA ... 52

BAB III BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PERDAGANGAN BEBAS ... 57

A. Pengaturan Industri Dalam Negeri ... 57

1. Pengertian Industri Dalam Negeri ... 57

2. Dasar Hukum Industri Dalam Negeri... 58

3. Perlindungan Hukum Industri Dalam Negeri ... 62

B. Perlindungan Hukum Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Perdagangan Bebas ... 64

1. Peran Pemerintah Indonesia dalam Perdagangan Bebas ... 64

2. Penerapan Standar Industri di Indonesia ... 67

3. Perlindungan Hukum Pemerintah terhadap Produk-Produk Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA 72 C. Instrumen Yang Digunakan untuk Melindungi Industri Dari Praktik Dumping ... 75

1. Anti Dumping ... 75

2. Subsidi ... 85

3. Safeguard ... 89

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DALAM MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PERDAGANGAN BEBAS ... 96


(9)

B. Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Melindungi

Industri Dalam Negeri dalam Kerangka Perdagangan Bebas ... 99

C. Pengaruh AFTA terhadap Kebijakan Perdagangan Indonesia .. 103

D. Kendala Pemerintah Republik Indonesia Terkait Pelaksanaan Perdagangan Bebas AFTA ... 106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 111 DAFTAR PUSTAKA


(10)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PASAR BEBAS AFTA

* Adi Kuasa Boang Manalu ** Budiman Ginting *** Mahmul Siregar

Perjanjian AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992 . Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN sebagai wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Permasalahan dalam penelitian ini adalah kerangka hukum perdagangan bebas AFTA. Bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam kerangka perdagangan bebas AFTA. Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia Dalam Melindungi Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Perdagagan Bebas AFTA. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Pada tahun 1991 para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN atau yang dikenal dengan AFTA yang pembentukannya berlangsung selama 10 (sepuluh) tahun. Sebuah lembaga setingkat menteri dibentuk untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengkaji pelaksanaan program menuju AFTA. Adapun isi persetujuannya berupa kerangka dalam meningkatkan kerja sama ekonomi ASEAN (Framework Agreement on

Exchanging ASEAN Economic Coorporation- FAEAEC) yang ditandatangani

presiden dan perdana menteri tiap-tiap negara ASEAN pada bulan Januari 1992. Bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri adalah Proteksi adalah upaya pemerintah mengadakan perlindungan pada industri-industri domestic terhadap masuknya barang impor dalam jangka waktu tertentu. Proteksi bertujuan melindungi, membesarkan, atau mengecilkan kelangsungan indusri dalam negeri yang berlaku dalam perdagangan umum. Kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri adalah melalui tindakan pengamanan (Safeguard) yaitu tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau untuk mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian.

Kata Kunci : Industri Dalam Negeri, Pasar Bebas AFTA

*Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU ***Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu fenomena yang dalam kurun waktu terakhir ini berkembang pesat mengikuti pesatnya laju globalisasi ekonomi dunia adalah munculnya blok-blok ekonomi dan perdagangan regional di sejumlah wilayah di dunia. Di dalam literatur perdagangan / ekonomi internasioanal, fenomena ini disebut sebagai regionalism, yakni pembentukan integrasi-integrasi ekonomi regional seperti ASEAN di Asia Tenggara, Uni Eropa (UE) di Eropa, dan NAFTA di Amerika Utara. Bentuk dari integrasi-integrasi ekonomi regional yang ada bervariasi, mulai dari yang sangat sederhana atau yang masih pada tahap awal dari pembentukan suatu integrasi ekonomi regional, yakni sejumlah negara membuat kesepakatan-kesepakatan bersama untuk meningkatkan perdagangan antarmereka (preferential trading arrangement; PTA) yang bersifat tidak mengikat atau sukarela seperti APEC (Asia Pacific Economic Co-operation) hingga pembentukan organisasi resmi dengan segala macam kesepakatan yang sifatnya mengikat, seperti ASEAN dan UE.1

Kedua organisasi ekonomi regional tersebut mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap perdagangan internasional, terutama UE yang merupakan organisasi ekonomi regional termaju di dunia hingga saat ini yang telah mencapai tahap akhir dari pembentukan suatu integrasi ekonomi regional yakni kesamaan


(12)

dalam bidang fiscal dan moneter dengan mengeluarkan uang tunggalnya Euro (€). Bahkan organisasi ekonomi ini juga sangat diperhitungkan di dalam kancah perpolitikan internasioanal. Semakin pentingnya UE, tidak hanya di dalam perekonomian dan perdagangan Eropa, tetapi juga pada tingkat global, banyak negara-negara di Eropa Timur bekas negara-negara satelit Uni Soviet berkeinginan keras untuk bergabung dengan UE. Bahkan Turki telah ditolak oleh Perancis untuk sementara waktu tetap berusaha sekuat tenaga untuk bergabung dengan UE.

Adam Smith dalam tulisannya An Inquiry into The Wealth of Nation atau yang dikenal dengan The Wealth of Nation (1776) mengatakan secara alami bahwa setiap manusia akan selalu memperoleh dorongan untuk dapat meningkatkan kehidupannya agar lebih baik bagi dirinya sendiri. Selanjutnya dijelaskan bahwa masyarakat yang memungkinkan warganya melakukan hal-hal yang baik bagi dirinya sendiri. Inilah dasar falsafah individualisme yang menjadi landasan prinsip demokrasi ekonomi pasar dan hak asasi manusia. Falsafah individualisme ini dalam perjalanannya memenangkan dari segala pertarungan dan macam-macam falsafah pemikiran ekonomi, terutama dengan pemikiran ekonomi, terutama dengan pemikiran komunisme. Posisi falsafah individualisme ini lebih memiliki sifat universal dan manusiawi dibandingkan dengan komunisme yang dikembangkan oleh Karl Marx.2

Pemikiran individualisme yang merangsang setiap aktivitas ekonomi bergerak secara bebas merupakan dasar dari perkembangan ekonomi pasar


(13)

sehingga berkembang menjadi perdagangan bebas antar individu, antar kelompok, antar masyarakat, antar daerah hingga antarnegara.

Gejala globalisasi terjadi dalam kegiatan finansial, investasi, dan perdagangan yang kemudian memengaruhi tata hubungan ekonomi antar bangsa. Proses globalisasi itu telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antar negara, bahkan menimbulkan proses menyatukan ekonomi dunia sehingga batas-batas antar negara dalam berbagai praktik dunia usaha/ bisnis seakan-akan tidak berlaku lagi.

ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.

Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area

(CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan


(14)

hambatan-hambatan non tarif lainnya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.3

Menghadapi perkembangan tananan ekonomi dunia yang serba cepat dan tidak pasti, melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) IV- 27-28 Januari 1992 di Singapura, ASEAN mengambil beberapa langkah penguatan integritas ekonomi yang dirangkumkan dalam dua macam dokumen. Pertama kerangka persetujuan peningkatan Kerjasama Ekonomi ASEAN (Franework Agreement on Enhancing

ASEAN Economic Cooperation), sebagai payung dari semua bentuk kerjasama

yang telah ada dan akan dilaksanakan. Kedua pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN (Asean Free Trade Area) yang diwujudkan melalui skema Tarif Preferensi Efektif yang seragam (Common Effentive Tarif CEPT) terhitung mulai 1 Januari 1991.4

Negara ASEAN menyatakan bahwa AFTA tidak dimaksudkan untuk menciptakan blog dagang, melainkan untuk mendorong agar Negara-negara ASEAN lebih cepat berintegrasi dan menyesuaikan diri dengan sistem dan keadaan perdagangan internasional. AFTA diharapkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan efisiensi termasuk juga speasialisasi dan pembagian kerja dari anggotanya, dan sekaligus sebagai sarana untuk memasuki pasar global.5

3

Ibid

4

Ibid.


(15)

Dibentuknya kawasan perdagangan bebas ASEAN bukan berarti tidak menimbulkan masalah dan hambatan, justru beberapa diantaranya sangat mendasar dan sulit diatasi, salah satunya masalah mendasar adalah adanya keserupaan pandangan dalam struktur ekonomi negara-negara anggota ASEAN. Rendahnya perdagangan antar sesama anggota negara ASEAN sekaligus mencerminkan orientasi perdagangan luar negeri masing-masing Negara yang langsung berhubungan dengan pasar internasional, di luar kawasan regional.6

Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade

Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Maka dalam melakukan pedagangan sesama anggota biaya operasional mampu ditekan sehingga akan menguntungkan. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam

Perjanjian AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992 . Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN sebagai wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun ( 1993-2008 ), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003 , dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.

6


(16)

pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.

Bagi Indonesia yang menganut falsafah pembangunan ekonomi nasionalistik regional tentu dalam menanggapi pembentukan kawasan Perdagangan Bebas ASEAN tidak melarutkan eksistensi dan posisi Indonesia. Dengan kata lain, pembentukan AFTA bersifat penting, tetapi tidak harus mengorbankan kepentingan pembangunan ekonomi nasional yang selama ini sudah berjalan. Oleh karena itu Indonesia masih tetap hati-hati dalam menentukan komoditi yang akan dilepas bersaing dalam rangka AFTA tersebut.

Dengan masuknya Indonesia dalam siklus AFTA secara otomatis terjadi perubahan dimensi dan sifat ekonomi nasional. Dimensi ekonomi nasional berubah menjadi ekonomi regional. Hal ini disebabkan bukan hanya sebagai bagian dari pasaran ekonomi bangsa (Negara) lain, tetapi sekaligus memperluas pasarnya sendiri sampai meliputi perekonomian negara lain.

Dengan diberlakukannya kawasan perdagangan bebas ASEAN itu berarti kian bebasnya hambatan dari produk-produk yang telah disepakati (semen, pupuk, pulp, tekstil, perhiasan dan permata, perabot dari kayu, rotan, barang-barang, kulit, plastic, obat-obatan, elektronika, kimia, produk karet, minyak nabati, keramik dan gelas serta copper cathode) dari Negara ASEAN untuk dijual di Indonesia begitu pula sebaliknya.

Dalam menerapkan ketentuan anti dumping berdasarkan GATT-WTO, Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 kurang mengakomodasi semua ketentuan GATT-WTO tentang anti dumping. Prosedur penyelesaian sengketa


(17)

GATT pada dasarnya mempunyai tiga tujuan, yaitu realisasi dari tujuan GATT, perlindungan keuntungan yang berasal dari perjanjian, dan untuk penyelesaian sengketa itu sendiri,7

B. Perumusan Masalah

sehingga masih adanya kekaburan yang perlu penafsiran-penafsiran terutama dalam penentuan harga normal, kerugian (Injury), dan Causal

Link sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada

produsen dalam negeri dimana dalam kasus tindakan dumping sering kali merugikan produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis memilih judul “Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA”

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kerangka hukum perdagangan bebas AFTA?

2. Bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam kerangka perdagangan bebas AFTA?

3. Bagaimanakah kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi industri dalam negeri dalam kerangka perdagagan bebas AFTA?

7

Faisal Salam, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional,Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm 442


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui kerangka hukum perdagangan bebas AFTA.

b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam kerangka perdagangan bebas AFTA

c. Untuk mengetahui kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi industri dalam negeri dalam kerangka perdagagan bebas AFTA

2. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan menjadi pertimbangan dalam pemikiran dan wawasan berpikir dalam suatu karya ilmiah di bidang hukum, khususnya dalam bidang hukum ekonomi yang membahas perdagangan internasional terlebih dengan spesifikasi perdagangan bebas antara negara-negara anggota ASEAN.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya mengenai Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang Kerangka Pasar Bebas AFTA dalam melindungi industri dalam negeri


(19)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas Afta

Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah :

1. Febrina Rezkitta Hasibuan, dengan judul Kebijakan di Bidang Perdagangan yang Tanggap terhadap Perubahan Makrostruktur Sistem Internasional (Analisis Yuridis terhadap Perjanjian AFTA China – Indonesia). Skripsi Universitas Sumatera Utara

2. Halimatul Maryani, Analisis Hukum Mengenai Kesepakatan Perdagangan Bilateral dan Regional dalam Kaitannya dengan WTO (Studi Terhadap Kesepakatan Perdagangan China-AFTA). Skripsi Universitas Sumatera Utara

3. Mayer Hayrani DS Perlindungan Hukum Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) Skripsi Universitas Sumatera Utara

E. Tinjauan Pustaka

Arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak yang cukup luas pada perekonomian Indonesia. Dampak dari arus globalisasi ekonomi ini lebih terasa lagi setelah dikembangkannya prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) yang telah diupayakan dan


(20)

didukung secara bersama-sama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasama ekonomi regional.8

1. Pasar Bebas

ASEAN yang merupakan salah satu kerjasama regional merupakan bentuk kekuatan baru di benua Asia, karena menjadi salah satu kawasan dengan jumlah potensi pasar terbesar di dunia.

Hal ini tentunya menarik minat negara-negara lain yang ingin mengembangkan potensi kerjasama mereka di wilayah Asia. Terlebih lagi rencana terbesar ASEAN yang akan membentuk ASEAN Economic Community (AEC) yang membawa kerjasama ekonomi ke arah yang lebih luas yaitu dalam satu kerangka komunitas ASEAN.

Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.9

Perdagangan Internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semuha hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini

Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.

8


(21)

justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.

Hambatan-Hambatan Perdagangan Non Tarif. Kebijakan perdagangan internasional adalah berbagai tindakan dan peraturan yang dijalankan suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan internasional negara tersebut. Kebijakan perdagangan internasional dilaksanakan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional, industri dalam negeri, dan lapangan kerja serta menjaga stabilitas ekonomi nasional. Akan tetapi, dalam praktek perdagangan internasional saat ini, kebanyakan pemerintah melakukan campur tangan dalam kegiatan perdagangan internasional menggunakan kebijakan lainnya yang lebih rumit, yaitu kebijakan nontarif barrier (NTB). Hal ini dilakukan negara tersebut untuk menyembunyikan motif proteksi atau sekedar mengecoh negara lainnya. Oleh karena itu, sampai saat ini masih banyak negara yang memberlakukan kebijakan nontarif barrier walaupun beberapa ahli beranggapan bahwa kebijakan nontarif barrier dapat menjadi penghalang untuk tercapainya keterbukaan dalam perdagangan internasional.10

1. Kuota impor

Berbagai hambatan nontarif

Kuota impor adalah pembatasan secara lansung terhadap jumlah barang yang boleh diimpor dari luar negeri untuk melindungi kepentingan industri dan

10

Stdln.blogspot.com/2010/07/Hambatan-Hambatan-Perdagangan-Non-Tarif_29.html, diakses tanggal 14 Juni 2014


(22)

konsumen. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan domestik untuk mengimpor suatu produk yang jumlahnya dibatasi secara langsung.

Kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor industri tertentu dan neraca pembayaran suatu negara. Negara maju pada umumnya memberlakukan kuota impor untuk melindungi sektor pertaniannya. Sedangkan negara-negara berkembang melakukan kebijakan kuota impor untuk melindungi sektor industri manufakturnya atau untuk melindungi kondisi neraca pembayarannya yang seringkali mengalami defisit akibat lebih besarnya impor daripada ekspor.

Perbedaan kuota impor dan tarif impor yang setara :11

1. Pemberlakuan kuota impor akan memperbesar permintaan yang selanjutnya akan diikuti kenaikan harga domestik dan produksi domestik yang lebih besar daripada yang diakibatkan oleh pemberlakuan tarif impor yang setara;

2. Dalam pemberlakuan kuota impor, jika pemerintah melakukan pemilihan perusahaan yang berhak memperoleh lisensi impor tanpa mempertimbangkan efisiensi, maka akan menyebabkan timbulnya monopoli dan distorsi

3. Pada kuota impor, pemerintah akan memperoleh pendapatan secara lansung melalui pemungutan secara lansung pada penerima lisensi impor;

4. Kuota impor membatasi arus masuk impor dalam jumlah yang pasti, sedangkan tarif impor membatasi arus masuk impor dalm jumlah yang tidak dapat dipastikan.


(23)

Macam-macam kuota impor :

a. Absolute/ uniteral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan secara sepihak (tanpa negoisasi)

b. Negotiated/ bilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan atas kesepakatan atau menurut perjanjian

c. Tarif kuota, yaitu pembatasan impor yang dilakukan dengan mengkombinasikan sistem tarif dengan sistem kuota.

d. Mixing quota, yaitu pembatasan impor bahan baku tertent untuk melindungi industri dalam negeri.

2. Pembatasan Ekspor Secara Sukarela

Konsep ini mengacu pada kasus di mana negara pengimpor mendorong atau bahkan memaksa negara lain mengurangi ekspornya secara sukarela dengan ancaman bahwa negara pengimpor tersebut akan melakukan hambatan perdagangan yang lebih keras lagi. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan kekhawatiran akan lumpuhnya sektor tertentu dalam perekonomian domestik akibat impor yang berlebih.

Pembatasan ekspor secara sukarela ini kurang efektif, karena pada umumnya negara pengekspor enggan membatasi arus ekspornya secara sukarela. Pembatasan ekspor ini justru membebankan biaya yang lebih mahal bagi negar pengimpor karena lisensi impor yang bernilai tinggi itu justru diberikan pada pemerintah atau perusahaan asing.


(24)

3. Kartel-kartel Internasional

Kartel internasional adalah sebuah organisasi produsen komoditi tertentu dari berbagai negara. Mereka sepakat untuk membatasi outputnya dan juga mengendalikan ekspor komoditi tersebut dengan tujuan memaksimalkan dan meningkatkan total keuntungan mereka. Berpengaruh tidaknya suatu kartel ditentukan oleh hal-hal berikut:

a. Sebuah kartel internasional berpeluang lebih besar untuk berhasil dalam menentukan harga jika komoditi yang mereka kuasai tidak memiliki subtitusi;

b. Peluang tersebut akan semakin besar apabila jumlah produsen, negara, atau pihak yang terhimpun dalam kartel relatif sedikit.

4. Dumping

Dumping adalah ekspor dari suatu komoditi dengan harga jauh di bawah pasaran, atau penjualan komoditi ke luar negeri dengan harga jauh lebih murah dibandingkan dengan harga penjualan domestiknya.

5. Subsidi Ekspor

Subsidi ekspor adalah pembayaran lansung atau pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi pada para eksportir atau calon eksportir nasional, dan atau pemberian pinjaman berbunga rendah kepada para pengimpor asing dalam rangka memacu ekspor suatu negara.

2. ASEAN Free Trade Agreement

AFTA merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan


(25)

daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN.12

AFTA sendiri dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Pada pelaksanaan perdagangan bebas khususnya di Asia Tenggara yang tergabung dalam AFTA proses perdagangan tersebut tersistem pada skema CEPT-AFTA. Common Effective Preferential Tarif

Scheme (CEPT) adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan

hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN sehingga Perkembangan terakhir AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura,Thailand,Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015. Sebagai Con toh : Vietnam menjual sepatu ke Thailand, Thailand menjual radio ke Indonesia, dan Indonesia melengkapi lingkaran tersebut dengan menjual kulit ke Vietnam. Melalui spesialisasi bidang usaha, tiap bangsa akan mengkonsumsi lebih banyak dibandingyang dapat diproduksinya sendiri. Namun dalam konsep perdagang tersebut tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non-tarif bagi negara – negara ASEAN melalui skema CEPT-AFTA.

12


(26)

dalam melakukan perdagangan sesama anggota, biaya operasional mampu di tekan sehinnga akan menguntungkan.

Dalam skema CEPT-AFTA barang-barang yang termasuk dalam tarif scheme adalah semua produk manufaktur, termasuk barang modal dan produk pertanian olahan, serta produk-produk yang tidak termasuk dalam definisi produk pertanian. (Produk-produk pertanian sensitive dan highly sensitive dikecualikan dari skemaCEPT).

Dalam skema CEPT, pembatasan kwantitatif dihapuskan segera setelah suatu produk menikmati konsesi CEPT, sedangkan hambatan non-tarif dihapuskan dalam jangka waktu 5 tahun setelah suatu produk menikmati konsensi CEPT.

3. Industri dalam Negeri

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

Industri dalam negeri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.


(27)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif yaitu ilmu hukum yang obyeknya hukum itu sendiri.13

2. Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini metode yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma-norma hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku terkait dengan perlindungan industri dalam negeri dalam kerangka AFTA.

Penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.14 Dengan demikian dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum yang terkait dengan perlindungan industri dalam negeri dan kepastian hukum bagi keberlangsungan usaha industri dalam negeri menghadapi AFTA akan tetapi lebih ditujukan untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut dan kemudian mendeskripsikannya secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan.

13

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 57.

14


(28)

3. Sumber Data Penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas, yang meliputi:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang bersifat mengikat seperti undang-undang, perjanjian inernasional, dan lain-lain, yang dalam penelitian tesis ini terdiri dari berbagai peraturan hukum yang berkaitan dengan implementasi dari perjanjian AFTA termasuk perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dalam hal ini yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Antidumping Dan Bea Masuk Imbalan, Keppres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 Tentang Standarisasi Jasa Bidang Perdagangan Dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang Dan Jasa Yang Diperdagangkan, Peraturan Daerah Kota Medan No. 22 Tahun 2002 tentang Izin Gangguan.


(29)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti berbagai tulisan, jurnal dan buku-buku yang dianggap berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan diangkat.

c. Bahan Hukum Tersier:

Merupakan bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, dan kamus hukum sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

5. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dimana seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan dengan mempergunakan studi kepustakaan. Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan pengkategorian


(30)

data-data tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah dipilih.15

6. Analisis Data

Dilakukan secara kualitatif, yakni suatu bentuk analisa yang tidak bertumpu pada angka-angka melainkan pada kalimat-kalimat. Bahan hukum yang diperoleh akan dipilah-pilah, dikelompokkan dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi suatu rangkaian yang sistematis yang akan dipergunakan untuk membedah dan menganalisis permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini melalui interpretasi dan abstraksi bahan-bahan hukum yang tersedia. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian. Dengan demikian teori digunakan sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah dalam perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam AFTA.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bagian bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan Sistematika Penulisan


(31)

BAB II KERANGKA HUKUM PERDAGANGAN BEBAS AFTA

Pada bagian bab ini akan membahas tentag Tinjauan Umum tentang Perdagangan Bebas ; Sejarah dan Pengertian Perdagangan Bebas, Manfaat Perdagangan Bebas, Dasar Hukum Pengaturan Perdagangan Regional dan Tinjauan Umum tentang AFTA; Sejarah dan Pengertian AFTA, Keanggotaan AFTA, Tujuan AFTA Dasar Hukum AFTA serta Kerangka Hukum Perdagangan Bebas AFTA ; Pengaturan Tarif dan Perdagangan Barang; Pengaturan Bidang Jasa Penyelesaian Sengketa AFTA

BAB III BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM KERANGKA

PERDAGANGAN BEBAS AFTA

Pada bagian ini akan membahas tentang Pengaturan Industri Dalam Negeri; Pengertian Industri Dalam Negeri, Dasar Hukum Industri Dalam Negeri, Perlindungan Hukum Industri Dalam Negeri, Perlindungan Hukum Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Perdagangan Bebas, Peran Pemerintah Indonesia dalam Perdagangan Bebas, Penerapan Standar Industri Di Indonesia, Perlindungan hukum pemerintah terhadap produk-produk Barang Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA seta Instrumen Yang Digunakan Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping


(32)

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DALAM MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM

KERANGKA PERDAGAGAN BEBAS AFTA

Pada bab ini akan membahas tentang Kebijakan Politik Hukum Perdagangan Bebas Indonesia, Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Melindungi Industri Dalam Negeri dalam Kerangka Perdagangan Bebas, Pengaruh AFTA terhadap Kebijakan Perdagangan Indonesia, Kendala Pemerintah Republik Indonesia Terkait Pelaksanaan Perdagangan Bebas AFTA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian penelitian, kemudian dilengkapi dengan saran


(33)

BAB II

KERANGKA HUKUM PERDAGANGAN BEBAS AFTA

A. Tinjauan Umum tentang Perdagangan Bebas 1. Sejarah dan Pengertian Perdagangan Bebas

Dunia saat ini sedang mengalami perubahan yang disebut globalisasi. Globalisasi tersebut terjadi di berbagai aspek, salah satunya pada aspek ekonomi. Proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat mendasar, dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga semakin cepat.16

Era globalisasi ekonomi ini ditandai dengan adanya keterbukaan, keterkaitan dan persaingan yang semakin ketat dalam masyarakat internasional khusunya di bidang ekonomi. Gejala globalisasi ini terjadi dalam kegiatan finansial, produksi, investasi dan perdagangan yang kemudian mempengaruhi tata hubungan ekonomi antar bangsa. Proses globalisasi inilah yang kemudian meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antar negara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas Negara dalam berbagai praktik perdagangan internasional seakan-akan dianggap tidak berlaku lagi.17

16

Tulus TH. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 1.

17

R. Hendra Halwani, Ekonomi Internasional & Globalisasi Ekonomi, (Bogor: Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002), hlm. 224


(34)

Era perdagangan bebas telah dinikmati para penghuni kawasan Nusantara sebelum datang dan berkuasanya penjajah dari kawasan Eropa pada abad ke-XV. Perjalanan kembali ke era tersebut terbuka lebar-lebar sejak Proklamasi Kemerdekaan NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945, namun untuk mencapai tujuan tersebut harus melalui liku-liku jalan yang penuh dengan onak dan duri, yang ditebar oleh Negara-negara Barat yang ingin tetap mempertahankan dominasi dan eksploitasinya terhadap Negara-negara yang lemah dan berhasil dikuasainya18

Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda. Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semula hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.19

Jalan menuju Era perdagangan bebas seharusnya semakin mulus dengan semakin lajunya arus globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi di

18

Agus Brotosusilo, “The Prospect for USA - Indonesia Free Trade Agreement”. This paper presented at Law School - Washington University, Seattle, 2006, hlm 227


(35)

bidang tranportasi serta telekomunikasi termasuk sektor information technology, dan perkembangan yang sangat pesat dalam hukum perdagangan internasional, misalnya saja terbentuknya the World Trade Organization (WTO).20 Namun nuansa globalisasi telah dicemari dengan upaya Negara-negara adidaya yang ingin tetap mempertahankan dominasinya.21

Sejarah membuktikan bahwa perdagangan internasional memegang peranan yang sangat menentukan dalam perekonomian dunia. Keberadaannya seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi perdagangan internasional berperan dalam menciptakan kemakmuran seluruh bangsa, tetapi pada sisi yang lain perdagangan dan investasi internasional juga dapat menyengsarakan Negara sehingga akhirnya menjadi negara jajahan. Oleh karena itu perlu bertindak hati-hati.22

Di bidang perdagangan internasional, saling ketergantungan tidak dapat dihindari lagi pada era perdagangan bebas sekarang ini. World Trade Organization (WTO) sebagai sebuah organisasi perdagangan internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama. WTO ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat timbal balik dan saling menguntungkan sehingga semua negara dapat menarik manfaatnya. Melalui WTO

20

Agus Brotosusilo, “WTO, Regional and Bilateral Trade Liberalization and Its Implication for Indonesia”. This paper presented at an ASEAN Law Association/ALA Conference, Bangkok, 2005, hal 216

21

Agus Brotosusilo, “Culture and Free Trade: The Indonesia Experience”, makalah disajikan pada the International Conference on Law and Culture in South East Asia, in cooperation between Hankuk University of Foreign Studies – Faculty of Law University of Indonesia, Jakarta, July 13, 2011, hlm 67

22

Loveyta, Perlindungan Terhadap Kepentingan Nasional Melalui Pengecualian Penerapan Prinsip-Prinsip WTO Untuk Negara Berkembang, Makalah Hukum Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum Univ. Brawijaya,Malang, 2008, hlm. 3.


(36)

diluncurkan suatu model perdagangan dimana kegiatan perdagangan antar negara diharapkan dapat berjalan dengan lancar.

Pada prinsipnya World Trade Organization (WTO) merupakan suatu sarana untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang tertib dan adil di dunia ini. Dalam menjalankan tugasnya, untuk mendorong terciptanya perdagangan bebas tersebut, World Trade Organization (WTO) memberlakukan beberapa prinsip yang menjadi pilar-pilar World Trade Organization (WTO)23

Salah satu hal yang penting dari WTO itu sendiri adalah prinsip-prinsip yang terdapat dalam organisasi perdagangan ini. Setidaknya terdapat lima prinsip utama dalam WTO yang kesemuanya wajib dipatuhi oleh setiap anggota dan bersifat mengikat secara hukum serta setiap keputusan yang dihasilkan WTO bersifat irreversible atau tidak dapat ditarik lagi. selain sifat dari kenggotaan dari WTO dalam pengambilan keputusannya yang yang bersifat irreversible terdapat sebuah keunikan sekaligus sebagai sebuah penegasan kepada anggota ketika masuk dalam lingkaran dari Oraganisasi Perdangan dunia ini adalah sifatnya keanggotaanya yang bersifat Single Under Taking yang artinya bahwa negara-negara yang menjadi anggota dari organisasi ini harus menerima seluruh ketentuan yang ditetepkan oleh organisasi ini. Adapun kelima prinsip itu ialah :24 a. MFN (Most-Favoured Nation

23

Jur Udin silalahi dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Perlindungan Industri Dalam Negeri (UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian), Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2011, hlm. 1.

24

) adalah Perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang. Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif


(37)

impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.

b. Perlakuan Nasional (National Treatment

Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang-barang impor memasuki pasar domestik.

)

c. The National Treatment Obligation

Maksud dari prinsip ini ialah menurut GATT Artikel III, negara anggota dilarang mengenakan diskriminasi tarif pajak di dalam negeri atau membuat kebijakan lain yang dapat menyebabkan manfaat yang diperoleh dari penurunan tarif menjadi tidak berguna. Dengan kata lain produk impor -setelah masuk pasar domestik- dan produk domesik yang sejenis harus mendapatkan perlakuan yang sama. Hal yang sama juga berlaku bagi sektor jasa dan hak atas kekayaan intelektual.

d. Penghapusan Kuota

Prinsip keempat yakni penghapusan kuota, maksudnya adalah mengurangi hambatan kuota atas ekspor-impor, termasuk persyaratan ijin impor dan ekspor serta kebijakan lain yang mengatur keluar masuknya barang dari dan ke luar wilayah suatu negara. Prinsip ini bertujuan untuk mencegah kurangnya transparansi dalam pengaturan bea masuk dan distorsi harga yang disebabkan tidak berlakunya hukum penawaran dan permintaan.


(38)

Dalam prinsip keempat ini ada beberapa pengecualian yakni :25

1) Jika suatu negara sedang menjalankan program stabilisasi pasar terkait produk pertanian

2) Neraca Pembayaran atau negara sedang berupaya mencegah atau mengatasi semakin berkurangnya cadangan devisa jika cadangan yang tercatat dianggap terlalu rendah;

3) Dalam rangka Alokasi Kuota, maksudnya besarnya kuota impor atau ekspor ditentukan berdasarkan peranan negara pengekspor dalam perdagangan dengan negara pengimpor tersebut apabila kuota tidak ditetapkan).

e. Transparansi (Transparency

Negara anggota diwajibkan untuk bersikap terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.

)

WTO menyadari kenyataan bahwa pemerintah memiliki perbedaan dalam tingkat pembangunan dan ketersediaan sumberdayanya. Oleh karena itu WTO juga memasukkan klausul perlakuan khusus dan berbeda (Special and Differential

Treatment). Ini berarti negara kaya akan membayar lebih banyak, atau

mendapatkan pemotongan lebih besar atau mempunyai waktu penerapan lebih pendek dalam hal pengurangan tarif. Sementara itu negara miskin, rentan dan negara berkembang akan dipertimbangkan untuk mendapatkan pemotongan lebih rendah dan implementasi lebih lama dalam pengurangan tarif perdagangan. Pada


(39)

dasarnya yang tergolong dalam negara miskin disini adalah negara-negara berkembang atau Development Country dan Least Development Country. jika berbicara mengenai negara berkembang maka Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk kedalam penggolongan negara tersebut. dan hal yang pelu disayangkan jika Indonesia sebagai sebuah negara berkembang tidak memenfaatkan prinsip dalam khusus dalam WTO tersebut dengan adaanya alasan bahwa terikat dalam sebuah perjanjian. Selain itu terlihat sikap yang over confidence dari Indonesia yang secara nyata belum dapat bersaing dalam sebuah kerangka pasar bebas sebab dengan begitu Indonesia sendiri mematikan industri dalam negeri khususnya industri yang masih dikategorikan sebagai industri kecil dan industri rumah tangga.

Pada dasarnya negara maju adalah pihak yang paling diuntungkan dalam liberalisasi perdagangan sebab negara maju memiliki keunggulan dalam berbagai hal yang tidak dimiliki oleh negara berkembang seperti kestabilan perekonomian, teknologi yang tinggi, industri yang produktif, dan lain sebagainya. Sangat jelas, bahwa negara berkembang adalah pihak yang lemah dalam liberalisasi perdagangan ini. Negara maju umumnya memiliki kepiawaian dalam menerapkan cara-cara sehingga negara berkembang terikat dengan sistem perdagangan bebas. Cara yang sering digunakan antara lain adalah dengan permintaan pengurangan tarif impor bea masuk atas produk dan jasa dari Negara maju di negara berkembang.26

26

Mamnum Laida, Dampak Liberalisasi Perdagangan bagi Pelaku Bisnis Indonesia, http://www.baubaupos.com/page.php?kat=10&id_berita=1104, diakses tanggal 6 Juni 2014


(40)

Negara-negara industri tanpa hambatan berarti akan lebih mudah menjual barang dan jasanya ke negara berkembang. Oleh karena itu, dalam waktu yang bersamaan, globalisasi akan melahirkan pengelompokan masyarakat dan negara kedalam kelas baru berdasarkan kemampuan ekonomi termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, dalam memasuki era perdagangan bebas ini, Indonesia sudah harus memiliki persiapan yang mantap untuk menghadapi pengaruh yang timbul pada perekonomian dan atau perdagangan Indonesia dalam semua aspek, termasuk di dalamnya aspek hukum, khususnya hukum ekonomi sebagai pranata hukum yang berisikan kebijakan untuk mengarahkan kegiatan ekonomi ke suatu arah tertentu.27

Berlakunya perdagangan bebas di Indonesia adalah sebuah konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai negara anggota WTO. Indonesia telah menjadi anggota WTO sejak pendirian WTO pada tanggal 1 Januari 1995.28 Keikutsertaan Indonesia pada WTO disahkan DPR RI dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 pada tanggal 2 Nopember 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).29

27

Bismar Nasutin, Op.cit., hlm. 3. 28

WTO secara resmi didirikan pada tanggal 1 Januari 1995 sebagai tindak lanjut upaya pengaturan terhadap perdagangan dan tarif yang telah dilakukan melalui General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT) pada tahun 1947. Kesepakatan yang dihasilkan GATT maupun WTO pada umumnya adalah upaya liberalisasi perdagangan dunia dan turunnya tarif masuk produk ke negara-negara lain. Instrumen yang telah dihasilkan oleh GATT/WTO antara lain Uruguay Round (1986-1994) dan Doha Development Agenda (2001).

29

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi


(41)

2. Manfaat Perdagangan Bebas

Ditinjau dari segi ekonomi tujuan perdagangan adalah untuk memperoleh laba atau keuntungan. Sehingga banyak sekali keuntungan atau manfaat dengan adanya perdagangan bebas. Beberapa manfaat perdagangan bebas antara lain :30 a. Menambah peluang kesempatan kerja. Alasannya karena dengan adanya

perdagangan bebas, pasar barang dan jasa dari suatu negara menjadi lebih luas. Pemasaran atas hasil produksi tidak lagi hanya mengandalkan pasar dalam negeri semata yang daya serapnya terbatas, tetapi juga bisa mengandalkan pasar internasional yang pasarnya sangat luas. Dengan demikian jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan bisa dilipatgandakan yang akibatnya permintaan terhadap tenaga kerja pun jumlahnya meningkat. b. Terciptanya efisiensi alokasi sumber daya dan spesialisasi. Pada akhirnya

nanti dengan adanya perdagangan bebas, suatu negara hanya akan memproduksi barang dan jasa tertentu yang dianggap paling efisien jika barang dan jasa tersebut dihasilkan di negaranya dibandingkan jika dihasilkan di negara lain. Dengan demikian nantinya semua negara akan melakukan spesialisasi pada produk tertentu saja, akibatnya akan terjadi efisiensi dalam penggunaan sumber daya.

c. Mendorong percepatan kemajuan di bidang IPTEK. Perdagangan pada dasarnya adalah persaingan harga dan kualitas, sehingga agar suatu negara eksis dalam perdagangan bebasnya maka barang dan jasa yang ditawarkan

30

Anitadiahmawarni.blogspot.com/2013/07/keuntungan dan kerugian perdagangan, diakses tanggal 14 Juni 2014


(42)

harus unggul dalam kualitas dan murah dalam harga, hal ini hanya bisa diraih dengan terus mengembangkan IPTEK.

d. Perdagangan bebas dapat meningkatkan pendapatan suatu negara, karena jika dalam pasar domestik terjadi kelebihan barang, maka dapat dijual pada negara yang membutuhkannya. Semakin tinggi daya jual, maka semakin besar pula pendapatan yang diterima suatu negara, sehingga dapat memakmurkan rakyatnya.

3. Dasar Hukum Pengaturan Perdagangan Regional

Pengaturan perdagangan regional (Regional Trading Arrangements) dimana satu kelompok negara sepakat untuk menghilangkan atau mengurangi rintangan-rintangan terhadap impor dari sesama anggotanya dan telah berlangsung dibeberapa negara regional dunia, seperti European Union dengan pasar tunggalnya, ASEAN dengan AFTA-nya dan GATT. Dalam Pasal XXIV GATT dijelaskan bahwa mengakui adanya integrasi yang erat dalam bidang ekonomi melalui perdagangan yang lebih bebas, yaitu mengakui pengelompokan-pengelompokan regional sebagai suatu pengecualian dan aturan umum klausul prinsip umum MFN,31

31

dengan syarat dipenuhi ktriteria-kriteria tertentu secara ketat. Ketentuan GATT dimaksud agar pengaturan regional memudahkan perdagangan diantara negara-negara yang bersangkutan, tanpa menimbulkan hambatan terhadap perdagangan dengan dunia luar. Pengecualian dan aturan klausal MFN ini ada yang ditetapkan dalam pasal GATT sendiri dan sebagian lagi


(43)

ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan konferensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan prinsip tersebut berdasarkan Pasal XXV pengecualian dimaksud adalah:32

1. Keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas (frontier traffic advantage), tidak boleh dikenakan terhadap anggota GATT,

2. Perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada seperti kerjasama ekonomi dalam British Commonwelth the French Union (Perancis dengan negara-negara bekas koloninya), tetap boleh terus dilaksanakan namun tingkat batas prefensinya tidak boleh dinaikkan. 3. Anggota-anggota GATT membentuk suatu Customs Unions atau Free

Trade Area harus memenuhi persyaratan pasal XXIV GATT.

B. Tinjauan Umum tentang AFTA 1. Sejarah dan Pengertian AFTA

Sejak didirikan pada tahun 1967, ASEAN memang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara. Untuk tujuan tersebut, negara-negara anggota ASEAN telah berusaha untuk saling membantu dalam usaha-usaha yang menjadi perhatian dan kepentingan bersama dari negara-negara anggota ASEAN, khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan termasuk masalah-masalah sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan antara lain dengan memanfaatkan secara

32

Hata, Perdagaangan Internasional Dalam system GATT dan WTO:Aspek-aspek Hukum dan non hukum, ( Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 59. Lihat juga Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 170


(44)

efektif berbagai sektor seperti pertanian dan industri serta memperluas perdagangan mereka, termasuk perdagangan komoditi internasional.33

Negara-negara anggota ASEAN juga bertekad untuk memerangi kemelaratan, kelaparan, penyakit dan buta huruf sebagai perhatian utama bagi negara-negara anggotanya. Untuk itu, ASEAN telah berusaha mengadakan kerjasama secara intensif di bidang ekonomi dan pembangunan sosial dengan mengutamakan peningkatan sosial dan perbaikan tingkat kehidupan rakyat di kawasan Asia Tenggara. Dalam KTT ASEAN di Bali tahun 1976 khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan telah ditetapkan suatu program aksi sebagai kerangka untuk kerja sama ASEAN antara lain:

34

a. Kerjasama mengenai komoditi dasar, khususnya makanan dan energi

b. Kerjasama di bidang industri c. Kerjasama di bidang perdagangan

d. Pendekatan bersama dalam menghadapi masalah komoditi internasional dan masalah ekonomi dunia lainnya

e. Mekanisme untuk kerjasama ekonomi.

Lingkungan ekonomi baik domestik maupun internasional telah mengalami perubahan yang cepat dan telah menimbulkan tantangan-tantangan bagi ASEAN. Walaupun sistem perdagangan global masih terbuka, kecenderungan timbulnya hambatan-hambatan tetap merupakan tantangan bagi ASEAN. Terlebih dengan semakin banyaknya pengelompokan-pengelompokan ekonomi secara cepat menyebar, seperti Pasaran Tunggal Eropa dan North

33


(45)

Amerika Free Trade Area (NAFTA). Hal ini jelas mempengaruhi sistem perdagangan internasional karena pengelompokan semacam itu bertujuan untuk meningkatkan rejim ekonomi internasional yang terbuka, yang hanya akan mendorong kerja sama ekonomi di wilayah yang bersangkutan. 35

Perjanjian perdagangan regional (AFTA) ini tumbuh karena bersifat lebih mudah dan aplikatif karena tidak melibatkan terlalu banyak negara serta kepentingannya seperti yang terjadi di WTO. Kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sistem perdagangan multilateral tersebutlah yang mendasari ketentuan Pasal XXIV ketentuan GATT tentang diperbolehkannya pembentukkan kerjasama-kerjasama regional di bidang perdagangan. Ketentuan Pasal XXIV GATT memberi persyaratan bahwa pembentukan perjanjian perdagangan regional

(Regional Trade Agreement /RTA) tersebut tidak menjadi rintangan bagi

perdagangan multilateral.36

Hal inilah yang mendasari ASEAN mengambil langkah-langkah baru untuk meningkatkan kerja sama perdagangan dan industri yaitu dengan mencari mekanisme-mekanisme baru ke arah tercapainya harmonisasi dan integrasi ekonomi yang dapat menjamin lancarnya perdagangan dan investasi ASEAN.

37

Pada tahun 1991 para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN atau yang dikenal dengan AFTA yang pembentukannya berlangsung selama 10 (sepuluh) tahun. Sebuah lembaga setingkat menteri dibentuk untuk mengawasi, mengkoordinasikan, dan mengkaji

35

Ibid

36

Saepudin, “Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) Dalam Kerangka World Trade Organization (WTO): Studi Kasus ASEAN Free Trade Area (AFTA)”, diakses tanggal 12 Maret 2014

37


(46)

pelaksanaan program menuju AFTA. Adapun isi persetujuannya berupa kerangka dalam meningkatkan kerja sama ekonomi ASEAN (Framework Agreement on

Exchanging ASEAN Economic Coorporation- FAEAEC) yang ditandatangani

presiden dan perdana menteri tiap-tiap negara ASEAN pada bulan Januari 1992.38 Kelahiran AFTA ini merupakan upaya dari ASEAN untuk melindungi kepentingan negara anggota dalam perdagangan multilateral yang didominasi oleh negara-negara maju. Berdasarkan kesadaran tersebut, maka terkesan bahwa AFTA merupakan usaha ASEAN melakukan proteksi terhadap pasar regionalnya. Kesan-kesan tersebut juga timbul atas perjanjian perdagangan regional yang lainnya.

39

AFTA merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. Tujuan lain adalah menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.

40

Persetujuan induk itu merupakan payung dari seluruh kerangka kerja sama ekonomi ASEAN. Jalan menuju AFTA ditempuh melalui mekanisme yang disebut CEPT (Common Effective Prefenrential Tariff). Setiap negara akan menurunkan tarif bea masuk atau mengurangi restriksi non tarif bagi sesama negara ASEAN, khususnya untuk produk yang masuk dalam kesepakatan yang berlaku di ASEAN.

41

38

R Hendra Halwani, Op.cit., hlm 214 39

Saepudin, Op.cit. 40

Noviansyah Manap dikutip dari Martin Khor, Memperdagangkan Kedaulatan: Free Skema CEPT merupakan skema untuk satu tujuan yaitu


(47)

mewujudkan AFTA melalui: penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.42

Target AFTA adalah pengurangan tarif, bahkan menuju zero tariffs rate

sebelum tahun 2003. Pemberlakuan kesepakatan AFTA terhadap enam negara penandatangan secara serentak akan efektif pada tahun 2010 sedangkan untuk Vietnam tahun 2013, Laos dan Myanmar 2015, dan kamboja pada tahun 2017. Pada waktu yang ditentukan tersebut semua produk harus masuk ke dalam skema CEPT.43

Belakangan, persyaratan sistem perdagangan bebas dunia barat terasa memberatkan negara ASEAN dan di sisi lain, dunia barat merasakan ASEAN menjadi pesaing tangguh di dunia, terutama di tahun 1980-an dan 1990-an. Bank Dunia kemudian menyebutnya sebagai ‘macan-macan ekonomi’ atau dikenal juga dengan sebutan ‘Asia Four Dragon’. Bank Dunia menyatakan bahwa kemajuan ekonomi Asia Tenggara dengan cepat dapat menjadi ekonomi maju. Para pemimpin negara-negara Asia menjelaskan bahwa keberhasilan ekonomi yang sangat mengesankan tersebut berakar dalam nilai-nilai Asia yang sangat berbeda dengan nilai-nilai dunia Barat.

44

Area Perdagangan Bebas ASEAN atau AFTA merupakan suatu kerjasama regional di Asia Tenggara untuk menghapuskan trade barries antar negara anggota ASEAN. Munculnya kerjasama di bidang ekonomi merupakan fenomena global yang terjadi di berbagai blok-blok ekonomi sebagai respon terhadap

42

Adminiatrator,“AFTA dan Implementasinya”,

http:/ /www.depdag.go.id/files/publikasi/djkipi/afta.htm, diakses tanggal 12 Maret 2014. 43

Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 152.

44


(48)

globalsasi dan perdagangan bebas atau dengan kata lain sebagai anti klimaks dari globalisasi itu sendiri.

Pembentukan blok-blok kerjasama regional dapat dijumpai di Eropa, Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Amerika Utara. Uni Eropa dapat dikategorikan sebagai multinational market groups yang paling established atau mapan bahkan menjadi model dari organiasasi regional lainnya. Blok-blok kerjasama regional dalam bidang ekonomi di region lainnya, seperti NAFTA (North Amerika Free

Trade Area) antara Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko; (MECROSUR) di

Amerika Selatan; dan (ECOWAS) di Afrika menerapkan aturan-aturan internal yang sifatnya mempermudah interaksi bisnis dalam framework perdagangan bebas.45

Di Asia, melalui KTT ASEAN di Singapura pada bulan januari tahun 1992 secara formal menyetujui pembentukan ASEAN free Trade Area dengan melahirkan Common Effectife Preferential Tariff (CEPT). Pembentukan AFTA sesungguhnya dapat dikatakan sebagai antiklimaks dari globalisasi, terlebih terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 yang menimpa semua Negara ASEAN, bahkan “macan Asia” seperti korea. Sebagai langkah antisipatif, AFTA semakin

concern untuk mengurangi hambatan tariff / nontariff diantara sepuluh Negara ASEAN guna melakukan economic recovery serta meningkatkan bargaining position di mata masyarakat internasional.


(49)

2. Keanggotaan AFTA

Keanggotaan AFTA yang terdiri atas sepuluh Negara anggota dan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu enam Negara penandatangan CEPT (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunai Darusalam) dan empat Negara yang bergabung kemudian (Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos). Perlu di catat bahwa Vietnam bergabung dengan AFTA tahun 1995, Laos dan Myanmar pada tahun 1997, serta kamboja pada tahun 1999. Target AFTA adalah pengurangan tariff, bahkan menuju zero tariffs rate sebelum tahun 2003. Pemberlakuan kesepakatan AFTA kepada enam Negara penanda tangan secara serentak akan efektif pada tahun 2010, sedangkan untuk Vietnam pada tahun 2013, Laos dan Myanmar 2015, dan Kamboja pada tahun 2017. Pada waktu yang ditentukan tersebut, semua produk harus masuk dalam skema CEPT (Common Effectife Preferential Treatment).

Alasan keberadaan suatu kerjasama regional termasuk AFTA, dibentuk berdasarkan beberapa faktor, antara lain Faktor politik, Faktor budaya, Multinational Group, Faktor ekonomi dan Faktor geografis

Apabila diaplikasikan terhadap pendirian AFTA, semua faktor tersebut tampaknya sudah memanifestasi dalam AFTA. Tujuan pendirian AFTA adalah menjalin kerjasama ekonomi regional ASEAN dalam rangka tercapainya cita-cita perdagangan dunia yang adil, seimbang, transparan, bebas hambatan tarif dan nontarif, serta mendukung tercapainya pemulihan ekonomi dan dinamika bisnis Negara-negara anggota yang sesuai dengan kesepakatan ASEAN Bold Measures


(50)

Butir-Butir Akselerasi AFTA, Sebelum tahun 2000 tiap Negara menentukan nomenklatur sebesar 85% dari item yang tarifnya 0-5%, kemudian ditingkatkan menjadi 90% sebelum tahun 2001, dan terakhir semua “inclusion list” yaitu, daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1) jadwal penurunan tariff, 2) Tidak ada pembatasan kwantitatif dan 3) Hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun, menjadi 100% dari daftar item yang dikenakan tarif sebelum tahun 2002. Inclusion list

didasarkan pada produk yang dijadwalkan untuk pengurangan tarif, pengurangan pembatasan kuantitatif, dan non tariff barriers.

3. Tujuan AFTA

Asean Free Trade Area (AFTA) bertujuan :

a. Meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan halangan non-bea dalam ASEAN. b. Menarik investasi asing langsung ke ASEAN, Mekanisme utama untuk

mencapai tujuan di atas adalah skema "Common Effective Preferential Tariff" (CEPT).

c. Anggota ASEAN memiliki pilihan untuk mengadakan pengecualian produk dalam CEPT dalam tiga kasus :

1) Pengecualian sementara,

Sebuah negara anggota boleh mengecuali sesuatu produk yang dianggap perlu sebagai perlindungan untuk keselamatan negara, perlindungan moral masyarakat, perlindungan nyawa dan kesihatan manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan, serta perlindungan


(51)

benda-benda seniman, bersejarah atau bernilai secara arkeologi. Peruntukan Pengecualian Am dalam Perjanjian CEPT adalah konsisten dengan Artikel X Perjanjian Am dalam Perdagangan dan Tarif-tarif (GATT). Pengecualian sementara itu berupa produk yang tarif akhirnya akan diturunkan menjadi 0-5%, namun ditunda untuk sementara pengurangan tarifnya. Pengecualian pertanian sensitif termasuk beras, baru pada tahun 2010 akan diberlakukan pengurangannya dari 0-5%. Sedangkan pengecualian umum mengacu pada produk-produk yang dianggap perlu untuk di proteksi oleh masing-masing negara anggota ASEAN, termasuk dalam pengecualian umum adalah proteksi terhadap

labor movementt46

2) Produk pertanian sensitive, pengecualian pertanian sensitif termasuk beras, baru pada tahun 2010 akan diberlakukan pengurangannya dari 0-5%. Sedangkan pengecualian umum mengacu pada produk-produk yang dianggap perlu untuk di proteksi oleh masing-masing negara anggota ASEAN

3) Pengecualian umum adalah proteksi terhadap labor movement 47

4. Dasar Hukum AFTA

ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau ASEAN Free Tree Area atau AFTA merupakan wilayah Perdagangan Bebas yang mencakup seluruh batas negara-negara anggota ASEAN, dimana nantinya pada jangka waktu tertentu arus

46

Kristin-natallia-feb12.web.unair.ac.id/artikel_detail-82856-Pemasaran-ASEAN FREE TRADE AREA, diakses tanggal 14 Juni 2014

47


(52)

lalu lintas barang dagangan, uang pembayaran dan faktor penunjang lainnya yang berasal dari Negara-negara bebas keluar masuk dalam wilayah ASEAN hanya dalam hambatan tarif 0,5 persen dan tidak boleh lagi ada hambatan non tarif (NTB’s) untuk komoditi sensitive list (SL) dan General Execption List (GE) dikeluarkan dari ketentuan di atas. Untuk barang dagangan yang berasal dari wilayah non ASEAN berlaku tarif normal.

AFTA terbentuknya berdasarkan hasil Keputusan Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke -4 di Singapore pada tanggal 28 Januari 1992. Dalam KTT itu pula Negara-negara anggota juga menandatangani Agreement on

the Common Effective Preferential Tarif Scheme for ASEAN Free Trade Area

yang merupakan instrument utama untuk penerapan AFTA.48

Pengaturan perdagangan regional (Regional Trading Arrangements) dimana satu kelompok negara sepakat untuk menghilangkan atau mengurangi rintangan-rintangan terhadap import dari sesama anggotanya dan telah berlangsung dibeberapa negara regional dunia, seperti European Union dengan pasar tunggalnya, ASEAN dengan AFTA-nya dan lain-lain GATT. Dalam Pasal XXIV GATT dijelaskan bahwa mengakui adanya integrasi yang erat dalam bidang ekonomi melalui perdagangan yang lebih bebas, yaitu mengakui pengelompokan-pengelompokan regional sebagai suatu pengecualian dan aturan umum klausul prinsip umum MFN,49

48

dengan syarat dipenuhi ktriteria-kriteria tertentu secara ketat. Ketentuan GATT dimaksud agar pengaturan regional memudahkan perdagangan diantara negara-negara yang bersangkutan, tanpa


(53)

menimbulkan hambatan terhadap perdagangan dengan dunia luar. Pengecualian dan aturan klausal MFN ini ada yang ditetapkan dalam pasal GATT sendiri dan sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan komferensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan prinsip tersebut berdasarkan Pasal XXV pengecualian dimaksud adalah:50

C. Kerangka Hukum Perdagangan Bebas AFTA 1. Pengaturan Tarif dan Perdagangan Barang

Dalam proses mewujudkan AFTA sebagai salah satu blok perdagangan bebas, negara-negara anggota ASEAN telah melaksanakan berbagai perjanjian, tidak saja menyangkut perjanjian barang melainkan diperluas dengan memasukkan perdagangan jasa, bahkan masalah-masalah lain yang terkait dengan perdagangan, seperti investasi dan hak kekayaan intelektual.

Salah satu perjanjian yang sangat penting yang telah disepakati oleh Negara-negara anggota ASEAN adalah The Agreement Common Effective

Preferential Tariff (CEPT) yang ditandatangani tanggal 28 Januari 1992.

Perjanjian ini dianggap terpenting dari perjanjian lainnya karena CEPT merupakan mekanisme awal terwujudnya AFTA dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2002, berbeda dengan perjanjian lain yang berlaku masih belum efektif.

Perjanjian CEPT ini berisi kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk menghapus dan mengurangi hambatan berupa tarif dan non tarif atas barang yang telah disepakati yang berasal dari Negara-negara anggota ASEAN. Tujuan

50


(54)

utama adalah agar terjadi perdagangan antar ASEAN yang lebih intens. Dengan berlakunya CEPT negera anggota ASEAN diharapkan tidak akan mengenakan tarif sebesar 0% atau paling tinggi mengenakan tarif sebesar 5% sebagaimana diatur dalam Pasal 4 CEPT. Selanjutnya kepada Negara-negara anggota ASEAN diwajibkan untuk menghapuskan segala pembatasan kuantitatif dan meng-hapuskan secara gradual hambatan non tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 CEPT.

Dengan diberlakukannya perjanjian CEPT maka program penuranan tarif sejak tahun 1993 sudah berlaku pada tahun 2003 menjadi 0 - 5%. Rencana penurunan tarif tersebut telah dipertegas lagi dalam sidang Menteri Ekonomi ASEAN di Chiangmai Thailand tahun 1995 yang menyatakan bahwa” produk-produk industri yang belum bersaing di pasar ASEAN akan bertahap masuk ke dalam cakupan CEPT-AFTA. Produk-produk industri tersebut paling lambat masuk dalam cakupan CEPT tahun 2000 dengan maksimum tarif 20%, sedangkan produk pertanian yang belum diolah (Unprocessed Agriculture Products) paling lambat masuk pada tahun 2003 dengan tarif 5%. 51

51

Secara umum negara-negara ASEAN telah sepakat menentukan jenis-jenis produk mereka untuk dimasukkan ke dalam skema CEPT. Produk-produk ini akan dicantumkan dalam sebuah daftar yang disebut Inclusion List. Sedangkan untuk jenis-jenis produk yang disepakati untuk dikeluarkan atau dikecualikan dari skema CEPT dicantumkan dalam daftar yang dinamakan Exclusion List.


(55)

Produk-produk yang mendapat konsesi dibawah skema CEPT harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut:

a. Produk tersebut termasuk dalam Inclusion List yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria

b. Jadwal penurunan tarifnya telah ditentukan dan disetujui dewan AFTA c. Produk tersebut merupakan hasil produk Negara ASEAN, yaitu harus

memenuhi syarat kandungan lokal (lokal content) sebesar 40%.

Suatu produk yang termasuk dalam skema CEPT harus memenuhi kandungan lokal minimal 40% dari Negara-negara ASEAN manapun. Kandungan lokal sebesar 40% itu dapat berasal dari suatu Negara anggota ASEAN ataupun berasal dari Negara anggota ASEAN sekaligus, tetapi minimal 25% diantaranya harus kontribusi dari Negara pengekspor terakhir.

Produk-produk yang termasuk di dalam skema CEPT yang akan dikurangi tarifnya hingga mencapai tarif efektif 0-5% adalah produk-produk manufaktur, yang meliputi barang-barang modal, produk-produk olahan hasil pertanian dan produk-produk lainnya yang tidak termasuk kategori produk pertanian yang dikeluarkan dari skema CEPT.52

2. Pengaturan Bidang Jasa

Perkembangan ekonomi kawasan global dewasa ini cukup berpengaruh terhadap ekonomi regional. Arus globalisasi membuat perubahan mendasar dalam tata dunia internasional terlebih pada aspek ekonomi. Salah satu ciri perkembangan ekonomi global adalah adanya liberalisasi arus barang, jasa, modal

52


(56)

dan investasi. Adanya liberalisasi ini membuat sistem perekonomian dunia menjadi terbuka dimana terintegrasinya pasar keuangan secara internasional. Proses liberalisasi menyebabkan perekonomian global semakin terpadu (integrated) dan terindepedensi juga semakin kuat.53

Perdagangan bebas di tingkat bilateral dan kawasan regional disebut sebagai BFTA (Bilateral Free Trade Agreement) dan RTA (Regional Trade

Agreement), keduanya kemudia biasa dikenal sebagai FTA (Free Trade

Agreement) atau Perjanjian Perdagngan Bebas. Perlu dipahami bahwa aturan di FTA baik yang bersifat bilateral maupun regional, berinduk kepada perjanjian (agreement) di WTO yang berssifat multilateral. Hal ini selalu ditekankan di setiap klausul kesepakatan FTA. Integrasi ekonomi Asia Tenggara

Keadaan ini sangat berpengaruh signifikan dalam perkembangan ekonomi kawasan Asia Tenggara.

54

ini sesuai dengan ketentuan perjanjian WTO dengan tujuan saling menguntungkan dengan carapemberlakuan tarif yang lebih rendah sesama anggota bila dibandingkan dengan non-anggota (Prefential Trade Agreement/ASEAN PTA)55 antar negara-negara anggota sekawasan ini. Tetapi menemukan kendala, belum dapat memberikan tingkat preferensi yang memadai, rendahnya tingkat komplementaritas, sehingga kurang mendukung upaya perdagangan.56

53

J. Soedjati Jiwandono, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung; Almuni, 1999), hlm 78

54

Ibid

55

Persetujuan Pengaturan Perdagngan Preferensi ASEAN (PTA) Manila, Filiphina, tanggal 24 Februari 1977 dan mulai diberlakukan tahun 1978.


(1)

dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut

1. Pemberlakuan secara menyeluruh AFTA belum mendapat respon yang baik karena di dalam negeri masih banyak masalah belum terselesaikan jadi jika pemerintah Indonesia untuk masa yang akan datang tetap ingin melaksanakan perdagangan bebas maka semuanya harus disiapkan dengan baik;Realisasi AFTA melalui CEPT merupakan jalur perdagangan bebas dalam bidang barang (trade in goods) dengan mekanisme penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN. Sedangkan dalam bidang jasa (trade in service) melalui kerangka perjanjian AFAS sebagai upaya melakukan liberalisasi dengan tingkat lebih tinggi. 2. Upaya pemerintah mengadakan perlindungan pada industri-industri domestic

terhadap masuknya barang impor dalam jangka waktu tertentu. Proteksi bertujuan melindungi, membesarkan, atau mengecilkan kelangsungan indusri dalam negeri yang berlaku dalam perdagangan umum. Tindakan tersebut merupakan aktivitas yang dapat dibenarkan, bahwa tidak masuk akal untuk mengimpor barang yang dibuat didalam negeri.Tindakan Pengamanan (Safeguard) Sementara Bentuk tindakan pengamanan sementara hendaknya


(2)

dilakukan sebelum pelaksanaan tindakan pengamanan tetap. Tindakan pengamanan sementara dilaksanaka semenjak inisiasi atau permulaan proses penyidikan yang didahulukan dengan notifikasi. Tindakan ini dilakukan apabila terjadi keadaan darurat yang jika ditunda atau tidak dilaksanakan, akan menyebabkan terjadinya kerusakan yang sulit diperbaiki.

3. Kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri adalah melalui Tindakan pengamanan (Safeguard) yaitu tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan atau untuk mencegah ancaman kerugian serius dari industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius tersebut dapat melakukan penyesuaian struktural


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Adminiatrator,“AFTAdan Implementasinya”,

Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003

ASEAN Selayang Pandang, Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 2011

Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Mas Media Buana Pustaka, Surabaya, 2009

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, Bandung: Books Terrace & Library, 2009

Bruce Wilson, Dispute Settlement in the WTO: An Update, Paper pada Presentasi di Washington International Trade Association, 16 Nopember 2006. BSN, “Sistem Standardisasi Nasional”, Jakarta:2001.

B.M. Kuntjoro Jakti,et.al.,1997/1998,Pengkajian Hukum Tentang Masalah Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam WTO,BPHN,Jakarta

Berhard Bergmans, Inside Information and Securities Trading, Graham & Trootman, London.1991

Christhophorus Barutu, Antidumping dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan Antidumping Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Yogyakarta

Departeman Perdagangan Republik Indonesia, Laporan Perdagangan AFTA, Jakarta: 1991.

C.P.F Luhulima, ASEAN Menuju Postur Baru, Centre for Strategic and International Student, Jakarta, 1997.

Christhophorus Barutu, 2006, Praktik subsidi dalam perdagangan internasional serta pemberlakuan ketentuan anti subsidi dan countervailling measure (tindakan-tindakan imbalan terhadap subsidi), jurnal hukum yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, volume 21, No. 4, juli 2006, Surabaya.


(4)

Erman Rajagukguk, Butir-Butir Hukum Ekonomi, Jakarta : lembaga Studi Hukum fakultas Hukum Universitas Indonesia, cetakan 1, 2011

Felix O Soebagio, 1993, Perkembangan asas-asas hukum kontrak dalam praktek bisnis selama 25 tahun terakhir, Disampaikan dalam pertemuan ilmiah “perkembangan hukum kontrak dalam praktek bisnis di Indonesia” diselenggarakan oleh badan pengkajian hukum nasional, Jakarta, 18 dan 19 Februari 1993

Fuady, Munir. Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO), Bandung: Citra Aditya Bakti 2011

Friedmen, Teori dan filsafat hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1990.

Hadi Soesastro, A New ASEAN in a New Millenium, Jakarta; Centre for Strategic and International Student, 2000.

Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996.

Hata, Perdagaangan Internasional Dalam system GATT dan WTO:Aspek-aspek Hukum dan non hukum, Bandung: Refika Aditama, 2006

Hellen J. Bond & Peter Kay, 1995, Bussines Law, Blackstone Press Limited, London.

Hugo Grotius, “On the rights of war and peace” dalam Clarence Morris, The Great Legal Philosophers, seected reasing in jurisprudence, University of Pennsylvania press, Philadelphia.1999.

Ismed Batu Bara, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi, Citapustaka Media Perintis: Bandung, 2010.

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

J. Soedjati Jiwandono, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung; Almuni, 1999)

Majalah Warta Bea dan Cukai, Edisi 273, Agustus 1997

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007.

Munir Fuadi, Hukum Kontrak (Dari Sudut pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya, Bandung, 1999


(5)

Muhammad Yani, 2009, “Safeguard” Bulletin Kerjasama Prdagangan Internasional, Edisi 55/2009, Departemen perdagangan Republik Indonesia

Noviansyah Manap dikutip dari Martin Khor, Memperdagangkan Kedaulatan: Free Trade Agreement dan Nasib Bangsa, Yogyakarta: Insist Press, 2010 P.S. Atiyah, Essays on Contract” dalam Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut

Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1986

R. Hendra Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi ekonomi. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005

Rudolf Von Jehring, Law as a Mens to an End, dalam Clarence Morris ed, the Great Legal Philosophers Selected Reasing in Jurisprudence, University of Pennsylvania Press, Philadelphia. 1959

Roscue Pound, An Introduction to The Philosophy of Law, New Haven, UP,1954 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum internasional, Jakarta: Tatanusa,

2007

Saepudin, “Perjanjian Perdagangan Regional (RTA) Dalam Kerangka World Trade Organization (WTO): Studi Kasus ASEAN Free Trade Area (AFTA)”, diakses tanggal 12 Maret 2014

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2010

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008

Siti Astiyah , Akhis R. Hutabarat, Desthy V.B. Sianipar). “Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Perilaku Pembentukan Harga Produk Industri melalui Structure-Conduct Performance Model”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 2005

Theo Huijbers, 2006, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, kanisius, Yogyakarta.

Tulus T.H. Tambunan. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia. 2004


(6)

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian

Undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) GBHN 1999-2004,(sinar grafika: Jakarta, 1999. Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional

Badan Standardisasi Nasional, “Pemberlakuan SNI Wajib,” (Makalah dalam forum Seminar Standardisasi dan Pengawasan Mutu) tanggal 15 Maret 2004

Pusat Standardisasi dan Akreditasi, “Kebijakan Standardisasi Industri dan Perdagangan,” (Makalah disampaikan pada Pelatihan Peningkatan kemampuan UKM dalam Rangka SPPT SNI), tanggal 12 Maret 2006.

Pusat Standardisasi dan Akreditasi Departemen Perindusrtrian dan Perdagangan, “Kebijakan Standardisasi Dalam Rangka Pemberlakuan SNI Wajib dan Pengawasan SNI” (makalah disampaikan pada Sosialisasi Standardisasi dan Pengawasan SNI Air Minum dalam Kemasan), Jakarta pada tanggal 19 Desember 2003.

C. Internet

http:/ /www.depdag.go.id/files/publikasi/djkipi/afta.htm, diakses tanggal 12 Maret 2014.

Agreement on the CEPT Scheme for the AFTA, Singapore, 28 Januari 1992

BSN, “Penerapan Standar Nasional Indonesia,” <http://www. bsn.or.id/profil/penerapan.cfm - 14k>, diakses 10 Maret 2014